Defect, anomali...and perspective

22 November 2012

On 20.12 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya. Hubungan jarak jauh. LDR bagi sebagian besar orang bisa jadi merupakan tantangan tersendiri dalam suatu hubungan. Saya sendiri, akibat pengaruh teman dan drama TV, cukup setuju dengan hal tersebut. Bagaimana pun saya masih termasuk anak ibu-bapak yang kadang kangen setengah mati pada rumah, apalagi saat kantong sedang kosong. Beranjak dari latar belakang tersebut, saya punya firasat bahwa saya memang agak kurang bersahabat dengan yang namanya jarak.

Untuk hubungan pacaran jarak jauh, sebenarnya LDR terklasifikasikan berdasarkan 3 hal: kuantitas jarak, kualitas jarak, dan tingkat keberhasilan. Berdasarkan kuantitas jarak, LDR dibedakan menjadi 2 yaitu common Long Distance Relationship (cLDR) dan very Long Distance Relationship (vLDR). Bedanya sederhana, cLDR merujuk pada hubungan berjarak yang masih sangat mungkin dijangkau. Misal, pacaran sama anak kuliahan luar kota, pacaran sama anak tetangga beda pulau satu provinsi, pacaran sama abang angkot antar kota dalam provinsi, atau pacaran antara Surti gadis desa dan Tejo yang cari kerja di kota. Persamaan diantara semua contoh itu juga jelas, hubungan masih bisa dijaga dengan fasilitas dan biaya yang terjangkau. Sms dan telefon masih sangat mungkin sering dilakukan dengan bantuan provider telekomunikasi dalam negeri (baca: tarif murah brayy..). Selain itu, kalaupun kangen sudah memuncak dan tidak bisa ditahan, puasa tiga hari juga dapat dilakukan demi mengumpulkan modal agar dapat berjumpa belahan jiwa.

Sementara pada kasus vLDR, harapan ada pada fasilitas internet, berharap jaringan WiFi bersinyal super agar dapat mempertahankan wajah cantik/ganteng pasangan dalam rekaman webcam. Kendala yang paling tidak diinginkan adalah berubahnya wajah pasangan menjadi kotak-kotak pixel yang kadang membuat mereka lebih mirip beruang hitam. Kendala lainnya yang masih bisa diatasi adalah bagaimana saat jadwal webcaming, keluarga pasangan atau teman lain ikut nimbrung dan menyita lebih dari tujuh per delapan dari quality time yang harusnya kita miliki. Contoh dari hubungan vLDR ini adalah pasangan yang terpisah jarak ribuan mil di negara antah-berantah, mungkin pacar sedang melanjutkan studi di luar negeri, bekerja di kapal pesiar, atau mungkin pacaran dengan TKI/TKW. Beberapa contoh yang lebih ekstrem adalah pacaran dengan relawan perang jalur Gaza, pacaran dengan peneliti jumlah pasir yag berpotensi membuat kelilipan saat badai gurun di Sahara, atau forbiden love between north pole polar bear and south pole penguin.

Mengenai klasifikasi berdasarkan kualitas jarak, LDR dibagi menjadi dua yaitu LDR permanen dan LDR temporer. LDR permanen termasuk di dalamnya adalah pasangan yang terpisah jarak selama berbulan hingga bertahun-tahun. Tentu ini adalah cobaan yang sangat berat dalam kancah percintaan. Namun hampir dapat dipastikan bahwa pasangan yang berhasil melewati fase LDR permanen ini akan berhasil membia hubungan sampai tujuh turunan. Hampir pasti. Walaupun demikian, LDR temporer juga tidak kurang cobaannya. Sekali lagi saya ingin berbagi pengalaman sebagai salah satu pelaku LDR temporer. Meski dari namanya terkesan agak plin-plan, LDR-temporer: kadang LDR, kadang SDR (short distance relationship), namun level tantangannya tetap tinggi. Beberapa kali saya harus melewatkan beberapa hari, hingga beberapa minggu di luar kota atau luar negeri, begitu pula sebaliknya pacar saya kadang memiliki kepentingan yang mengharuskan perpanjangan jarak antara kami. Jujur sejujur-jujurnya, variasi perasaan yang muncul saat berjauhan kadang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi menguatkan ikatan kita, di sisi lain yang menempel dengannya justru berpotensi melonggarkan. As people say, what does not kill you will make you stronger. But I say, what did not kill you may try to kill you at second chance.

Untuk tingkat keberhasilan, lagi-lagi terbagi dua dan sangat jelas: gagal dan berhasil. Untuk yang satu ini saya justru tidak punya penalaran yang cukup logis untuk menjelaskan. Suksesi suatu hubungan terlalu rumit untuk ditentukan hanya dengan parameter jarak. Itu menurut saya. Deep condolescent for them who failed in struggling their love life of.

White Lies.
Red lie, yellow lie, black lie, purple lie, pink lie. Why are people choose white instead of other colors? Mungkin karena putih adalah lambang kesucian, maka keburukan macam apapun bila disandingkan dengan warna putih akan dinetralisir menjadi hal yang legal. Termasuk kebohongan. Kalau begitu dasarnya, maka bisa saja esok akan ada korupsi putih, copet putih, atau maling yang membobol rumah dengan kolor putih. Saya sedikit skeptis dengan konsep bohong putih ini karena memang dibohongi adalah salah satu hal yang paling saya benci.

Mungkin bagi sebagian orang berbohong untuk menjaga perasaan orang lain adalah sah dilakukan, tentu saja dengan label sakti; white lie. Bukan berarti saya begitu sucinya hingga tak pernah berbohong, bila benar demikian mungkin saya seharusnya bukan menghuni bumi. Saya juga manusia yang kadang berbohong untuk melindungi hati saya, dan mungkin juga hati orang lain. Tapi tetap saja saya tidak ingin membenarkan kebohongan saya dengan menamainya sebagai kebohongan putih. Kebohongan, apalagi dari orang tercinta, menurut pengalaman saya lebih banyak berujung pada rasa dikhianati, dianggap bodoh, dan rasa diremehkan karena mungkin mereka pikir kita tidak cukup kuat untuk menghadapi kebenaran.

Despite of our vary opinion about white lies, for me, bitter truth is far better than sweet lie. Otherwise, keep silent.

0 comments:

Posting Komentar