Defect, anomali...and perspective

27 Desember 2017

Seperti halnya kisah cinta, tidak semua perjalanan berakhir bahagia. Ini semacam sensasi pahit yang mengikuti tablet bandel yang sulit ditelan (tentang peliknya urusan minum obat ini adalah cerita tersendiri). Ya, sensasi pahit yang itu, yang tidak hilang dengan minum air dua gelas, yang hanya sedikit tersamarkan dengan sesendok madu kemudian terasa lagi. Akh..dimana sebenernya bahagia yang tidak ada akhirnya? Setidaknya aroma kopi milik seseorang di kereta pagi ini memberikan kesan bahwa tidak ada buruk yang terlalu buruk juga. 

Mari berbicara tentang hal yang menyenangkan. Hal yang aku suka...hm..anting. Kami bertemu di pasar malam (yang buka sejak pagi hari), salah satu pasar malam Natal dan tahun baru yang kami kunjungi. Standar, ia penjual di salah satu stal, kami pengunjung dan penikmat keramaian. Komoditas yang ia pajang dan jajakan adalah perhiasan buatan tangan. Pun saat aku lihat pertama kali, ia sedang asyik memilah batu-batuan berwarna. Bukan aku yang berinisiatif mendekati stal miliknya. Rekanku penikmat keramaian yang menarikku ke arah situ, dan berhenti bukan hanya untuk melihat. Keputusan yang buruk, tentang anting, aku tidak bisa hanya sambil lalu. 

Namanya Lora, wanita sekitar 30an, berambut merah yang membuat bentuk rahang perseginya kontras. Lebih kontras lagi adalah topi bertelinga kelinci yang ia kenakan, seperti penanda bahwa ada sesuatu di balik kelincahan jemarinya memindahkan bentuk-bentuk biji dari satu wadah ke wadah lainnya. Di luar dugaan, ia punya ciri kepribadian periang yang kentara. Kami pun mudah akrab seperti sudah saling mengenal sebelumnya. 

Lora adalah penduduk asli kota itu, Antwerp, menikah dengan pria asal Prancis dan menjalani kesehariannya di negara keduanya tersebut. Ia mengambil kesempatan berjualan di pasar ini antara lain juga agar memiliki alasan untuk pulang dan bertemu teman-teman di kota kelahiran. Menyenangkan mendengarnya bercerita sambil tak henti bekerja dan matanya juga berbicara. Sampai pada bagian bagaimana ia rindu suami dan hewan-hewan peliharaannya di Prancis selama ia menjadi salah satu vendor di sana, aku seperti punya perasaan pada level yang sama. Rekanku penikmat keramaian, aku yakin sadar akan itu karena aku mulai berusaha mengalihkan perasaanku dengan meniupi gelas kertas berisi coklat panas yang sudah lama mendingin (di sana, kecepatan pendinginan minuman cokelat berbanding lurus dengan angin yang memberantakkan rambut). 

Lora adalah seorang akuntan, maksudku punya latar belakang pendidikan sebagai akuntan, yang punya mimpi untuk mengerjakan hal-hal yang cinta; berkreasi membuat perhiasan. Tiupan ke gelasku semakin meningkat frekwensinya. Tanpa aku niatkan. 

Rekan penikmat keramaianku, mengambil alih dengan bercerita tentang bagaimana perhiasan-perhiasan buatan tangan tersebut begitu mengingatkannya pada rumah, terutama ibunya yang juga gemar membuat pernak pernik dan perhiasan buatan tangan. 

Kata Lora, visi di balik idealisme perhiasannya adalah tidak ada perhiasan yang percuma dan sia-sia. Prinsip. Maka semua karya yang ia jual sore itu adalah hasil daur ulang dari perhiasaan lain yang tidak terpakai, atau tidak ingin diingat lagi, atau ingin dikenang namun dalam bentuk yang berbeda (kadang kita sangat lihai menemukan alasan untuk mengenang sesuatu bukan dalam bentuk orisinalnya). 

Lora salah memahami kami sebagai pasangan, mengomentari bagaimana kami terlihat serasi. Tidak ada satupun dari kami yang berniat mengoreksi. Setidaknya bagi Lora, bisa jadi kami juga adalah sebentuk memori yang tidak orisinal sejak pertama. Lucunya, menjiwai perannya, rekanku penikmat keramaian mengamati dengan seksama deretan anting di hadapanku sebelum akhirnya memilih satu. Menyodorkan ke arahku, memberi isyarat untuk mencobanya, mengabaikan mulutku yang membentukkan "really?" tanpa suara.


Tentu sebagai penjual, Lora harus memuji bahwa anting tersebut terlihat bagus di telingaku, dan memang iya, Lora memujiku dan selera rekanku penikmat keramaian. Sesaat suasananya hangat seperti teman lama yang bertandang ke rumah. Kiranya beberapa Euro (bukan Euro-ku) tidak lenyap tanpa makna. 

Yah, itu tentang Lora dan sepertujuhbelas perjalanan di hari kedua di Antwerp. 
*   *   *
Kereta ini menuju Berlin Hauptbahnhof, hari kemarin aku masih membayangkan berada di bus menuju Munchen. Begitulah banyak hal berubah tanpa kita minta. Tapi, 
tidak ada buruk yang terlalu buruknya. Bahkan bagian-bagian sedih dari cerita Lora. Bahkan kopi yang tidak nikmat pun pada akhirnya tetaplah kopi. Surga. Dan aku perlu segelas kopi juga.

Tertanda, bajak laut dengan eye patch kedodoran. 
Berlin, aku pulang lebih awal, 28.12.2017

1 komentar:

  1. asyik...terbawa kedunia anting-anting.... kadang kata-katanya sy berpikir ulang mencernanya...tapi Top Cer !

    BalasHapus