4 Agustus 2012
Mengapa kebanyakan orang begitu
sulit untuk mengalah? Mengapa terkadang kita begitu sulit menerima pendapat
orang lain? Atau bila pertanyaan mengapa terlalu rumit untuk dijawab, kapan
terakhir kali salah satu diantara kita mendengar, memaafkan, dan menghargai?
Membuka suatu bahasan dengan
menarik garis dari titik-titik pertanyaan sebenarnya bukanlah gayaku. Walaupun
seringkali retoris, tapi jujur saja aku lebih suka mengawali sesuatu lewat
pernyataan daripada pertanyaan. Namun kali ini, aku ‘terpaksa’ berpikir beda,
karena pertanyaan-pertanyaan semacam di atas menyadarkan aku bahwa ada makna
yang jauh, jauh, jauh lebih dalam—yang sebelumnya jarang kita perhatikan,
perihal eksistensi kita sebagai umat manusia.
* * *
Yah, baitku sebelumnya mungkin
terdengar terlalu religius, dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
bulan Ramadhan (selamat menunaikan ibadah puasa bagi kawan-kawan yang merayakan
^^). Pikiran yang aku tuangkan lewat tulisan kali ini berawal dari beberapa
kejadian kecil di sekitarku bersama seorang terdekat. Suatu hari, aku dan orang
terdekat sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tempat kami menghabiskan
berjam-jam hari, dan malam jika sedang jadwal jaga. Di sebuah belokan,
tiba-tiba motor lain memotong jalan kami tanpa tanda, kode, semaphore, atau
morse. Tidak terjadi apa-apa saat itu, namun orang terdekat bereaksi
mengumpat-maki pengendara motor lain. Alhasil, sepanjang perjalanan aku isi
dengan menyabar-nyabarkan hati masing-masing. Kejadian serupa juga terjadi saat
kami dalam perjalanan ke bioskop (libur jaga, refreshing lah..), saat motor
kami melaju tenang, motor lain dari arah berlawanan melewati marka putih dengan
arogan. Orang terdekatku, yang sangat gampang tersulut emosinya, malah
menerapkan prinsip senggol-bacokàkalau
hampir diserempet hayuk serempet balik. Ghzzz...waktu itu, aku marah, orang
terdekat juga marah, kami berdua uring-uringan (refreshing gagal total).
Hal diatas hanyalah secuil contoh
bahwa aku masih memiliki begitu banyak kekurangan sebagai manusia. Contoh juga
bahwa betapa berbedanya pola pikir antara satu manusia dan manusia lain,
seberapa pun dekatnya mereka. Seringkali aku memarahi orang terdekat karena
sesuatu yang menurutku tidak pantas, padahal belum tentu pula pendapatku benar
di mata mereka. Jadi, sampai dimana sebenarnya batas antara bertahan dan
melawan? Apa mundur dan mengalah harus berarti kalah?
*
* *
Ofensif dan defensif, sifat basal manusia
Ibarat bertualang dengan salah
satu karakter dalam game Final Fantasy, manusia pada dasarnya juga memiliki
level ofense dan defense dasar, dalam hal ini kita tidak akan membahas sama
sekali tentang magic point atau potion booster. Seiring dengan perkembangan
fisik dan psikis, level dasar berkembang dengan cara yang sangat variatif;
beberapa orang memiliki tendensi menyerang yang sangat besar, sebagian lainnya
lebih senang berdiam diri dengan menggaungkan pendapat dalam hati (walau ada
yang bilang ofense is the best defense). Sah saja, karena lingkungan memegang
andil besar dalam membentuk kita. Aku sendiri tipikal orang yang menghindari
konfrontasi, mungkin secara kasar aku lebih mengasah insting defensif. Namun secara
general, kedua sifat dasar tersebut selalu ada dalam diri kita.
Dikaitkan dengan teori pengembangan
diri, disebutkan ada 3 komponen dasar yang membentuk diri kita: id, ego, dan superego.
Nah, aktualisasi perilaku kita termasuk juga cara kita menyikapi sesuatu akan
bergantung pada komposisi ketiga ‘bahan’ tersebut. Selengkapnya di sini
Aku mengalah namun tidak kalah
Bertahan untuk tidak mengekspansi
materi, aku ingin kembali ke pertanyaan: apa mengalah harus berarti kalah?
Dalam perspektifku, kalah, menang
hanyalah istilah untuk determinasi posisi dalam sebuah kompetisi. Sekarang
kembali lagi, apa kita ingin memandang hidup ini sekadar sebagai sebuah
kompetisi atau ada makna lain yang ingin kita cari. Bila pun harus memilih
pemakaian dua terminologi tersebut aku tentu memilih menang, namun dalam
konteks kemenangan ala aku. Dalam hidup ini menang itu bukan hanya tentang
mengalahkan lawan, bukan hanya tentang meraih poin tertinggi, bukan hanya demi
catatan prestasi dan puji. Bagiku, menang itu justru momen dimana kita berhasil
menaklukkan diri sendiri (ingat, musuh terbesar kita adalah diri sendiri),
mengendalikan pikiran dan perasaan. Terlebih lagi, menang itu adalah kapan kita
berhasil melihat kesejajaran antara kita dan orang lain, menghargai, mendengar.
Menang adalah saat kita tahu kapan harus diam. Dan yang paradoksial, menang itu
adalah saat kita mengalah.
*
* *
Saat ini aku sedang dalam misi
menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin itu sebabnya mengapa aku menjadi
sedikit terlalu serius menanggapi bahasan ini. Pada intinya yang ingin aku
sampaikan adalah mengalah memiliki makna yang jauh dari asalah katanya yaitu
kalah. Mengalah=menjadi kalah, per definisiku mengalah adalah bersikap
seolah-olah kalah semata-mata untuk menunjukkan posisi kemenangan dan
keunggulan kita sebagai manusia. Karenanya, mulailah belajar menerima pendapat
orang lain, mendengar, berani memaafkan, dan menerima kekurangan orang lain
karena hal-hal tersebut hanya beberapa contoh kecil dari bentuk-bentuk ‘mengalah’.
Tips: seringkali kita dibuat
emosi oleh hal-hal sepele macam antrean yang diserobot, bekal makan yang
disenggol, janji yang terlupa, etc. Jika itu terjadi, cobalah berpikir dengan 2
pemikiran dasar: (1) Kita juga pernah berbuat salah (sering malah, hanya saja
kita lebih sering tidak sadar dan memilih untuk lebih banyak melihat kesalahan
orang lain), (2) Let nature jugde them, mengapa harus membuang tenaga untuk
marah, sementara kita percaya ada kekuatan yang lebih besar di semesta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
Hi Nama saya Egi
BalasHapusSetuju. Mengalah karena jauh lebih baik kalah daripada melihat orang lain kalah lalu gantung diri misalnya.
Suka dengan tulisannya. :)
Hai Egi..
BalasHapusTerimakasih, senang ada yang membaca tulisan saya :D