Defect, anomali...and perspective

30 Desember 2017

Pagi ini terbangun dengan perasaan aneh agar hari besok jaraknya menjauh. Tidurku nyenyak, durasinya cukup, tidak ada mimpi yang bisa diingat, dan begitu saja, aku tak ingin esok. Kamarku masih sama, berantakan seperti biasa. Novel The Surgeon milik Gerritsen menyapa di sisi kanan kepala, nampaknya aku tertidur di tengah-tengahnya karena lampu baca portabel milikku juga tergeletak di sebelahnya dalam kondisi tombol on namun tidak lagi menyala. Homo Deus milik Yuval Noah Harari terasa mengganjal kepalaku, aku terlalu malas mengembalikannya ke rak buku. Di sudut kanan kaki tempat tidur, koper kecil yang setengah terbuka, isinya berceceran kemana-mana. Laptop di atas meja dan catatan harianku di sebelahnya. Ah ya, kemarin aku berencana menulis beberapa hal dalam catatan harian, namun rupanya aku lupa. Kursi beroda yang berderit lesu tiap aku duduki (sudah demikian adanya sejak aku menemukannya pertama kali), tergeser jauh mendekati pintu. Pada sandarannya tersampir jaket hitam tebal dan syah merah maroon yang juga tebal. Sepasang boots warna biru pudar, ada noda lumpur pada solnya, dan mereka tidak berada pada tempatnya. Aku mengenakan piyama biru langit dengan aksen polka dots kecil, bersyukur karena aku tidak tidur dengan pakaian yang bukan piyama (seringkali demikian). Karena kecilnya kamar ini, semua dapat aku lihat dari atas tempat tidur. Kesimpulan prematurku: aku tidak siap untuk tahun baru. 

Aku kehilangan beberapa hal selama perjalanan kemarin:
  1. Ketinggalan scarf di Schonefeld (dan hampir ketinggalan pesawat)
  2. Kehilangan sebelah anting di Brussels (tenang, Bu..kali ini bukan anting emas yang Ibu belikan)
  3. Ketinggalan sarung tangan di salah satu bar di Brussels
  4. Kehilangan selembar 20Euro di Ghent
  5. Menjatuhkan satu tube hand cream entah di jalan mana di Ghent juga (kemudian membeli yang baru Body Shop di Brugge, jadi tidak buruk juga)
  6. Kehilangan notes kecil di waktu City Walking Tour!! Kesal karena aku mencatat banyak hal di dalamnya :(
  7. (sempat) Kehilangan keberanian di sekitar Minnewater karena ada creepy-exhibitionist-guy mengikuti T.T
  8. Ketinggalan sepasang bra dan celana dalam (yang kebetulan warnanya aku suka, ugh) di salah satu hostel tempatku menumpang mandi *facepalm
  9. Kehilangan sebagian harga diri (yang syukurnya kembali dengan cepat) karena salah mengirim pesan singkat di malam terakhir di Amsterdam (blamed on alcohol).
  10. Kehilangan (lebih tepatnya melupakan) kartu ucapan tahun baru dari beberapa teman di salah satu kedai waffle.
  11. Kehilangan beberapa Euro lagi, karena harus mengganti beberapa rencana perjalanan yang melibatkan pembatalan beberapa tiket dan pembelian tiket baru. 
Bukan hal yang menyenangkan memang, namun deretan hal tersebut tidak cukup menjadi alasan untuk perasaan yang ganjal pagi ini. Aku menyalakan aplikasi Spotify, memutar acak salah satu channel terakhir yang aku dengarkan. Mengalun melodi yang diikuti suara Sia menyanyikan Under The Mistletoe. Ah, mistletoe lagi. Beberapa gambar melintas di benakku, memberi sinyal tentang hal-hal yang seharusnya namun belum bisa aku selesaikan. Enggan terhanyut, aku tekan tombol next. 



Ada momentum dimana telinga kita mendengar satu lagu secara nyata, yang kemudian beresonansi menjadi musik yang jauh berbeda di kepala kita. Lagu berikutnya masih milik Sia, Snowman. Namun yang berputar di kepalaku adalah lagu milik Bon Iver berjudul For Emma. Saat itu juga aku tahu, ada yang tidak beres dengan konten hemisferku. 

For Emma bukanlah lagu pop, egoku memaksanya masuk ke aliran musik kesukaanku, folk. Maka mungkin tidak banyak yang tahu siapa Bon Iver, sayangnya aku sedang tidak dalam kapasitas untuk membahas group musik ini. Alih-alih aku ingin membahas si Emma dari For Emma. Siapa ia? 


FOR EMMA LYRICS 

"So apropos: 
Saw death on a sunny snow" 
"For every life ..." 
"forego the parable." 
"Seek the light." 
"... my knees are cold." 
Running home 
Running home 
Running home
Running home 
"Go find another lover 
To bring a ..., to string along!" 
"With all your lies 
you're still very lovable." 
"I toured the light 
So many foreign roads 
For Emma, ​​forever ago."
(dari SongTexte)

Jadi, siapakah Emma? 
Emma adalah siapa saja, atau akan lebih mendekati jika aku katakan apa saja. Emma adalah manusia-manusia yang pernah hadir dalam hidup kita (yang mampir, yang berlalu, juga yang datang dan pergi tanpa menunggu). Emma adalah waktu yang terdayakan, waktu yang membebaskan, juga waktu yang posesif meminta untuk diingat senantiasa. Emma adalah ukuran yang tidak terkalibrasi namun selalu presisi. Hm...apalagi ya? Emma adalah tempat, yang sudah atau belum pernah dijejaki dan tiba-tiba saja mengendapkan perasaan lain di hati. 

--dan aku akan sedikit berkonsultasi dengan mereka yang gemar menganalisa makna lirik songfacts, dan juga mencari tahu dari Justin Vernon sendiri, sang pencipta lagu.

--dan aku kembali. Mungkin aku tidak 100% benar tentang penginterpretasian dari si Emma ini. 

[Sungguh jika kalian ingin mendapatkan sensasi yang sama dengan yang aku rasakan terhadap Emma, setidaknya kalian harus mendengarkan lagu ini minimal tiga kali, sebisa mungkin setelah mandi.]

Banyak hal menjadi asosiatif akhir-akhir ini. Berakhir di Emma, bermula dari segala hal yang bisa diingat di 2017. Dan seperti lagu ini, ikhlas itu sulit (tawa getir). Lebih sulit lagi adalah menyelesaikan, jika kita bandingkan dengan memulai. Di luar fakta bahwa Emma adalah nama tengah dari salah satu mantan Justin Vernon di masa lalu (mungkin di masa SMA, aku asal saja), setiap orang memiliki Emma. Setiap orang memiliki hal yang tidak pernah belum selesai dalam hidupnya. Emma-ku pagi ini adalah keseluruhan 2017 yang termampatkan di beberapa bulan terakhir, dan tidak akan rampung hingga tahun ini berakhir.

Memikirkan Emma membuatku lapar. Aku ingin Emma, tapi tak ingin esok. Sia sudah tidak terdengar lagi.

Dari balik selimut, Berlin
30.12.2017

27 Desember 2017

Seperti halnya kisah cinta, tidak semua perjalanan berakhir bahagia. Ini semacam sensasi pahit yang mengikuti tablet bandel yang sulit ditelan (tentang peliknya urusan minum obat ini adalah cerita tersendiri). Ya, sensasi pahit yang itu, yang tidak hilang dengan minum air dua gelas, yang hanya sedikit tersamarkan dengan sesendok madu kemudian terasa lagi. Akh..dimana sebenernya bahagia yang tidak ada akhirnya? Setidaknya aroma kopi milik seseorang di kereta pagi ini memberikan kesan bahwa tidak ada buruk yang terlalu buruk juga. 

Mari berbicara tentang hal yang menyenangkan. Hal yang aku suka...hm..anting. Kami bertemu di pasar malam (yang buka sejak pagi hari), salah satu pasar malam Natal dan tahun baru yang kami kunjungi. Standar, ia penjual di salah satu stal, kami pengunjung dan penikmat keramaian. Komoditas yang ia pajang dan jajakan adalah perhiasan buatan tangan. Pun saat aku lihat pertama kali, ia sedang asyik memilah batu-batuan berwarna. Bukan aku yang berinisiatif mendekati stal miliknya. Rekanku penikmat keramaian yang menarikku ke arah situ, dan berhenti bukan hanya untuk melihat. Keputusan yang buruk, tentang anting, aku tidak bisa hanya sambil lalu. 

Namanya Lora, wanita sekitar 30an, berambut merah yang membuat bentuk rahang perseginya kontras. Lebih kontras lagi adalah topi bertelinga kelinci yang ia kenakan, seperti penanda bahwa ada sesuatu di balik kelincahan jemarinya memindahkan bentuk-bentuk biji dari satu wadah ke wadah lainnya. Di luar dugaan, ia punya ciri kepribadian periang yang kentara. Kami pun mudah akrab seperti sudah saling mengenal sebelumnya. 

Lora adalah penduduk asli kota itu, Antwerp, menikah dengan pria asal Prancis dan menjalani kesehariannya di negara keduanya tersebut. Ia mengambil kesempatan berjualan di pasar ini antara lain juga agar memiliki alasan untuk pulang dan bertemu teman-teman di kota kelahiran. Menyenangkan mendengarnya bercerita sambil tak henti bekerja dan matanya juga berbicara. Sampai pada bagian bagaimana ia rindu suami dan hewan-hewan peliharaannya di Prancis selama ia menjadi salah satu vendor di sana, aku seperti punya perasaan pada level yang sama. Rekanku penikmat keramaian, aku yakin sadar akan itu karena aku mulai berusaha mengalihkan perasaanku dengan meniupi gelas kertas berisi coklat panas yang sudah lama mendingin (di sana, kecepatan pendinginan minuman cokelat berbanding lurus dengan angin yang memberantakkan rambut). 

Lora adalah seorang akuntan, maksudku punya latar belakang pendidikan sebagai akuntan, yang punya mimpi untuk mengerjakan hal-hal yang cinta; berkreasi membuat perhiasan. Tiupan ke gelasku semakin meningkat frekwensinya. Tanpa aku niatkan. 

Rekan penikmat keramaianku, mengambil alih dengan bercerita tentang bagaimana perhiasan-perhiasan buatan tangan tersebut begitu mengingatkannya pada rumah, terutama ibunya yang juga gemar membuat pernak pernik dan perhiasan buatan tangan. 

Kata Lora, visi di balik idealisme perhiasannya adalah tidak ada perhiasan yang percuma dan sia-sia. Prinsip. Maka semua karya yang ia jual sore itu adalah hasil daur ulang dari perhiasaan lain yang tidak terpakai, atau tidak ingin diingat lagi, atau ingin dikenang namun dalam bentuk yang berbeda (kadang kita sangat lihai menemukan alasan untuk mengenang sesuatu bukan dalam bentuk orisinalnya). 

Lora salah memahami kami sebagai pasangan, mengomentari bagaimana kami terlihat serasi. Tidak ada satupun dari kami yang berniat mengoreksi. Setidaknya bagi Lora, bisa jadi kami juga adalah sebentuk memori yang tidak orisinal sejak pertama. Lucunya, menjiwai perannya, rekanku penikmat keramaian mengamati dengan seksama deretan anting di hadapanku sebelum akhirnya memilih satu. Menyodorkan ke arahku, memberi isyarat untuk mencobanya, mengabaikan mulutku yang membentukkan "really?" tanpa suara.


Tentu sebagai penjual, Lora harus memuji bahwa anting tersebut terlihat bagus di telingaku, dan memang iya, Lora memujiku dan selera rekanku penikmat keramaian. Sesaat suasananya hangat seperti teman lama yang bertandang ke rumah. Kiranya beberapa Euro (bukan Euro-ku) tidak lenyap tanpa makna. 

Yah, itu tentang Lora dan sepertujuhbelas perjalanan di hari kedua di Antwerp. 
*   *   *
Kereta ini menuju Berlin Hauptbahnhof, hari kemarin aku masih membayangkan berada di bus menuju Munchen. Begitulah banyak hal berubah tanpa kita minta. Tapi, 
tidak ada buruk yang terlalu buruknya. Bahkan bagian-bagian sedih dari cerita Lora. Bahkan kopi yang tidak nikmat pun pada akhirnya tetaplah kopi. Surga. Dan aku perlu segelas kopi juga.

Tertanda, bajak laut dengan eye patch kedodoran. 
Berlin, aku pulang lebih awal, 28.12.2017

26 Desember 2017

On 14.32 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Kepada mereka, orang-orang yang mampu mengikhlaskan sepanjang hayat untuk satu hal saja, mungkin sesungguhnya satu hal tersebut hanya menginginkan dua puluh menit saja. Juga kepada mereka, orang-orang yang mengabdikan tahun-tahun berharganya entah pada satu siapa, bisa jadi siapa tersebut hanya membutuhkan dua puluh menit saja.

Senja tadi, aku adalah satu hal. Sementara dirimu adalah satu hal yang lain. Dan cerita ini adalah tentang dua puluh menit. Dua puluh menit ini, dua puluh menitku.

Apakah kamu punya dua puluh menit?
To talk?
Untuk bermain. 
Will it cost much credit?
Satu-satunya kredit yang dipertaruhkan disini adalah kreditmu di mataku.
If I can see those credits in your eyes, that would be my game. Let's start!

Cat or dog [kita sepakat dalam hal ini]
Metal or hip hop [yoo..yoo, sesungguhnya musikku adalah folk]
White or black socks [absolute black!]
Soap or shampoo [shampoo(?)]
Deodorant or perfume [dan dimulai ceramahmu tentang bagaimana aku salah memahami syntax, hingga tentang aftershave hingga eau de toilette]
Lady gaga or Adele [ketidakjelasan, ketidakpastian, keragu-raguan, dari kedua sisi]
Window seat or aisle [windows 98]
Apple pie or blueberry tart [plain apple pie]

Kita masih punya beberapa menit lagi, dua puluh menitku mengambil alih 
Pineapple or coconut [pineapple]
Asia or west [Asia]
Zoo or theater [tidak bisa memilih, memutuskan untuk pergi ke zoo with a nice girl]
Spiderman or batman [spiderman, less miserable]
Capitalist or communist [communist, their leaders are kinda cool! No further explanation.]
Age of Empire or Half-life [Half-life from my side, karena aku payah dalam manajemen game yang membosankan.]
Tartan or polka dots [tartan dari sisi situ, polka dots dari bagianku]
Dua puluh menitku habis. Rasa sendiriku kikis. Aku masih satu hal.

*   *   *

Hanya senja tadi, ketika aku menjadi satu hal, dan dirimu menjadi hal yang lain. Kala itu, dua puluh menit kita yang tidak saling bertemu. 
On 02.09 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Adalah sebuah alasan lain untuk menulis pagi ini yaitu headset yang sudah lelah berfungsi dan dua jam perjalanan yang perlu dibunuhi. Aku bukan penggemar perjalanan yang sunyi. Well, kereta ini tentu tidak sepi, namun Anda harap mengerti, betapa nyamannya mendengar suara yang familiar dan kita pahami. 

Hari keenam dalam perjalanan menemukan diri sendiri (cieeeileee...maafkan ke-melayu-an ini). Jujur saja, aku masih belum yakin akan apa yang aku lakukan. Sejauh ini, semua tempat baru atau lama, pertama atau kesekiankalinya, belum gagal membuatku terpana dan ternganga. Yang lebih membuat terpana tentunya adalah bahwa ternyata aku masih baik-baik saja. 

Merry Christmas!! Happy holiday!!
Ya, dua frase yang paling sering aku ucapkan dan aku dengar sejak kemarin. Di akhir setiap transaksi, atau bertemu orang secara random di jalan, frase itu yang saling ditukar instead of "danke", "hi", atau "bye". Rentang hari-hari ini terasa sangat sesuai denganku, terasa sangat positif dan mayoritas wajah tersenyum dan bahagia. Indahnya. 

Aku sendiri tidak merayakan Natal. Pada konteks ini, aku adalah orang yang selalu menikmati suasana dan printilan Natal dan tahun baru. Khusus tahun ini, jujur saja, vibrasi festivalnya sangat sangat terasa (walaupun aku tidak ingin membandingkannya dengan suasana menjelang Galungan). Aku lumayan hanyut juga, secara tidak sadar mengorek-ngorek ingatan tentang pencapaian dan hal baik yang aku lakukan selama hampir setahun, dan mengira-ngira pantas tidaknya aku mendapat hadiah dari Santa. Well, those gifts are listed! 

1. Videocall from my family on 25th! Ini harus aku akui sangat manis, walaupun singkat, walaupun kualitas gambarnya ya begitulah. Ketahuilah, sendiri di tengah ramainya Christmas markt itu sedih-sedih bagaimana gitu. Dan tiba-tiba videocall dengan keluarga nun jauh disana? Terbaik!

2. Solo trip. Ini sangat arogan, bahwa aku menghadiahi diriku dengan perjalanan tanpa rencana yang sejauh ini, one of the best trip of my life! 
3. Nietzsche on the way! Sudah beberapa lama aku jatuh cinta pada Nietzsche. Tulisannya memberikan sensasi yang serupa dengan kombinasi antara anting baru dan sepatu yang terlalu nyaman. Bagian terburuknya adalah, cukup sulit menemukan beberapa judul karya Nietzsche. Fakta bahwa aku tinggal di Jerman, berbuah banyak kekecewaan karena ketidakmampuanku menikmati karya dalam bahasa ibunya. Tapiii... 
Tadaaa... Walaupun sepertinya aku harus sabar membacanya sampai tahun depan. Terima kasih, dr. Dwi Ariawan, sponsor utama sepanjang masa. 

4. Extra one day trip to Amsterdam. Katakanlah aku beruntung seperti biasa. 

5. I'm working on my novel-to-be-craps, mencoba serius menggarap beberapa penggalan draft, dan dengan dorongan beberapa spektator (thank you, guys!) memberanikan diri untuk konsultasi dengan salah satu agen penyunting naskah (entah dimana mendapat rasa percaya diri yang kelewatan ini.) Tapi, ya, it seems like they like it! Thank you Mas Gugun, for letting things happened!

6. One-voucher-of-whatever-I-want dari seorang penulis yang aku kenal secara tidak sengaja. Di luar bahwa kami akan mengerjakan artikel tentang budaya dan literasi (jelas aku hanya penyumbang perspektif tentang budaya Indonesia), aku pikir voucher ini akan ia sesali. Thanks Rob!

7. Ah ya, hadiah dari Secret Santa (yang pada akhirnya bukan rahasia lagi) dari malam gathering sebagai penanda berakhirnya core course kami! 

8._____

Aku ingin membiarkan daftar ini terbuka karena aku menyukainya. Haha...

*  *  *

Selanjutnya mungkin tetek bengek resolusi tahun baru. Tentu aku perlu sedikit lebih banyak waktu untuk berpikir dulu. Yang pasti salah satunya mesti mengenai merampungkan studi (periiiih!)

Well, Amsterdam sebentar lagi. Dan sesuatu, mungkin waffle dan kopi, di lambungku mulai bereaksi. Akh, biar sejauh apa aku pergi, ternyata ke-ndeso-an dan keudikan pusat emesis di otakku hampir mustahil dibenahi. 

Happy Holiday!
Rotterdam 26.12.2017

20 Desember 2017

On 08.09 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Adalah hal yang lumrah, ketika tidak ada rekan berbagi, dorongan untuk bercerita justru semakin tinggi. Itulah yang terjadi, ketika aku bepergian seorang diri. 

Kali ini aku ingin bercerita tentang awan. Karena tidak seimbang dengan hasratku bercerita, ternyata aku tidak memiliki bahan yang layak untuk diceritakan. Kebetulan saat ini hanya awan, entitas yang cukup memenuhi lapang pandang. 

Jadi, awan. 
Seberapa sering kita memandangi awan, dengan kaki memijak bumi, sambil memikirkan pertanyaan seperti; apakah bentuk awan dari bawah sini sama indah atau lebih indah dari sisi atasnya? Aku, cukup sering. Sebagai penikmat langit biru, awan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari observasiku. Dalam hal ini, keberadaan awan bisa jadi ambigu sekali. Awan seperti pengganggu, awan seperti benalu, di saat yang sama pada setiap lembar langit biru, awan juga selalu kutunggu. Bahkan ketika kesempurnaan biru tercemari segumpal awan kecil, di luar dugaan, perfeksionismeku tidak terusik sama sekali. 

Kembali ke pertanyaan tadi, kegelisahan tentang sisi atas awan, apa, dan bagaimana.. (setiap pertanyaan adalah kegelisahan). 


Pagi ini aku ada di daftar penumpang penerbangan dari Schonefeld tujuan Brussels. Langit terlalu berkabut, aku sendiri lumayan takut, pesawat kami tertunda sekitar satu jam lamanya. Aku mendapat tempat duduk di sisi jendela (syukurnya), seorang lelaki satu kursi di sebelahku, lelaki lainnya dua satu kursi di sebelahnya. Aku sempat menawarkan permen karet ke lelaki di sebelahku, yang ia terima, dan menyimpulkan bahwa sepertinya tidak akan terjadi percakapan lain diantara kami. Lelaki tersebut mengerjakan sesuatu dengan komputer portabelnya, yang sayup-sayup mengeluarkan nada-nada harmonik yang indah. Maka, aku mengetikkan cerita tentang awan ini sambil diiringi denting-denting musik yang tengah dikomposisi. 

Ah, ya, awan. Awan dari atas sini jauh berbeda dari gumpalan harum manis yang menari-nari. Aku tidak akan membuatnya terdengar luar biasa seakan-akan naik pesawat adalah peristiwa langka. Sesaat setelah lepas landas, awan menutupi seperti permadani, terlihat lembut dan nyaman sekali, hampir seperti yang dideskripsikan lewat episode-episode seri Doraemon. Namun selayaknya pertunjukan teater, awan tidak mengizinkan satu bentuk menetap terlalu lama, kemudian ia berubah menjadi savana. Seperti padang rumput yang luas tiada tara, hanya saja warnanya putih. Beberapa rumpun perdu rebah sesuai arah angin, aku hampir yakin bintik serupa serbuk sari ikut beterbangan di sekitarnya. Belum lama, pesawat agak oleng ke kanan, memberi ruang pada awan berbentuk roti kasur unjuk aksi. Terlihat sangat nyata dan tiga dimensi sampai aku bisa membayangkan isian selai cokelat, keju, dan srikaya di dalamnya. 

Seperti ingin mengalihkanku dari rasa lapar, pertunjukan masuk ke level yang lebih tinggi. Air terjun Niagara! Sangat, sangat, megah, dan mengalir dalam debit yang terlalu presisi skalanya. Kemudian kabut, seperti panggung yang jeda karena para artisnya harus berganti busana. Sayup musik masih terdengar di sebelah kiri. 

Kemudian aku melihat semacam bentuk lereng pegunungan, tapi juga mirip tembok besar China. Semakin aneh karena ada semacam rumah-rumah kayu tertata rapi di sekitar lereng atau tembok tersebut. Yang paling aneh, ada tanda kehidupan di dalamnya! Asap yang membubung, beberapa sosok yang mirip gnome berlarian mengerjakan hal yang tidak aku pahami. 

Dan, sentuhan di luar sweater di lengan kiriku menyadarkanku bahwa pesawat baru saja mendarat di Brussels. Lelaki di sebelahku sudah rampung dengan laptopnya, dia lah yang menyentuh (atau menyenggol) lenganku saat landing tadi. Ya, ampun, sampai dimana awan-awan tadi nyata, aku tidak yakin. 

Oh iya, ngomong-ngomong, namanya Evan. Seorang musisi. 


Brussels, 20 Desember 2017

18 Desember 2017

On 15.43 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Disclaimer: Bukan tulisan tentang resep level basis untuk bertahan hidup (walaupun mungkin juga bisa iya).

Kalau boleh menilai diri sendiri, saya adalah orang yang 'mudah'. Mudah tertawa, juga mudah menangis. Mudah terpicu emosinya, sekaligus mudah dipadamkan dengan beberapa tiupan halus. Mudah diatur, sekaligus mudah mengacaukan segala yang teratur. Mudah memberi, kemudian sadar ataupun tidak, saya mudah mengambil lagi dan membawa pergi. Mudah jatuh hati, (mungkin juga) mudah membenci, tapi kembali mudah lupa kalau seharusnya benci. Mudah menyelipkan diri dalam kelompok apapun, di saat yang sama mudah menghilang tanpa bilang. Ya, saya mudah dalam makna yang seperti itu. Saya mudah karena tangan-tangan ajaib yang melakukan segala hal untuk saya sedari kecil menanamkan cikal bakal yang demikian. Memastikan 'kemudahan' itu tumbuh di lahan yang subur setiap kali menjelang saya tidur. Telaten menyirami bilamana saya mandi. Hingga akhirnya kedua tangan saya ini secara maksimal berfungsi, 'kemudahan' itu sudah bisa merawat dirinya sendiri. 

Dan hidup kelihatan begitu baik-baik saja, bukan? Bukan. Karena mudah untuk segalanya sesungguhnya adalah omong kosong. Di balik layar, ada skenario yang tidak pernah tampil di atas panggung. Dari sebuah draft, ada bab yang tidak akan pernah muncul di lembaran buku yang terbeli di Togamas atau Gramedia atau Dussmann. Karena otak saya memiliki kecenderungan asosiatif dengan makanan, saya menamai skenario dan bab yang tersembunyi tersebut sebagai TELUR ATAU KENTANG, akan terjelaskan kemudian.



$ $ $

Cerita ini akan lebih mudah dipahami jika latar belakang saya sedikit diketahui. Sekilas, saya sedang menempuh studi di Berlin, baru beberapa bulan, baru melewati satu fase studi dan tengah di masa libur, sekaligus berusaha menikmati pergantian musim ke musim dingin. Jujur saja, saya mulai jatuh hati pada kota ini, di saat yang sama, tidak satu hari pun saya lewati tanpa memikirkan Indonesia, Bali, rumah, keluarga, sambel buatan ibu, rujak bulung, dan sebagainya. Hidup masih indah.

Pada waktu tertentu, yang tidak pernah tentu, saya mengunggah foto, tulisan, segala sampah yang memenuhi kepala dan catatan saya lewat media sosial. Menyenangkannya adalah ketika teman-teman di Indonesia memberikan hati atau jempolnya, bukan karena apa, semata-mata hal tersebut membuat saya merasa sedikit lebih dekat dengan rumah atau setidaknya memberi tanda bahwa masih ada tanda kehidupan dari manusia di seberang sini. Sayangnya, kita tidak memilih agar hanya hal menyenangkan yang terjadi di hidup ini. Dan ini lagi-lagi berawal karena saya 'mudah', kali ini mudah sakit hati dan tercederai. Sekian kalinya dalam hidup ini, satu kalimat bisa melukai berhari-hari. 

Ia bilang, "Mudah ya, hidup jadi kamu."

Dan saya, "Wow."

Aneh sekali, ketika saya bicara tentang diri saya yang serba mudah, terasa lumrah sekali. Namun ketika satu orang mengatakan hal yang sama tentang saya, rasanya berbeda. Tidak menyenangkan. 
Saat itu saya sedang tidak ingin berceramah panjang lebar tentang bagaimana tidak terimanya saya terhadap satu kalimat tersebut. Egoisme manusia. Defensif. Alih-alih saya berusaha kembali ke hakekat saya, menjadi mudah, ironisnya, sebagaimana yang orang tersebut labelkan terhadap hidup saya. 

Saya memulainya setelah seminggu. Salah satu kunci menepikan satu kegelisahan adalah dengan mengantinya dengan kegelisahan lain yang kadarnya hampir sama namun masih bisa dinalarkan sakitnya. Tiba-tiba sebuah cerita lama terputar di kepala saya, akar kegelisahannya adalah saya rindu setengah mati pada kehidupan praktis sebagai dokter setelah sekian bulan saya tinggalkan.

Di suatu sore praktek di salah satu klinik tempat saya dulu bekerja, saya ingat betul bahwa hari tersebut ada dalam rentang minggu dimana saya merasa jenuh dengan keseharian saya. Sederhananya, masa-masa tidak produktif dimana saya banyak menghabiskan waktu dengan menonton video tidak berbobot di youtube, menelusuri laman facebook dari atas ke bawah hingga atas lagi, hingga membaca tuntas komentar netizen di akun gosip instagram. Seorang anak perempuan datang diantar oleh kedua orang tuanya, menangis sambil memegang belah tangan kanan dengan tangan kirinya. Sang ibu menjelaskan singkat mengenai apa yang terjadi: sebuah cincin emas dimasukkan paksa ke jari yang ukurannya tak beda dengan diameter cincin tersebut. Alhasil, cincin berhasil masuk tak bisa dilepaskan. Riwayat dicoba tarik paksa, sabun, dan deterjen yang alih-alih membuat jari tengah si anak bengkak dan semakin tidak bisa dikeluarkan. Saya tak ingin langsung menyerah dengan mengirim anak tersebut ke UGD Bedah.
  • Percobaan pertama: melumurkan gel ke jari bermasalah, bertaruh pada kelicinan gel. Gagal.
  • Percobaan kedua: berimprovisasi dengan pinset, juga gagal bahkan sebelum mencoba karena si anak sepertinya mengasosiasikan pinset dengan aksi kekerasan.
  • Percobaan ketiga: (mereferensikan diri pada video yang entah dari facebook atau instagram) dengan lugas menginstruksikan sang ayah untuk mencari benang. Kemudian kami mengerjakan tepat seperti yang dilakukan dalam video berikut.



Berhasil!
Hal yang saya pikirkan saat itu adalah, ini adalah hal yang tidak pernah saya pelajari selama pendidikan dokter. Ini adalah pelajaran hidup yang ternyata saya peroleh lewat bermalas-malasan menonton video yang faedahnya diragukan. Dan jujur saja, rasa terima kasih yang diungkapkan oleh kedua orang tua dan anak itu sendiri, dalam pendengaran saya, tak berbeda dengan terima kasih dari seorang yang tertolong nyawanya. Kali itu juga, saya sadar, mudah itu relatif. Bagi saya kala itu mudah melilitkan benang di jari anak tersebut sambil menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung (don't blame me over the song of choice), namun bagi mereka, bisa terlihat luar biasa. Mereka sekeluarga pulang dengan gembira. Saya pun merasa bangga. 

Kenyataannya saat ini saya kangen bertemu mereka yang pulang ke rumah dengan gembira setelah bertemu saya. Amarah tentang masalah mudah-tak-mudah redup mereda. Apalagi mengingat relativitas dari mudah itu sendiri. 

$   $   $

Panas yang sama yang mengeraskan telur adalah juga panas yang melunakkan kentang. Kita tidak akan memperdebatkan fakta bahwa telur dan kentang yang dimakan bersama dapat memberikan kenikmatan tiada tara (apalagi ditambah siomay, yummy!). Poin saya adalah, pada praktisnya, kita banyak menyalahkan lingkungan yang memperlakukan kita seperti ini dan itu. Lingkungan yang terlalu panas, lingkungan yang terlalu bulat, lingkungan yang terlalu abu-abu, lingkungan...blablabla. Saya sendiri meyakini, lingkungan dan apapun yang dilakukan olehnya terhadap kita hanya satu diantara sejuta hal essensial lainnya. Saya mulai berhenti menyalahkan dan banyak menerima (yang ternyata sangat-sangat menyenangkan) sejak saya secara sadar melewati panas dengan fase memilih; menjadi telur atau kentang. Menyenangkan lagi, karena tidak ada batasan memilih setiap kali. Sama halnya dengan memilih menu yang sama sepanjang hari atau berganti hingga tiga empat kali. 

Kemarin sore saya kentang. Siang ini, telur. 

9 Desember 2017

On 06.40 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
For me, it is forever superficially physical on how I capture you in my mind.

Blue eyes,
Dark silver hair,
Long legs,
Heavy voice.

I would never involved in this game if I know it could be so intimidating.
Owh, you don't like that word; intimidating. As you never like elevator and narrow space.

Till the end of the day, I was sure something beautiful works on some full time job inside your hemispheres. I found that was very appealing.

(The first encounter.)
On 06.30 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
I was standing in front of book self of your friend while you were texting your other friend. It was a very long story on how we end up in your friend's room in a corner of the city. I tried my best not to be awkward, at least I think I did.

"You're so ambitious."
"No, I am not."
"I mean ambitious in good way."
"No. Believe me, I am not."

Either I am a denial, or a big liar. You could tell.

(The first encounter.)

7 Desember 2017

On 00.57 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

[Dunia T. Dunia ini baru sama sekali, hangat menyambut para penghuni.]

Kita menyala, tidak ada siapa yang menemukan siapa.
Hanya nyala.

Mata biru, rambut perak. 
Di sisi sebaliknya, hanya legam dan legam
Dingin gelap dan hati lantak,
Jeda sedetiknya, hanya genggam dan genggam.
Ini mudah sekali. Nyala ini mudah sekali.

Mulut yang tak berhenti mencatat, 
Mulut yang sama yang menyesap teh herbal dari cangkir yang cacat.

Sedikit di atasnya, hidung yang merasa segala residu di udara 
Udara yang selisih atas langkah panjang dan naif yang mengimbanginya.

popcorn yang hambar, bir yang kurang dingin,
tawa satir tertukar, film lawas mengumbar ingin.
Ini Berlin. 

Di jarak lima belas menit,
Visualisasi adalah hal terakhir yang bisa dipercaya.
sebilah tangan yang terdengar gemetar,
bibir manis yang beraroma retakan awal musim,
badan yang meliuk di tengah spasi...dan hal-hal yang tak bisa terlihat dengan mata.
Kecuali, kulihat bukumu di atas rak yang entah sejak kapan kosong.

Dan,

Kita menyala, tidak ada siapa yang menemukan siapa.
Hanya nyala.
Hari ini, semua kereta masih lintas di jalurnya. 

.A
(featuring RD, the one and only.)

17 Oktober 2017

On 14.22 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Bulan paling terang adalah sehari setelah purnama. Selalu. Dan kita berdua tahu itu. 

Misiku sepanjang seratus kaki dari mimpi; menjaga bulan runtuh di selantun tektonik, menghadangnya membentuk sabit dengan mengikatnya pada bayangan pohon tua, juga menolak gugurnya walaupun sudah tiba musimnya. 

Bukan aku yang lebih tahu, asal usul konstelasi dan sejarah benda-benda bumi. Dan bukan dirimu, yang penuh omong kosong perihal awan dan bintang yang menari. 

Pada masanya, manusia akan mulai bertanya, sejak kapan matahari mencelup cahaya, kemudian menampar bulan sekuat tenaga. Sampai terang. Sampai senang. Sampai kalimatku pecah menghantam gendang telinga siapa saja. Sampai senyummu beku. Cukup sampai di situ.

Ah ya, tentang bulan. Karena aku terlanjur menyebutnya lewat kedip mata.

Apa ia pernah pergi terlalu lama?

-A

08.10.2017

12 September 2017

On 15.13 by anya-(aydwprdnya) in , , , ,    No comments

Berapa banyak musim yang pergi?
Apakah lebih banyak dari musim yang berganti?

Ini bukan pertama, garis lintang sesak dilintasi rasa tanpa kata

Sebaliknya, huruf dan simbol saling menikahi, mengikrar janji berusaha hidup menolak mati
Kemudian, apa arti dingin yang gugur pada setapak yang tak habis dipunguti?

Penanda hari ini adalah musim yang berganti,
Ada terang dan benci bertabrakan di udara,
paralel di lintasan yang sama, gersang dan sepi menyapa sekadarnya.
Tak ada lupa, tak ada sisa
Tak lagi luka, tak pula jeda. 

Musim memang mengenali masanya, 
Demi kios-kios yang serentak membuka jendela. 
Juga demi harga yang ditawarkan pada warna. Juga rupa. Juga mata. Juga pelintas bumi yang menguap setelah titik koma.

Seharusnya dimulai sebuah cerita,
namun bunga-bunga habis sebelum senja. Bahkan kaktus-kaktus muda tandas bersama durinya. 
Panggung harus dilipat ulang.
Pencerita masih enggan pulang. 
Gelap menolak datang. 
Langit malam tak akan lekat dengan gaung parau kereta tua.
berjodoh dengan angin adalah tiupan-tiupan mesra (seharusnya dimaklumi oleh semua insan yang gemar berkeliaran)
Sungguh, ini perayaan kecil tanpa sampai jumpa.

Dan bagi satu merpati yang mencintai remah-remah roti,
Satu musim sepertinya tak akan kembali.

A.

9 September 2017

On 16.48 by anya-(aydwprdnya) in , , ,    No comments


Tentu judul akhir tulisan ini adalah hasil akhir dari dramatisasi tanpa batas, imajinasi dan kenaifan tiada tara, ditambah dengan kekonyolan (yang tak perlu didefinisikan lebih lanjut), dan kedamaian hati di akhir pekan. Mungkin di awal terdengar romantis, seakan aku ingin bernostalgia dengan cinta-cintaan monyet [selintas terdengar sound tract Meteor Garden], tapi sesungguhnya tidak. Sama sekali tidak. Aku akan membiarkan kesesatan ini bertahan hingga kita berhasil melintas ke paragraf selanjutnya.

[Berakhir]
Hingga menit-menit terakhir sebelum penerbangan Bali-Jakarta bulan kemarin, keluarga dan teman masih mempertanyakan hal-hal seperti, "Nanti di sana makan apa", "Ada yang jual beras, nggak?", "Kalau masak nanti beli bumbu dimana?", "Ada bawang nggak di Jerman" (ok, yang itu cukup konyol bagiku), "Nggak bawa Indomie yang banyak? Nanti kangen makan mie." Ya, tidak heran juga jika kekhawatiran tentang makanan adalah komponen dasar dalam hal memastikan kemampuan bertahan hidup. Hingga sebelum menginjak Berlin, aku sendiri pun tidak terlalu yakin jawaban atas pertanyaan sekelas itu. Kalaupun aku jawab, "Banyak kok yang jualan bahan makanan semacam toko-toko Asian...", itu semata untuk menyudahi kekhawatiran. Kekhawatiran si penanya sekaligus yang ditanya. Maka kemudian sedari awal aku agendakan, berburu Asia Markt adalah prioritas. 

Prioritas bergantian menempati urusan teratas, Asia Markt tergeser tetek bengek birokrasi kependudukan dan persiapan perkuliahan. Hingga pada satu titik, mitos itu menjadi nyata, aku kangen makan nasi. Masalahnya rasa kangen itu tidak terselesaikan dengan memasak beras dengan panci, yang entah kemampuanku menguap kemana, selalu gagal menghasilkan nasi. Pernah jadi bubur, pernah jadi nasi tim, pernah pula mendekati nasi aking. Entah ini ada kaitannya atau tidak dengan perasaan terintimidasi oleh salah satu anak penghuni rumah yang terlihat lebih menguasai dapur dan tahu bagaimana caranya memasak, tekadku pun bulat sempurna, aku perlu rice cooker. Segera. Dengan demikian, perjuangan mencari penanak nasi pun bermula.

Kalau di Indonesia, di Bali, di Denpasar, masalah penanak nasi ini akan terselesaikan dengan mudah dengan menyambangi toko perlengkapan rumah tangga dan elektronik. Favoritku selama ini adalah Dapur Prima, atau toko elektronik di seputaran Diponegoro. Dengan mengadaptasi pola yang sama, Media Markt (salah satu sentra toko elektronik) menjadi opsi utama. Masalah terselesaikan? Tidak. Rice cooker di tangan? Belum. Media Markt memang menjual rice cooker, entah aku yang masuk ke Media markt yang salah, yang ready stock adalah rice cooker ukuran 6 L, yang lebih kecil lagi 3 L. Yang lebih kecil lagi 2 L ditambah dengan fitur yang kurang aku mengerti dan sepertinya tidak aku butuhkan. Kecuali aku berencana untuk menghelat hajatan di dormitory, sepertinya aku harus mempertimbangkan rice cooker standar dengan kapasitas yang cukup kecil untuk mengisi satu perut. Satu lagi, harga di atas 50EUR sepertinya tidak mungkin untuk isi kantongku kala itu. Keluar dari pintu Media Markt, aku masih terkenang masa-masa bersama Miyako, sambil konsultasi dengan beberapa kawan tentang kemungkinan menemukan penanak nasi murah di Berlin. Tidak banyak pilihan yang aku miliki, hampir menyerah melanjutkan balada nasi-yang-bukan-nasi saja. Hingga terbersit niat untuk mapir ke toko Asia terdekat, kalau pun tidak ada nasi, setidaknya aku bisa makan lauk yang mirip-mirip masakan rumah, syukur-syukur bertemu tahu atau tempe. Google menjawab pertanyaanku lewat Hao Cai Lei.
 
Iya, serius, nama toko Asia-nya adalah Hao Cai Lei, berlokasi di Karl-Marx-strasse . Tokonya tidak terlalu besar, mudah ditemukan karena dengan dengan stasiun U-Bahn, begitu masuk pintu depan, langsung disamput oleh cici yang heboh berbicara lewat telepon dalam bahasa Mandarin. Screening seluruh isi toko, pelukanku sudah penuh dengan beras, saos, bumbu beraneka macam, tahu (sayang tidak ada tempe), ramyun instan (biarlah kekhawatiran tentang ini aku simpan sendiri), dan kimchi (berdasarkan review dari Google site). Saat itu lah aku melihat setumpuk barang yang bercahaya dan memancarkan harapan, rice cooker! Dan ukurannya mini. Ketika aku tanya harganya, 30EUR untuk ukuran 1,5 L dan 25 EUR untuk 0,6 L. Jauh lebih murah daripada penanak berfitur canggih yang dijual di Media Markt, tapi hatiku masih menyimpan keraguan, sambil terus memandangi (mungkin juga sambil mengelus) rice cooker tersebut. Mungkin wajahku terlalu mengenaskan hingga diberi potongan harga 4EUR, menjadi 21 EUR untuk rice cooker berukuran paling kecil. AKu tidak punya alasan untuk menolak. Dan entah apa lagi yang begitu memprihatinkan dari diriku, di kasir, harga rice cooker berubah lagi menjadi 19EUR! Akh, mungkinkan aku baru saja berhasil menawar dengan hati, aku tak terlalu ambil pusing.

Hingga saat ini, sudah sekitar 5 toko Asia yang aku temukan di sekitar Berlin, semuanya memiliki keunikan tersendiri. Yang pasti, tentang Hao Cai Lei ini, aku berikan satu tempat di hati. 

KUPU-KUPU
Tidak, aku belum bertemu satu kupu-kupu pun di Berlin, dan cukup bersyukur karena belum juga bertemu dengan kucing. 
Sebenarnya ini tentang minggu-minggu awal di kampus (lagi). Jadi bagaimana rasanya kuliah master? Cukup mengejutkan batin dengan jam kuliah 9-16 (paling cepat), kadang 9-18, atau lebih dengan penyesuaian. Pada dasarnya, kemampuan optimalku bertahan di kelas untuk kuliah berkisar antara 4-5 jam saja. Jam kuliah yang panjang, tumpukan buku yang harus dibaca, cuaca dan udara yang mulai dingin, semuanya mendukung menjadikanku mahasiswa kupu-kupu. KUPU-KUPU, kuliah pulang kuliah pulang? Atau kuliah pulang klub pulang? Aku sendiri tidak yakin juga. Hehe. Pada akhirnya, selalu ada alasan untuk makan bersama sepulang kuliah, atau sekadar duduk di Bier Garten. Hari pertama kuliah utama semester ini adalah ulang tahunku, besoknya malam dengan cuaca cerah, besoknya merayakan pindahan teman, besoknya ulang tahun teman yang lain....begitu terus. Selalu ada alasan untuk menikmati Berlin di malam hari, walaupun besoknya harus bangun pagi. 
Beberapa hal yang terjadi selama 'metamorfosis': aku mulai terbiasa lagi menyiapkan bekal makan siang yang bervariasi dan tidak melulu roti, pisang yang dulu di rumah selalu membosankan sekarang justru tiap hari aku rindukan, melihat ramalan cuaca PER JAM dan tahu apakah harus membawa payung, syal, atau sarung tangan ekstra, menjadi exBerliner sejati yang membaca buku di subway tanpa sensasi mabuk darat, tidur dan melewatkan stasiun karena terlalu mengantuk, memuja kopi sebagai penyelamat jiwa dan raga terutama di perkuliahan sesi kedua.

Sejauh ini, kuliah terasa amat sangat menyenangkan setalah sekian lama tidak menandatangani lembar absensi (entah setelah modul statistik bulan depan). Ya, banyak yang menganggap ini konyol, di Charite masih menerapkan absensi tanda tangan, bahkan untuk kuliah master sekalipun. Terlepas dari menjadi 'kupu-kupu' yang seperti apa, terlepas dari cerita ini ada atau tidak esensinya bagi umat manusia, terlepas dari ketidaksinambungan cerita dari awal hingga akhir...ini adalah kabar bahwa aku baik-baik saja.

Salam sayang.

26 Agustus 2017

Membuat rekening bank baru bukan agenda favorit Aci. Ada banyak data yang harus diisikan ke dalam formulir. Ada banyak identitas yang harus dicocokkan. Ada banyak informasi yang harus didengarkan. Pada banyak kesempatan, beberapa hal harus diberi anggukan kepala, walaupun sulit dicerna. Itu pengalaman selama ini mengurus akun bank di Indonesia. Di Jerman? Hal menjadi lebih rumit lagi.

TERMIN. Lagi-lagi kata ini. Sesaat setelah memegang Anmeldung di tangan, aku pikir akun bank bisa dibuat segera, tinggal datang, mengantre seperti biasa. Pilihan bank aku rasa hampir sama, kecuali status student dengan usia kurang dari 25 (unfortunate me!), dapat membuat akun student yang tanpa biaya bulanan. Tanpa alasan yang krusial, Berliner Sparkasse menjadi pilihan. Setidaknya warna merah dan logonya mudah dikenali. Namun, mendatangi cabang terdekat Berliner Sparkasse ternyata tidak menyelesaikan segalanya, terutama jika ingin mendapat pelayanan dalam bahasa Inggris. (Tentu aku bersiap dengan bekal Deutsch for Dummy bagian 'Conversation at Bank', nyatanya, tidak cukup untuk penjelasan panjang lebar dengan untuk mengerti seluk beluk perbankan dasar. Fuhh.)

Secara total, aku mendatangi, mari kita hitung...1,2,3... 7 kantor cabang Sparkasse!

16 Agustus 2017

Kantor cabang Wilmersdorf (terdekat dari Burgeramt tempatku menuai Anmeldung). Jawaban yang aku terima, tidak ada staf berbahasa Inggris yang lowong hari itu. Disarankan membuat TERMIN, yang adanya di 10 hari kemudian (whaaat?). Kemudian berpindah.


Sparkasse Alexanderplatz. Ini cabang yang terbesar aku rasa. Kebetulan aku bertemu langsung dengan staf yang bisa melayani dalam bahasa Inggris dan gemar mengedipkan mata sebelah kirinya. Masih belum beruntung, TERMIN harus dibuat untuk hari besoknya, padahal besoknya aku harus menghadiri YLH conference. Dengan terpaksa pembuatan termin ditunda, sampai lewat masa rusuh conference. Namun aku sudah diyakinkan bahwa rekening dapat dibuat karena kelengkapannya berupa passport dan Anmeldung sudah ada.


Masih ada sisa waktu, aku melompat ke Sparkasse cabang terdekat, dengan harapan mungkin masih ada kesempatan jika aku beruntung bertemu dengan staf bank yang bisa melayani tanpa termin. Melompat bus, kemudian turun lagi begitu melihat siluet logo S dengan titik di atasnya. Aku bahkan lupa cabang mana, yang pasti aku mendapat penolakan juga. 


21 Agustus 2017

Mendedikasikan hari untuk membuat rekening bank, aku kembali ke Alexanderplatz, tempat dimana dinyatakan bisa. Jawaban yang aku terima, "You should go to Sparkasse branch near Charlottenburg, because you're living there." Akh, ini semacam, "Bu, tidak bisa bikin rekening di Jakarta, soalnya KTP Ibu domisili Bali. Bikinnya juga yang cabang deket rumah ya...jangan yang nyebrang kabupaten." Hatiku patah lagi. Tapi ngikut juga ke cabang arahannya, salah satunya yang nomor 5.


Theodor-Heuss-Platz. Semua staf berbahasa Inggris cuti. Good timing.


Martin-Luther Strasse. Disambut dengan keyakinan, "Bisa, tunggu 5 menit". Apa yang kami dapat setelah 5 menit? "Ini resident permitnya tidak bisa untuk akun bank, harus cari lagi semacam surat keterangan di Auslanderbehorde." Lemaslah aku, appointment lain lagi? Membayangkan ribetnya appointment di Auslanderbehorde membuatku terpikir, apa ada cara lain bertahan hidup tanpa akun bank...jualan siomay ikan tenggiri, mungkin?


Grunewaldstrasse. Nihil.


Nollendorfplatz. Bertemulah dengan Pak Olaf (yang belakangan aku ketahui juga membantu pembuatan rekening beberapa kawan di Berlin.). TERMIN untuk keesokan harinya jam 10 pagi. 


22 Agustus 2017

Mendatangi Pak Olaf. Mendapat penjelasan detail tentang rekening Berliner Sparkasse. Dan yes! Rekening di tangan (kartunya belum). Terima kasih Pak, jasamu tidak akan terlupakan, juga karena Bapak berkenan mengantar Anya ke toilet. 

Pesan moral: membuat akun bank, baik di Indonesia, di Jerman, dan mungkin di mana pun, seperti uji keberuntungan. Keberuntungan kamu kasuk ke cabang bank yang mana. Keberuntungan kamu datang di hari apa. Keberuntungan kamu bertemu dengan staf bank yang bagaimana. Ingin sekali colekin temen anak bank, Onyun, Gembulz, Nechan. Jadilah sebaik Pak Olaf. 

Sudah bukan rahasia lagi, Berlin ini, atau katakanlah Jerman secara umum adalah surganya termin. Termin adalah appointment, adalah perjanjian. Maka yang sering berjanji dan tidak ditepati, berbenahlah sebelum memasuki kancah per-termin-an. Jadi apa-apa disini harus dengan perjanjian. Urusan kantor pemerintahan, pake termin. Urusan sama bank, termin lagi. Segala macam instalasi atau servis atau reparasi, termin lagi. Kadang yang menyebalkan, mengatur terminnya sendiri susahnya minta ampun. 

Lalu apa itu Anmeldung? Ulah apa lagi yang dilakukan Aci perihal Anmeldung? 

Anmeldung adalah semacam surat yang memuat data kita termasuk alamat sementara yang akan kita peroleh setelah melakukan lapor ke Burgeramt. Kalau lokalnya di Indonesia adalah semacam KITAS atau KIPEM yang kita dapat setelah lapor ke kelurahan. Kalau di Berlin ini (entah wilayah Jerman lain), Anmeldung harus sudah di tangan dalam jangka waktu 14 hari setelah kedatangan disini, berdasarkan info situs resminya https://service.berlin.de/dienstleistung/120686/ Burgeramt-nya bebas, boleh yang mana saja. Nah, Aci sendiri tidak ada masalah dengan termin, karena pada dasarnya Aci seperti merpati...tidak ingkar janji. Hanya saja, tidak ada waktu kosong pada termin yang bisa ditemukan sampai dua minggu lebih disini. Maka dengan saran dari kawan, aku dan Aci menyambangi Burgeramt terdekat dari dorm di Dauerwaldweg yaitu Burgeramt Heerstrasse. Berangkatlah kesana, tiba 7.40 (dua puluh menit sebelum Burgeramtnya buka). Bingung juga mau nanya kemana dan bagaimana, sementara begitu dibuka, pemanggilan sudah sesuai nomor termin. Aci pun galau, ia terlalu malu mengakui datang tanpa termin, takut disangka tidak tahu aturan. Sampai memasuki jam kedua, memberanikan diri bertanya dengan bahasa Jerman pas-pasan, dan menuai jawaban. Aci dan aku diarahkan ke sebuah ruangan yang mojok sendiri, aku mneyebutnya sebagai room of shame, dimana ada tiga orang di depan komputer yang langsung menebak benar bahwa aku tidak memiliki termin. Segalanya langsung mudah, termin dadakan dibuatkan oleh salah satu penjaga room of shame, dengan catatan terminnya di kantor Burgeramt yang lain yaitu di Charlottenburg-Wilmerdorfstrasee. Walaupun harus berhujan-hujan, apapun, demi Anmeldung di hari itu.

Syarat pembuatan Anmeldung ini sendiri tergolong mudah:

Mengisi formulir


Passport


Mietvertrag (wohnung, apartment, dimanapun kita tinggal)

Perjuangan lainnya adalah mengisi formulir yang keseluruhannya berbahasa Jerman, yang selalu memunculkan penyesalan, kenapa aku tidak intens belajar bahasa. 

Demikianlah, Anmeldung di tangan. Penting melentingnya adalah untuk pembuatan rekening bank. Tapi di balik proses meraih Anmeldung ini, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik:

- Pastikan mengecek ramalan cuaca setiap hari, setiap akan keluar rumah

- Latih bladder untuk menahan pipis lebih lama, toilet umum langka adanya, bilapun ada di stasiun yang lumayan besar bayarnya sama dengan dua belas kali pipis di toilet umum di Indonesia

- Hapalkan frasa yang sering dipakai, tanya alamat, tanya jalan, bilang maaf nggak bisa bahasa Jerman, dst

- Anmeldung bisa juga diperoleh tanpa perjanjian, sebaiknya jangan ditiru, membutuhkan kesabaran, kerja keras, dan rasa tidak tahu malu.

Anmeldung ini harus dibuat baru setiap kali kita berpindah alamat. Dengan ini, aku pikir, sebaiknya aku tidak berpindah dari dorm ini.

20 Agustus 2017


Pertama tiba disini, Aci menyebalkan sekali. Bingung, takut, bersemangat, bingung lagi. Kadang ditambah lapar, kadang takut tersesat. Katanya, "Kota ini, yakin kota ini?"
Aku jawab, "Aci...bisa enggak, enggak usah menyel?"
Kemudian kemana-mana Aci selalu aku temani.
Kini, memang baru lima hari, tapi Aci sudah mulai nyaman makan sendiri.

*   *    *
Kalau harus menyebut kota impian, tentu Berlin tidak akan jadi kota pertama yang tersebut. Mungkin kelima setelah Paris, Vancouver, Budapest, Tokyo, Barcelona (ya, aku memang mainstream)...atau keempatbelas bila disisipi kota-kota lainnya lagi. Bagaimana pun, pada nantinya, Berlin ini harus masuk juga dalam daftar, paling tidak kota yang di dalamnya selama beberapa lama ke depan akan menampung mimpi-mimpiku di dalamnya. Yang buruk, maupun yang indah.

Ngomong-ngomong soal mimpi. Mimpi indahnya malah dimulai sebelum sampai di sini, bersumber dari keberuntungan dan belas kasih mbak loket check-in Etihad. Maka tidur nyenyaklah kami di rute Jakarta-UEA. Yayy!


Tak ada jetlag di Berlin hari ini. Bukan judul film.
Andai ini hanya tentang sampai ke Berlin. Berhasil ditemukan Jody, dibantu Marc, hari pertama habis untuk mengamankan wohnung Studentenwerk yang selama ini susah payah diperjuangkan. Masalah muncul, office Studentenwerk, markasnya House Master (yang pegang kunci), lokasi dorm...macam jerawat di muka, berantakan. Namun segala hal perlu diambil hikmahnya. Dengan misi mendapatkan sebuah kunci, jalanan Berlin mulai terpahami, aku hanya tersesat beberapa kali. Pencapaian yang cukup baik.

Studentenwerk merupakan suatu badan yang memfasilitasi apartemen dan kost-kostan mahasiswa, termasuk mahasiswa international, di berbagai kota di Jerman. Untuk kamar satu ini, aku memasukkan aplikasi sekitar 6 bulan sebelum dinyatakan bisa dapat jatah. Kelebihan Stw adalah sewanya lebih murah. Kekurangannya ya itu, lama dapat kamarnya. Link https://www.stw.berlin/
Syarat agar bisa masuk tenant studentenwerk adalah:
1. Terdaftar di kampus di Berlin (bisa nyusul, tapi bisa menunjukkan LoA)
2.  Rekening tabungan bank Jerman (juga bisa nyusul)
3. Bayar uang sewa+kaution
4. Hati yang sabar dan teguh.



Tadaaa....wohnung baru. Agenda menggelandang bisa dicoret dari daftar.

Masalah memang analog dengan pacaran yang baru tiga mingguan. Datangnya bergandengan, kalau bisa dempetan. Kamar wohnung kosong melompong, menyisakan tanya, serius ini mesti belanja di IKEA di hari pertama??? Jawabannya memang hanya satu dan itu iya. Tentang berapa kali tersesat demi IKEA? Sekitar dua atau tiga.

Rekening tabungan yang perlu dibuka, masalah berikutnya. Tapi akan aku tulis di bagian selanjutnya saja. Juga tentang Anmeldebestatigung.

Demi pengetahuan umum, walaupun bukan pertama kali, sekali lagi aku dan Aci harus beradaptasi. Setidaknya beberapa hal yang masih perlu diberikan perhatian khusus:
1. Perlu waktu menata kamar yang terasa rumah. Kangen irawadi berseri.
2. Tatakan kloset kadang terlalu dingin di pagi hari.
3. Selalu lihat weather forecast sebelum pergi.
4. Lupa sudah caranya memilah sampah, jangan lupa bilas wadah pembungkus yogurt kalau mau dibuang dengan cara yang benar (sepertinya ini juga perlu dibuatkan sesi khusus).
5. Kabar buruk, botol minum yang baru dipakai 3 hari hilang T.T 10EU terbuang.

Malam pertama kedatangan, langsung menempati dorm yang ala kadarnya. (Maunya foto tampak kamar baru, tapi berantakannya level sempak masuk sepatu). Jam tidur seperti biasa, tanpa jetlag, syukurnya. Yang menyenangkan lagi, sepanjang ingatanku, tidak ada mimpi malam itu.





Caucus, moderated, unmoderated, motion, key note, policy brief, delegate, honorable chair, workshop, motion (again), vote, partnership, resolution, amendment.....dan seterusnya seterusnya. Mungkin dalam beberapa hari, minggu, atau kalau beruntung, dalam beberapa bulan ke depan kata-kata tersebut dan variannya masih akan bergema di pikiranku. Empat hari di Young Leaders in Health 2017 bukan cara terbaik memang untuk memulai hari-hari pertama di Berlin (terutama ketika aku tidak memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri dan lebih fokus pada perihal timbang-menimbang koper). Tapi empat hari ini juga memberikan perspektif baru tentang visiku selama ini (ugh, terlalu berat). Tentang bagaimana rencana ke depan yang terlalu naif, tentang pemikiran idealku selama ini yang mungkin saja benar, dan mungkin juga salah.
 
Young Leaders in Health Conference 2017.
Awal mula memutuskan untuk ikut mendaftar untuk mengikuti konferensi ini adalah sesaat setelah informasi ini muncul di halaman grup Facebook Troped MIH Student kemudian pikiran sempitku menilai nama konferensinya sendiri terdengar keren, langsung mengecek tanggal dan biaya pendaftaran, itu saja. Come on, when you have decided to dedicate your life in health, combine it with cool words like LEADER and YOUNG...you can be not impressive and turn impulsive. Ok, itu excuse yang payah sekali. Sedikit banyak aku masih menyisakan rasa yang tidak nyaman karena menyiakan kesempatan konferensi di Thailand Juli kemarin karena alasan yang tidak nyaman juga diungkapkan. Begitulah, selected by luck, surat elektronik notifikasi ini dan itu mulai berdatangan. Tugas-tugas berdatangan. Panduan dan tetek bengek link ke situs inu dan anu berdatangan. Pikirku, apa ini, aku ingin memulai hariku di Jerman dengan sedikit pemanasan, bukan ngos-ngosan. Segalanya terasa asing. Judulnya sendiri adalah kesehatan, tapi kontennya melebihi apa yang aku definisikan sebagai 'kesehatan' selama ini. Ekonomi, politik, kebijakan, inisiatif. Berada dekat jangkauan organisasi macam WHO, main pura-pura jadi World Health Assembly, mencetak resolusi, dst, dst... Demikian hingga hari konferensi tiba aku masih punya rasa, kenapa aku harus ada disana?
 
Karena dengan ada di sana, duniaku lebih terbuka. Aku tidak hanya melihat dengan dua mata.
Ya, itu terlalu banyak untuk sebuah jawaban. Katakanlah aku dalam status super inspired, sindroma ketika dalam jangka waktu tertentu terpapar dengan orang-orang yang menurut kita hebat, membicarakan ide-ide hebat.
 

 



WHA Simulation-Key notes-Super cool workshop-Social program 
Jelas aku bukan penggemar debat, di tubuhku tidak mengalir darah itu. Sayangnya, proses debat itu masih aku perlukan, paling tidak jika aku masih bertahan dengan idealisme menjadi dokter yang tidak biasa-biasa saja (apa coba maksudnya). Atau lebih tepatnya menjadi warga negara yang ada gunanya, walaupun peringatan kemerdekaan kemarin aku tidak hormat bendera. YLH ini pertama kalinya aku diperlihatkan dan dilibatkan dalam model World Health Assembly, yang sebelumnya tidak aku kenal bentuknya. Jujur saja aku terkesan, lembar resolusi, terlepas dari terealisasi atau tidaknya, terjadinya sepelik ini.
 

Tentang pembicara, key note speaker. Secara tulus, aku ingin sekali agar lebih banyak seminar dalam negeri paling tidak dipersiapkan seperti ini. Topik yang memang dipersiapkan agar memberikan maanfaat yang maksimal, seminar yang tidak hanya seremonial. Dan tentu harus aku akui, topic semacam ini, SDGs, global movement, global partnership...bukan topik yang menjadi favorit di dalam negeri.
 


Social program yang aku ikuti, berkebun; Urban Gardening. Ya, bukan tentang berkebun yang gimana-gimana. Jadi di Berlin ada semacam ruang hijau yang dikelola NGO, namanya Prinzessinnengaerten yang lokasinya di Prinzenstrasse. Pesannya adalah promosi perkebunan organic, hingga teringat project HFHL (huhu...sendu). Konsepnya juga menarik sekali, jadi semacam café plus coworking space (seperti yang merebak ngetrend di Bali akhir-akhir ini), tapi konsepnya kebun yang integrasinya apik sekali. Seharusnya, menurut hematku, kalau di Berlin yang hampir beton semua aja bisa ada yang begini, amat sangat bisa dibikin di Bali juga. Serius, keren sekali.
 
Terinspirasi tapi Tetap Obyektif
Di luar segala lebihnya yang membuatku terinspirasi,
beberapa catatan juga aku tandai tentang keikutsertaanku di YLH.
  1. Bentuk penugasan yang mungkin memang relevan dengan workshop akan lebih optimal dengan evaluasi di tengah masa pengumpulan (bagiku, policy brief bukan jenis tulisan yang begitu familiar denganku.)
  2. Akan sangat menyenangkan bila bisa terlibat dalam lebih banyak workshop. (Bukannya maruk, tapi aku terhidupkan di dalam workshopnya.)
  3. Dalam beberapa hal, aku merasa kurang terfasilitasi (dan juga memfasilitasi diri) untuk debat dan simulasi. Merepresentasikan negara yang tidak kita kuasai (walaupun Singapura adalah tetangga, namun sangat jauh berbeda.)
  4. Urban gardening overlap dengan program utama. Sempat keteteran juga jadinya di sesi regional block.
 
Bagaimana pun, 75 Euro terasa sangat murah setelah menjadi output dari YLH conference 17-20 Agustus 2017. Walau pun tidak ada kaitannya, aku jadi lebih semangat melanjutkan hidup di Berlin. Selanjutnya aku ingin sekali muncul tulisan tentang ide yang saat ini seperti merubungi kepala.
 
Demikian,
Yang Terinspirasi dan Sudah Mulai Bisa Makan Sendirian.
 
 
 
 

11 Juli 2017

On 23.48 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Hari kemarin, ia memperkarakan tentang bahagia. 
Bahkan debu jalanan pun tidak menjawabnya.
Apakah memang tak bisa?

*   *   *
Di banyak tempat, orang merayakan bahagia dengan melempar tanda. Mencatat rupa kombinasi angka, juga menyerukan pujian suka. 
Di negeri, di mana langit penuh dengan layang-layang, segalanya berbeda.
Mereka memperingati bahagia dengan menari dan menyalakan dupa. 

Ini merupakan kisah pembuka, dari negeri yang langitnya penuh dengan layang-layang. Kisah pertama yang terizinkan melompat keluar dari jendela salah satu penghuni yang juga adalah penerbang. Penerbang layang-layang. Tidak ada dokumentasi autentik, tiada peninggalan artefak antik. Segalanya berasal dari sumber pencerita, yang terbahasakan, dan terharap membahagiakan. Bukankah bahagia adalah awal dan akhir dari segala?

Ini negeri di mana langit normalnya dipenuhi layang-layang. Negeri dimana angin tak pernah surut namun tidak segala hal diciptakan untuk terbang. Pada hari yang indah, penghuni dan juga penerbang akan menjilat ringan salah satu dari sepuluh jari tangan, kemudian mengacungkannya tinggi ke udara. Sebuah ritual, agar dengan angin mereka dapat bersua. Begitu pentingnya ritual tersebut, semua penghuni menguasainya tanpa mempelajari. Begitu sakralnya ritual tersebut, atas berkat para dewa, menjadi refleks pertama yang ditemui pada bayi-bayi. Penghuni negeri berevolusi, ditakdirkan untuk memuji angin di terik matahari. 

(Sembari bercerita, sang narasumber terlihat membasahi telunjuk tangan kiri dan mengangkatnya tinggi.)

Siang yang belum matang, banyak jari unjuk pada tangan-tangan terentang. Angin sedang menghembuskan senang. Semua yang tidak sedang berkepentingan di dalam rumah, berhamburan di halaman, di jalanan, di pematang di antara jejeran jagung yang bulirnya berwarna-warni. Dengan jemari terangkat tinggi, mereka menari. Menari dan tertawa. Menari hingga lupa. Menari dan dalam pikirannya nikmat bercinta. Menari dan bercinta, dibalut gulungan asap dupa. Asap dupa adalah hak milik para tetua. Kaum sepuh membakar dupa, sebagai ganti sendi yang tidak mampu lagi menari. Asap dupa akan menggantikan gerak mereka dan angin akan tetap riang menerima. Tepat setelah semua merasa bahagia sampai ke puncaknya, masih dalam tawa, layang-layang akan mulai mengudara. Selanjutnya, cerita adalah milik layang-layang, dan angin tentunya.

(Secara meyakinkan, narasumber menunjukkan tanda cinta buta pada angin. Cukup kenalkah Engkau dengan angin?)

*   *   *

Untuk angin yang bertiup terlalu kencang, kita semua menyalahkan barat. Untuk keruntuhan, untuk perlawanan,...untuk perubahan, kita semua menyalahkan barat.

Apakah angin timur memang terlalu lembut dan kemayu? Apa tidak mungkin angin hanya ada satu, namun ia gemar menipu. Menjadi barat kala pikirannya penat, kembali timur ketika sayup tenang menjelang tidur. 

Dan pertanyaan. 
Yang terus dilempar, terus menampar.
Seperti angin yang hanya satu namun gemar menipu, terus menampari layang-layang yang memenuhi langit. Penerbang layang-layang bersorak, saling mengakui liukan layang-layang masing-masing. 

Jauh di atas sana, tamparan makin sering dan keras. Angin makin keras tertawa. Hingga awan berkumpul dengan sesamanya karena iri hatinya. Mereka ingin ikut menampar, kelihatannya menyenangkan. Angin mencibir. Tak ada yang peduli bagaimana layang-layang perih dan mulai menangis. Angin dan awan, berdebat mengenai hal-hal seperti siapa yang pantas merajai langit. Menyatir tentang keindahan dan menyindir dengan sengit.

Layang-layang menangis. 

Jauh di bawah sana, tepat dimana sebelumnya mereka bersuka dan bercinta, semua makhluk berlarian. Mereka takut akan hujan. 

[Selesai untuk cerita pertama.]

Model Kebahagiaan (Kehakikian) dari Negeri Dengan Langit Penuh Layang-layang
(Segera didapuk sebagai ikon Urip Iku Urup)

26 April 2017

On 10.48 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Pagi hari kemarin, burung kecil menoreh kedua kaki kecilnya,
Dengan tiga sayatan nyaris simetris,
Darinya meleleh darah semi kental nan amis
Ia dengar engkau menyenangi warna merah yang manis.

Pagi tadi, burung kecil meroket menukik di udara,
Melupakan pedih luka setengah menganga,
Mendaratkan cintanya pada sunyi beningnya jendela,
Ia yakin engkau di sana, menyukai hiburan dari balik kaca

Seharian ini, burung kecil mengabaikan setiap biji bulir padi,
Mengacuhkan getir asam perut menabuh bunyi,
Sebelum itu membawanya mati, ia bermimpi tangan hangat akan menenangkan resah hati.

Sayangnya engkau tak peduli. Darah, sunyi, bunyi, liar, lapar...burung kecil tak jua mati.
Perut kosongnya tak kunjung membisu,
Sampai saat ia menelan segenggam mesiu. 
Ia yakin engkau menggemari kembang api, maka sembari terbang ia meledakkan warna dan warni.

Nyaris. 
Kecuali bahwa tiada yang peduli pada kembang api di senja hari.

Kini, entah kepingan hari yang mana,
Burung kecil rampung mencabuti bulunya, 
Kemudian mengenakan jubah rambut serigala.

Apa kini engkau melihatnya? 
Seekor serigala mengaum sendu dalam sedihnya. 

[Kontemplasi rasa: pecinta yang patah berkali-kali, pendosa pada satu dari banyak hari, perasa dengan sensitivitas tinggi, juga garis sedarah yang seharusnya enyah saja dari atmosfer bumi.]
27 April 2017

26 Januari 2017

On 01.00 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Perihal antar mengantar di bandara, jelas aku bukan penggemarnya. Aku tidak suka mengantarkan kepergian, sama tidak sukanya dengan diantar setiap akan pergi kemana-mana. Bukan. Ini bukan rasa tidak suka semacam afek antisosial atau kepribadian yang soliter. Bukan pula unjuk aksi bahwa aku mandiri dan melakukan segala hal sendiri. Keduanya, mengantar dan diantar, membangkitkan rasa tidak suka yang lebih masuk ke dalam kategori kecanggungan yang mengarah pada rasa tidak nyaman.
Apa yang harus diucapkan saat mengantarkan keberangkatan ke bandara? Selamat jalan? Semoga perjalanannya menyenangkan? Baik-baiklah disana? Jangan rindukan aku? Menggelikan bagiku karena aku sering mengucapkan itu padahal sesungguhnya aku sangat ingin dirindu. 

Apa yang harus diungkapkan saat diantar sebelum pergi? Sampai jumpa? Doakan aku? Baik-baik selama aku pergi? Dan hal-hal lain yang lebih sering membuatku malah merasa tidak baik-baik.
Dan...
Hari ini aku di sini lagi, di Bandara Ngurah Rai. Seorang teman (lagi) akan melanjutkan studi, dan aku akan mengantarkannya untuk bertemu sebelum pergi.
Dan...
Tiba-tiba aku sudah di sini, di Bandara Ngurah Rai. Sementara pikiranku masih mengusir rasa tidak nyaman menginjakkan kaki di sini sendiri, bagian lain otakku sudah lebih dulu menggerakkan badan lewat otot dan sendi.
Dan,
tempat ini, di hatiku, terlanjur menjadi satu titik sebelum lenyap, garis akhir sebelum senyap.
Ah, tempat ini ramai sekali.