Defect, anomali...and perspective

15 Februari 2012

On 23.16 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Pengalaman hidup adalah guru yang paling baik. Setuju. Karenanya, membentuk cita-cita, memupuk ambisi, dan menimba pengalaman sebanyak mungkin adalah tiga idealisme yang inginnya aku lakoni semasih usiaku dapat dikategorikan muda. Sederhananya, aku tidak ingin ada banyak penyesalan di masa depan.


*   *   *
Mungkin orang banyak melihat aku dari obrolan yang beredar di jalanan. Misal: mereka tahu cerita tentang perjalanan lintas benua yang pernah aku lakukan atau beberapa forum bergengsi yang pernah aku ikuti. Sesungguhnya ada lebih banyak hal yang tidak dapat mereka temukan begitu saja di jalanan. Banyak yang tidak tahu bagaimana perasaanku ketika beradaptasi dengan suasana yang asing total, sama banyaknya dengan mereka yang tidak mengerti rasanya berdiri di depan keramaian dengan tingkat kepercayaan diri di bawah titik beku. Dari pengalamanku yang belum begitu banyak dalam mengatasi situasi macam di atas, aku selalu mengandalkan barisan kata sakti: monkey see, monkey do.


Bicara tentang monkey see, monkey do, aku jadi ingat salah satu pengalamanku menikmati makan malam di salah satu restoran lokal di Koln, Jerman. Namanya Mongo's Restaurant. Ya, aku tahu. Dari segi etimologi pemilihan nama, restoran ini sangat unik. Mbak Efi, staf PT. Bayer yang mendampingi kami berkata bahwa bahwa Mongo sedikit terdengar seperti 'monggo' (='silahkan' dalam bahasa Jawa). Tapi entah kenapa yang terbayang di otakku justru sejenis banteng raksasa yang sering muncul di pertunjukan adu banteng bersama seorang matador yang kebanyakan makan gula (sepertinya ini efek logo restorannya yang berwujud seekor banteng lucu bergaya pramusaji). Oh, iya..di Mongo's ini aku sempat bertemu dengan pramusaji yang ternyata berasal dari Bali! Namanya Pak Ketut, sayangnya Pak Ketut ini sudah berganti kewarganegaraan menjadi WNJ (Warga Negara Jerman) :(. Kita tinggalkan bahasan tentang penamaan dan Pak Ketut, karena ada lebih banyak hal yang membuatku tercengang di Mongo's ini. 
Tatanan Meja Mongo's 

Sebelumnya, yang aku ketahui, ada banyak restoran yang menjadikan kuliner dari area geografis tertentu sebagai masakan handalan sekaligus ciri khas. Nah, khusus Mongo's ini, mereka menjadikan gaya pelayanan dan pemilihan menu sebagai karakteristil mereka. Ketika aku baru saja duduk dengan segala keribetan (menggantung coat, melepas jaket, jumper, syal, dan sarung tangan), banyak pramusaji yang berpenampilan seperti bapak-bapak yang baru pulang dari gym menghampiri kami-->mengedarkan menu dengan bahasa ajaib-->menyodorkan mangkok kosong-->melihat tepat ke mata kami-->menunggu dengan senyum selebar spekulum. Yang aku lakukan: clingak-clinguk-->lihat kanan kiri-->lihat balik mata pramusaji-->lena kurang lebih lima detik-->clingak-clinguk lagi. Aku tidak ingin menunjukkan betapa dramatis detik-detik itu, hingga akhirnya sembarang aku pilih salah satu menu yang tulisannya bisa kubaca: Curry Mango, deskripsinya dalam menu kurang lebih seperti ini:

"Die Farbe Gelb ist das Credo dieser Marinade! Currypaste und Curcuma gemischt mit Mangopürree. Ein Schuss Limettensaft, Kokoscreme und Kokosmilch sorgen für die Extra Portion Unvergleichbarkeit! Ideal zu Fisch oder hellem Fleisch."

Bingung? Jelas. Bahkan kata pertamanya mengindikasikan bahwa aku bisa saja mati dengan makan masakan itu. Tidak cukup sampai di situ, orang-orang mulai berdiri dengan membawa mangkuk kosong tadi. Nahh...dari sanalah mantra ajaibku berfungsi. Monkey see, mongkey do! 

Orang banyak membentuk antrean, aku mengikuti dari belakang. Teman sebelahku memesan bir 0% alkohol, aku pun turut. Ketika semua orang mengambil berbagai bahan mentah untuk dimasak, aku meniru mulai dari alat yang digunakan, jumlah yang bisa diambil, posisi menaruh mangkuk yang sudah penuh, hingga kata yang harus diucapkan kepada chef yang menunggu di ujung antrean. Voila! Semuanya jadi jelas. Yang aku pilih dari menu ternyata hanya jenis saus dari bahan makanan mentah yang kupilih. Dan yang lebih penting, aku tidak mati dan masih sempat memilih sauce kedua yang judulnya Mongo's Oriental. :D

Malam itu, berkat monkey see, monkey do, aku pulang dengan perut buncit, menikmati pengalaman pertamaku dengan bir dan zap, dan merasakan beberapa sensasi makanan asing. Selain itu, aku juga mendapat pengetahuan umum bahwa orang Amerika Latin makan dengan porsi super besar, orang Cina kadang bisa berubah menjadi tong bir, orang Filipina bicara dan tertawa dengan tone yang sangat tinggi, orang Vietnam rapi dan santun di meja makan, dan siapapun bisa berubah menjadi party animal! Tapi jauh lebih dalam dari semuanya, I had so much fun.

*   *   *
Itu hanyalah salah satu momentum dimana aku merasa sangat terbantu oleh monkey's behavior. Tapi aku yakinkan bahwa bukan hanya saat situasi culture shock seperti di atas, saat aku merasa bodoh dalam sebuah diskusi, saat aku gagap teknologi eksaserbasi akut, saat impuls dalam otakku mati, aku kembali ke dasar: belajar dengan meniru.

0 comments:

Posting Komentar