Defect, anomali...and perspective

18 Mei 2014

On 18.14 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Ada masa untuk mencari kawan. Ada saat kehilangan teman. Banyak yang bertahan, secara harfiah kita namai sahabat. Bagiku, ini bukan tentang waktu, sebagaimana opini publik yang menyatakan bahwa waktu bersifat ambigu; menguatkan sekaligus membikin usang. Apa memang benar waktu menggerogoti pondasi dari relasi yang kita bangun sejak lama? Apa bukan tentang bahan apa yang kita gunakan untuk membangunnya?
Apapun, aku senang kita masih tetap saling meluangkan waktu untuk bersama.

"Hei, kamu dimana?"
"Aku lapar."
"Ketemu, yuk!"

"Aku juga lapar."

Secara kebetulan, salah satu diantara kita selalu ada untuk lainnya.

***




*   *   *
Ini akan pendek saja. Tema pertemuan kita? Tema bebas.
Aku pribadi tidak ingat apa awal pembicaraan kita malam itu. Aku rasa, merujuk pada Catur Asrama, kegalauan akhir masa Brahmacari adalah rujukan utama keluh kesahku. Kalau kalian mungkin awal masa Grhasta ya? Yang pasti hampir tak ada bedanya, transisional, labil, membingungkan. Kalau aku bilang, masa yang paling rentan untuk kita jadi korban gendam. Yang pasti kita tiba-tiba terjebak dalam pembahasan mengenai manusia kuno dan manusia modern.

Kamu yang mulai ya?
Ini konseptual, sungguh. Dan absurd. Konteksnya memang tentang isu-isu berumahtangga, yang entah kenapa rasanya begitu dekat dengan kita. Rasanya nih ya, cuma rasanya. Kita sangat alamiah saat menentukan masalah dan membatasi definisi. Fenomena manusia modern semakin meninggi, tajam. Manusia modern, orang-orang yang memutuskan untuk hamil atau menghamili pasangannya terlebih dahulu, baru menikah. Manusia kuno? Ya, sebaliknya. Tipe konservatif, ya nikah dulu lah, baru yang lain-lain.
Fase analisa. Lebih baikkah jika kita menjadi manusia kuno? Ya, selama kita menganut adat ketimuran, ada aturan-aturan yang menjadi batasan untuk menjadi manusia yang 'diterima'. Tapi dengan menjadi manusia modern, banyak orang yang percaya bahwa mereka telah menggaransikan masa depannya. Mungkin semacam uji kelayakan, berhasil hamil, maka mereka laik jalan, dan mau tak mau harus jalan. Such a sarcasm, right? Tapi tidak sepenuhnya salah juga. Beruntunglah, walau mengklaim diri sebagai feminis garis kiri, aku masih bisa menertawakan diri sendiri. 
Lalu, kita ingin jadi yang mana?

Manusia modern jelas lebih enak didengar, ketimbang dikatai kuno. Aku sendiri, entah walaupun benar menginginkan untuk jadi manusia modern, jelas dalam waktu dekat hanya akan terjebak dalam kekunoan ini. Aku ini tipikal manusia evolusioner, bukan revolusioner. Aku pada masanya hanya cacing yang menggeliat malas saat siput menang lomba lari. Aku lamban, bertahan, dan penggemar zona nyaman. Aku punya terlalu banyak mimpi untuk dikejar, dan harus minggir sejenak dari kancah modernisasi. Kalau kamu?
Yah, jelasnya kita memang tidak bisa tahu dan memilih di antara keduanya sampai kita menjadi salah satu di antara keduanya, bukan begitu? Kalau nanti saatnya datang ke resepsi pernikahan masing-masing, saat itulah kita akan tahu pilihan masing-masing, menjadi kuno, atau modern.
*   *   *

***

Ah, terbayanglah seperti apa konsep abstrak di kepala kita bertemu di tenggah puncaknya jemu. Tapi aku senang, ceker ayam pun bisa terasa jamuan mewah. Atau persahabatan itu memang mewah? Mungkin kuncinya hanya jangan mencoba untuk mengingat usia.


[Terimakasih untuk ceker-ceker ayam, jam-jam malam, dan obrolan di bawah temaram.]
Di bawah sebuah tenda, 150514

0 comments:

Posting Komentar