22 November 2012
Bukan semata-mata karena ‘harus’ tinggal sebulan di negeri Sakura maka saya
mencoba selihai mungkin dalam mengunakan sumpit. Dari dulu saya memang pecinta hal-hal
berbau Jepang nomor wahid, kalau boleh saya bilang. Apalagi makanannya. Karena itu,
sumpit, sebagai bagian dari salah satu kegatan paling esensial dalam hidup, bukan
hal yang asing bagi saya. Tapi bedanya, sampai bulan lalu, saya masih melihat
sumpit sebagai alat bantu makan saja. Hingga sepasang sumpit di tengah
dinginnya angin musim gugur di salah satu sudut kota di Jepang, mengajari saya
banyak hal.
Sejak dulu saya sudah sering mendengar bahwa budaya Jepang sangat ketat tentang tatakrama. Oleh karenanya saya berusaha sebisa mungkin mengikuti aturan yang berlaku disana selama sebulan terakhir. Jadilah senjata utama saya identik dengan langkah-langkah pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Sejak dulu saya sudah sering mendengar bahwa budaya Jepang sangat ketat tentang tatakrama. Oleh karenanya saya berusaha sebisa mungkin mengikuti aturan yang berlaku disana selama sebulan terakhir. Jadilah senjata utama saya identik dengan langkah-langkah pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
....Oke, saya akui, tidak banyak meja yang boleh saya perkusi, dan
auskultasi pun saya lakukan tanpa stetoskop, melainkan dengan hati. Ciee...
Beda ladang beda ilalang. Beda kolam, beda juga ikannya. Berlaku sangat
universal dimana kebudayaan suatu negara sangat berpengaruh terhadap perilaku
penduduknya. Dalam hal ini saya adalah pengamat yang sangat baik. Hari itu
adalah salah satu hari yang cerah di bulan Oktober. Makan makanan khas Jepang
di negara asalnya sungguh membuat perutku bergejolak. Siang itu saya
memperhatikan bagaimana seorang kawan mengambilkan sepotong tempura, tapi
dengan menggunakan sumpit yang dibalik. Pelajaran pertama: bentuk penghargaan
dari tingkat dasar. Ujung sumpit yang digunakan untuk memasukkan makanan ke
mulut kita sebaiknya bukan ujung yang digunakan untuk menyuguhkan makanan ke
orang lain. Menggunakan sumpit yang berbeda juga menjadi salah satu pilihan
untuk menunjukkan kesopanan. Namun menyesuaikan keadaan, termasuk menghemat
penggunaan sumpit*, membalik ujung sumpit menjadi lebih bijak.
Dalam hal teknik penggunaan sumpit, sebenarnya orang Jepang sendiri tidak
memiliki pakem yang pasti. Asal makanan di mangkok habis masuk ke mulut, maka
katakanlah kita telah berada di jalan kebenaran. Dari seorang teman saya
belajar bahwa terdapat beberapa macam sumpit: besar dan kecil, berbahan bambu,
plastik, hingga metal seperti yang lazim dugunakan masyarakat Korea. Saya pun
belajar beberapa teknik memegang sumpit yang ternyata memiliki makna
tersendiri. Makan menggunakan sumpit bukan begitu saja muncul dalam kehidupan
masyarakat Jepang.
A: Ahh..makan sekarang udah gag seru lagi..
B: Baiklah, bagaimana jika kita meningkatkan level
kesulitannya.
A: Bagaimana caranya?
B: Bagaimana kalau kita tantang masyarakat untuk
makan dengan dua batang lidi?
A: Wah..oke juga, tapi lidi nanti gampang patah,
bagaimana kalo kita buat alatnya dengan bambu?
B: Wah..ide bagus. Langkah pertama, mari kita
sabotase sendok dan air kobokan. Jadi masyarakat harus memakai alat rancangan
kita.
Sumpah, bukan begitu ceritanya.
Narasumber saya, yang orang Jepang asli, juga tidak yakin bagaimana awalnya
hingga bangsa mereka bisa mereka mengenal sumpit. Keterangan yang paling jelas
yang sempat saya korek adalah mengenai makna dari penggunaan sumpit yaitu
sebagai perwujudan keanggunan saat bersantap. Keanggunan yang dimaksud tentunya
adalah estetika yang tidak diperoleh ketika kita menggunakan sendok, garpu, dan
pisau makan. Ketika alat yang disebut belakangan tersebut, pada zaman dahulu
diidentikkan dengan sikap makan yang rakus dan kasar, apalagi melibatkan benda
tajam seperti pisau, sehingga tidak tepat digunakan dalam acara makan gaya
Jepang yang ketimuran dan biasanya dilakukan dalam kelompok besar. Selain itu,
penggunaan sumpit yang beretika juga adalah perwujudan rasa sabar dan rendah
hati, selain juga karena waktu makan adalah saat berkumpul keluarga sehingga
penguasaan nilai-nilai dasar tersebut sangat diharapkan. Mungkin juga karena
makan dengan sumpit jadi waktu makan relatif lebih lama sehingga lebih banyak
waktu pula untuk bercengkerama dengan keluarga sembari berusaha menjepit-jepit
kacang merah atau nasi. Itu opini saya.
Pelajaran lain mengenai sumpit adalah kita tidak boleh mengoperkan makanan
dai sumpit ke sumpit. Hal ini berkaitan dengan bagian dari ritual post mortem
masyarakat setempat dimana terdapat prosesi mengoper bagian tulang dari tubuh
orang yang meninggal dengan cara menyumpit bagian tubuh (biasanya sisa tulang paska
kremasi) kemudian dengan sumpit juga diambil alih oleh anggota keluarga
lainnya. Begitu seterusnya. Maka bila saat makan kita berbaik hati ingin
berbagi, lebih baik kita pindahkan makanan langsung ke mangkuk teman, atau agar
lebih sopan gunakan piring atau mangkuk tambahan.
Hal lain yang baru saya ketahui hari itu adalah tentang tatacara peletakan
sumpit setelah selesai digunakan. Di Jepang berlaku posisi peletakan sumpit
secara horizontal di antara orang dan wadah makan, berbeda dengan Cina yang
meletakkannya vertikal di sebelah kanan wadah makan.
Karena penasaran, saya meriset lagi tentang penggunaan sumpit dan berlabuh
di Detikfood dan mengutip sedikit dari sana.
Ada beberapa persamaan etiket di kelima negara (Cina, Jepang, Korea, Taiwan dan Vietnam) tersebut, yaitu:
- Makanan tidak boleh disantap langsung dari piring besar, melainkan harus dipindahkan dulu ke piring kecil (Vietnam).
- Untuk memindahkan makanan dari piring besar ke piring pribadi, ada sumpit khusus yang berbeda dengan yang kita gunakan untuk menyuap makanan. Setelah selesai digunakan, taruh kembali sumpit tersebut ke piring besar (Cina). Jika tidak ada sumpit khusus, gunakan ujung sumpit yang lebih lebar untuk memindahkan makanan (Cina, Jepang).
- Jika ingin mengambilkan makanan untuk orang lain, jangan pindahkan dari sumpit ke sumpit (Taiwan). Cara ini mirip seperti ritual kematian (Jepang). Sebaiknya, ambil piringnya lalu letakkan di sana.
- Hormati orang yang lebih tua, yaitu dengan cara menawarkan makanan ke orang tua terlebih dahulu (Cina) dan membiarkan mereka mengambil alat makan duluan (Korea).
- Sumpit tidak boleh ditusukkan ke atas semangkuk nasi karena menyerupai dupa, sementara dupa sering digunakan dalam ritual pemakaman. (Cina, Taiwan, Jepang).
- Saat memakan nasi, angkat mangkuknya, lalu gunakan sumpit untuk 'menyendok' nasi langsung ke mulut. (Cina dan Vietnam).
- Jika ingin jeda saat makan, letakkan ujung sumpit di tempatnya. (Cina, Taiwan, Jepang).
- Sumpit hanya berfungsi untuk memindahkan makanan, bukan untuk dimasukkan ke mulut terlalu lama (Taiwan, Vietnam).
Siang itu, hanya sebuah hari di bulan Oktober. Semangkuk udon telah
tandas di depan saya. Sementara sepasang
sumpit ternyata mengajarkan hal-hal yang tidak terbayangkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar