Defect, anomali...and perspective

11 Juli 2017

On 23.48 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Hari kemarin, ia memperkarakan tentang bahagia. 
Bahkan debu jalanan pun tidak menjawabnya.
Apakah memang tak bisa?

*   *   *
Di banyak tempat, orang merayakan bahagia dengan melempar tanda. Mencatat rupa kombinasi angka, juga menyerukan pujian suka. 
Di negeri, di mana langit penuh dengan layang-layang, segalanya berbeda.
Mereka memperingati bahagia dengan menari dan menyalakan dupa. 

Ini merupakan kisah pembuka, dari negeri yang langitnya penuh dengan layang-layang. Kisah pertama yang terizinkan melompat keluar dari jendela salah satu penghuni yang juga adalah penerbang. Penerbang layang-layang. Tidak ada dokumentasi autentik, tiada peninggalan artefak antik. Segalanya berasal dari sumber pencerita, yang terbahasakan, dan terharap membahagiakan. Bukankah bahagia adalah awal dan akhir dari segala?

Ini negeri di mana langit normalnya dipenuhi layang-layang. Negeri dimana angin tak pernah surut namun tidak segala hal diciptakan untuk terbang. Pada hari yang indah, penghuni dan juga penerbang akan menjilat ringan salah satu dari sepuluh jari tangan, kemudian mengacungkannya tinggi ke udara. Sebuah ritual, agar dengan angin mereka dapat bersua. Begitu pentingnya ritual tersebut, semua penghuni menguasainya tanpa mempelajari. Begitu sakralnya ritual tersebut, atas berkat para dewa, menjadi refleks pertama yang ditemui pada bayi-bayi. Penghuni negeri berevolusi, ditakdirkan untuk memuji angin di terik matahari. 

(Sembari bercerita, sang narasumber terlihat membasahi telunjuk tangan kiri dan mengangkatnya tinggi.)

Siang yang belum matang, banyak jari unjuk pada tangan-tangan terentang. Angin sedang menghembuskan senang. Semua yang tidak sedang berkepentingan di dalam rumah, berhamburan di halaman, di jalanan, di pematang di antara jejeran jagung yang bulirnya berwarna-warni. Dengan jemari terangkat tinggi, mereka menari. Menari dan tertawa. Menari hingga lupa. Menari dan dalam pikirannya nikmat bercinta. Menari dan bercinta, dibalut gulungan asap dupa. Asap dupa adalah hak milik para tetua. Kaum sepuh membakar dupa, sebagai ganti sendi yang tidak mampu lagi menari. Asap dupa akan menggantikan gerak mereka dan angin akan tetap riang menerima. Tepat setelah semua merasa bahagia sampai ke puncaknya, masih dalam tawa, layang-layang akan mulai mengudara. Selanjutnya, cerita adalah milik layang-layang, dan angin tentunya.

(Secara meyakinkan, narasumber menunjukkan tanda cinta buta pada angin. Cukup kenalkah Engkau dengan angin?)

*   *   *

Untuk angin yang bertiup terlalu kencang, kita semua menyalahkan barat. Untuk keruntuhan, untuk perlawanan,...untuk perubahan, kita semua menyalahkan barat.

Apakah angin timur memang terlalu lembut dan kemayu? Apa tidak mungkin angin hanya ada satu, namun ia gemar menipu. Menjadi barat kala pikirannya penat, kembali timur ketika sayup tenang menjelang tidur. 

Dan pertanyaan. 
Yang terus dilempar, terus menampar.
Seperti angin yang hanya satu namun gemar menipu, terus menampari layang-layang yang memenuhi langit. Penerbang layang-layang bersorak, saling mengakui liukan layang-layang masing-masing. 

Jauh di atas sana, tamparan makin sering dan keras. Angin makin keras tertawa. Hingga awan berkumpul dengan sesamanya karena iri hatinya. Mereka ingin ikut menampar, kelihatannya menyenangkan. Angin mencibir. Tak ada yang peduli bagaimana layang-layang perih dan mulai menangis. Angin dan awan, berdebat mengenai hal-hal seperti siapa yang pantas merajai langit. Menyatir tentang keindahan dan menyindir dengan sengit.

Layang-layang menangis. 

Jauh di bawah sana, tepat dimana sebelumnya mereka bersuka dan bercinta, semua makhluk berlarian. Mereka takut akan hujan. 

[Selesai untuk cerita pertama.]

Model Kebahagiaan (Kehakikian) dari Negeri Dengan Langit Penuh Layang-layang
(Segera didapuk sebagai ikon Urip Iku Urup)

0 comments:

Posting Komentar