Defect, anomali...and perspective

29 Desember 2012

On 07.43 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Beberapa tahun yang lalu aku mengenal seorang gadis. Ia sangat membenci warna pink, merah muda, sangat, sangat benci. Tak satu pun barang yang dimilikinya berwarna merah muda. Pun dalam setiap hal yang dilakukannya sehari-hari ia sebisa mungkin menghindari warna yang satu itu. Untuk buku yang berwarna merah muda ia akan menyampulnya. Hadiah pakaian merah muda, ia akan dengan senang hati memberikannya kepada kerabat atau tetangga. Bahkan bila langit senja tak sengaja merefraksi warna mendekati merah muda, ia sebisa mungkin menahan diri untuk menatap ke atas, sebagaimanapun cintanya ia pada menit-menit tenggelamnya mentari.

Ia, gadis yang pernah aku kenal beberapa tahun yang lalu, tidak memiliki alasan atas kebenciannya pada warna merah muda. Tidak ada kejadian traumatis, tidak ada kenangan pahit, ia hanya benci. Baginya, merah muda adalah warna feminitas garis kiri. Merah muda identik dengan lemah-manja hati wanita. Merah muda adalah lambang perasaan berbunga yang membuat lupa segala. Merah muda selalu diidentikkan dengan cinta, kisah-kasih, hari Valentine, dan segala keabsurdan lain yang tak pernah bisa ia mengerti. Gadis yang pernah aku kenal itu sangat anti dengan bahasan gender, enggan memihak kubu maskulin-feminin, benci jika terlihat lemah, tidak ingin lupa segala, dan seperti yang aku sebutkan terakhir tadi, ia tidak pernah mengerti tentang seluk-beluk cinta.

Jauh di atas segala keanehan tentang rasa bencinya terhadap merah muda, gadis yang pernah aku kenal itu justru tak pernah bisa jauh dari segala yang berwarna merah muda. Semakin ia menjauhi satu merah muda, merah muda yang lain akan lekat kembali. Seperti teman, seperti persahabatan. Dari bangku putih biru, hingga berseragam putih abu, ia selalu bersama teman duduk yang justru tergila-gila dengan warna merah muda. Bertolak dengan segala upayanya mengenyahkan merah muda dari setiap jengkal harinya, teman sebangkunya justru menyodori segenggam merah muda yang lain, setiap hari, setiap jam, setiap detik kebersamaan mereka. Mereka menggunakan tas-tas besar warna merah muda, kotak pensil merah muda, bolpoin merah muda, gantungan ponsel merah muda, dan sangat mungkin kala itu mereka menggunakan pakaian dalam merah muda. Hari-hari itu, gadis yang pernah aku kenal melihat jelas bagaimana tahun-tahun penuh perbedaan itu berlalu. Hari-hari itu, dimana ia melihat bagaimana perbedaan bertahan di ruang yang sama dalam waktu yang lama. Hari-hari itu, sangat ganjil, justru adalah hari-hari terindah di masa yang lalu baginya.

Hari ini, banyak hal telah berubah. Gadis itu, hingga terakhir kali aku bertanya, merah muda belum menjadi warna favoritnya. Gadis itu, hanyalah aku di tahun-tahun yang lalu.

*             *             *
Setelah aku pikirkan di hari-hari sekarang, kebencianku pada merah muda yang idiopatik pada tahun-tahun yang lalu memang ganjil. Aku juga baru menyadari bagaimana waktu itu, tingkahku dapat digolongkan sebagai perilaku obsesif. Orang melihatku aneh, dan tatapan mereka justru membuatku betah terlihat ‘aneh’. Aku sendiri tidak bisa mengelak bahwa perilaku obsesif terhadap satu hal –dalam hal ini kebencianku pada merah muda, dapat digolongkan sebagai sinyal penyimpangan jiwa. Tapi, mengingat usiaku waktu itu yang dalam bahasa sekarang diistilahkan sebagai ABG labil, maka sedikit keanehan atas nama pencarian jati diri adalah amat sangat bisa ditolerir (sedikit ngeles memang, bagaimanapun aku sudah tidak seobsesif itu).

Aku yang sekarang sudah memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa simbolisme linear dengan mengidentikkan satu hal dengan sejuta negativisme subyektif. Aku juga memahami bahwa segala kelemahan manusiawi akan sangat tidak adil bila dibebankan pada satu warna saja. Tanpa aku sadari aku mulai berhenti membenci merah muda, walaupun aku belum memutuskan untuk mulai menyukainya.

Satu hal besar yang aku tahu, dan aku juga ingin agar orang lain tahu adalah bagaimana warna yang membantu kita mendeterminasi hubungan dengan orang lain bukanlah warna yang panjang sinarnya bisa ditangkap oleh mata. Bukan tentang pakaian merah, kulit kuning, rambut coklat, atau mata biru. Warna itu, tersimpan dalam sebuah abstraksi yang kita sederhanakan sebagai hati. Warna itu, dengan sangat cerdik terlihat sekilas dari afek sehari-hari, jarang kita sadari. Jadi bisa saja hari kemarin aku benci merah muda, hari ini aku suka hijau, mungkin besok aku memilih ungu. Teman-temanku yang dulu suka merah muda mungkin hari ini juga mengganti selera mereka.

Tak masalah. Justru dengan kita tersenyum bersama saat kita terlihat berbeda, membuktikan bahwa kita adalah satu warna.

P.S
Aku hanya sedang agak merindukan beberapa teman pernah menggerecoki aku dengan benda-benda pink mereka. :D Miss you bestie...

22 November 2012

On 20.48 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Bukan semata-mata karena ‘harus’ tinggal sebulan di negeri Sakura maka saya mencoba selihai mungkin dalam mengunakan sumpit. Dari dulu saya memang pecinta hal-hal berbau Jepang nomor wahid, kalau boleh saya bilang. Apalagi makanannya. Karena itu, sumpit, sebagai bagian dari salah satu kegatan paling esensial dalam hidup, bukan hal yang asing bagi saya. Tapi bedanya, sampai bulan lalu, saya masih melihat sumpit sebagai alat bantu makan saja. Hingga sepasang sumpit di tengah dinginnya angin musim gugur di salah satu sudut kota di Jepang, mengajari saya banyak hal.

Sejak dulu saya sudah sering mendengar bahwa budaya Jepang sangat ketat tentang tatakrama. Oleh karenanya saya berusaha sebisa mungkin mengikuti aturan yang berlaku disana selama sebulan terakhir. Jadilah senjata utama saya identik dengan langkah-langkah pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
On 20.12 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya. Hubungan jarak jauh. LDR bagi sebagian besar orang bisa jadi merupakan tantangan tersendiri dalam suatu hubungan. Saya sendiri, akibat pengaruh teman dan drama TV, cukup setuju dengan hal tersebut. Bagaimana pun saya masih termasuk anak ibu-bapak yang kadang kangen setengah mati pada rumah, apalagi saat kantong sedang kosong. Beranjak dari latar belakang tersebut, saya punya firasat bahwa saya memang agak kurang bersahabat dengan yang namanya jarak.

Untuk hubungan pacaran jarak jauh, sebenarnya LDR terklasifikasikan berdasarkan 3 hal: kuantitas jarak, kualitas jarak, dan tingkat keberhasilan. Berdasarkan kuantitas jarak, LDR dibedakan menjadi 2 yaitu common Long Distance Relationship (cLDR) dan very Long Distance Relationship (vLDR). Bedanya sederhana, cLDR merujuk pada hubungan berjarak yang masih sangat mungkin dijangkau. Misal, pacaran sama anak kuliahan luar kota, pacaran sama anak tetangga beda pulau satu provinsi, pacaran sama abang angkot antar kota dalam provinsi, atau pacaran antara Surti gadis desa dan Tejo yang cari kerja di kota. Persamaan diantara semua contoh itu juga jelas, hubungan masih bisa dijaga dengan fasilitas dan biaya yang terjangkau. Sms dan telefon masih sangat mungkin sering dilakukan dengan bantuan provider telekomunikasi dalam negeri (baca: tarif murah brayy..). Selain itu, kalaupun kangen sudah memuncak dan tidak bisa ditahan, puasa tiga hari juga dapat dilakukan demi mengumpulkan modal agar dapat berjumpa belahan jiwa.

Sementara pada kasus vLDR, harapan ada pada fasilitas internet, berharap jaringan WiFi bersinyal super agar dapat mempertahankan wajah cantik/ganteng pasangan dalam rekaman webcam. Kendala yang paling tidak diinginkan adalah berubahnya wajah pasangan menjadi kotak-kotak pixel yang kadang membuat mereka lebih mirip beruang hitam. Kendala lainnya yang masih bisa diatasi adalah bagaimana saat jadwal webcaming, keluarga pasangan atau teman lain ikut nimbrung dan menyita lebih dari tujuh per delapan dari quality time yang harusnya kita miliki. Contoh dari hubungan vLDR ini adalah pasangan yang terpisah jarak ribuan mil di negara antah-berantah, mungkin pacar sedang melanjutkan studi di luar negeri, bekerja di kapal pesiar, atau mungkin pacaran dengan TKI/TKW. Beberapa contoh yang lebih ekstrem adalah pacaran dengan relawan perang jalur Gaza, pacaran dengan peneliti jumlah pasir yag berpotensi membuat kelilipan saat badai gurun di Sahara, atau forbiden love between north pole polar bear and south pole penguin.

Mengenai klasifikasi berdasarkan kualitas jarak, LDR dibagi menjadi dua yaitu LDR permanen dan LDR temporer. LDR permanen termasuk di dalamnya adalah pasangan yang terpisah jarak selama berbulan hingga bertahun-tahun. Tentu ini adalah cobaan yang sangat berat dalam kancah percintaan. Namun hampir dapat dipastikan bahwa pasangan yang berhasil melewati fase LDR permanen ini akan berhasil membia hubungan sampai tujuh turunan. Hampir pasti. Walaupun demikian, LDR temporer juga tidak kurang cobaannya. Sekali lagi saya ingin berbagi pengalaman sebagai salah satu pelaku LDR temporer. Meski dari namanya terkesan agak plin-plan, LDR-temporer: kadang LDR, kadang SDR (short distance relationship), namun level tantangannya tetap tinggi. Beberapa kali saya harus melewatkan beberapa hari, hingga beberapa minggu di luar kota atau luar negeri, begitu pula sebaliknya pacar saya kadang memiliki kepentingan yang mengharuskan perpanjangan jarak antara kami. Jujur sejujur-jujurnya, variasi perasaan yang muncul saat berjauhan kadang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi menguatkan ikatan kita, di sisi lain yang menempel dengannya justru berpotensi melonggarkan. As people say, what does not kill you will make you stronger. But I say, what did not kill you may try to kill you at second chance.

Untuk tingkat keberhasilan, lagi-lagi terbagi dua dan sangat jelas: gagal dan berhasil. Untuk yang satu ini saya justru tidak punya penalaran yang cukup logis untuk menjelaskan. Suksesi suatu hubungan terlalu rumit untuk ditentukan hanya dengan parameter jarak. Itu menurut saya. Deep condolescent for them who failed in struggling their love life of.

White Lies.
Red lie, yellow lie, black lie, purple lie, pink lie. Why are people choose white instead of other colors? Mungkin karena putih adalah lambang kesucian, maka keburukan macam apapun bila disandingkan dengan warna putih akan dinetralisir menjadi hal yang legal. Termasuk kebohongan. Kalau begitu dasarnya, maka bisa saja esok akan ada korupsi putih, copet putih, atau maling yang membobol rumah dengan kolor putih. Saya sedikit skeptis dengan konsep bohong putih ini karena memang dibohongi adalah salah satu hal yang paling saya benci.

Mungkin bagi sebagian orang berbohong untuk menjaga perasaan orang lain adalah sah dilakukan, tentu saja dengan label sakti; white lie. Bukan berarti saya begitu sucinya hingga tak pernah berbohong, bila benar demikian mungkin saya seharusnya bukan menghuni bumi. Saya juga manusia yang kadang berbohong untuk melindungi hati saya, dan mungkin juga hati orang lain. Tapi tetap saja saya tidak ingin membenarkan kebohongan saya dengan menamainya sebagai kebohongan putih. Kebohongan, apalagi dari orang tercinta, menurut pengalaman saya lebih banyak berujung pada rasa dikhianati, dianggap bodoh, dan rasa diremehkan karena mungkin mereka pikir kita tidak cukup kuat untuk menghadapi kebenaran.

Despite of our vary opinion about white lies, for me, bitter truth is far better than sweet lie. Otherwise, keep silent.

18 November 2012

On 09.18 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Tulisan saya kali ini mungkin agak berbau romantisme dewasa. Bukan, bukan...bukan cerita dewasa berbumbu erotisme apalagi pornografi. Namun ini lebih pada maturitas dari sebuah sisi misterius hati manusia, yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan secara gamblang oleh ranah ilmiah. Kita, manusia, secara sederhana dan retorik menyebutnya sebagai cinta. Ah, semakin lama tulisan ini bisa berubah menjadi sajak beruntai atau soneta tujuh bait. Yang sebenarnya terjadi adalah saya sedang menjadi saksi mata dari sebuah proses yang melibatkan kakak perempuan saya sendiri, dimana proses itu didalihkan atas nama cinta. Tapi sekali lagi, saya tidak akan mempergunjingkan persiapan pernikahan dari saudara sekandung saya (blog saya ini sama sekali bukan warta berita gosip murahan). Hanya saja, melihat puluhan hal yang terjadi di sekeliling saya akhir-akhir ini membuat saya berpikir tentang ratusan hal lain. Hal-hal itulah yang ingin saya persepsikan dengan cara saya, tentunya dengan sedikit bumbu curhat colongan. Sedikit saja kok.

Cinta yang Banyak adalah Cinta yang Satu

Namanya juga proses menyatukan dua individu atas nama cinta, ibarat kata proklamasi dimana Soekarno-Hatta mengatasnamakan rakyat Indonesia atau menyertifikatkan tanah atas nama Dwi Pradnya (astungkara, aminnnn...). Semua nama yang di atas-atas itu; rakyat Indonesia kah, Dwi Pradnya kah (?) merupakan simbol yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak peduli rakyat Indonesia yang sebelah timur atau barat, tak mau tahu Dwi Pradnya yang gembul atau kurus (sekali lagi diaminin). Apalagi yang namanya si cinta-cinta itu.
Tapi ngomong-ngomong tentang cinta, saya dulu sering bingung menanggapi pertanyaan, “Kamu cinta mana, pacar atau keluarga”. Mungkin masih gampang, keluarga. Alasannya jelas karena pacar mungkin putus tapi keluarga pastinya sepanjang masa. Klise. Level berikutnya, “Kamu cinta mana, bapak atau ibu?”. Nah, lho! Bagaimana mungkin saya memilih antara ayah atau ibu, sementara dari dua kromosom X yang saya miliki, satu saya dapat dari ayah, dan satunya lagi dari ibu, lainnya adalah sepasang sepatu baru karena rajin membantu...*kacau.

Belakangan saya sadar, itu adalah pertanyaan paling bodoh di dunia. Dan belakangan juga saya berusaha untuk menanggapi pertanyaan bodoh itu (dan beberapa pertanyaan bodoh serupa) secara lebih cerdas. Saya cinta semua. I’m not kind a greedy. I just consider that my own definition for love is that flexible. I have spesific love for every single thing I know on this galaxy. Cinta untuk bapak, ibu, adik, kakak, pacar, ibunya pacar, kakaknya pacar, pacarnya kakak, teman, teman tapi mesra, teman main, semua mendapat cinta masing-masing dari hati saya. Lalu kenapa cinta-cinta itu tidak bisa dibandingkan? Karena untuk saya, cinta yang berbeda juga memiliki satuan yang berbeda. They are definitely uncomparable.

Karena karakteristiknya itulah maka saya bisa membentuk pola pikir bahwa cinta yang banyak itu adalah cinta yang satu. Cinta yang BANYAK=cinta yang SATU. BANYAK=SATU. Analog dengan KOSONG adalah BERISI *impuls acak tengah malam. Bagaimana pun, sebisa mungkin peliharalah cinta sebnayak-banyaknya, tapi ingatlah untuk memastikan bahwa setiap cinta yang kita punya adalah berbeda dan jangan sekali-kali mencoba untuk membandingkan satu dengan yang lainnya.



Kalau Cinta Biarlah Mereka Tahu

Sejak sekolah dasar, mungkin taman kanak-kanak, kita sudah terbiasa melabeli semua barang pribadi dengan nama kita. Botol minum, kotak bekal, pensil warna (baik yang milik sendiri maupun milik teman), sampul buku. Semakin dewasa, kita semakin kreatif dengan tanda yang lebih identik dengan karakter; stempel novel dan komik dengan nama (terkadang simbol), mug dengan lambang zodiak atau bahkan foto kita, bahkan surat keterangan absen dengan tanda tangan kita (oops, I’m not truly sure about the last one). Konsepnya adalah memastikan orang lain tau bahwa barang itu adalah hak milik kita. Sama saja halnya dengan saat kita mencintai seseorang, sebaiknya kita ‘melabeli’ cinta kita. Sounds like an overprotective lover, but the true meaning is leting them know about your feeling.

Saya sendiri termasuk salah satu yang (dengan sedikit menyesal) pernah terlambat mengumumkan perasaan saya. Sebenarnya saya adalah tipe anak rumahan yang dilarang pacaran sampe lulus kuliah (Mom’s rule never die!). But, I got my own equation,

curiousity + puberty hormonal support + minggle group = BREAK THE RULE.

Jadilah saya mulai pacaran (dengan pacar yang sekarang) sejak tahun terakhir SMA, dan saya baru mengakui hubungan tersebut pada orang tua sejak akhir tahun lalu. Dalam hal ini saya sama sekali tidak ingin menyombongkan liberalitas yang saya lakoni selama empat tahun. Melainkan sekelumit penyesalan terutama kepada pacar karena ketidakberanian saya mengakui perasaan yang saya punya di depan orang tua. Believe me guys, the worst feeling of being in love is when you are not sure if your partner love you back or not. When they can’t say to others that they love you, that is peak point of being worry about their otherwise feeling. [Sorry, my partner in crime, for waiting that long.]

So, it is not just about confession. But more about announcing the whole world that you’ve labeled yours.
[Part I. end]

Next....
Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya...


29 Oktober 2012

On 06.44 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Memasuki minggu kedua petualanganku di negeri Sakura. Aku sudah mulai terbiasa dengan dinginnya sapuan angin musim gugur, daun-daun yang berganti warna, dan jalan kaki dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Aku juga mulai terbiasa bergoyang dangdut dalam kereta yang penuh sesak, memastikan jalur subway yang benar, dan menahan diri melihat berbagai macam replika makanan yang dipajang di depan rumah-rumah makan. 

Yup! Oktober lagi, musim gugur yang lain lagi, cerita baru lagi. That's why I always love October.

Mulai pagi ini, cuaca bertambah dingin lagi, musim gugur yang sebenarnya, begitu kata dormitory master tempatku menghabiskan tidur malam berbalut selimut tebal selama dua minggu terakhir dan dua minggu yang akan datang. Banyak sekali yang terjadi 14 hari belakangan ini, ide-ide cerita berloncatan di dalam kepalaku. Terlalu banyak yang baru, terlalu banyak yang menarik. 

Yang pasti, Oktober lagi, musim gugur yang lain lagi, cerita yang baru lagi. That's why I love October very much, as I love September, November, February...... I love my live so much >.<








27 Oktober 2012

On 03.11 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu
Sama seperti dirimu yang tak pernah bisa meramal hatiku.

Kadang dirimu bernyanyi dalam gempita. Kadang aku menangis di bawah hujan. Sering dirimu berteriak di sela gaung. Lebih sering lagi aku menunggu dalam renung.

Sudut-sudut yang kita bentuk selama ini sangat aneh. Sudut-sudut yang terbentuk diantara kita selalu aneh. Menumpul saat udara seharusnya hangat. Menajam justru saat kesepian menyengat. Garis-garis yang menghubungkan kita sangat aneh. Garis-garis yang memisahkan kita juga selalu aneh. Menebal saat pensil kita patah. Memburai menjadi titik-titik halus ketika tinta kita berwarna cerah.

Sejajar, dalam hubungan itu kita bertemu. Tegak lurus, relasi yang kita pilih saat memutuskan untuk tak saling mengenal.

Jadi?
Apa dirimu perih? Apa hatiku pedih?

Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu
Sama seperti dirimu yang tak pernah bisa meramal hatiku.
Namun yang sama kita tahu, ketidaktahuan kita inilah yang membuat kita bertahan.


Suma, Kobe
Oct 27, 2012 

4 Agustus 2012

On 08.19 by anya-(aydwprdnya) in , ,    2 comments

Mengapa kebanyakan orang begitu sulit untuk mengalah? Mengapa terkadang kita begitu sulit menerima pendapat orang lain? Atau bila pertanyaan mengapa terlalu rumit untuk dijawab, kapan terakhir kali salah satu diantara kita mendengar, memaafkan, dan menghargai?

Membuka suatu bahasan dengan menarik garis dari titik-titik pertanyaan sebenarnya bukanlah gayaku. Walaupun seringkali retoris, tapi jujur saja aku lebih suka mengawali sesuatu lewat pernyataan daripada pertanyaan. Namun kali ini, aku ‘terpaksa’ berpikir beda, karena pertanyaan-pertanyaan semacam di atas menyadarkan aku bahwa ada makna yang jauh, jauh, jauh lebih dalam—yang sebelumnya jarang kita perhatikan, perihal eksistensi kita sebagai umat manusia.



18 Juli 2012

On 08.05 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Ada beragam tipe teman yang pernah aku kenal. Ada teman yang seperti deskripsi teman ideal, ada dalam suka dan duka. Ada teman yang hanya tampil saat hariku senang. Ada yang hanya tampil saat bintangku terang. Ada yang memujiku sambil menghujat orang lain di satu kesempatan, dan memuja orang lain sambil menginjakku di kesempatan yang lain. Ada yang menjadi teman berawal musuh, ada juga yang dulunya sangat dekat tapi akhir-akhir ini semakin jauh. Ada teman yang sering mencurahkan isi hati, menggenggam tangan sambil bercerita tentang masa yang telah lalu, meminjam pundak untuk bersandar, berbagi opini tentang baju model terbaru, melontarkan lelucon-lelucon yang senada, dan minum dari botol yang sama. Ada teman yang selalu meminjamkan pensil saat aku perlu, membayari makan siangku saat tidak ada sepeserpun di kantongku, atau menawari tumpangan saat aku tak tahu harus kemana. Jauh berbeda dari itu, tapi aku masih menyebutnya teman, hanya bersapa sambil lalu, beberapa bahkan tidak ingat namaku. Bagaimanapun, pada dasarnya aku bukanlah orang yang pemilih dalam berteman. Berteman bagiku adalah hubungan resiprok dimana ada makna yang lebih dalam dari sekadar membutuhkan dan dibutuhkan, bukan tentang jarak si kaya dan si miskin atau celah antara yang pintar dan yang bodoh. Mungkin juga karena saking tidak memiliki daya pilih, maka aku tidak pernah mengguratkan suatu borderline untuk setiap pertemanan yang pernah aku jalani. Asal pernah bertukar senyum, berbalas sapa, atau berjabat tangan...maka dialah teman.


29 Mei 2012

On 15.00 by anya-(aydwprdnya) in , , ,    No comments



 “Even it is just a few giving (alms), with the thirst and desire of your heart it will bring great benefits; whereas the bigger amount you give would not be useful if obtained improperly. Magnitude of benefit of a gift is not determined by its amount but the level of feasibility.”
Sarasamuscaya Sloka 184

Fossils and artefacts from the non-human civilization and civilization of human prove that the earth has gone through the ages. But Hindus have their own view on the turnover of the time. They believe that there are four ages that occur alternately as a cycle: Krta Yuga, Trta Yuga, Dwapara Yuga, and Kali Yuga (Yuga is Sanskrit word for era). They also believe that today we are walking on the age of Kali, the age where human being tend to think most about their selves, careless about others and environment. In other words, they say it as the eve of apocalypse.

24 Mei 2012

On 08.40 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Ayahku Hebat!: A Series of My Quality Times

Kalau saja acara televisi yang berjudul serupa masih eksis tayang, mungkin suatu hari aku akan mendaftarkan seorang kandidat sebagai salah satu peserta, walau aku tahu beliau tidak akan pernah mau. Beliau itu penyayang dan penyabar. Beliau selalu punya bakat untuk terlihat menonjol namun tidak menyukai publikasi diri. Beliau selalu ada, tidak malu untuk duduk rendah, selalu mampu memandang tinggi. Beliau adalah representasi seorang pengayom ideal bagiku. Aku memanggilnya bapak.


12 April 2012

On 08.25 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Katakanlah tulisan ini semacam lanjutan dari tulisan Neuro: My 1st Lab. Tanpa ada maksud membuat kreasi cerita bersambung, setelah beberapa hari terlewati di neuro, aku yang masuk dengan kepala kosong a.k.a sangat bodoh mulai merasa bahwa 

2 April 2012

On 20.30 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Setiap pertama pastilah tidak mudah. Bagiku tidak pernah mudah.
Pertama itu adalah kebodohan di tengah rasa ingin tahu, rasa segan disela kebanggaan karena ternyata sudah berhasil sampai di tahap memulai. Pertama itu adalah disabilitas, dengan kebisuan yang sekaligus membatasi lapang pandang kita. Kurang lebih seperti itu.

Neurologi : Lab Pertama
Entah kebetulan atau tidak lab pertamaku sama dengan kelompok KPKku. Kalau nama kelompok KPK dulu Neuroscience, sekarang lab pertama petualangan 1,5 tahun (mungkin lebih) sebagai dokter muda aku awali dengan SMF Neurologi. Aku sendiri tidak ingin terlalu ambil pusing dengan koinsiden itu.

Bicara tentang pertama, bukan hanya tentang lab pertama yang penuh dengan rumor tidak mengenakkan (maklum, DM baru, jadi cari info sana-sini). Banyak senior yang berbagi pengalaman--kebanyakan pengalaman tidak enak, cerita suka-duka (dominan duka). Katanya neuro itu tidak enak, katanya neuro itu banyak tugasnya, katanya neuro itu beginilah..begitulah... dan aku sepertinya memilih untuk pasrah saja.

Mulai hari ini sampai enam minggu ke depan aku akan berteman palu refleks. Aku akan mencoba bersahabat dengan buku Dasar-dasar Ilmu Saraf, Neuroanatomia Medica, dan Neuroanatomi Duuz. Mungkin tambahan beberapa konsensus akan sangat membantu. Dan tentunya sedikit bumbu semangat belajar, secara aku sangat ingat percakapan dengan seorang senior tingkat hari kemarin,

Senior tingkat (ST): Hai, besok mulai masuk lab apa pertama?
Aku dengan semangat KKM (ADSKKM): Neuro kak...ada tips?
ST: Wewww.... o.O
ADSKKM: Punya referensi tambahan gag kak?
ST: Neuro ya? Wewww... O.o
ADSKKM: Kenapa emangnya neuro kak?
ST: Neuro..hmmm..engga, semangat yah... SEMANGAT...! Yang berat di awal malah bagus...(senyum palsu)
ADSKKM: *krikk...(semangat KKM lenyap)


Anyway, semoga lab pertamaku menyenangkan

9 Maret 2012

On 07.53 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Belakangan ini hari-hariku antara lowong dan tidak. Officially, saat ini aku sedang bebas tugas masa kuliah. Di saat yang berbahagia dan seharusnya padat karya (karya tulis dan lomba sebelum nanti waktuku semakin terjepit waktu koas), aku malah sangat-sangat-sangat tidak produktif. Contohnya saja malam ini. Di sela sedikit kepuasan karena berhasil (di detik-detik terakhir) menyelesaikan sebuah paper untuk ASC Paper Competition, pikiranku malah menerawang nun jauh beberapa bulan ke belakang. Seperti biasa, ada memori, ada cerita.



Saat itu aku sedang duduk di window seat dalam penerbangan menuju Soekarno-Hatta. Aku lupa itu penerbanganku yang keberapa dengan maskapai penerbangan yang sama. Maskapai dengan layanan penerbangan yang masih bisa dijangkau anak kost, namun sayang akhir-akhir ini malah terlibat isu yang sedikit membuatku kecewa. Entah apa aku akan memilih maskapai yang sama untuk penerbanganku berikutnya. Namun ini bukan cerita tentang maskapai penerbangan yang pilotnya terjerak kasus obat terlarang, karena aku di sekitar bulan keempat 2011 itu, tenang dan duduk manis di sebelah jendela kecil yang hanya memberiku lapang pandang pulau Bali yang semakin mengecil terganti dengan awan putih yang akhirnya benar-benar memisahkanku dengan rumah. Itu bukan penerbangan pertamaku, dan aku sudah hapal estimasi waktu penerbangan hari itu akan begitu membosankan. Untuk mengambil buku yang terlanjur aku taruh dalam tas di atas kabin, aku enggan. Saat itulah aku berinisiatif membunuh waktu dengan membaca majalah terbitan maskapai itu sendiri, membaca banyak artikel, hingga sampai pada halaman yang berjudul KILOMETER NOL.

5 Maret 2012

On 22.39 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Ini adalah tulisan pertama yang rencananya akan dijadikan satu dalam sebuah kompilasi "My Quality Times". Tulisan ini adalah hasil observasi, riset kecil-kecilan, dan tuangan pengalaman hidupku dalam beberapa tahun terakhir. Subyektif? Jelas. Namun aku menggaransi integritas, keterbukaan, dan generalitas dalam tulisan ini. Materi? Yah, seperti biasa, referensi yang aku gunakan mayoritas berasal dari pengalaman pribadi dan testimoni.
Enjoy my write, define and enjoy your own quality time.

Pillow Talk: A Series of My Quality Times
Perasaan manusia itu rapuh. Pikiran manusia juga rapuh. Kadang kita bahkan tidak dapat membedakan yang mana perasaan dan yang mana adalah buah pikir. Semacam kebingungan dimana kita berusaha mengenali isyarat dan kata hati (sering disamakan dengan naluri atau insting), namun justru lebih banyak mendengar gaung berulang di kepala. Di luar per definisi keduanya sama atau tidak, aku katakan mereka rapuh. Perasaan yang teralihkan, pikiran yang melupakan, dan kenangan yang disamarkan adalah beberapa contoh dari betapa rapuhnya perasaan dan pikiran itu. Bisa dikatakan, tubuh manusia memiliki mekanisme defensif yang spesifik demi bertahan dari ancaman yang berpotensi mengganggu eksistensi perasaan lurus dan pikiran terang. Contoh: ada dorongan kuat untuk melupakan profil mantan kekasih yang sempat membuat kita merasa tersakiti, yang biasanya diiringi dengan logika untuk menjauhkan benda-benda duniawi terkait.







29 Februari 2012

On 00.08 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Ini semacam oleh-oleh dari satu lagi film yang baru-baru ini aku tonton. Judulnya Real Steel, disutradarai oleh Shawn Lary, dan dibintangi oleh Hugh Jackman. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa jalan cerita dari film ini akan menyisakan bahan pemikiran yang cukup emosional bagiku. Ekspektasi awalku mengenai film ini adalah sesuai dengan judulnya (Real Steel= The Steel(s) that are real), jadi semacam film laga yang melibatkan robot-robot futuristik. Yah, harapanku tidak sepenuhnya salah hanya saja peristiwa yang banyak terjadi akhir-akhir ini membuatku tidak bisa menikmati Real Steel ini sebagai slightly-increasing-your-adrenaline-movie. Oh, iya...walaupun aku melabel film ini sebagai recommended movie, tapi aku tegaskan bahwa tulisan ini bukanlah resensi.




Menjadi Pemenang Dalam Arti yang Sebenarnya.
Ini hanya sepetik pelajaran hidup (katakanlah demikian) yang aku petik dari film ini. Mau tidak mau aku menengok kembali caraku melihat hidup dan memahami keunggulan dalam beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana aku mengartikan kemenangan sebagai hasil eksak dari sebuah kompetisi. Bagaimana aku menghindari kegagalan hanya demi menutupi kelemahan hati. Pada akhirnya, ternyata kemenangan itu adalah saat kita menggenggam hasil terbaik setelah melakukan usaha terbaik yang kita mampu. Walau benda terakhir yang kita genggam itu hanya seberkas debu dan peluh, walau suara terakhir yang terbisik adalah sesal dan keluh. Walaupun benda itu bukan medali yang kasat mata bisa kita tunjukkan pada siapapun disana. 

15 Februari 2012

On 23.16 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Pengalaman hidup adalah guru yang paling baik. Setuju. Karenanya, membentuk cita-cita, memupuk ambisi, dan menimba pengalaman sebanyak mungkin adalah tiga idealisme yang inginnya aku lakoni semasih usiaku dapat dikategorikan muda. Sederhananya, aku tidak ingin ada banyak penyesalan di masa depan.


*   *   *
Mungkin orang banyak melihat aku dari obrolan yang beredar di jalanan. Misal: mereka tahu cerita tentang perjalanan lintas benua yang pernah aku lakukan atau beberapa forum bergengsi yang pernah aku ikuti. Sesungguhnya ada lebih banyak hal yang tidak dapat mereka temukan begitu saja di jalanan. Banyak yang tidak tahu bagaimana perasaanku ketika beradaptasi dengan suasana yang asing total, sama banyaknya dengan mereka yang tidak mengerti rasanya berdiri di depan keramaian dengan tingkat kepercayaan diri di bawah titik beku. Dari pengalamanku yang belum begitu banyak dalam mengatasi situasi macam di atas, aku selalu mengandalkan barisan kata sakti: monkey see, monkey do.

13 Februari 2012

On 08.12 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
I just posted one of my short story wrote in the middle 2011.
I proposed it as submission of a short story competition but unfortunately, I did not make it.
Please check my story, entitled BOTOL PLASTIK



You may give feed back through e-mail to my e-mail adress. Thank you.
On 07.57 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Nihongo class started-->excited
Middle class--> nani nani-wa-nani nani-desu-->excited sambil puyeng
End of the class-->super excited!


Yah, akhirnya kelas bahasa Jepangku dimulai setelah aku mendapat alasan kuat yang "memaksaku" untuk meluangkan waktu beberapa jam seminggu untuk duduk di kelas sensei Trisna. Sedikit aneh memang, sejak dulu aku ingin sekali belajar bahasa asing. Logikanya, bila aku memang ingin traveling keliling bumi, sudah seharusnya aku memiliki perbendaharaan bahasa yang lebih kaya. Aku pernah ingin belajar bahasa Perancis karena terbayang-bayang Eiffel dan Louvern. Pernah juga tertarik mempelajari bahasa Itali (efek Eat, Pray, Love). Tapi keduanya urung karena alasan klasik:tak ada waktu. Lynn, salah satu Houtvens- hostfamily waktu menjelajah Belgia- menyarankan bahasa Latin sebagai bahasa-wajib-pelajari dengan alasan Latin itu sudah seperti bahasa bumi. Aku tidak mengikuti sarannya dan semakin yakin bahwa sudut pandang mahasiswa jurusan bahasa asing memang sulit dimengerti. Selain itu, beberapa bahasa dengan penulisan khusus;Tagalog, Cina, Rusia, sudah aku eleminasi jauh-jauh hari. Yah, bagaimanapun aku sadar diri bahwa kecerdasan linguistikku sedikit mengalami retardasi. Hingga beberapa bulan lalu, Tuhan mempermudah jalanku dengan menunjukkan satu alasan yang sulit untuk kutolak yaitu kesempatan lain melihat ke seberang lautan: mengunjungi negeri matahari terbit.

10 Februari 2012

On 09.25 by anya-(aydwprdnya) in    1 comment
Sudah beberapa orang menertawai aku untuk satu alasan yang serupa: takut bekerjasama (baca:mencontek) saat ujian. Ya, untuk segumpal alasan yang akan aku jelaskan di belakang aku memang tidak akrab dengan segala bentuk kecurangan saat ujian. Dan itu membuat mereka tertawa. Hhfff...sepertinya selera humor orang kebanyakan telah banyak berubah.

4 Januari 2012

On 21.10 by anya-(aydwprdnya) in ,    2 comments
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, suasananya tak akan jauh dari lalu lintas ibu kota-padat,penuh,sesak. Mau bagaimana lagi, selalu ada momentum menarik di setiap hariku, terutama sejak kau masuk dalam kehidupanku. Lagipula aku tidak ingin dibatasi waktu. Waktu hanyalah sarana rekaan manusia untuk mempermudah hidup mereka saja. Karenanya aku memilih hari ini, hari kelima dari ambang tirai tahun yang baru saja terbuka. Bukan apa-apa, justru karena penanggal 5 di bulan Januari ini sama-sama bukan hari yang istimewa, baik untukku maupun dirimu.  Bukan hari ulang tahunku, bukan hari pertama bertemu (sejujurnya aku lupa kapan itu), bukan pula hari jadi, hari batal, atau hari apa pun. Yah, di kehidupanku yang lain mungkin aku makan dari idealisme dan menyembah optimisme sebagai agama kedua. Namun, ada kalanya aku luluh pada tetek bengek romantisme dan kegalauan hati wanita di usia awal dua puluhan.

1 Januari 2012

On 00.28 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Hari kemarin musik saya mati,
saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi.
Tapi ia meninggalkan sebuah kotak,
dan sepucuk surat dalam amplop putih.
Saya mendapat wasiat dari musik saya yang mati tanggal kemarin.

Seorang teman saya berkata, "Buka saja kotaknya, untuk apa selembar kertas bila kau punya kotak?"
Saya yakin itu bukan cara yang tepat untuk menangani bentuk wasiat.

Teman saya yang lain menasehati saya agar membaca surat itu.
Mudah, hanya enggan melakukannya.
Kalau begitu berikan saja wasiatnya untuk orang lain. Lagi-lagi tidak patut.

Cium! Ciumi amplop itu! Jilat! Gigit! Telan! Karena ketika sesuatu dii sekitarmu mati. itu adalah hal tterakhir yang ia inginkan...

Kawan lama datang, musiknya juga pernah mati.
Katanya saya hanya perlu menunggu.
Saya pun menunggu. Tidak ada yang terjadi.

Saya kalut karena terlalu lama menunggu,
Amplop terobek oleh tangan saya yang kacau.

Tidak mengejutkan dari sebentuk musik yang telah mati, amplop itu berisi nada dan harmoni
Dunia terang.
Kini saya tahu,
yang seharusnya saya lakukan hanyalah mendengarkan.
dengan mendengar saya melihat
dengan mendengar saya mencium
dengan mendengar saya mengecap
setelah mendengar kalut saya berubah lega

setelah mendengar,
dengan mendengar saya tahu bagaimana berbagi.

Denpasar, 1 Januari 2012

[Sebuah resolusi di tahun baru, menjadi pendengar yang lebih baik. Selamat tahun baru 2012 semuanya!]