Defect, anomali...and perspective

5 Maret 2012

On 22.39 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Ini adalah tulisan pertama yang rencananya akan dijadikan satu dalam sebuah kompilasi "My Quality Times". Tulisan ini adalah hasil observasi, riset kecil-kecilan, dan tuangan pengalaman hidupku dalam beberapa tahun terakhir. Subyektif? Jelas. Namun aku menggaransi integritas, keterbukaan, dan generalitas dalam tulisan ini. Materi? Yah, seperti biasa, referensi yang aku gunakan mayoritas berasal dari pengalaman pribadi dan testimoni.
Enjoy my write, define and enjoy your own quality time.

Pillow Talk: A Series of My Quality Times
Perasaan manusia itu rapuh. Pikiran manusia juga rapuh. Kadang kita bahkan tidak dapat membedakan yang mana perasaan dan yang mana adalah buah pikir. Semacam kebingungan dimana kita berusaha mengenali isyarat dan kata hati (sering disamakan dengan naluri atau insting), namun justru lebih banyak mendengar gaung berulang di kepala. Di luar per definisi keduanya sama atau tidak, aku katakan mereka rapuh. Perasaan yang teralihkan, pikiran yang melupakan, dan kenangan yang disamarkan adalah beberapa contoh dari betapa rapuhnya perasaan dan pikiran itu. Bisa dikatakan, tubuh manusia memiliki mekanisme defensif yang spesifik demi bertahan dari ancaman yang berpotensi mengganggu eksistensi perasaan lurus dan pikiran terang. Contoh: ada dorongan kuat untuk melupakan profil mantan kekasih yang sempat membuat kita merasa tersakiti, yang biasanya diiringi dengan logika untuk menjauhkan benda-benda duniawi terkait.







Salah satu mekanisme defensif lain yang sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah berbohong. Banyak orang salah sangka bahwa pembohong sama dengan penjahat atau berbohong adalah pelanggaran agamis dan normatif. Tidak sepenuhnya salah, bukan berarti juga benar. Kadangkala, berbohong dilakukan dengan maksud tertentu, misalnya: untuk melindungi orang yang kita sayangi. Alasan lain yang lebih kuat terkesan lebih egosentris adalah melindungi hati kita sendiri. Contoh yang masih berkorelasi dengan contoh di atas: kita membohongi diri sendiri dengan mengatakan bahwa kita tidak memiliki perasaan lagi terhadap pasangan yang pernah menyakiti, padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Jadi menurut pandangan pribadiku, tidak semua kebohongan merupakan tindakan kriminal. Sebagian besar diantaranya adalah usaha antisipatif dari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Namun ternyata, berbohong adalah strategi yang sedikit tricky, kadang satu kebohongan mengarahkan pada kebohongan lainnya-yang seringkali terpaksa kita lakukan. Dengan alasan tersebut, aku sebisa mungkin menghindari upaya defensif yang satu ini.

Lalu, bagaimana cara terbaik untuk menjaga pikiran dan perasaan saat terpapar pajanan masalah?

Sebagian orang merasa bahwa masalah yang tengah mereka hadapi adalah masalah terburuk di bumi. Mereka meyakinkan diri bahwa mereka adalah orang paling menderita dan tidak mempan terhadap metode penghiburan standar. Karena itu, kehadiran pihak ketiga untuk membagi masalah yang menjadi beban adalah salah satu cara yang aku nilai sangat efektif dalam mengurangi kerusakan hati dan pikiran sekaligus menentukan langkah ke depan. Dalam hal ini ada dua tipe pihak ketiga yang standar dipilih:
1. Pihak Ketiga Pasif. Karakteristik: tidak merespon secara nyata, seringkali berupa benda imajiner yang memfasilitasi transfer perasaan. Contoh: menulis catatan harian, bicara pada boneka kesayangan, dan memiliki teman khayalan. Untuk yang pertama, aku sudah menulis catatan harian sejak SMP hingga SMA. Cara ini sangat membantu terutama pada masalah remaja yang kadang tidak membutuhkan penyelesaian yang sebenarnya, mengingat remaja lebih sering mengalami masalah yang diistilahkan sebagai kegalauan. Sementara  untuk boneka dan kawan khayalan, aku belum pernah.
2. Pihak Ketiga Aktif. Karakter: responsif, nyata, memiliki kekuatan yang dapat diberdayakan. Sejak aku tidak menulis catatan harian sesering dulu, aku beralih pada beberapa teman dekat dan kerabat. Perkembangan usia juga diiringi dengan perkembangan level kesulitan masalah yang dihadapi. Dunia tempat kita hidup semakin kompleks dan masalah tidak selesai hanya dengan dibagi saja. Teman, sahabat, keluarga, pacar. Tipe pendengar, tipe pengatur, tipe pemberi solusi, apapun mereka, lebih direkomendasikan untuk usia yang lebih matang dan dewasa.
Bicara tentang berbagi perasaan dan pikiran dengan pihak ketiga, aku memiliki cara sendiri yang aku nilai sangat ampuh. Aku dan partner pihak ketigaku menyebutnya sebagai PILLOW TALK.
"Pillow Talk", drawing by Furor1

Diartikan secara harfiah berarti pembicaraan bantal, atau aku sempurnakan menjadi pembicaraan yang terjadi di atas bantal. Cara ini telah sering aku praktikkan ketika merasa perasaan dan pikiran terbebani dan terbukti efektif dengan berbagai pertimbangan.
1. Posisi saat pillow talk sangat fleksibel, tiduran di atas bantal, duduk memeluk bantal, atau posisi pilihan pribadi. Secara psikologis, media bantal memodulasi ketenangan pikiran, membuat kita merasa aman dan nyaman.
2. Bila membahas bantal, identik dengan tempat tidur (kasur). Aku sangat merekomendasikan pillow talk di atas kasur karena senada dengan nomor pertama di atas, kasur juga merupakan salah satu benda "penanda rumah" yang membuat kita merasa aman. Selain itu, secara pribadi juga, aku lebih suka langsung tidur tenang setelah sesi pillow talk yang lumayan panjang.
3. Karakteristik bantal (baik yang terbuat dari busa, bantal kapuk, dengan variasi sarung bantalnya) sangat efisien untuk banyak situasi. Misal, perasaan yang kita pillow talk-an membuat kita harus menangis, jadi bantal juga dapat berperan sebagai penyerap airmata. :p
Sekali lagi ini adalah salah satu strategiku dalam memanajemen perasaan dan pikiran. Banyak orang merasa tidak memiliki banyak ruang untuk berbicara, mungkin mereka memilih untuk mengalihkan perhatian pada hal lain yang mereka minati, sah-sah saja. Namun alangkah baiknya bila perasaan yang akut mengganjal dapat kita selesaikan sebelum berubah menjadi bagian alam bawah sadar dan dorman jangka panjang. Dan bagaimanapun cara kita menjaga perasaan dan pikiran kita tetap intak, pastikan itu adalah cara positif dan bukan malah merusak diri sendiri. Karena sekali lagi, ras manusia memiliki perasaan dan pikiran yang amat rapuh.

Salam dari balik bantal ^^

[Thanks to: my pillow and my pillow talk partner.]


0 comments:

Posting Komentar