Defect, anomali...and perspective

18 November 2012

On 09.18 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Tulisan saya kali ini mungkin agak berbau romantisme dewasa. Bukan, bukan...bukan cerita dewasa berbumbu erotisme apalagi pornografi. Namun ini lebih pada maturitas dari sebuah sisi misterius hati manusia, yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan secara gamblang oleh ranah ilmiah. Kita, manusia, secara sederhana dan retorik menyebutnya sebagai cinta. Ah, semakin lama tulisan ini bisa berubah menjadi sajak beruntai atau soneta tujuh bait. Yang sebenarnya terjadi adalah saya sedang menjadi saksi mata dari sebuah proses yang melibatkan kakak perempuan saya sendiri, dimana proses itu didalihkan atas nama cinta. Tapi sekali lagi, saya tidak akan mempergunjingkan persiapan pernikahan dari saudara sekandung saya (blog saya ini sama sekali bukan warta berita gosip murahan). Hanya saja, melihat puluhan hal yang terjadi di sekeliling saya akhir-akhir ini membuat saya berpikir tentang ratusan hal lain. Hal-hal itulah yang ingin saya persepsikan dengan cara saya, tentunya dengan sedikit bumbu curhat colongan. Sedikit saja kok.

Cinta yang Banyak adalah Cinta yang Satu

Namanya juga proses menyatukan dua individu atas nama cinta, ibarat kata proklamasi dimana Soekarno-Hatta mengatasnamakan rakyat Indonesia atau menyertifikatkan tanah atas nama Dwi Pradnya (astungkara, aminnnn...). Semua nama yang di atas-atas itu; rakyat Indonesia kah, Dwi Pradnya kah (?) merupakan simbol yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak peduli rakyat Indonesia yang sebelah timur atau barat, tak mau tahu Dwi Pradnya yang gembul atau kurus (sekali lagi diaminin). Apalagi yang namanya si cinta-cinta itu.
Tapi ngomong-ngomong tentang cinta, saya dulu sering bingung menanggapi pertanyaan, “Kamu cinta mana, pacar atau keluarga”. Mungkin masih gampang, keluarga. Alasannya jelas karena pacar mungkin putus tapi keluarga pastinya sepanjang masa. Klise. Level berikutnya, “Kamu cinta mana, bapak atau ibu?”. Nah, lho! Bagaimana mungkin saya memilih antara ayah atau ibu, sementara dari dua kromosom X yang saya miliki, satu saya dapat dari ayah, dan satunya lagi dari ibu, lainnya adalah sepasang sepatu baru karena rajin membantu...*kacau.

Belakangan saya sadar, itu adalah pertanyaan paling bodoh di dunia. Dan belakangan juga saya berusaha untuk menanggapi pertanyaan bodoh itu (dan beberapa pertanyaan bodoh serupa) secara lebih cerdas. Saya cinta semua. I’m not kind a greedy. I just consider that my own definition for love is that flexible. I have spesific love for every single thing I know on this galaxy. Cinta untuk bapak, ibu, adik, kakak, pacar, ibunya pacar, kakaknya pacar, pacarnya kakak, teman, teman tapi mesra, teman main, semua mendapat cinta masing-masing dari hati saya. Lalu kenapa cinta-cinta itu tidak bisa dibandingkan? Karena untuk saya, cinta yang berbeda juga memiliki satuan yang berbeda. They are definitely uncomparable.

Karena karakteristiknya itulah maka saya bisa membentuk pola pikir bahwa cinta yang banyak itu adalah cinta yang satu. Cinta yang BANYAK=cinta yang SATU. BANYAK=SATU. Analog dengan KOSONG adalah BERISI *impuls acak tengah malam. Bagaimana pun, sebisa mungkin peliharalah cinta sebnayak-banyaknya, tapi ingatlah untuk memastikan bahwa setiap cinta yang kita punya adalah berbeda dan jangan sekali-kali mencoba untuk membandingkan satu dengan yang lainnya.



Kalau Cinta Biarlah Mereka Tahu

Sejak sekolah dasar, mungkin taman kanak-kanak, kita sudah terbiasa melabeli semua barang pribadi dengan nama kita. Botol minum, kotak bekal, pensil warna (baik yang milik sendiri maupun milik teman), sampul buku. Semakin dewasa, kita semakin kreatif dengan tanda yang lebih identik dengan karakter; stempel novel dan komik dengan nama (terkadang simbol), mug dengan lambang zodiak atau bahkan foto kita, bahkan surat keterangan absen dengan tanda tangan kita (oops, I’m not truly sure about the last one). Konsepnya adalah memastikan orang lain tau bahwa barang itu adalah hak milik kita. Sama saja halnya dengan saat kita mencintai seseorang, sebaiknya kita ‘melabeli’ cinta kita. Sounds like an overprotective lover, but the true meaning is leting them know about your feeling.

Saya sendiri termasuk salah satu yang (dengan sedikit menyesal) pernah terlambat mengumumkan perasaan saya. Sebenarnya saya adalah tipe anak rumahan yang dilarang pacaran sampe lulus kuliah (Mom’s rule never die!). But, I got my own equation,

curiousity + puberty hormonal support + minggle group = BREAK THE RULE.

Jadilah saya mulai pacaran (dengan pacar yang sekarang) sejak tahun terakhir SMA, dan saya baru mengakui hubungan tersebut pada orang tua sejak akhir tahun lalu. Dalam hal ini saya sama sekali tidak ingin menyombongkan liberalitas yang saya lakoni selama empat tahun. Melainkan sekelumit penyesalan terutama kepada pacar karena ketidakberanian saya mengakui perasaan yang saya punya di depan orang tua. Believe me guys, the worst feeling of being in love is when you are not sure if your partner love you back or not. When they can’t say to others that they love you, that is peak point of being worry about their otherwise feeling. [Sorry, my partner in crime, for waiting that long.]

So, it is not just about confession. But more about announcing the whole world that you’ve labeled yours.
[Part I. end]

Next....
Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya...


0 comments:

Posting Komentar