Defect, anomali...and perspective

24 Mei 2012

On 08.40 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Ayahku Hebat!: A Series of My Quality Times

Kalau saja acara televisi yang berjudul serupa masih eksis tayang, mungkin suatu hari aku akan mendaftarkan seorang kandidat sebagai salah satu peserta, walau aku tahu beliau tidak akan pernah mau. Beliau itu penyayang dan penyabar. Beliau selalu punya bakat untuk terlihat menonjol namun tidak menyukai publikasi diri. Beliau selalu ada, tidak malu untuk duduk rendah, selalu mampu memandang tinggi. Beliau adalah representasi seorang pengayom ideal bagiku. Aku memanggilnya bapak.




Bagiku bapak adalah ayah terbaik di dunia (jelas saja, secara setiap Y yang aku miliki berasal dari beliau). Tentang deskripsi tidak banyak yang bisa aku gambarkan, bukan karena bapak tidak istimewa, melainkan seperti halnya kita semua dengan ayah masing-masing, seorang ayah adalah sebuah makna yang terlalu istimewa dan khas bagi seorang anak. Aku juga begitu. Bapak adalah seorang pria separuh abad yang kalau aku boleh katakan, sangat bersahaja. Setengah kesahajaannya adalah kongenital, setengahnya lagi adalah efek dari hidup keras sejak kecil. Tingginya sekitar satu kepala lebih tinggi dariku, salah satu hal yang aku sukai karena sedari kecil aku harus selalu mendongakkan kepala untuk melihat mata damai-kocak yang selalu aku rindukan setiap aku jauh dari rumah. Bapak adalah salah satu dari beberapa pemuja angka yang aku kenal, salah satu dari orang yang sebisa mungkin menginginkan setiap bentuk eksakta. Oh, ya, bapak bekerja sebagai karyawan bank swasta dan menjadikannya semakin menyatu dengan kebutuhannya akan perhitungan dan efisiensi. Bapak benci jika harus mempelajari bahasa asing, dan yakin bahwa salah satu persamaan kami bapak-anak adalah ketidaktertarikan kami dalam hal linguistik (aku 3/4 setuju). Bapak adalah salah satu penderita gagap teknologi. Pengetahuan beliau tentang komputer dan komputerisasi terbatas pada ms.word, excel, powerpoint, winamp, dan feeding frenzy. Bapak harus makan nasi tiga kali sehari, sebanyak apapun roti yang dikonsumsi dalam satu hari. Bapak lebih suka sambel bongkot daripada burger, jauh lebih memilih bawang gerang metunu daripada seloyang pizza. Hmm, sudah aku katakan, sosok bapak adalah cenderung deskriptif nonverbal dalam benakku.

Hubunganku dengan bapak adalah sebuah grafik fungsi dengan dua peubah. Hubungan kami berkembang dari anak yang selalu takut membuat bapak marah, menjadi anak yang takut mengecewakan. Waktu SD, di mataku bapak adalah jawaban dari setiap masalah matematika dan menggambar. Dan juga tempat meminta uang jajan tentunya, sesederhana itu. Tiga tahun SMP, aku sudah tidak menggantungkan PR matematika pada bapak, aku menyimpan banyak rahasia. Termasuk juga kekhasan ABG labil yang takut kalau bapak tahu aku suka curi-curi pandang dengan teman sekelas. Namun tetap saja untuk urusan finansial aku sujud syukur karena bapak. Belakangan aku dan bapak adalah sahabat. Tanpa aku ketahui titik balik hubunganku dengan bapak, kini aku menikmati setiap percakapan, sesingkat apapun itu, dengan bapak. Entah sejak kapan aku menjadi sangat terbuka pada bapak, hal kuliah, masalah dosen killer, nilai ujian, hubungan dengan pacar, segalanya.


Terakhir yang aku ingat, sebuah percakapan yang cukup panjang dengan bapak adalah semacam curahan hati dan konseling resiprok, aku dengan perihal kampus, bapak dengan kisah dari pekerjaannya. Kami duduk berjam-jam membicarakan hal yang orang dewasa biasa bicarakan. Lebih tepatnya, aku senang bapak kini melihatku sebagai seorang anak yang mulai dewasa tanpa pernah menutup pintu untuk sewaktu-waktu kembali menjadi putrinya yang kekanak-kanakan bilamana aku rindu.

Satu hal yang sangat ingin kuubah, namun sepertinya belum akan berubah dalam beberapa tahun ke depan adalah keinginanku untuk bebas dari gantungan keuangan dari bapak, berhenti membebani AD/ART di rumah, dan sebaliknya memberikan kontribusi untuk menjamin masa tua kedua orang tua.

Akhir-akhir ini, aku semakin jarang pulang ke rumah. Percakapan per telepon juga tidak sesering dulu. Terakhir aku menyapa bapak malah hanya lewat beberapa baris kata pesan singkat. Bapak tidak memiliki akun Facebook atau twitter (sungguh, jejaring sosial sama sekali bukan bapak), jadi aku tidak bisa men-tag status manis "I luv Dad", etc. Hanya saja, aku saat ini, dan akan selalu merindukan setiap momentum dimana aku bisa menjadi anak kecil yang dewasa, bersama bapak.




0 comments:

Posting Komentar