9 Maret 2012
Belakangan ini hari-hariku antara lowong dan tidak. Officially, saat ini aku sedang bebas tugas masa kuliah. Di saat yang berbahagia dan seharusnya padat karya (karya tulis dan lomba sebelum nanti waktuku semakin terjepit waktu koas), aku malah sangat-sangat-sangat tidak produktif. Contohnya saja malam ini. Di sela sedikit kepuasan karena berhasil (di detik-detik terakhir) menyelesaikan sebuah paper untuk ASC Paper Competition, pikiranku malah menerawang nun jauh beberapa bulan ke belakang. Seperti biasa, ada memori, ada cerita.
Saat itu aku sedang duduk di window seat dalam penerbangan menuju Soekarno-Hatta. Aku lupa itu penerbanganku yang keberapa dengan maskapai penerbangan yang sama. Maskapai dengan layanan penerbangan yang masih bisa dijangkau anak kost, namun sayang akhir-akhir ini malah terlibat isu yang sedikit membuatku kecewa. Entah apa aku akan memilih maskapai yang sama untuk penerbanganku berikutnya. Namun ini bukan cerita tentang maskapai penerbangan yang pilotnya terjerak kasus obat terlarang, karena aku di sekitar bulan keempat 2011 itu, tenang dan duduk manis di sebelah jendela kecil yang hanya memberiku lapang pandang pulau Bali yang semakin mengecil terganti dengan awan putih yang akhirnya benar-benar memisahkanku dengan rumah. Itu bukan penerbangan pertamaku, dan aku sudah hapal estimasi waktu penerbangan hari itu akan begitu membosankan. Untuk mengambil buku yang terlanjur aku taruh dalam tas di atas kabin, aku enggan. Saat itulah aku berinisiatif membunuh waktu dengan membaca majalah terbitan maskapai itu sendiri, membaca banyak artikel, hingga sampai pada halaman yang berjudul KILOMETER NOL.
Sebenarnya bukan artikel yang begitu istimewa, namun mengingat artikel itu aku malah ingat diriku hari ini. Serasa bediri di kolimeter nol. Aku sendiri mendefinisikan kilometer nol sebagai titik permulaan dengan tugu pancang bertuliskan "KM 0", yang aku bayangkan bisa aku temukan di Sabang mungkin. Tapi memang hal-hal nyata dapat berubah absurd dalam hidup, seperti virtualitas tentang pijakanku di titik nol ini, jarak yang mungkin aku tempuh, dan sebuah pertanyaan, apakah aku akan melewati titik nol ini berkali-kali?
Pertama, tentang keberadaanku di 'titik nol'. Sangat mungkin ini berhubungan dengan masa transisi pendidikan akademik menuju pendidikan profesi. Tiga setengah tahun telah terlewati, kuliah lima hari seminggu, kurang lebih tujuh jam sehari (di luar belajar atau tidak), bertemu puluhan dosen, transfer ratusan slide...dan aku merasa seakan hanya tergerak beberapa sentimeter saja sejak tiga setengah tahun yang lalu. Tiga setengah tahun ini seperti sekantong popcorn reguler saat nomat, renyah, asin, dan tiba-tiba lenyap sebelum filmnya dimulai. Ini juga berlaku tentang kegamanganku tentang jarak tempuh maksimal. Masalahnya, belum ada rumus fisika yang dapat mengukur seberapa besar usaha berbanding pencapaian yang dapat diraih. Yah, aku pikir ini bagian lain dari ketidaktahuanku akan dunia koas yang sebentar lagi aku masuki.
Kemudian untuk pertanyaanku tadi, jawabnya: bukan masalah seberapa sering, namun yang pasti aku tidak ingin menetap di titik ini dalam jangka waktu yang lama. Aku sering membuat perjanjian dengan diriku, kadang bahkan aku bertaruh dengan hatiku. Kadang aku tepati, kadang tidak. Pernah aku menangi, lebih sering kalah. Kali ini aku hanya menjanjikan sebuah kesungguhan dan bertaruh akan menjalaninya. Jadi, apa aku akan melewati titik nol berkali-kali? Jawabannya iya, namun setiap nol yang aku lewati akan berada di titik-titik yang berbeda.
Artikel itu tidak istimewa, bahkan habis terbaca jauh sebelum aku sampai di Jakarta. Hanya saja masih aku simpan dalam pikiranku karena satu halaman lusuh majalah maskapai penerbangan tersebut selalu mengingatkanku pada diriku.
"Kilometer nol bagiku adalah checkpoint, sebuah post istirahat dimana aku bisa mengamati sekitar dan tahu benar dimana aku berada sekarang. "
Yah, mungkin saat ini aku memang berada di titik nol sebagai seorang yang buta arah dan tanpa peta yang dapat dibaca. Apa aku akan berjalan? Berlari? Menunggu? Tidak, aku hanya akan mengambil napas panjang untuk mengambil ancang-ancang lompatan. Kemudian aku akan melompat..tinggi..tingggiiii....sekali.
[I wish I can go to Jakarta again, to the same destination as the day when I caught in "kilometer 0" for the first time.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar