28 Februari 2011

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.”
----Soe Hok Gie (1942-1969)
Kalimat tersebut seakan telah menjadi tagline dari seorang Soe Hok Gie. Mungkin saja saya salah, atau hanya sekadar berasumsi, karena kalimat tersebut yang saya dapati mengekor di belakang kata “Gie” pada sampul VCD tentang aktivis mahasiswa tersebut. Secara general saja, saya harus mengakui keampuhan kalimat tersebut membuat saya merasakan sebuah kedalaman makna yang mungkin tak bermakna. Kesan yang sulit dideskripsikan, yang teronggok dalam tubuh saya, dari ceruk yang sulit untuk saya identifikasikan. Walaupun terkadang saya berpikir, mengapa dari sekian banyak kata dan kalimat dari bertumpuk catatan harian Gie, justru kalimat itulah yang dipilih. Tentu seharusnya ada sebuah alasan. Saya sendiri terlalu malas untuk bertanya atau googling mengenai alasan tersebut, saya memilih untuk menjawabnya sendiri.
Beberapa waktu yang saya lalui dengan berpikir memberikan saya dua buah opsi alasan: (1)Kalimat itu sangat tepat untuk menggambarkan seorang Gie dan (2)Kalimat tersebut adalah refleksi dari keadaan faktual saat kalimat tersebut ditulis. Beberapa waktu tambahan saya butuhkan untuk mengidentifikasi keunggulan dari masing-masing alasan. Lebih banyak waktu lagi yang perlu dituntut untuk mematahkan salah satu argumen. Hasilnya, keduanya seri. Saya sama sekali tidak dapat memutuskan, karena keduanya bisa saja benar.
Sejujurnya saya tidak begitu mengenal sosok seorang Soe Hok Gie. Saya bukan aktivis yang memilih arah persayapan saya dengan menduplikasi kekritisan Gie. Begitu pula, saya bukan seorang penggemar fanatik akan heroisme seorang mahasiswa, walapun harus saya akui, sangat saya rindukan di masa kini. Saya hanya mengenalnya sedikit dari film garapan sutradara Riri Reza, yang saya tonton hampir enam tahun sejak film tersebut dirilis. (Sebenarnya saya agak malu mengakuinya.) Syukurlah, lebih dari dua jam tenggelam dalam penokohan Gie oleh Nicholas Saputra, saya merasa sedikit memahaminya. Bila saya ingin menulis resensi untuk film tersebut, saya yakin rangkuman saya hanya akan menjadi ‘tulisan kacangan’ yang terselip diantara banyak resensi bernilai jual tinggi. Saya hanya memiliki dua pilihan. Pilihan kedua adalah menjadi orang aneh yang memutuskan untuk mengulas sebuah kalimat dari sampul VCD. Syukur sekali lagi karena saya tidak sedang menulis resensi untuk sebuah film.
* * *
Sepanjang film Gie berulah dan berlagak di layar laptop seorang kawan, saya sungguh merasa bahwa Indonesia terlihat begitu sempit dalam film. Bagaimana tidak, pergerakan mahasiswa, pertarungan dua kelompok politik, intimidasi etnik, bahkan sepertinya adu mulut penjual cabe di pasar pun dapat mempengaruhi kelangsungan pemerintahan sebuah negara. Kenyataannya, saya tak perlu jelaskan lagi berapa banyak pulau dan penduduk yang dimiliki oleh Indonesia. Kenyataannya pula, saya merasa dipecundangi. Ketika seseorang dengan cerdik membagi ruang publik menjadi dua, menjadi asing atau bergabung munafik.
Ya, dua pilihan yang sangat sulit, baik pada masa lalu maupun masa kini. Menjadi asing merupakan ancaman sisi sosial seorang manusia, begitu pula tertuduh munafik adalah aib. Tapi kenapa kita harus menjebak diri dalam hidup yang dikelilingi garis pinggir. Bukankah seakan tak ada bedanya dengan singa yang saling mengaumi kawanannya ketika melewati garis kandang? Justru dari pertanyaan itu saya mendapat unsur kuat dari pernyataan mengenai campur tangan politik dan pemerintahan. Aroma khas dari pola kehidupan paska kemerdekaan, disaat Gie hidup pada masanya. Akuilah, lebih dari sekadar singa dalam kandang yang hampir saling membunuh, mereka memiliki pawang dengan cemeti di tangan yang selalu siaga penuh.
Namun dunia telah berkembang, Kawan! Memang tidak berkembang sesuai garis pada koordinat bertanda positif. Dan saya menyerah untuk memilih antara menjadi asing atau belajar munafik.
* * *
Saya punya sepenggal cerita tentang sebuah negara dimana orang-orangnya sangat menyanjung aktualitas pemikiran kaum muda. Prinsip pemerintahan yang dianut negara tersebut adalah semakin muda seseorang memutuskan berani menjadi pemimpin, maka akan semakin hebat pemerintahan dibawah kepemimpinannya. Melihat prolognya, terbayang sebuah negara futuristik dengan manipulasi teknologi yang mencekik. Tapi tidak, setiap garis asap yang keluar dari setiap dapur berasal dari tungku kayu, maka bayangkanlah zaman apakah itu.
Di negara tersebut, segala yang muda akan dipuja. Ketua negara (mereka lebih senang memakai kata ketua dibandingkan presiden, kaisar atau raja) muda dijunjung. Tabib muda dicari. Pencuri muda diberi penghargaan. Puncaknya, mati muda adalah berkah tak terhingga bagi keluarga mereka. Sebaliknya orang yang masih hidup hingga lanjut usia adalah corengan kasar bagi keluarga dan harus hidup di pinggir hutan bersebelahan dengan tempat pembuangan sampah. Dengan prinsip seperti itu negara tersebut bertahan dalam kemudaan mereka.
Suatu ketika, datanglah seorang pengelana. Ia tidak tahu sebelumnya bahwa negara yang didatanginya memuja kemudaan lebih dari apapun, padahal usianya saat itu sudah tidak muda lagi. Hanya ada dua pilihan, berbohong mengenai usianya atau tidak diterima padahal ia tidak memiliki uang sepeser pun. Pada saat itu, ketua negara mengalami nefritis akut akibat infeksi. Pergantian ketua negara tidak memungkinkan karena belum ada calon yang siap. Sang pengelana memutuskan untuk berbohong dan mengatakan bahwa usianya masih muda. Memenuhi kriteria sebagai ketua negara (satu-satunya kriteria adalah usia muda), pengelana pun ditawari untuk menjadi ketua. Gambaran faktual seorang ketua negara adalah hidup berkecukupan dan mendapatkan segala yang diinginkan. Mengagetkan, sang pengelana memilih untuk mendonorkan satu ginjalnya pada ketua negara, hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Dipanggillah segenap tabib muda untuk melakukan prosedur pendonoran ginjal. Ketua negara tertolong, negara itu tetap melaju dengan menghirup penghargaan terhadap masa muda, dan sang pengelana terus tinggal dinegara itu, berlindung di balik kemudaan palsu.
* * *
Cukup panjang untuk sebuah penggalan cerita. Sedikit paradoksial karena Gie sendiri setuju bahwa mati di usia muda adalah pengakhiran hidup yang paling bahagia. Pengelana tidak ingin menjadi terasing sehingga ia berbohong, Tapi apakah humanisme inklusif untuk nilai kemunafikan. Saya hanya ingin menunjukkan, ada ranah diluar garis berprinsip dan munafik.
Soe, hari ini saya masih mahasiswa. Seperti kamu pada tahun 1965. Saya tidak bermaksud mengkritisi sebuah kalimat. Saya hanya ingin mengabarkan bahwa saya sudah menemukan jalan tengah. Dimana saya tidak harus dikucilkan karena saya tidak mengikuti arus. Dimana saya tidak harus menipu diri sendiri hanya agar diterima. Hanya menjadi diri sendiri, dan seperti katamu, menyatukan yang bisa disatukan dengan cinta. Hingga saat ini, cita-cita yang mengakar dalam seorang Soe Hok Gie masih belum tercapai. Entahlah bila sebuah kalimat akan mendekatkan, atau justru menjauhkan kita pada cita-cita tersebut.
Maafkanlah kenakalan subyektifitas, bagaimanapun saya mengagumi pencatatan sebuah nama dalam sejarah.
[Saya tulis, karena jujur saja, saya terinspirasi.]
--Tertunda dua bulan lamanya sebelum saya ingat belum mengepost-kannya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar