Defect, anomali...and perspective

22 November 2012

On 20.48 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Bukan semata-mata karena ‘harus’ tinggal sebulan di negeri Sakura maka saya mencoba selihai mungkin dalam mengunakan sumpit. Dari dulu saya memang pecinta hal-hal berbau Jepang nomor wahid, kalau boleh saya bilang. Apalagi makanannya. Karena itu, sumpit, sebagai bagian dari salah satu kegatan paling esensial dalam hidup, bukan hal yang asing bagi saya. Tapi bedanya, sampai bulan lalu, saya masih melihat sumpit sebagai alat bantu makan saja. Hingga sepasang sumpit di tengah dinginnya angin musim gugur di salah satu sudut kota di Jepang, mengajari saya banyak hal.

Sejak dulu saya sudah sering mendengar bahwa budaya Jepang sangat ketat tentang tatakrama. Oleh karenanya saya berusaha sebisa mungkin mengikuti aturan yang berlaku disana selama sebulan terakhir. Jadilah senjata utama saya identik dengan langkah-langkah pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.


....Oke, saya akui, tidak banyak meja yang boleh saya perkusi, dan auskultasi pun saya lakukan tanpa stetoskop, melainkan dengan hati. Ciee...

Beda ladang beda ilalang. Beda kolam, beda juga ikannya. Berlaku sangat universal dimana kebudayaan suatu negara sangat berpengaruh terhadap perilaku penduduknya. Dalam hal ini saya adalah pengamat yang sangat baik. Hari itu adalah salah satu hari yang cerah di bulan Oktober. Makan makanan khas Jepang di negara asalnya sungguh membuat perutku bergejolak. Siang itu saya memperhatikan bagaimana seorang kawan mengambilkan sepotong tempura, tapi dengan menggunakan sumpit yang dibalik. Pelajaran pertama: bentuk penghargaan dari tingkat dasar. Ujung sumpit yang digunakan untuk memasukkan makanan ke mulut kita sebaiknya bukan ujung yang digunakan untuk menyuguhkan makanan ke orang lain. Menggunakan sumpit yang berbeda juga menjadi salah satu pilihan untuk menunjukkan kesopanan. Namun menyesuaikan keadaan, termasuk menghemat penggunaan sumpit*, membalik ujung sumpit menjadi lebih bijak.

Dalam hal teknik penggunaan sumpit, sebenarnya orang Jepang sendiri tidak memiliki pakem yang pasti. Asal makanan di mangkok habis masuk ke mulut, maka katakanlah kita telah berada di jalan kebenaran. Dari seorang teman saya belajar bahwa terdapat beberapa macam sumpit: besar dan kecil, berbahan bambu, plastik, hingga metal seperti yang lazim dugunakan masyarakat Korea. Saya pun belajar beberapa teknik memegang sumpit yang ternyata memiliki makna tersendiri. Makan menggunakan sumpit bukan begitu saja muncul dalam kehidupan masyarakat Jepang.




A: Ahh..makan sekarang udah gag seru lagi..
B: Baiklah, bagaimana jika kita meningkatkan level kesulitannya.
A: Bagaimana caranya?
B: Bagaimana kalau kita tantang masyarakat untuk makan dengan dua batang lidi?
A: Wah..oke juga, tapi lidi nanti gampang patah, bagaimana kalo kita buat alatnya dengan bambu?
B: Wah..ide bagus. Langkah pertama, mari kita sabotase sendok dan air kobokan. Jadi masyarakat harus memakai alat rancangan kita.

Sumpah, bukan begitu ceritanya.

Narasumber saya, yang orang Jepang asli, juga tidak yakin bagaimana awalnya hingga bangsa mereka bisa mereka mengenal sumpit. Keterangan yang paling jelas yang sempat saya korek adalah mengenai makna dari penggunaan sumpit yaitu sebagai perwujudan keanggunan saat bersantap. Keanggunan yang dimaksud tentunya adalah estetika yang tidak diperoleh ketika kita menggunakan sendok, garpu, dan pisau makan. Ketika alat yang disebut belakangan tersebut, pada zaman dahulu diidentikkan dengan sikap makan yang rakus dan kasar, apalagi melibatkan benda tajam seperti pisau, sehingga tidak tepat digunakan dalam acara makan gaya Jepang yang ketimuran dan biasanya dilakukan dalam kelompok besar. Selain itu, penggunaan sumpit yang beretika juga adalah perwujudan rasa sabar dan rendah hati, selain juga karena waktu makan adalah saat berkumpul keluarga sehingga penguasaan nilai-nilai dasar tersebut sangat diharapkan. Mungkin juga karena makan dengan sumpit jadi waktu makan relatif lebih lama sehingga lebih banyak waktu pula untuk bercengkerama dengan keluarga sembari berusaha menjepit-jepit kacang merah atau nasi. Itu opini saya.

Pelajaran lain mengenai sumpit adalah kita tidak boleh mengoperkan makanan dai sumpit ke sumpit. Hal ini berkaitan dengan bagian dari ritual post mortem masyarakat setempat dimana terdapat prosesi mengoper bagian tulang dari tubuh orang yang meninggal dengan cara menyumpit bagian tubuh (biasanya sisa tulang paska kremasi) kemudian dengan sumpit juga diambil alih oleh anggota keluarga lainnya. Begitu seterusnya. Maka bila saat makan kita berbaik hati ingin berbagi, lebih baik kita pindahkan makanan langsung ke mangkuk teman, atau agar lebih sopan gunakan piring atau mangkuk tambahan.

Hal lain yang baru saya ketahui hari itu adalah tentang tatacara peletakan sumpit setelah selesai digunakan. Di Jepang berlaku posisi peletakan sumpit secara horizontal di antara orang dan wadah makan, berbeda dengan Cina yang meletakkannya vertikal di sebelah kanan wadah makan.

Karena penasaran, saya meriset lagi tentang penggunaan sumpit dan berlabuh di Detikfood dan mengutip sedikit dari sana. 

Ada beberapa persamaan etiket di kelima negara (Cina, Jepang, Korea, Taiwan dan Vietnam) tersebut, yaitu:
  • Makanan tidak boleh disantap langsung dari piring besar, melainkan harus dipindahkan dulu ke piring kecil (Vietnam).
  • Untuk memindahkan makanan dari piring besar ke piring pribadi, ada sumpit khusus yang berbeda dengan yang kita gunakan untuk menyuap makanan. Setelah selesai digunakan, taruh kembali sumpit tersebut ke piring besar (Cina). Jika tidak ada sumpit khusus, gunakan ujung sumpit yang lebih lebar untuk memindahkan makanan (Cina, Jepang).
  • Jika ingin mengambilkan makanan untuk orang lain, jangan pindahkan dari sumpit ke sumpit (Taiwan). Cara ini mirip seperti ritual kematian (Jepang). Sebaiknya, ambil piringnya lalu letakkan di sana.
  • Hormati orang yang lebih tua, yaitu dengan cara menawarkan makanan ke orang tua terlebih dahulu (Cina) dan membiarkan mereka mengambil alat makan duluan (Korea).
  • Sumpit tidak boleh ditusukkan ke atas semangkuk nasi karena menyerupai dupa, sementara dupa sering digunakan dalam ritual pemakaman. (Cina, Taiwan, Jepang).
  • Saat memakan nasi, angkat mangkuknya, lalu gunakan sumpit untuk 'menyendok' nasi langsung ke mulut. (Cina dan Vietnam).
  • Jika ingin jeda saat makan, letakkan ujung sumpit di tempatnya. (Cina, Taiwan, Jepang).
  • Sumpit hanya berfungsi untuk memindahkan makanan, bukan untuk dimasukkan ke mulut terlalu lama (Taiwan, Vietnam).
 *    *    *

Siang itu, hanya sebuah hari di bulan Oktober. Semangkuk udon telah tandas  di depan saya. Sementara sepasang sumpit ternyata mengajarkan hal-hal yang tidak terbayangkan.

0 comments:

Posting Komentar