Defect, anomali...and perspective

4 Agustus 2012

On 08.19 by anya-(aydwprdnya) in , ,    2 comments

Mengapa kebanyakan orang begitu sulit untuk mengalah? Mengapa terkadang kita begitu sulit menerima pendapat orang lain? Atau bila pertanyaan mengapa terlalu rumit untuk dijawab, kapan terakhir kali salah satu diantara kita mendengar, memaafkan, dan menghargai?

Membuka suatu bahasan dengan menarik garis dari titik-titik pertanyaan sebenarnya bukanlah gayaku. Walaupun seringkali retoris, tapi jujur saja aku lebih suka mengawali sesuatu lewat pernyataan daripada pertanyaan. Namun kali ini, aku ‘terpaksa’ berpikir beda, karena pertanyaan-pertanyaan semacam di atas menyadarkan aku bahwa ada makna yang jauh, jauh, jauh lebih dalam—yang sebelumnya jarang kita perhatikan, perihal eksistensi kita sebagai umat manusia.




* * *

Yah, baitku sebelumnya mungkin terdengar terlalu religius, dan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan bulan Ramadhan (selamat menunaikan ibadah puasa bagi kawan-kawan yang merayakan ^^). Pikiran yang aku tuangkan lewat tulisan kali ini berawal dari beberapa kejadian kecil di sekitarku bersama seorang terdekat. Suatu hari, aku dan orang terdekat sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tempat kami menghabiskan berjam-jam hari, dan malam jika sedang jadwal jaga. Di sebuah belokan, tiba-tiba motor lain memotong jalan kami tanpa tanda, kode, semaphore, atau morse. Tidak terjadi apa-apa saat itu, namun orang terdekat bereaksi mengumpat-maki pengendara motor lain. Alhasil, sepanjang perjalanan aku isi dengan menyabar-nyabarkan hati masing-masing. Kejadian serupa juga terjadi saat kami dalam perjalanan ke bioskop (libur jaga, refreshing lah..), saat motor kami melaju tenang, motor lain dari arah berlawanan melewati marka putih dengan arogan. Orang terdekatku, yang sangat gampang tersulut emosinya, malah menerapkan prinsip senggol-bacokàkalau hampir diserempet hayuk serempet balik. Ghzzz...waktu itu, aku marah, orang terdekat juga marah, kami berdua uring-uringan (refreshing gagal total).

Hal diatas hanyalah secuil contoh bahwa aku masih memiliki begitu banyak kekurangan sebagai manusia. Contoh juga bahwa betapa berbedanya pola pikir antara satu manusia dan manusia lain, seberapa pun dekatnya mereka. Seringkali aku memarahi orang terdekat karena sesuatu yang menurutku tidak pantas, padahal belum tentu pula pendapatku benar di mata mereka. Jadi, sampai dimana sebenarnya batas antara bertahan dan melawan? Apa mundur dan mengalah harus berarti kalah?

*  *  *

Ofensif dan defensif, sifat basal manusia

Ibarat bertualang dengan salah satu karakter dalam game Final Fantasy, manusia pada dasarnya juga memiliki level ofense dan defense dasar, dalam hal ini kita tidak akan membahas sama sekali tentang magic point atau potion booster. Seiring dengan perkembangan fisik dan psikis, level dasar berkembang dengan cara yang sangat variatif; beberapa orang memiliki tendensi menyerang yang sangat besar, sebagian lainnya lebih senang berdiam diri dengan menggaungkan pendapat dalam hati (walau ada yang bilang ofense is the best defense). Sah saja, karena lingkungan memegang andil besar dalam membentuk kita. Aku sendiri tipikal orang yang menghindari konfrontasi, mungkin secara kasar aku lebih mengasah insting defensif. Namun secara general, kedua sifat dasar tersebut selalu ada dalam diri kita.

Dikaitkan dengan teori pengembangan diri, disebutkan ada 3 komponen dasar yang membentuk diri kita: id, ego, dan superego. Nah, aktualisasi perilaku kita termasuk juga cara kita menyikapi sesuatu akan bergantung pada komposisi ketiga ‘bahan’ tersebut. Selengkapnya di sini

Aku mengalah namun tidak kalah

Bertahan untuk tidak mengekspansi materi, aku ingin kembali ke pertanyaan: apa mengalah harus berarti kalah?

Dalam perspektifku, kalah, menang hanyalah istilah untuk determinasi posisi dalam sebuah kompetisi. Sekarang kembali lagi, apa kita ingin memandang hidup ini sekadar sebagai sebuah kompetisi atau ada makna lain yang ingin kita cari. Bila pun harus memilih pemakaian dua terminologi tersebut aku tentu memilih menang, namun dalam konteks kemenangan ala aku. Dalam hidup ini menang itu bukan hanya tentang mengalahkan lawan, bukan hanya tentang meraih poin tertinggi, bukan hanya demi catatan prestasi dan puji. Bagiku, menang itu justru momen dimana kita berhasil menaklukkan diri sendiri (ingat, musuh terbesar kita adalah diri sendiri), mengendalikan pikiran dan perasaan. Terlebih lagi, menang itu adalah kapan kita berhasil melihat kesejajaran antara kita dan orang lain, menghargai, mendengar. Menang adalah saat kita tahu kapan harus diam. Dan yang paradoksial, menang itu adalah saat kita mengalah.

*  *  *

Saat ini aku sedang dalam misi menjadi manusia yang lebih baik. Mungkin itu sebabnya mengapa aku menjadi sedikit terlalu serius menanggapi bahasan ini. Pada intinya yang ingin aku sampaikan adalah mengalah memiliki makna yang jauh dari asalah katanya yaitu kalah. Mengalah=menjadi kalah, per definisiku mengalah adalah bersikap seolah-olah kalah semata-mata untuk menunjukkan posisi kemenangan dan keunggulan kita sebagai manusia. Karenanya, mulailah belajar menerima pendapat orang lain, mendengar, berani memaafkan, dan menerima kekurangan orang lain karena hal-hal tersebut hanya beberapa contoh kecil dari bentuk-bentuk ‘mengalah’.

Tips: seringkali kita dibuat emosi oleh hal-hal sepele macam antrean yang diserobot, bekal makan yang disenggol, janji yang terlupa, etc. Jika itu terjadi, cobalah berpikir dengan 2 pemikiran dasar: (1) Kita juga pernah berbuat salah (sering malah, hanya saja kita lebih sering tidak sadar dan memilih untuk lebih banyak melihat kesalahan orang lain), (2) Let nature jugde them, mengapa harus membuang tenaga untuk marah, sementara kita percaya ada kekuatan yang lebih besar di semesta.

2 komentar:

  1. Hi Nama saya Egi
    Setuju. Mengalah karena jauh lebih baik kalah daripada melihat orang lain kalah lalu gantung diri misalnya.
    Suka dengan tulisannya. :)

    BalasHapus
  2. Hai Egi..
    Terimakasih, senang ada yang membaca tulisan saya :D

    BalasHapus