Defect, anomali...and perspective

3 November 2013

On 03.30 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Zaman sekarang, kita membutuhkan banyak hal. Bukan rahasia.
Zaman sekarang, kita menginginkan hal yang mungkin sama banyaknya. Bukan rahasia.
Bukan rahasia pula bahwa seringkali keinginan dan kebutuhan menempati ruang yang merancukan. Kalau boleh diibaratkan, kebutuhan dan keinginan merupakan catatan kaki dalam sebuah bab yang letaknya saling membelakangi dalam selembar kertas  yang sama: dekat, nyaris tanpa batas. Masalahnya hanya tentang sisi mana yang ingin kita lihat terlebih dahulu, halaman mana yang ingin kita tilik terlebih dahulu.

Bicara perihal kebutuhan dan keinginan, penulis sangat ingin mempertegas bagaimana kedua hal tersebut bukan sekadar bahasan filosofis.

Pertanyaan dasar, seberapa sering kita menginginkan sesuatu tanpa membutuhkannya? Atau seberapa banyak kita membutuhkan sesuatu tanpa menginginkannya? Jika jawabannya sama sering, maka bisa jadi salah satu di antara kita telah salah memaknai keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan merupakan abstraksi dari desakan akan faktor yang esensial untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, ada hal yang tidak terwujud saat kebutuhan itu tidak terpenuhi. Sementara keinginan merupakan aktualisasi dari id dalam rangka mencapai kepuasan.  Catatlah bahwa definisi tersebut adalah murni racikan penulis.

Ahh, prolog nan panjang untuk mengawali cerita yang dalam hal ini, salah satu contoh kasus bagaimana keinginan dapat menelan kebutuhan.. Bulat-bulat.

Ahh..lagi-lagi ahh, sebenarnya ini hanya ekspresi penulis yang sedang ada dalam masa paceklik, sekuensial dengan terbelinya gadget baru yang entah dibutuhkan, entah diinginkan. Masa kini, bila kita melihat kanan dan kiri, bukan untuk menyeberang jalan, melainkan untuk menyaksikan bagaimana jutaan barang elektronik mulai mengambil alih sisi kemanusiaan kita. Pintarnya, cara-cara persuasi klasik justru yang paling ampuh meningkatkan angka penjualannya. Penulis juga bertindak sebagai korban disini. Sekitar satu dua tahun yang lalu, penulis berpikir, "Ahh, belum waktunya punya yang begituan. Smart phone, tablet pintar, apapun yang penting tag linenya semacam bisa mengangkat harkat dan harga diri. Belum perlu". Nah, yang terakhir itu yang balik membumerangi pikiran penulis sejak pertengahan tahun ini. Apa yang penulis katakan sebagai belum perlu ternyata sesungguhnya adalah BELUM INGIN. Ketika keinginan itu muncul, maka semerta-merta kebutuhan itu juga ada--karakteristik hedonisme. Jadi yang mana mengawali yang mana? Yang pasti penulis belakangan ini sangat menikmati kepraktisan menulis dari gadget baru yang menyadarkan betapa konsumtifnya bertahan hidup hari-hari ini. Ahhh....

*    *   *

Kebutuhan dan keinginan.
Memang kedua hal tersebut seringkali dijadikan materi dasar ilmu ekonomi, sama lumrahnya dengan dijadikannya dua kata benda tersebut diatas dalam pidato-pidato naratif, mulai dari konteks hari jadi instansi tertentu hingga hajatan macam pemilihan kepala daerah. Namun, penulis sendiri lebih ingin menarik kesederhanaan makna "butuh" dan "ingin" keluar dari ranah naifnya. Dua kata yang trakhir bermanifes kata sifat, memiliki andil dalam representasi aliran hidup masa ini, yang sering juga mereka sebut zaman hedon (sempat disebutkan sebelumnya), terpotong dari kata asalnya hedonik, hedonia. Mungkin hedon terdengar lebih sederhana, dan lebih populer di kalangan pergaulan penulis, dan sering diplesetkan menjadi zaman hedan. Yah, hedon, hedan, akhirnya edan.

0 comments:

Posting Komentar