18 Mei 2014
On 09.39 by anya-(aydwprdnya) No comments
Just an explainable lovely book. It so yesterday, but with today love, forecasting the upcoming chapters. My special book...
Kitab? Bahkan aku pun tidak mengerti mengapa aku memilih kata itu. Mungkin karena diksi semacam itu mengesankan kesakralan, sesuatu yang selama ini kita simpan hanya dalam ruang sempit yang berhawa agamis dan beberapa yang historis. Atau lainnya, mungkin karena aku memilih untuk melihat rangkaian testimoni di halaman terakhir sebagai suatu penghargaan, suatu bentuk yang dalam keterbatasan kita lebih sering hadir dalam bentuk kertas-kertas piagam atau trofi yang memang ditujukan untuk melambungkan keangkuhan manusiawi kita.
Tapi bila ini terlalu sakral, maka akan segera dilarang.
Bila terlalu tinggi harganya, maka akan segera hilang. Dicuri orang.
Maka tanpa mengurangi kedua maksud di atas, dirimu pun buku, yang kuingat sebagai salah satu kata pertama yang mampu kueja saat aku belajar membaca.
Tiga masa, belum lama. Hanya saja saat setiap paragrafmu digurat, telah lewat bertahun yang lampau. Namun aku hanya subyektivitas semu yang mencintaimu hari ini. Dan dengan ambisi, meramalkan masa akan datang melalui dirimu.
* * *
Nah, sudah kubilang, manusia itu angkuh. Merasa memiliki, ingin menguasai. Padahal lebih sering merusak dan mengintimidasi. Aura posesivitas yang aku tunjukkan sebelumnya jelas seakan buku berharga yang aku maksud adalah salah satu dari koleksi buku pribadiku. Bukan. Yang sampai mati (nah, lagi-lagi sombong), akan kutandai sebagai buku yang paling kucinta adalah sebuah buku pinjaman. Paling tidak hingga hari ini.
Paradoks pertama.
Kubilang buku ini tua. Tapi ia selalu baru. Selalu cetakan pertama, karena hanya dicetak sekali saja. Aku bukan orang baru di dunia ini, aku tahu oksigen yang kadarnya tinggi akan membuat cetakan berbahan dasar pulp menua, seperti keriput di wajah-wajah yang menua sebelum waktunya. Anehnya, udara yang dihembus daun-daun berklorofil di siang hari justru memudarkan bercak hitam di halamanmu. Kau selalu kanak-kanak, muda, baru, justru saat putaran dunia memaksa kita menandai usia.
Paradoks kedua.
Murah, untuk mendapatkanmu tak pernah ada yang pernah kehilangan lembaran alat tukar dan bayar. Harusnya kau bukan kemewahan di tengah morat-maritnya ekonomi negara kita, bukan? Nyatanya, kehadiranmu adalah salah satu barang termahal yang aku miliki. Mungkin, dirimu adalah pilihan terakhirku, bila aku terjebak di antara hidup dan mati, bila hanya uang yang bisa menyelamatkanku, tapi apa aku bisa menjual hatimu? Pasti, kau hanya mahal saat kumiliki. Satu sentimeter berjarak dari kepemilikanku, hanya ada aku mungkin yang akan membeli kembali.
Paradoks ketiga.
Ceritamu klise. Kisahmu biasa. Aku bilang tingkat analitik tiap alineamu tidak lebih dari satu ditambah satu. Nol. Aku bisa menemukan kumpulan kisah macam dirimu di toko buku manapun, mungkin. Justru, menyadari kesederhanaan itu, aku malah tak pernah bisa berhenti membaca kata per katamu. Katanya, kesederhanaan adalah obyek terumit yang pernah ada. Apa kau masih punya halaman tersembunyi yang yang kau siapkan untuk kubaca di lain hari?
Paradoks keempat.
Sungguh, aku adalah penyembah buku dengan tingkat pencapaian books per month yang cukup tinggi (sejak sekolah dasar kartu perpustakaanku selalu yang terpenuh dibanding siswa lain, sungguh. Sungguh.). Yang aku takutkan, buku yang satu ini tak pernah habis kubaca. Tipis, sangat tipis. Bila kuselipkan dalam lemari buku, bisa jadi sulit kutemukan lagi. Tapi dirimu yang tanpa nomor halaman, bahkan tanpa daftar isi, bahkan setelah bertahun-tahun, tak pernah berhasil kudalami hingga setengah tebalnya. Mengejutkan menemukanmu jauh menandingi ketebalan novel spionase yang sengaja kujejer paling kiri. Apa dirimu?
![]() |
Yang mana dirimu? Apa kau sedang "kukembalikan" pada pemilik aslimu? |
Paradoks kelima.
Milikku, tapi bukan milikku. Awalnya kupikir kalimat ini hanya kalimat dasar untuk membuat judul serial televisi yang terdengar murahan. Ternyata ini juga bisa benar adanya. Kenyataannya aku hampir selalu memberi imbuhan -ku, di setiap akhir kata bendamu. Kenaifan nan memalukan. Kau tak pernah kubeli dengan uangku, ataupun uang orangtuaku. Hey! Aku ingat, pertama melihatmu kau pun sama seperti buku lain, tebal, mahal, angkuh, sombong. Buku pun berkodrat manusiawi, bergaul dengan sesama ensiklopedi. Kau tidak punya tandatangan kepemilikan, malah tintamu seenaknya mencorengkan tinta (mungkin itu bentuk lain tandatangan bagimu) di atas halaman buku lain. Tapi itu sebelum aku tiba-tiba memilikimu, atau kau yang tiba-tiba masuk ke dalam tasku.
Ketahuilah, aku perlu mengembalikanmu sesekali. Aku perlu. Sebagai bukan pemilik sahmu, aku perlu melindungi diriku, bahwa memilikimu bukanlah tindakan kriminalku. Bahwa aku tidak mencurimu dari siapapun, bahwa aku tidak mengambilmu dari manapun.
* * *
Saat ini aku tak banyak mengenal bahasa-bahasa yang belum punah dari muka dunia. Hanya beberapa, itupun kebanyakan hanya kukenali sekilas saja. Membacamu, adalah berinteraksi dengan bahasa terasing yang bahkan belum bernama. Menelaahmu, adalah memecahkan sandi-sandi yang bahkan belum tercipta. Aku tiba-tiba ingat, seseorang yang tidak begitu aku suka pernah bertanya, "Do you know an universal language people use all over the world?". Aku menjawab dalam hati, hingga orang tersebut memberikan petunjuk, "Four letters, start with an L."
Ya, semoga bukan kebetulan, bahwa kata itu mengawali bab pertama, di halaman pertamamu.
![]() |
Apa aku? Hanya buku catatan biasa. |
[Mari lebih menghargai buku, mari lebih mencintaimu.]
180514
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar