18 Desember 2017
Disclaimer: Bukan tulisan tentang resep level basis untuk bertahan hidup (walaupun mungkin juga bisa iya).
Kalau boleh menilai diri sendiri, saya adalah orang yang 'mudah'. Mudah tertawa, juga mudah menangis. Mudah terpicu emosinya, sekaligus mudah dipadamkan dengan beberapa tiupan halus. Mudah diatur, sekaligus mudah mengacaukan segala yang teratur. Mudah memberi, kemudian sadar ataupun tidak, saya mudah mengambil lagi dan membawa pergi. Mudah jatuh hati, (mungkin juga) mudah membenci, tapi kembali mudah lupa kalau seharusnya benci. Mudah menyelipkan diri dalam kelompok apapun, di saat yang sama mudah menghilang tanpa bilang. Ya, saya mudah dalam makna yang seperti itu. Saya mudah karena tangan-tangan ajaib yang melakukan segala hal untuk saya sedari kecil menanamkan cikal bakal yang demikian. Memastikan 'kemudahan' itu tumbuh di lahan yang subur setiap kali menjelang saya tidur. Telaten menyirami bilamana saya mandi. Hingga akhirnya kedua tangan saya ini secara maksimal berfungsi, 'kemudahan' itu sudah bisa merawat dirinya sendiri.
Dan hidup kelihatan begitu baik-baik saja, bukan? Bukan. Karena mudah untuk segalanya sesungguhnya adalah omong kosong. Di balik layar, ada skenario yang tidak pernah tampil di atas panggung. Dari sebuah draft, ada bab yang tidak akan pernah muncul di lembaran buku yang terbeli di Togamas atau Gramedia atau Dussmann. Karena otak saya memiliki kecenderungan asosiatif dengan makanan, saya menamai skenario dan bab yang tersembunyi tersebut sebagai TELUR ATAU KENTANG, akan terjelaskan kemudian.
$ $ $
Cerita ini akan lebih mudah dipahami jika latar belakang saya sedikit diketahui. Sekilas, saya sedang menempuh studi di Berlin, baru beberapa bulan, baru melewati satu fase studi dan tengah di masa libur, sekaligus berusaha menikmati pergantian musim ke musim dingin. Jujur saja, saya mulai jatuh hati pada kota ini, di saat yang sama, tidak satu hari pun saya lewati tanpa memikirkan Indonesia, Bali, rumah, keluarga, sambel buatan ibu, rujak bulung, dan sebagainya. Hidup masih indah.
Pada waktu tertentu, yang tidak pernah tentu, saya mengunggah foto, tulisan, segala sampah yang memenuhi kepala dan catatan saya lewat media sosial. Menyenangkannya adalah ketika teman-teman di Indonesia memberikan hati atau jempolnya, bukan karena apa, semata-mata hal tersebut membuat saya merasa sedikit lebih dekat dengan rumah atau setidaknya memberi tanda bahwa masih ada tanda kehidupan dari manusia di seberang sini. Sayangnya, kita tidak memilih agar hanya hal menyenangkan yang terjadi di hidup ini. Dan ini lagi-lagi berawal karena saya 'mudah', kali ini mudah sakit hati dan tercederai. Sekian kalinya dalam hidup ini, satu kalimat bisa melukai berhari-hari.
Ia bilang, "Mudah ya, hidup jadi kamu."
Dan saya, "Wow."
Aneh sekali, ketika saya bicara tentang diri saya yang serba mudah, terasa lumrah sekali. Namun ketika satu orang mengatakan hal yang sama tentang saya, rasanya berbeda. Tidak menyenangkan.
Saat itu saya sedang tidak ingin berceramah panjang lebar tentang bagaimana tidak terimanya saya terhadap satu kalimat tersebut. Egoisme manusia. Defensif. Alih-alih saya berusaha kembali ke hakekat saya, menjadi mudah, ironisnya, sebagaimana yang orang tersebut labelkan terhadap hidup saya.
Saya memulainya setelah seminggu. Salah satu kunci menepikan satu kegelisahan adalah dengan mengantinya dengan kegelisahan lain yang kadarnya hampir sama namun masih bisa dinalarkan sakitnya. Tiba-tiba sebuah cerita lama terputar di kepala saya, akar kegelisahannya adalah saya rindu setengah mati pada kehidupan praktis sebagai dokter setelah sekian bulan saya tinggalkan.
Di suatu sore praktek di salah satu klinik tempat saya dulu bekerja, saya ingat betul bahwa hari tersebut ada dalam rentang minggu dimana saya merasa jenuh dengan keseharian saya. Sederhananya, masa-masa tidak produktif dimana saya banyak menghabiskan waktu dengan menonton video tidak berbobot di youtube, menelusuri laman facebook dari atas ke bawah hingga atas lagi, hingga membaca tuntas komentar netizen di akun gosip instagram. Seorang anak perempuan datang diantar oleh kedua orang tuanya, menangis sambil memegang belah tangan kanan dengan tangan kirinya. Sang ibu menjelaskan singkat mengenai apa yang terjadi: sebuah cincin emas dimasukkan paksa ke jari yang ukurannya tak beda dengan diameter cincin tersebut. Alhasil, cincin berhasil masuk tak bisa dilepaskan. Riwayat dicoba tarik paksa, sabun, dan deterjen yang alih-alih membuat jari tengah si anak bengkak dan semakin tidak bisa dikeluarkan. Saya tak ingin langsung menyerah dengan mengirim anak tersebut ke UGD Bedah.
- Percobaan pertama: melumurkan gel ke jari bermasalah, bertaruh pada kelicinan gel. Gagal.
- Percobaan kedua: berimprovisasi dengan pinset, juga gagal bahkan sebelum mencoba karena si anak sepertinya mengasosiasikan pinset dengan aksi kekerasan.
- Percobaan ketiga: (mereferensikan diri pada video yang entah dari facebook atau instagram) dengan lugas menginstruksikan sang ayah untuk mencari benang. Kemudian kami mengerjakan tepat seperti yang dilakukan dalam video berikut.
Berhasil!
Hal yang saya pikirkan saat itu adalah, ini adalah hal yang tidak pernah saya pelajari selama pendidikan dokter. Ini adalah pelajaran hidup yang ternyata saya peroleh lewat bermalas-malasan menonton video yang faedahnya diragukan. Dan jujur saja, rasa terima kasih yang diungkapkan oleh kedua orang tua dan anak itu sendiri, dalam pendengaran saya, tak berbeda dengan terima kasih dari seorang yang tertolong nyawanya. Kali itu juga, saya sadar, mudah itu relatif. Bagi saya kala itu mudah melilitkan benang di jari anak tersebut sambil menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung (don't blame me over the song of choice), namun bagi mereka, bisa terlihat luar biasa. Mereka sekeluarga pulang dengan gembira. Saya pun merasa bangga.
Kenyataannya saat ini saya kangen bertemu mereka yang pulang ke rumah dengan gembira setelah bertemu saya. Amarah tentang masalah mudah-tak-mudah redup mereda. Apalagi mengingat relativitas dari mudah itu sendiri.
$ $ $
Panas yang sama yang mengeraskan telur adalah juga panas yang melunakkan kentang. Kita tidak akan memperdebatkan fakta bahwa telur dan kentang yang dimakan bersama dapat memberikan kenikmatan tiada tara (apalagi ditambah siomay, yummy!). Poin saya adalah, pada praktisnya, kita banyak menyalahkan lingkungan yang memperlakukan kita seperti ini dan itu. Lingkungan yang terlalu panas, lingkungan yang terlalu bulat, lingkungan yang terlalu abu-abu, lingkungan...blablabla. Saya sendiri meyakini, lingkungan dan apapun yang dilakukan olehnya terhadap kita hanya satu diantara sejuta hal essensial lainnya. Saya mulai berhenti menyalahkan dan banyak menerima (yang ternyata sangat-sangat menyenangkan) sejak saya secara sadar melewati panas dengan fase memilih; menjadi telur atau kentang. Menyenangkan lagi, karena tidak ada batasan memilih setiap kali. Sama halnya dengan memilih menu yang sama sepanjang hari atau berganti hingga tiga empat kali.
Kemarin sore saya kentang. Siang ini, telur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar