29 Desember 2015
13 Desember 2015
Aku harap bukan hanya kebetulan semata, bahwa pemilihan kepala daerah serentak yang diklaim sebagai yang pertama terjadi i Indonesia ini bertepatan dengan Hari Anti Korupsi. Sembilan Desember dua ribu lima belas. Tiada maksud menjadikan hari ini istimewa. Bukan pula berniat mengecilkan maknanya. Jujur saja, ada rasa skeptis yang membekas di hati ini setiap kali bersentuhan dengan segala prosedural dan seremonial politik. Harap tidak serta merta menghakimiku sebagai insan cuek politik. Aku perduli, bahkan pada beberapa titik perduli yang sejadi-jadinya (baca: hingga sering sakit hati). Kalau boleh meminjam jargon masa sekarang: aku lelah.
Aku dan orang-orang di sekelilingku mengharapkan pemerintahan yang baik menurut kami. Di saat yang sama harapan tersebut dihancurkan dengan visi bahwa perubahan itu akan membutuhkan waktu yang lebih panjang lagi.
Aku dan orang-orang di sekelilingku menginginkan perubahan ke arah yang membaik. Dan keinginan tersebut dikalahkan oleh rasa malu melihat tabiat oknum-oknum pengempu pemerintahan kita saat ini.
Ah, warga negara macam apa aku ini. Mengeluh, tanpa solusi yang nyata. Bahkan aku lancang sekali merepresentasikan diriku dengan 'orang-orang di sekelilingku'.
Sebenarnya aku menulis ini dengan perasaan yang bercampur aduk. Dagelan politik hanya satu dari sedikit faktor yang mempengaruhi arus pikirku akhir-akhir ini. Sebenarnya juga aku lebih ingin membahas tentang dokter layanan primer yang jelas-jelas mengusik ketenanganku. Hanya saja aku belum cukup membaca referensi untuk dijadikan dasar argumentasi. Kebetulan juga aku sedang enggan menelaah bacaan berat (kan sudah kubilang tadi aku lelah.) Sebab lainnya adalah pikiranku tidak tenang, harap-harap cemas menunggu sebuah pengumuman.
Yah, pilkada ini mungkin berlalu sebagai momentum untukku berkeluh kesah. Terutama bila pemenangnya di Tabanan sepertinya sudah menyiapkan pesta besar-besaran.
[Ya Tuhan, limpahkanlah kebesaran hati dan kelapangan dada untuk menghadapi apapun yang harus kami hadapi.]
27 Oktober 2015
* * *
Ini dipicu sebuah cerita berlatar ruang poliklinik di pagi Rabu yang cerah dan tenang. Seorang ibu paruh baya memasuki ruangan dimana aku duduk tegak dengan perut lapar (belum sarapan jam 10 pagi woii, manusiawi).
Ibu Paruh Baya (IPB) : Selamat pagi... (ramah bagai tanpa beban hidup)
Aku : "Selamat pagi ibu.." (ramah balik donk..)
IPB : "Saya mau periksa, ini saya pusing sekali sudah dari dua hari saya pusing nggak bisa bangun. Ini saya paksakan berobat, sampai saya nggak masuk kerja lho Dok sejak dua hari kemarin (wajah IPB berubah berkesan sakit skala berat. Perasaan mulai tidak enak, jangan-jangan mau nodong surat keterangan sakit.)
Scene selanjutnya adalah anamnesis rutin untuk menggali riwayat penyakit si ibu, sacred seven fundamental four lah. Hingga aku simpulkan di kolom diagnosis dengan vertigo perifer (BPPV) dan terapi yang sesuai. Dan detik-detik yang aku prediksi pun tiba. Benar saja,
IPB : "Dok, kasi saya surat sakit, dari dua hari kemarin sudah nggak kerja" (nadanya seperti mendikte yang harus aku lakukan.)
Aku : (Berusaha setenang mungkin) "Begini Bu, saya akan memberikan surat keterangan sakit berdasarkan hasil pemeriksaan hari ini. Karena itu tanggalnya paling mentok untuk hari ini, tidak bisa mundur ke belakang."
IPB : "Lho..kok gitu. Saya kan sudah sakit dari kemarin-kemarin, kenapa nggak bisa?"
Aku : "Iya Bu, mungkin sakitnya Ibu memang sudaj sejak kemarin-kemarin. Masalahnya saya tidak melihat dan memeriksa ibu di hari yang kemarin-kemarin itu. Saya tidak memiliki dasar untuk memberikan keterangan untuk hal yang tidak saya periksa."
IPB "Gimana sih maksudnya? Biasanya saya bisa minta DC nggak ribet begini." (Nada super nyolot, sepertinya lupa dengan keluhan pusingnya.)
Aku : (Mulai bikin gerakan virtual ngelus dada) "Bu, surat keterangan ini surat resmi. Harus dibuat berdasarkan penilaian yang didapat dari hasil pemeriksaan. Karena saya yang mengeluarkan, dengan nama dan tanda tangan saya, maka saya menggunakan penilaian saya."
IPB : "Iya, saya ngerti. Saya ini orang LSM lho Bu dok, kalau di kantor saya yang nerima surat sakit karyawan saya. Saya memang sakit dari kemarin-kemarin kok. Ini saya malu aja kalau saya sakit malah nggak nyerahin surat."
Aku : ""Saya bukan dukun Bu, saya tidak bisa menerawang hal yang tidak saya lihat. Nah, apalagi ibudi bagian kepegawaian, Ibu tentu tidak senang kalau karyawan Ibu minta-minta surat sakit ke dokter."
Adegan berikutnya adalah IPB memberiku tatapan mata penuh kebencian, semacam tatapan penuh dendam ala sinetron Indosiar. Dengan dramatis, melempar kartu berobat ke atas meja.
IPB : "Ya, sudah! Tidak usah!"
Aku : "Owh..begitu, ya sudah obatnya jadi Bu?"
IPB : "Saya masukin koran aja, pelayanan kok nggak bener. Minta surat sakit aja nggak bisa!"
Aku : *senyum semanis mungkin*
IPB : *jalan sambil buang muka*
Aku: "Silahkan Ibu..haknya ibu mengeluhkan bila dirasa pelayanan saya yang kurang. Siapa tahu saya jadi terkenal." *tetap senyum dimanis-manisin* (mungkin lebih seperti i-do-want-to-kill-you-smile)
IPB : *tanpa menoleh lagi, turun tangga, sambil non stop ngomel* "Dasar dokter baru, nggak tau aturan. Nggak punya kemampuan." (Sepertinya totally forgot her dizzines)
Aku : "Terimakasih Bu..semoga cepat sembuh nggih..."
AKU SEDIH. AKU KECEWA. AKU MARAH.
Sedih karena masih ada penduduk Indonesia yang mentalnya demikiam. Kecewa karena punya kewajiban melayani orang yang demikian tanpa kecuali. Marah karena dituduh dengan pernyataan yang menurutku tidak pantas dan aku sedih dan membuatku kecewa, dan marah yang lebih...demikian seterusnya.
* * *
Banyak teman dan kenalan yang melontarkan pertanyaan padaku, apa aku bisa marah? Jelas jawabannya, iya. Iya, aku bisa marah. Aku sering marah, dalam hati. Aku sering marah, marah yang lebih tentram disimpan sendiri. Maafkan karena tulisan ini tertuang diinisiasi oleh marah yang mungkin ingin dikawani, jadi ia mendesakku untuk membagi.
Aku marah karena banyak alasan. Tenang saja, alasannya masih berkisar hal-hal di muka bumi. Paling tidak...akhir-akhir ini hatiku jadi sedikit terasa manusiawi.
Oh ya, satu lagi. Siapapun, tolong jangan sekali-sekali mengajari, meminta, apalagi menyuruh aku berbohong lagi. Itu hal yang sulit untuk aku toleransi.
Sekian.
25 Oktober 2015
9 September 2015
Aku punya teman.. Teman sepermainan.. (Ah..ah..//plak!)
Oke, ulang.
Aku punya teman. Jamak. Kalau sebelumnya aku pernah bercerita tentang teman yang datang dan pergi, dan datang kembali, hilang, datang lagi...mereka juga tak terkecuali.
Aku punya teman. Jamak. Akhir-akhir ini, mereka adalah satelit-satelit terdekat yang mengorbit bahkan saat aku kehilangan gravitasi. Kami berteman, dan begitu saja, kami tidak memiliki kriteria inklusi.
Suatu hari kami merencanakan bertemu, tujuannya bisa menyusul kemudian. Tidak harus ada hari yang diperingati, tidak mesti ada momentum yang dirayakan. Kadang kami sendiri bingung mencari alasan; memanfaatkan freepass sisa karaoke sebelumnya, berselancar dengan tempat makan baru, curhat masalah kerja (dan cinta), memanfaatkan kupon bazzar yang dibeli dengan keterpaksaan atau memenuhi kebutuhan primer untuk menggosipkan apa saja. Plak! Plak!
Jadi kami bertemu. Entah hanya aku atau mereka juga, bertemu menjadi salah satu kebutuhan. Setingkat di atas keinginan. Aku butuh merasa normal di dalam segala ketidakwarasan kami. Aku butuh merasa lurus di tengah labirin cerita yang saling ditukarkan. Aku butuh didengarkan di atas segala bising yang kami dengungkan, sama halnya dengan aku butuh mendengarkan demi segala kesunyian yang kita redam. Plak!
Dan kami bertemu lagi. Salah satu absen pergi, di hari lain yang lain yang tak kembali, di pertemuan yang lain akulah yang tak disini. Kadang A malas, B masih kerja, C ada acara keluarga, D lelah dan malas keluar rumah...plak!plak! Dan kita tetap bertemu. Cerita, rahasia, marah, gembira...sesering apa kita menemukannya dalam piring yang sama?
Aku dan mereka berteman dalam ruang yang tidak terdefinisikan. Lebih tepatnya tidak pernah kami definisikan. Buat apa? Kejamakan ini bukan mie pedas yang dapat dibagi levelnya. Seperti halnya kebutuhan yang lain, ada yang terpenuhi ada yang tidak, bukankah yang seperti itu yang mengingatkan kita akan hidup? Plak! Plak!
Aku punya teman. Ketika aku menulis sambil membayangkan mereka aku malah berakhir menampari diri sendiri. Mungkin hal-hal paradoks ini yang membuatku nyaman memproklamirkan bahwa kami berteman. Ya, paradoks; jengah dalam nyaman, gerah saat cuaca berangin, segan sekaligus tidak tahu malu, mengejek, mengagumi, mencela, menyayangi...hmm apa lagi?
Aku masih menampari diri sendiri. Siapa tahu kita akan segera bertemu kembali. [Lanjut menata mimpi sambil menyanyi//fals//plak!plak!]
30 Agustus 2015
Jadi ceritanya begini: Beberapa hari kemarin, karena suatu alasan yang tidak sanggup aku jelaskan lewat tulisan, aku tidak punya akses moda transportasi pribadi. Tidak ada kendaraan bukan berarti aku boleh ngendon di kost saja (kalau diizinkan sebenarnya sangat berharap), tugas jaga ya tetap jaga, nongkrongin ugd ya mesti tetap dijalani juga. Sarana transportasi publik pun menjadi pilihan. Dengan alasan kepraktisan dan dorongan jiwaku yang kekinian, akhirnya aku memanfaatkan jasa Gojek (yang bukan kebetulan masih dalam masa promo).
Apa istimewanya? Bukan aku saja yang rajin nge-Gojek. Lalu? Rangkaian nge-Gojek beberapa hari kemarin memberikan bentuk kesadaran baru bagiku. Kini hidup tak sama lagi (sumpah, dengan penuh kesadaran ini berlebihan.)
* * *
Driver (sebutan kerennya abang ojek) pertamaku di bawah bendera Gojek namanya Bang Nada Wijaya. Nama belakangnya adalah marga yang mengindikasikan daerah asal Sumatera Utara, hampir aku tanya, “Bang, masih sodaraan sama Sammy Simorangkir nggak?” Sebelumnya perlu aku permaklumkan, itu kali pertama aku menggunakan jasa Gojek sebagai ojek, sebelumnya yang aku gunakan adalah jasa antar barang, beli makan, beli makan, ngambil pesanan makanan (kok banyak makanannya ya?). Nah, Bang Nada ini orangnya ramah dan komunikatif. Dari pertama duduk boncengan sampai ke tempat tujuan si abang banyak bertanya dan menjawab. Usut punya usut ternyata Bang Nada ini lulusan Fakultas Hukum yang satu almamater universitas denganku, dan jadi driver Gojek ini hanya pekerjaan sampingan baginya. Walah...pantesan. Perasaanku benar, Batak (hampir selalu) identik dengan hukum, pengacara, jaksa, dll. Sepanjang perjalanan kost-RS Puri Raharja kami ngobrol dan sampainya cepat. Karena pelayanannya bagus, aku vote banyak bintang buat si abang. Ekspektasiku tentang driver Gojek menanjak, “Oke juga Gojek ini ya” pikirku saat itu.
Namun layaknya roller coaster, ada pasang ada surutnya (roller coaster atau ombak Pantai Sanur), ekspektasi yang sudah terbangun dihempaskan oleh driver Gojek berikutnya. Siang terik, jamnya pulang jaga, pesan Gojek, langsung dijemput di pos satpam Puri Raharja. Kesan pertamaku, alamak..motornya. Ternyata sebut saja Bli N, driver Gojek kedua, berbekal motor yang menurut pendapat pribadiku tidak ergonomis untuk boncengan. Ya sudahlah, nasi sudah ditambah lauk, eh sudah menjadi bubur. Ojek sudah kadung dipesan, aku pun diangkut pulang. Entah karena kinerja kelenjar keringat berbanding lurus dengan teriknya mentari atau karena si bli kurang niat mandinya, aku harus menikmati sepoi angin beraroma sepanjang perjalanan (menyesal menolak masker). Bukan hanya tambahan service “aroma terapi” yang membuat hatiku kesal, ternyata si bli juga tidak hapal jalanan Denpasar! Sempat dua kali salah belok, dan nyaris melawan arus di jalan satu arah. Bukan apa-apa, aku bukan ahli arah dan penguasa jalanan, tapi yang tukang ojek siapa??! Alhasil, aku tiba di kost (full arahan dariku, jadi sepanjang jalan lebih mirip aku lagi guiding si bli city tour de Denpasar), bayar Gojek, dan migrain sampai sore.
Hari lain aku pesan Gojek, tujuanku lagi-lagi RS Puri Raharja (ketahuanlah trayek hidupku kost-Puri Raharja-kost). Karena pengalaman pemesanan sebelumnya sangat tepat waktu penjemputannya aku dengan santai memesan 20 menit sebelum jam jaga. Ternyata datangnya 10 menitan setelah konfirmasi, okelah telat-telat dikit bisa dikebut pas jalan, kataku pada diri sendiri untuk menghibur hati. Driver kali ini seorang bapak, lokal alias Bali aseli tapi lama menetap di luar pulau. Si bapak ramah, tidak bau badan, hanya saja caranya mengendarai motor itu lho...pelan banget! Sering kulirik speedometer jarang sekali mencapai angka 40km/jam. Alamak.... Maunya aku suruh kebut, nggak tega, jadilah aku terlambat 20 menit. Maafkan. Driver ketiga ini rasanya sudah di luar analogi roller coaster, akan aku pertimbangkan analogi odong-odong.
* * *
Syukurnya sekarang aku didampingi kendaraan bermotor lagi. Ribet dan tekor juga kalau setiap hari naik Gojek. Seperti aku katakan di atas, pengalaman berGojek-ria mengubah persepsiku tentang perumpamaan hidup. Kalau kata Forest Gump, life is like a box of chocolate, kataku life is like ordering Gojek, you’ll never know till you meet the driver (and good luck).
23 Agustus 2015
Seperti hijaunya daun singkong, menu utama malam tadi, yang mengingatkanku padamu. Bukan karena kita pernah duduk berhadapan pada meja makan yang sama. Bukan. Seperti itulah setiap hal kecil yang datang membangkitkan rasaku tentang hal lain yang jaraknya sudah tidak lagi menggunakan satuan mil. Karena kita terbiasa mengaitkan setiap bentukan, menghubungkan setiap lekukan, dan mati-matian menyatukan setiap kemustahilan.
Malam ini pun aku tidur dalam hangatnya selimut kenangan. Tertawakanlah bila kalimat barusan lebih terdengar seperti lirik lagu melayu murahan. Haha.. Tapi sungguh, kali ini aku menuliskannya secara harfiah. Selimut motif loreng cokelat tua dan muda (bukan pramuka) dengan label seekor macan. Berapa kalipun terjadi regenerasi selimut, hanya selimut ini yang selalu membawaku pada 13 tahun masa kecilku. Walaupun buluk, seratnya kadang menimbulkan gatal, walaupun gambar macannya memudar dan bermetamorfosis mendekati bentuk kucing pemakan ikan asin, selimut motif loreng cokelat tua muda ini adalah salah satu alasan tidur nyenyak di rumah.
Baiklah, aku perlu menerbitkan bahasan lain, agar tidak timbul pikiran bahwa parameter kenyamanan hidupku hanyalah masalah tidur dan kasur. Baju lama misalnya. Baju-baju belel yang kadang lubangnya bukan hanya fungsional sebagai tempat masuknya badan dan lengan. Salah satunya ambil andil dalam masuknya angin (lubang abnormal pada area ketiak, robek patologis punggung dan perut, bagaimana tidak masuk angin?) Prinsipnya adalah semakin tua dan jelek bajunya, semakin nyaman dipakainya. Alasannya sejalan dengan mengapa aku kadang mengenakan baju orang yang sudah dipakai (ya..kamu), lagi-lagi demi kenyamanan itu.
Setelah aku pikir-pikir, semua benda di rumah ini berasosiasi dengan hal-hal yang menyenangkan di masa-masa yang sudah lewat. Mengingatkan aku bahwa suatu waktu aku pernah menginginkan, mengusahakan, mendapatkan (walau tak jarang mendapatkan penolakan). Syukurnya waktu adalah jampi-jampi yang dapat mengubah kejadian biasa menjadi memori manis, dan pengalaman pahit menjadi pelajaran yang kurang pahit. Dan rasa, perasaan, sudah tentu inkonsisten. Memudar seperti warna baju-baju yang terlalu nyaman dipakai, makin kuat seperti aroma masakan ibu.
Akhir-akhir ini ada banyak kehilangan dan ketertinggalan. Hari ini dan besok akan banyak diisi dengan berlari, dan mungkin dengan sayur daun singkong.
Begitulah, ternyata ada banyak hal kecil yang dapat rapat menutupi setiap luka yang sedikit lebih besar.
30 Juli 2015
Kita adalah sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa, seperti tak kan pernah pulang.
[Di bawah alunan lagu dengan aroma yang asing di telingaku.]
Dad, a son's first hero, a daughter's first love.
Saat bapak mengatakan bahwa beliau akan dipensiunkan lebih awal, ada perasaan yang aneh di dalam hatiku. Saat kutanya kapan, bapak menyahut tahun depan. Tidak ada yang aneh sebenarnya. Bapak sudah bekerja puluhan tahun malang melintang di dunia perbankan, pensiun di usia 60 tahun adalah kewajaran yang paling wajar. Namun tetap saja, lelaki yang duduk di sebelahku dalam mobil menuju tempat antah kemana saat itu, mendengarnya memproklamirkan bahwa beliau segera akan memulai kehidupan tanpa hem dan celana bahannya membuat hatiku nyess... Aku tertawa seperti hal itu biasa saja, menanggapinya seringan mungkin, dan sekali lagi hatiku nyess...
Apa pengaruhnya bagiku? Toh aku memang sejak dulu jarang di rumah. Toh tidak ada bedanya pensiun tahun depan atau dua tahun depan atau lima tahun depan. Toh sejak akhir tahun lalu aku sudah berusaha hidup lepas dari dukungan finansial bapak. Nyatanya remah-remah tetek bengek masalah pensiun ini bukan sekadar tentang waktu dan lembaran uang bulanan. Ini lebih tentang kesadaran bahwa beliau tidak akan selalu muda.
Bapakku adalah bapak yang selalu mengajari anaknya saat kesulitan saat belajar matematika. Bapak adalah bapak yang menghukumku saat suatu ketika aku menyelinap menonton konser dan pulang kost dengan melompat pagar dan jendela. Bapak, lelaki yang sama yang tak bosan mengingatkanku untuk menjadi orang yang jujur, daripada mencontek lebih baik nilai ujian yang hancur. Aku selalu takut membuat bapak marah, bukan karena beliau menyeramkan, melainkan karena beliau jarang sekali marah. Aku lebih takut lagi mengecewakan bapak, karena beliau sangat pandai menyarukan hati yang luka di balik kata tidak apa. Bapak itu selalu menyediakan apapun yang kami, anak-anaknya perlu dan minta. Semasih bisa, daripada kalian mencari tempat asing untuk meminta, begitu katanya. Bapakku, seperti setiap bapak yang kita punya, memiliki sisi konyol dan aneh di mata anak-anaknya. Misalnya, bapak selalu mengucapkan kalimat atau kata bahasa asing dengan keliru, mengeluarkan ide konyol yang sering membuat kami 'meeehhh -.-", yang lucu lagi, bapak selalu khawatir bila aku merasa malu saat bapak mengantarkan aku ke acara kampus (termasuk pendaftaran dan wisuda) karena mobil butut (milik kantor) tidak sementereng mobil teman lain.
[Tidak Pak, kami selalu bangga, biar kita hanya berjalan kaki saja]
Ah, tidak terbatas kalimat untuk mendiskripsikan bapak, yang mana itu pun tidak diperlukan disini.
Nyatanya, terutama setelah membaca paragraf yang baru saja berlalu di atas, ternyata justru akulah yang tidak selegowo bapak dalam menghadapi pensiun dini ini. Reaksi bapak? Justru sangat tenang, malah terkesan senang. Bapak malah asyik dengan peternakan jangkrik yang dirintisnya berbekal artikel di internet. Aktivitas berkebun juga semakin ditekuni. Dan juga bapak berencana membeli mobil baru, untuk ganti kalau mobil kantor sudah ditarik, dalihnya. Yah, apapun asal bapak senang.
Ya..ya..aku memang agak berlebihan menanggapi rencana perubahan ini. Mungkin sebagiannya adalah penyesalanku karena selama ini tidak selalu meluangkan waktu terutama saat tekanan darah bapak meningkat, saat kaki bapak nyeri akibat asam urat, saat bapak jatuh terguling demi segepok sarang tawon. Sementara aku malah harus selalu ada untuk bapak-bapak orang lain, miris.
Haha, ini sedikit konyol. Tepat di akhir tulisan ini, aku rasanya lebih senang bila bapak pensiun.
20 Juni 2015
Juni minggu ketiga.
...dan aku seperti melewatkan banyak hari.
Bulan Juni ini, minggu-minggu sebelum minggu ketiga ini aku mengalami beberapa pertemuan yang aku sebut sebagai 'flash rendezvous'. Kasarnya, pertemuan-pertemuan yang (terlalu) singkat.
* * *
Rendezvous #1
Salah satu pertemuan yang boleh jadi sangat aku tunggu sekaligus aku hindari (haha!) Ia salah satu teman lama, lama sekali tidak bertemu. Saking lamanya aku sampai tidak bisa menyebut lagi apa yang mungkin berubah darinya, atau apa yang berubah tentangku baginya. Sempat lama sekali kami tidak berhubungan sama sekali, kemudian kebetulan sesuatu mempertemukan kami lewat media sosial (hail internet!) sekitar bulan-bulan akhir tahun lalu. Ternyata Juni ini akhirnya bertemu. Ini pertemuan yang aku tunggu, selalu menyenangkan bertemu seseorang yang pernah kita tahu namun lama tidak bertemu. Sekaligus pertemuan yang aku hindari, karena aku tahu tidak banyak waktu, bingung juga apa yang harus dibicarakan untuk mengisi waktu yang singkat ini.
Less than 2 hours, aku bersyukur kami masih jadi teman (eh)
Pertemuanku dengan teman yang satu ini membuatku berpikir ulang lagi. Banyak siklus pertemanan yang mengalami pasang surut. Teman sebangku bertahun-tahun, jauh karena beda sekolah, jarang memberi kabar, bertahun kemudian kembali saling bercerita hampir setiap malam. Ada juga teman biasa saja, dekat karena mengerjakan hobi yang sama, saling menjauh karena perbedaan cara pandang, dan ternyata mentok di batas teman biasa saja. Aku sendiri tidak tahu, pertemuan singkat dengan teman ini akan mengubah arah pertemanan ini ke arah mana. Mungkin besok kami akan saling melupakan, mungkin masih bertukar referensi musik kesukaan, bisa jadi malah lupa mengundang saat nikahan. Siapa yang tahu?
Rendezvous #2
Aku bertemu pertama kali empat tahun yang lalu. Kami menjalani dua minggu dalam sebuah acara multinasional konferensi bertemakan lingkungan di Jerman. Kami beda usia, beda gender, beda kewarganegaraan, beda warna kulit, beda bahasa ibu..segala beda-beda lainnya yang ternyata tidak membuat pertemanan kami menjadi sulit. Karenanya, saat ia mengabarkan kedatangannya sebagai turis ke Bali, aku mati-matian ingin meluangkan waktu. Jadwalnya padat sekali karena kedatangannya juga sekaligus untuk menghadiri konferensi di Nusa Dua, sementara jadwal jagaku di RS juga sulit ditawar. Akhirnya kami bertemu di Pesta Kesenian Bali, Art Center.
20 menit! Setelah adegan hilang arah, kami bertemu juga. Hanya 20 menit. Aku sendiri tidak yakin apa yang bisa disampaikan dalam 20 menit. Tapi kami saling sepakat, seeing each other for real, little hugs and light kisses on cheeks, gesture universal yang sementara dapat kami terima untuk mewakili tahun-tahun yang terlewati dan kisah-kisah yang gagal diceritakan.
Pertemanan itu borderless. Yang selama ini menciptakan batas itu adalah kita sendiri. *pesan moral.
Rendezvous #3
Jarak kami tidak jauh. Kesibukan kami tidak sesulit itu, walau kami semua (pertemuan kali ini melibatkan lebih dari satu) memkliki banyak preferensi yang berbeda. Mereka yang dengan segala ketidaksopananku kusebut sebagai teman ini adalah kakak, senior, panutan, yah...tempat aku menimba banyak hal selama ini. Beralasan menonton salah satu film yang sedang hits di XXI, menghabiskan uang untuk mengisi perut, kami malah ngobrol sampai tengah malam di bilangan Kuta. Hm, waktu sangat cepat berlalu bersama orang-orang yang sangat menyenangkan.
Seperti biasa setelah beberapa jam bertemu dengan teman-teman yang ini, aku menjadi super-highly-motivated.
Ternyata selama ini ibu benar. Jangan pilih-pilih dalam berteman, tapi pilihlah lingkungan pertemanan yang baik agar kamu juga baik. (Sesungguhnya aku tidak memiliki kesempatan memilih seluas itu, lingkunganku relatif sempit.) Syukurlah, dimensi luas juga dipengaruhi oleh banyak variabel, keberadaan teman yang menyenangkan adalah salah satunya.
Rendezvous #4
Menjadi diri sendiri. Menjadi gila. Menjadi apa adanya.
Tidak enggan walau belum mandi. Tidak malu mengingat lemak tubuh disana-sini. Mengejek tapi tidak membenci. Menyindir karena mencintai. Bertemu, menghindar, bersama, membuat janji yang sering ingkar...nyatanya kami lakoni dalam waktu yang lama. Kelompok pertemanan yang terlalu kompleks untuk kuceritakan, dan mereka, membuat aku rela bermalam di tempat karaoke demi suara serak, mata merah, dan nyeri menelan keesokan harinya.
Kapan kita mengganggu umat manusia lagi?
* * *
Aku ingin bertemu denganmu.
Sebuah kerandoman di malam minggu.
8 Juni 2015
Pagi adalah penawaran terbaik pertama yang dapat diperoleh dengan cuma-cuma setiap hari.
Bersamaan dengan itu, pagi adalah satu-satunya kebohongan yang sama-sama kita percaya.
Langit biru, udara segar, garis-garis cahaya, dan berbagai kepelikan yang disisipkan dengan elok di balik awan-awan kapas. Lucunya, kita semua terpesona dan justru mengaguminya. Padahal guratan di langit itu adalah kekesalan yang sama yang kita umpat di siang hari, kekecewaan yang sama yang kita hina di belahan hari yang bukan pagi.
Hanya demi pagi, badan-badan lelah menengadah demi sinar milik matahari. Tentu saja, kita percaya doktrin metabolisme vitamin D yang bersimbiosis dengan bintang terbesar di galaksi kita. Percaya walau tak kasat mata, seperti halnya dengan kepercayaan kita pada hal besar lainnya.
Hanya untuk pagi, paru-paru jutaan umat mengembang lebih luas, kalau mungkin maka melebihi kapasitas ruang dada. Ya, pastinya karena kini kemewahan seperti udara pagi pun berlaku dengan batas waktu. Karenanya, maka secara logika, pohon pun harusnya mencintai pagi.
Hanya ada satu kebohongan yang sama-sama kita percaya. Dan itu adalah pagi.
Satu-satunya yang enggan dipunguti walau berguguran mati
Satu-satunya yang tidak ingin diingat namun berjanji selalu menjadi pengawal hari
Satu-satunya yang tak pernah meminta diulang namun selalu datang kembali.
Begitulah pagi. Aku jatuh cinta lagi.
3 Juni 2015
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah bolak-balik membuka sosial media lewat ponsel. Berpindah dari beranda Facebook, singgah sebentar di SoundCloud, cek pembaharuan terkini BBM, geser atas bawah linimasa Twitter, balas pesan WhatsApp yang lupa dibalas, main-main ke blog teman-teman. Kebetulan saja aku tidak punya akun Path dan tidak aktif di Instagram, kalau iya, bertambah panjanglah 'rute jelajah' antesomne-ku. Haha, bukan kebiasaan yang baik memang. Aku sangat mengerti bahwa pendaran cahaya ponsel tidak membantu meningkatkan kualitas tidurku. Tapi yah..mau bagaimana lagi, akhir-akhir ini semakin sulit menyapa teman di dunia nyata, juga aku sering ketinggalan berita (--> banyak alasan plus curahan hati terselubung).
Oke. Jadi intinya adalah, aku meluangkan waktu untuk media sosial.
Belakangan ini ada beberapa topik yang naik daun. Salah satunya adalah koar-koar pengguna sosial media yang memamerkan keunggulan generasi 90an sebagai generasi paling kece. Sebagai tambahan saja, topik ini bersaing ketat dengan populernya meme dan jargon 'gue mah gitu orangnya', 'aku mah apa atuh', dan mulai melewati popularitas '...disitu saya merasa sedih' (turut sedih ya bu polwan), atau tagar lokal '#jaen idup di Bali'. Ya, sekali lagi, orang-orang yang menyebut diri generasi 90an (termasuk juga yang mengaku-ngaku generasi 90an, dan agak memaksakan diri masuk sebagai generasi 90an) saling pamer keindahan masa jaya 90an yang katanya tidak ditemukan, menjadi langka, atau bahkan punah di periode generasi seterusnya. Segalanya, mulai dari makanan anak populer, permainan, konsol game zaman dodol, tokoh kartun, serial televisi...hingga gimmick konyol yang hanya Tuhan dan anak 90an yang memahami apa faedahnya (contoh: meramal jumlah anak dengan metode memencet bagian pangkal telapak tangan.) Woww...apa benar generasi 90an seindah, sehebat, sekeren itu?
Jelas aku tidak akan menyanggah. Masa di tahun 1990-an ke atas adalah masa yang indah sekali, khususnya bagiku. Bagaimana tidak, kalau masalah klaim hak paten (hmm..maafkan penggunaan frasa ini) generasi 90an, aku mantap mengatakan aku anak 90an sejati. Lahir tepat di tahun 1990. Masa keemasan (gold periode) 1000hari pertamaku dimulai di tahun 1990, masa kanak-kanakku sebelum puber kuhabiskan di sepanjang periode 1990-2000, kurang 90an apa coba diriku ini? Segala postingan tentang nostalgia anak 90an aku baca sambil manggut-manggut rindu. Jadi, apa masa kecilku bahagia? Ya. Apa masa 90an adalah masa yang indah? Exactly ya! Lalu, apa generasi 90an lebih baik daripada generasi lainnya? Hm, belum tentu.
Mayoritas postingan generasi 90an yang aku baca diikuti dengan keprihatinan tentang degradasi yang dialami generasi selanjutnya dan peringatan agar generasi lain 'belajar' merasakan senangnya hidup seperti halnya dengan generasi 90an. Jujur saja aku merasa sangat tidak adil, menganaktirikan generasi yang satu, meng-istri-muda-kan generasi yang lainnya, men-teman-tapi-mesra-kan generasi sebelahnya (eh!). Bagaimanapun, generasi 90an adalah representasi dari generasi sebelumnya dengan sedikit reparasi teknologi, sekaligus masinis bagi generasi selanjutnya yang lesatannya menyaingi Shinkansen Kereta api Bandung-Surabaya. Jadi kalau keretanya terlambat, mogok, atau salah jurusan, apa masinisnya boleh lepas tangan begitu saja?
Ini opini pribadi saja sih. Kita seringkali mengeluhkan perilaku anak-anak sekarang yang kita anggap 'beda sekali dibandingkan dengan zaman 90an dulu'. Namun kita menyangkal, perilaku dan karakter yang kita sebut berbeda itu merupakan hasil dari 'reparasi' oleh generasi 90an itu sendiri. Kita terlalu malu mengakui bahwa kita gagal mewariskan keindahan masa 90an, gagal melestarikan sisi-sisi hidup yang dengan egois hanya kita nikmati dengan batas penanggal 1 Januari 1990-31 Desember 1999. Kemudian yang kita lakukan bukannya berusaha membangun kembali kejayaan masa itu, melainkan menyudutkan mental anak-anak masa sekarang. Bagi yang bertujuan non-nostalgia, apa sebenarnya yang kita harapkan? Buruk yang kita lihat di generasi masa kini, bukankah mereka adik-adik kita juga? Mereka keponakan-keponakan kita, kerabat kita, beberapa malah anak kita sendiri (agak njlebb di tiga kata terakhir -.-"). Sudahkah kita memberikan contoh yang baik sebagai generasi yang katanya generasi paling bahagia?
Anak-anak sekarang jarang yang main lompat karet, petak umpet, galah... Sudahkah kita memfasilitasi mereka dengan halaman dan tanah lapang yang cukup luas? Ataukah halaman sudah terlalu sempit oleh bangunan, dan kalaupun ada lahan kosong dimanfaatkan sebagai areal parkiran?
Anak-anak sekarang tidak ada yang mendongak ke atas sambil teriak-teriak minta uang setiap ada pesawat yang menderu lewat di angkasa. Apa mereka sudah kita beri kesempatan bermain di bawah langit biru? Atau mereka terlalu sibuk dengan jam sekolah yang estafet dengan les ini-itu?
Anak-anak sekarang tidak mengenal apa itu mengantre di wartel atau benda yang disebut telepon umum koin/kartu. Jangan-jangan karena kitanya yang terlalu sayang dan khawatir sampai-sampai membelikan anak-anak gadget bahkan ketika mereka belum bisa menggenggam benda dengan mantap apalagi membaca dan mengerti aplikasi.
Anak-anak sekarang tidak tahu apa itu layar tancap yang menontonnya gratis di tanah lapang hanya dengan satu aturan: gerimis, ya bubar. Sudahkah kita membatasi waktu anak menonton televisi? Atau justru membiarkan saja mereka menonton sesuka hati, kemudian ketika perilaku anak berubah kasar dan agresif beramai-ramai menghujat siaran televisi?
Anak-anak sekarang nyanyinya lagu cinta-cintaan. Hey, sehari-hari, apa kita mengajarkan mereka dendang lagu Pelangi, Aku Sayang Ibu, Balonku...atau ,malah kita latih intensif untuk goyang Dumang?
Anak-anak sekarang tidak hapal Pancasila, tidak paham apa isi pembukaan UUD1945, boro-boro ingat pasal-pasalnya. Hayoo..kita sendiri apa masih lancar melafalkan Pancasila? Apa semangat mendorong anak ikut upacara bendera?
Wah...setelah membaca ulang bait-bait tulisan sendiri, berpikir lagi, anak-anak sekarang kasihan bukan karena mereka lahir post era 90an, melainkan karena mereka punya generasi pendahulu yang seperti aku ini. Apa sih contoh baik yang sudah aku lakukan untuk adik, ponakan, dan anak-anak di sekitarku?
Tiba-tiba teringat kata bapak dan ibu, jelas mereka bukan generasi sembilan puluh, namun menjadi saksi kelahiran generasi 90an.
"Bapak sukanya Ebiet G. Ade, ngefansnya dulu sama Broery Marantika, terus lagu-lagu zaman dulu enak-enak. Sampai puluhan tahun juga masih bisa dinikmati. Tapi Bapak suka juga dengerin yang ini..(kebetulan lagi denger lagu Sheila on 7 di radio) apa nama penyanyinya, beliin besok CDnya, Dek."
"Ini sinetron sekarang aneh-aneh, semua bisa berubah jadi macan. Ibu sih nonton sinetron sama gosip tetep doyan, namanya juga ibu-ibu. Serial yang kayak Baywatch, McGyver udah nggak ada lagi (OMG, Mom...) Tapi sekarang sumber film kan udah bisa di internet ya..cariin ibu Sokola Rimba, De. Sama kalau ada film tentang bidan-bidan gitu.."
Hm..mereka yang berhasil merawat anak 90an macam aku atau aku yang gagal menjadi toleran dan lebih konstruktif layaknya mereka?
Yuk, sama-sama berusaha jadi contoh yang baik bagi anak-anak dan adik-adik kita agar wacana generasi 90an bukan hanya legenda dan kejayaan masa lalu saja. Beri mereka ruang untuk menjadi bangga dengan masa yang mereka punya.
[Teruntuk bagi semua yang pernah mengecap manisnya permen Trebor T-drop,
Salam sayang]
2 Juni 2015
Tidak semua orang lihai meninggalkan kenangan.
Sama halnya dengan tidak semua orang berbakat menyimpan.
Diantara yang lihai dan berbakat, lebih sedikit lagi yang mampu menggunakan kelihaian dan bakatnya dengan baik.
Kenangan, abstraksi dari salah satu karakter id dalam diri manusia; ingin memiliki dan membawa segala hal di bawah kendali. Terlalu banyak untuk definisi 'kenangan'? Ayolah, bukan aku saja yang mengenang demi menggaransikan sebuah (atau lebih) memori untuk dimiliki lagi di masa nanti. (Katakan saja iya.)
***
Jadi hari ini aku berencana menyingkirkan beberapa barang di kamar kost yang sudah mulai penuh sesak.
... terkendala oleh semacam 'ini diberikan oleh si ini' 'ini kupakai waktu acara ini' 'ini hadiah dari ini saat menang lomba ini bersama ini' dan deretan ini-ini lainnya.
Kenapa membuang benda-benda itu jadi terasa berat?
Padahal bahkan ada benda yang tidak pernah kusentuh 3 tahun terakhir ini.
Begitu mungkin beratnya membuang kenangan. Kita terlalu takut untuk lupa, takut kehilangan apapun sensasi yang pernah ada.
Dan...
Kenangan juga bisa seperti suplemen vitamin C salut gula.
Manis, manis, sungguh manis. Namun bila lena terlalu lama terbiarkan dalam mulut sembari mengulumnya, asam pun terbit dan pahit rasanya.
***
Untuk segala kenangan, yang sudah atau pun akan terlupakan.
1 Juni 2015

Ini ceritanya berawal dari kegelisahan hati menanggapi pertanyaan "Kok blog kamu sepi?", atau pernyataan "Tulisan kamu di blog terlalu hati-hati." Selanjutnya jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, jangan-jangan memang benar pengalaman menulisku masih jauh dari mumpuni. Iseng kemudian aku lihat-lihat lagi daftar tulisan di aplikasi Evernote, alamak...buanyak'e rekk!
Yah, ternyata frekwensi menulis memang harus dibarengi dengan kepercayaan diri yang tinggi. Tidak aku pungkiri memang dalam hal publikasi pendapat, bahkan seremeh pembaharuan status di media sosial pun, aku sangat berhati-hati. Bagaimana tidak, kata-kata kan 'wajah' pertama yang dinilai dan dikenali saat tidak secara langsung bertatap muka. Karena kehati-hatian ini, aku secara sadar mengakui, kadang aku merasa tidak bisa menjadi diri sendiri. Karena kehati-hatian ini, puluhan tulisan yang berawal dari ide yang muncul begitu saja akhirnya hanya ada dan memenuhi kapasitas memori. Sebagian berakhir di kategori 'tidak layak terbit', sebagian terkelompok sebagai 'terlalu random'.
Sampai beberapa hari yang lalu, aku menemukan kicauan menarik di timeline twitter, dari @nulisbuku
Berani terima tantangan ini?-> Ajakan Menulis Random Setiap Hari! #NulisRandom2015. Info: https://goo.gl/MCdYHs
CHALLENGE ACCEPTED!
Maka demikianlah, kebetulan saja ini bulan Juni. Mari mengunggah apa pun setiap hari.
17 Mei 2015
Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya, "Nya, nggak ngeri ya, jadi dokter zaman sekarang? Rentan dituntut, kok bisa gitu ya?"
Sebelumnya aku ingin menjawab pertanyaan itu. Pertama, tanpa keraguan sedikit pun, jelas aku takut. Bahkan jauh sebelum dinamika hukum dimana dokter dapat langsung diproses hukum pidana tanpa melewati alur audit MKDKI terlebih dahulu, aku sudah merasa takut. Bukan apa-apa, aku juga manusia biasa. Di luar jas putih yang menjadi identitas profesiku. Di luar tambahan gelar yang memperpanjang namaku. Takut adalah hakiki manusia, yang menjadikan kita awas dan waspada. Awalnya ketakutanku terjun ke dunia kedokteran ini semacam takut yang paradoks. Seperti jejas yang justru memicu ekskresi endorfin yang malah membantu kita merasa nyaman, takut ini awalnya takut yang melecutkan semangatku secara pribadi. Setelah isu di atas merebak, aku masih memiliki ketakutan yang sama, hanya saja ada rasa yang bergeser ke arah yang belum terlalu aku mengerti. Untuk pertanyaan 'kok bisa gitu', itu masalah yang lain lagi bagiku.
[Tulisan ini hanya sepenggal keluh kesah atas kekhawatiranku, karenanya sebisa mungkin aku menghindari kata "kami" yang merujuk pada kelompok profesi. Pun segala pernyataan yang mengikuti di bawah ini adalah dalam bentuk opini yang belum sempat diuji silang dengan sumber ilmiah manapun.]
Seberapa banyak pun aku belajar, semakin aku merasa kurang. Seberapa sering pun aku melihat, selalu ada titik yang luput. Dalam novel Erich Segal dikutip bahwa dunia kedokteran modern hanya meyakini pengobatan empiris untuk 26 penyakit saja. Artinya, sisanya diobati dengan memanfaatkan data riset dan metode dengan pembuktian ilmiah yang paling memuaskan. Artinya lagi, ada puluhan kelompok penyakit, ada ratusan diagnosis, semuanya dapat dijabarkan dengan variasi gejala yang tidak terbatas, dan kurang dari satu persen yang diketahui pasti obatnya. Selanjutnya adalah kombinasi ilmu pengetahuan, analisa, logika, dan seni. Keempatnya memiliki celah, yang walaupun tidak diinginkan, dapat dinyatakan salah.
Ada yang namanya ketidaksengajaan, yang berarti tanpa didasari niat untuk melakukan. Ada juga yang namanya ke-tidak-beruntung-an (sepadan makna dengan kesialan, out of luck) yang merujuk pada hasil buruk yang tetap terjadi walaupun sebisa mungkin dihindari. Keduanya sering kita dengar dan gunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun akan berbeda bila subyeknya adalah dokter, maka keduanya akan sama saja diberi sebutan baru, malpraktek. Kurang lebih begitulah cara pikir masyarakat secara general. Mungkin ini cikal bakal jawaban 'kok bisa gitu' di awal tulisan. Kemampuan berpikir kritis masyarakat berkembang dengan pesat dekade terakhir. Sayangnya, banyak berkembang kekritisan yang tidak terarah dan terlalu mudah diarahkan.
Kritis yang tidak terarah dan yang terlalu mudah diarahkan sama buruknya, sama bahayanya. Masih terbayang kasus dr. Ayu yang memaksa dokter se-Indonesia menunjukkan solidaritasnya hingga ke jalanan. Sempat juga aku menyimak berita pasien penyakit kronis (kalau tidak salah malignansi) yang menuntut dokternya karena tidak kunjung sembuh sampai jatuh miskin. Belum lagi, berita yang mencoreng profesi dokter tentang pasien yang tidak dilayani lah, tentang obat yang mahal lah, dan sebagainya. Ada perasaan miris karena wajah kritis masyarakat dalam hal ini seringkali adalah wujud lain dari upaya pelimpahan tanggungjawab kesehatan ke tangan dokter semata. Memang kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan, tapi sebagai pasien juga seharusnya tidak melepaskan tanggungjawab akan kesehatannya sebagai hak miliknya sendiri. Tentang ini juga aku singgung dalam tulisan lain tentang pasien yang memiliki alergi di sini.
Selanjutnya mengenai kritis yang terlalu mudah diarahkan. Aku pernah mendengar cerita dari teman sejawat, tentang senior yang pasiennya meninggal karena sebab tertentu, telah diinformasikan kepada pihak keluarga, dan pihak keluarga menerima. Selang beberapa hari kemudian, keluarga kembali sambil mengajukan tuntutan dengan tuduhan (lagi-lagi) malpraktek. Dalam jeda waktu beberapa hari tersebut, dikatakan pihak keluarga berkonsultasi terlebih dahulu dengan orang yang lebih tahu (entah siapa, tetaplah teguh bahwa hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui). Begitu mudah sebagian orang terhasut dan menyerap informasi yang belum pasti benar.
Memang, sudah menjadi hal baku, dalam hubungan dokter pasien dikenal komunikasi medis dan informed consent. Intinya segala hal harus dipastikan dimengerti oleh kedua belah pihak. Pilihan terapi dan keputusan medis dimengerti oleh pasien, sebaliknya keinginan dan harapan pasien juga dapat ditangkap oleh dokter. Kenyataannya, idealisme semacam itu hanya bertahan di kondisi yang kondusif. Tidak heran sekarang malah mencuat wacana mengenai defensif med seperti yang aku baca disini dan disini juga.
Hhh...memang kata Bapak Mahfud MD, sebagai dokter aku tidak perlu takut kalau tidak salah. Yang aku bayangkan adalah jika dokter begitu mudah diproses secara pidana karena masalah dalam ruang lingkup profesi, ada banyak hal negatif mengikuti. Dokter bisa dikatakan adalah penyedia layanan jasa, jasa kesehatan. Apabila tersangkut kasus pidana, walaupun nantinya terbukti tidak bersalah, apa nama baik akan kembali hanya dengan sebaris kalimat pengembalian dari peradilan? Aku sendiri tidak yakin prosesnya sesederhana sidang pengambilan surat kendaraan setelah terciduk razia gabungan, yang setelah sidang tidak akan mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. (Sementara ini belum pernah dengar kasus PHK karena tertangkap razia, atau dikucilkan karena lupa membawa SIM.)
Ditegaskan lagi, opini hanya opini. Subyektivitasku ini bukanlah pernyataan bahwa profesi dokter adalah ranah ekslusif. Sama sekali bukan karena merasa lebih penting, lebih bermartabat, lebih patut diperhatikan. Sama sekali bukan. Profesi lain pun aku yakin memiliki subyektivitas tersendiri yang juga timbul tenggelam dalam arus kebijakan negara dan sorotan media massa. Hanya saja, aku tidak mahir beropini untuk hal yang tidak aku mengerti. Maka aku dengan segala keterbatasan hanya menyentuh dinding yang membatasiku, membela profesi yang memelukku, walaupun menjadikanku terdengar egois dan arogan.
Kembali lagi, aku merasa takut. Sebagai warga negara yang aku tahu tidak akan luput dari hukum (yang lurus, kuharap). Sebagai dokter yang disumpah untuk menghargai setiap nyawa yang aku temui. Sebagai manusia, yang anak, yang kakak, yang adik, yang sahabat, yang berusaha sebaik mungkin menjadikan ketakutan ini alasan untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Awal Mei, bersama ketakutanku di sela hujan saat jaga sore.
Suatu sore di poliklinik umum,
Seorang Bapak (SB) : "Saya mau berobat, tapi saya ada alergi obat. Sekalian aja dikasi obat alergi."
Aku : " Bapak keluhannya apa?"
SB : " Batuk pilek, Dok. Inget saya ada alergi, tambah obat alergi."
Aku : " Bapak alergi obat apa saja?"
Istrinya Bapak (IB) : "Banyak dia alerginya Dok. Biasanya di dokter Anu, langsung dikasi obat. Sudah hapal dokternya sama suami saya." ( mulai nyolot)
Aku : "Tapi Bapak baru pertamakali kesini ya Pak..Bu.. Saya belum tahu Bapak ada alergi apa saja. Sebaiknya kalau memang ada riwayat alergi, Bapak punya catatan obat apa saja yang alergi, catatannya disimpan yang rapi, kalau berobat kemanapun harap diperlihatkan agar tidak diberikan obat-obat tersebut."
IB : "Jadi suami saya nggak dapet obat disini?" (Mulai teriak)
SB: " Saya alergi antibiotik, obat panas, obat pilek. Minum obat-obatan itu gatal. Tapi sekarang saya sakit, kasi aja obat pilek, tambahin obat alergi."
Aku : "Mohon maaf, Bapak, Ibu. Sebelumnya saya jelaskan, reaksi alergi itu tidak bisa diprediksi. Tidak selalu hanya gatal dan merah kulit. Bisa sesak, bengkak, hilang kesadaran, sampai syok. Itu yang ingin kita hindari. Saya tidak bisa memberikan obat yang dengan kecurigaan bapaknya alergi." (Nada disabar-sabarin).
IB : "Udah Pak, gimana sih dokternya, kita bayar tapi nggak mau dikasi obat. Pelayanannya kok jelek gini!" (Terus minggat dari poliklinik)
Aku : "..." (ngelus dada)
Suatu sore menjelang malam di UGD
Seorang Ibu (SI) : "Tolong Dok, kenapa nih anak saya??" (Nada panik)
Anak Seorang Ibu (ASI) : (Kelopak mata bengkak, kulit merah-merah, garuk-garuk tapi kalem.)
Aku : "Kenapa bisa ada keluhan gini anaknya, Bu?"
SI : "Nggak tahu, tiba-tiba kayak gini. Sebelumnya anak saya sakit gigi, gusinya sakit, terus dikasi resep sama dokter gigi. Setelah minum obat jadi kayak gini." (Sambil menunjukkan obat Ibuprofen)
-----------Aku dan tim medis UGD memberikan penanganan sesuai protokol reaksi alergi---------------
SI : "Gimana sih apoteknya, kok saya malah dikasi obat yang bisa bikin alergi.
Aku : "Begini Bu, alergi terhadap obat bisa terjadi pada siapa saja. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada riwayat jelas mengenai alergi pada anak Ibu."
SI : "Dokternya juga gimana kok anak saya diresepkan obat yang kayak gini?"
Aku : "Ibu..obat jenis ini, Ibuprofen, merupakan obat yang sangat umum digunakan. Tidak ada yang tahu sebelumnya mengenai alergi terhadap suatu obat kecuali sudah pernah mengalami reaksi alergi terhadap obat tersebut atau sudah dilakukan tes alergi. Saya sendiri tidak akan tahu bila Ibu ada alergi obat tertentu."
SI : "Terus saya harus gimana? Saya harus nyalahin siapa sekarang anak saya seperti ini?"
Aku : "Sekarang kami tangani gelaja alergi yang dialami anak Ibu sesuai prosedur. Selanjutnya Ibu harus mencatat alergi yang dialami anak Ibu, kemanapun berobat harap diinformasikan agar tidak diresepkan obat yang memiliki kandungan yang sama. Nanti penghilang nyerinya saya ganti Parasetamol ya.."
SI : "Parasetamol anak saya alergi juga."
Aku : (--.--)" *hmm..
Hari lain, UGD pagi-pagi
Ibu Muda (IM) : "Mata saya bengkak habis minum neuralgin tadi."
Suami Ibu Muda (SIM): "Dia sakit kepala, terus minum obat yang itu."
Aku : "Sebelumnya sudah ada alergi obat?"
SIM : "Ya itu, alergi antalgin."
Aku : "Lha, terus kenapa minum obat itu lagi?"
IM : "Ya..soalnya sakit kepala. Setelah minum itu sakit kepala ilang."
Aku : "......" *speechless. Ya, sakit kepala ilang, bengkak iya.
* * *
Tidak banyak yang mengerti, alergi merupakan reaksi aktivitas pertahanan tubuh yang berlebihan menanggapi suatu agen. Bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada orang dengan riwayat atopi sebelumnya. Dapat disebabkan oleh agen apapun; obat, makanan tertentu, debu, serat kain, bahan kulit dan karet, dan lainnya, tidak terbatas. Reaksinya sangat bervariasi. Mulai dari kulit kemerahan, gatal, mata bengkak, sesak, penurunan tekanan darah, reaksi berat dimana kulit melepuh (baca SJS), hingga syok yang berujung pada kematian.
Alergi, jangan disepelekan.
Alergi, bukan semata-mata tanggung jawab tenaga kesehatan Anda.
Alergi, tolong sekali diingat sebagai catatan pribadi.
Dokter Anda bertemu dengan ratusan orang setiap hari. Anda tidak percaya bahwa dua belah otaknya akan menyimpan setiap data yang ditemui, bukan?
Dengan mencatat dan mengingat riwayat alergi Anda, maka Anda sudah membantu diri Anda sendiri.
Terimakasih.
13 Mei 2015
Pos Plawangan Senaru, pukul 09.50 WITA
Lea berselonjor begitu saja di tanah. Wajahnya menyiratkan gelisah. Tidur dan meregangkan otot beberapa jam sebelumnya ternyata tidak mampu membunuh rasa lelahnya yang luar biasa. Berselang tepat setahun dari pendakian sebelumnya, belum setengah perjalanan, dan otot betisnya seperti mati rasa. Namun bukan itu yang mengganggu pikirannya. Matanya nanar memandangi para pendaki lain yang datang dan pergi, belum muncul yang ia nanti. Sesaat ia merasa menyesal. Menyesal karena memutuskan naik lewat jalur Senaru dan bukan mengambil jalur Sembalun. Menyesal karena memaksa tinggal sementara teman-teman sekantornya naik terlebih dahulu. Menyesal karena ia percaya bahwa ia akan bertemu dengan yang ditunggu di tempat ini.
Ya, di tempat ini. Persis seperti tahun- tahun yang lalu.
* * *
Bulan Mei tahun 2010.
Bulan Mei adalah bulan yang baik untuk mendaki. Bukan menurut Feng Sui. Itu hanya menurut keyakinan Lea sendiri. Pemanasan global membuat musim meninggalkan pakem semester panas dan semester penghujan, hampir mustahil untuk meramal cuaca. Di Bulan Mei itu, kekasih Lea memutuskan hubungan begitu saja, menjadikan suasana hati Lea sebagai cuaca yang paling mudah dipastikan. Di Bulan Mei itu juga jatah cuti dari kantornya tiba. Waktu kosong dan hati yang gundah adalah kombinasi sempurna yang mengarahkan telunjuk Lea, memilih secara acak dari Peta Indonesia, Gunung Rinjani sebagai tempat pelariannya.
"Indonesia terlalu sayang untuk hanya dipandangi lewat televisi. Yang begini diciptakan untuk dijelajahi." ujar seorang pria tiba-tiba. Itu kali pertama Lea mendaki Rinjani, ia tidak siap dengan interaksi tiba-tiba dengan pendaki lain, maka ia membalas dengan senyum saja.
"Mungkin beberapa tahun lagi, alam ini akan terasa mewah sekali." Sambungnya lagi. Lea terhenyak, sesuatu menggerakkan hatinya.
"Lea." katanya sambil mengulurkan tangan.
"Ito." balas pria itu, lebih terdengar seperti 'itok' di telinga Lea.
"Darimana Mas Ito?"
"Surabaya, Mbak."
"Sendiri?" tanya Lea.
"Di alam kita tidak pernah sendiri, Mbak. Mbaknya?"
Lea tersenyum, pendakian pertamanya menuju puncak Rinjani, dan ia tidak sendiri.
* * *
Lea membuka lagi botol air minumnya. Meminum isinya, bukan karena haus, melainkan untuk menutupi kegugupan hatinya. Tiga rombongan lagi berlalu, melanjutkan perjalanan menuju Segara Anak. Bendera merah menyala di ransel beberapa pendaki mengingatkannya pada kejadian empat tahun yang lalu. Pendakiannya yang kedua di Gunung Rinjani, pendakian yang mereka, Lea dan Ito, rencanakan sejak jauh-jauh hari, dan kembali memilih Bulan Mei. Tepat setahun sejak pertemuan pertama mereka. Berjanji untuk bertemu di Pos I, hari itu Ito terlihat kurang sehat.
"Batuk pilek biasa." dalih Ito saat Lea menawarkan untuk menunda rencana pendakian.
Batuk pilek biasa itu berubah menjadi bencana. Tiba di Segara Anak, dimana seharusnya mereka menikmati udara dan air segar, Ito justru terkapar. Napasnya tersengal. Lea panik setengah mati, apalagi ternyata Ito tidak membawa persediaan obat pribadi. Lea yang panik mengambil kain merah di tasnya, melambaikannya ke arah jalur pendakian, berharap ada yang melihatnya. Tepat sebelum Lea kalap dan menyerah melempar Ito begitu saja ke Segara Anak, seorang pria datang menghampiri.
"Saya Dimas, dokter. Saya coba bantu." ucapannya datar, namun geraknya sigap, menyeret Ito ke hamparan bebatuan yang lebih lapang, melonggarkan syal dan jaketnya, membuka syalnya sendiri, kemudian menggabungkannya dengan syal Ito sebagai penyangga kepala.
"Tolong, Mbak." ia memberiku isyarat untuk menjaga posisi kepala Ito dengan kedua belah tanganku, sementara ia merogoh ke dalam ranselnya, mengeluarkan semacam vial obat dan suntikan. Lea bahkan tidak punya pikiran untuk menghentikan apapun yang Dimas sedang lakukan. Yang pasti, kurang dari tiga menit kemudian, Ito dapat bernapas dengan lega, biru di bibirnya lumer menjadi pucat kemerahan.
"Gila, Tok! Kamu bikin aku panik setengah mati!" teriak Lea sambil mengguncang bahu Ito.
"Jangan Mbak, lebih baik masnya diberi minum."
Lea menggapai botol minumnya, menenggaknya sampai puas sebelum menyodorkannya ke arah Ito.
Hari itu, hari dimana Lea bertemu Dimas untuk pertama kali. Hari itu, Lea tahu bahwa Ito adalah pengidap astma. Hari itu, dengan kekerasan hati Ito, mereka melanjutkan perjalanan sampai puncak, bertiga.
* * *
Pos Plawangan Senaru, pukul 10.16 WITA
Dari kejauhan Lea melihat siluet tiga pria berjalan beriringan. Senyumnya merekah, tangannya melambai girang. Ketika rombongan itu mendekat, Lea menyadari itu bukan mereka. Semangatnya pupus lagi. Anggota rombongan itu mengangguk ke arah Lea saat berjalan melewatinya. Mereka sempat berhenti sebentar, membenahi isi ransel masing-masing. Salah satu pria mengeluarkan kompor kecil dari tasnya, membenahi isi tas lainnya kemudian kembali menjejalkan kompor tersebut ke dalam tas. Pemandangan itu mengingatkan Lea pada saat mereka berempat memasak makanan dan makan bersama. Tentu saja tukang masaknya adalah Gat, sang koki. Gat, Gatot nama lengkapnya, adalah teman ketiga yang Lea temui di Rinjani. Bulan Mei 2012, cuaca cukup dingin dan berkabut. Saat itu, Lea, Ito, dan Dimas memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda di Plawangan Sembalun. Sendirian, seseorang terlihat termenung di depan sebuah tenda yang bentuknya tak sempurna. Seseorang itu Gat, termenung setelah tenda dan isinya diacak-acak oleh entah siapa. Kompor jinjingnya, hartanya yang mungkin paling berguna di Rinjani ini lenyap. Berbagi kompor dan makanan ternyata memang awal pertemanan yang sempurna. Terlebih lagi Gat adalah koki handal sebuah restoran terkenal di Jakarta.
Dalam sebuah percakapan, di tengah acara santap makanan buah karya Gat, pendakian Rinjani bulan Mei 2013. Tahun pertama mereka memulainya berempat.
"Bon appetite!" pekik Lea. Ia selalu takjub setiap kali Gat berhasil menyulap setumpuk 'rumput' menjadi masakan yang lezat.
"Oh, ya, Kawan-kawan. Pada kesempatan ini aku ingin mengucapkan terimakasih karena kita bertemu lagi di gunung ini. Terimakasih atas setiap langkah pendakian. Terimakasih atas napas yang tersengal." Gat menengahi kunyahan mereka.
Ito unjuk tangan, ingin segera bicara dengan mulut setengah penuh. Ito tersedak, mereka tertawa.
"Saya juga berterimakasih. Pada Mbak Lea, Mas Dimas, Mas Gatot. Terutama pada alam raya. Hanya oleh alam raya tukang parkir seperti saya bisa berjumpa dengan bankir galau macam Lea. Hanya berkat alam ini saya tidak jadi mati karena dipertemukan dengan Dimas. Dan juga, syukur karena kompor Gat hilang tahun lalu maka kita semua dapat menikmati hidangan seperti ini di antara pepohonan."
"Lea tidak boleh patah hati lagi. Dimas, selalu jadi super dokter. Itok, buktikan kalau seluruh Indonesia bisa kamu tapaki. Gat...dimanapun, selalu beri kami makanan gratis. Amin." ucap Lea, berlagak khusyuk berdoa, diikuti jitakan jari Gat di jidatnya.
"Pokoknya, walaupun bukan di atas gunung ini, kita adalah saudara. Bertemu di sudut manapun kita tetap saudara." ujar Dimas, menyodorkan gelas plastik, bersulang dengan air yang mereka ciduk dari danau Segara Anak.
* * *
Lea bersandar di batang salah satu pohon. Bibirnya mengembangkan senyum kala mengingat momentum pendakian bersama. Hari beranjak siang, sebuah tangan membayang terulur ke arah Lea. Gat, tersenyum. Di belakangnya Itok dan Dimas juga mengembangkan senyum yang sama.
"Bagaimana? Ke puncak?"
* * *
3726 meter di atas permukaan laut, puncak Rinjani hanya satu titik di muka bumi. Satu titik yang mempertemukan segala kemustahilan menjadi ada. Satu titik yang menggaransikan persahabatan di atas segalanya. Sementara titik-titik lain yang tak terbatas, selalu ada dan menunggu siapa saja.
[Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .]
26 April 2015
Aku hanya mengenal satu kakek, pekak, sepanjang hidupku. Ya, tentunya secara biologis dan sesuai pohon keluarga aku punya dua kakek, satu dari pihak bapak, satunya lagi dari ibu. Pekak dari bapak, aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Beliau telah meninggal jauh sebelum aku lahir. Praktisnya, aku mengenal beliau hanya lewat cerita dan sebuah foto tua yang berhasil didaur ulang dengan kecanggihan teknik fotografi sehingga kami tetap dapat mengenang (dan bagiku pribadi) membayangkan rupa beliau.
Pekak yang benar-benar aku kenal adalah bapak dari ibu. Kami menyebut beliau dengan panggilan Pekak Romo. Aku sendiri yakin ada cerita di balik panggilan itu, namun aku benar-benar lupa.
Menyebut pekak romo, bayangan yang terlintas di benakku adalah sesosok pria tua, tinggi, besar, tambun, dengan lapisan lemak tebal yang menyembul di perut. Walaupun jarak antara rumah tinggal kami dengan rumah kecil ibu hanya sekitar 10 kilometer, kami tidak sesering itu mengunjungi rumah kecil ibu, yang berarti tidak sesering itu aku berjumpa Pekak Romo. Dalam kesehariannya, Pekak Romo boleh dibilang disegani oleh kerabat dan tetangga sekitar. Selain karena beliau dikenal sebagai seorang ahli pijat tradisional, aku rasa juga karena kepribadiannya secara keseluruhan. Tak jarang, bila pulang ke Bebali (rumah kecil ibu) aku akan berjumpa dengan beberapa orang yang mengantre sembari bercengkrama sambil membawa canang dengan jinah sesari seikhlasnya. Mereka adalah pelanggan pijat Pekak Romo.
Hey! Aku juga salah satu pelanggan pijat Pekak. Ya, aku suka sekali dipijat oleh beliau. Walaupun setelahnya kaki tanganku akan licin berminyak. Walau setelahnya badanku beraroma bawang.
Aku suka.
Selain tentang pijatannya yang aduhai nikmat dirasakan kaki-kaki mungilku (kala itu), hal yang kuingat tentang Pekak Romo adalah pertanyaan-pertanyaannya yang menurutku membuatnya sangat family-man. Kebanyakan adalah tentang sekolahku, prestasi terakhir yang aku capai, rencana ke depan dan sebagainya. Lalu, selalu beliau memastikan hubungan baikku dengan kerabat yang lain, 'kapan terakhir ketemu si ini?', 'gimana kemarin waktu main ke rumah si itu?', 'itu masih sodara, sudah sering nyapa si anu?'. Dan tentu saja petuah-petuah yang sangat layak dari seorang kakek kepada cucunya.
Ah.. lama sekali rasanya aku tidak mendengar petuah-petuah itu.
* * *
Tahun berganti, usia Pekak Romo bertambah tua. Ada limitasi oleh waktu, dimana pekak tidak menerima permintaan pijat lagi. Sampai perlahan, karena aku yang beranjak remaja, walau beberapa kali bapak masih sempat dipijat pekak, aku ingat masa dimana pekak benar-benar pensiun dari ranah pijat tradisional.
Ya, tidak ada pijatan lagi, hingga yang menyedihkan pekak mulai sering mengulang pertanyaannya berkali-kali. Demensia.
* * *
Ketika menua adalah mutlak bagi sang tua, memahami perubahan adalah opsi dengan hitungan permutasi bagi yang lainnya. Hasil perhitungannya seringkali adalah penyesalan atas waktu yang terlewatkan, atas kesempatan yang pernah terabaikan.
* * *
Awal bulan ini, sosok pria tua tambun tinggi besar itu, satu-satunya kakek yang benar-benar aku kenal, berpulang. Entah kenapa di baris ini aku kehilangan kata-kata.
...
Ada kenangan yang identik dengan alinea awal tulisan ini, menggedor dadaku, tepat saat tanah yang digali dimaksudkan untuk menutupi badan pekak romo untuk seterusnya. Seperti aroma dupa, nada sendu, dan tatapan rindu sore itu, tolong lihat aku lagi dari manapun tempatmu.
3 Februari 2015
* * *
Jawabannya mungkin sesering tubrukan antar bintang yang terjadi di semesta, tak terhingga.
1. Buktikan bahwa kita benar.
2. Buktikan bahwa orang lain salah.
17 Januari 2015
5 Januari 2015
Ini sedikit cerita dari dalamnya.
Seperti cerita dari dalam kotak make up ini.
Bahkan membeli kotak make up ini pun aku akui sebagai penipuan mendasar yg aku lakukan. Kisahnya, tahun-tahun koas, banyak kegiatan merawat diri (baca: mandi seadanya) harus dilakukan di rumah sakit. Praktis, segala perkakas rias (yang secuil tadi) harus aku bawa. Aku secara pribadi tidak terganggu dengan kebiasaan membawa perlengkapanku itu dengan kantong plastik biasa. Ya, kantong plastik yang sama yang digunakan untuk membungkus ote-ote atau tahu isi. Kadang warna hitam, kadang oleh-oleh belanja roti di Indomaret atau CircleK. Tambahan lagi, dalam satu tas plastik semuanya bergabung, termasuk sikat gigi, odol, dan sabun mandi. Praktis. Namun ternyata, di mata teman-teman, kebiasaanku itu lumayan menyayat hati. Miris, katanya.
"Duh, pakai je tas make-up yang lebih layak pakai, Nya!"
"Kenapa digabung gitu, Nya? Rusak nanti krimnya."
"Nyanya..jangan kayak orang susah deh!"
![]() |
Sebagian besar isinya hanya pencitraan semata. |
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup