Defect, anomali...and perspective

13 Mei 2015

On 08.06 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Pos Plawangan Senaru, pukul 09.50 WITA

Lea berselonjor begitu saja di tanah. Wajahnya menyiratkan gelisah. Tidur dan meregangkan otot beberapa jam sebelumnya ternyata tidak mampu membunuh rasa lelahnya yang luar biasa. Berselang tepat setahun dari pendakian sebelumnya, belum setengah perjalanan, dan otot betisnya seperti mati rasa. Namun bukan itu yang mengganggu pikirannya. Matanya nanar memandangi para pendaki lain yang datang dan pergi, belum muncul yang ia nanti. Sesaat ia merasa menyesal. Menyesal karena memutuskan naik lewat jalur Senaru dan bukan mengambil jalur Sembalun. Menyesal karena memaksa tinggal sementara teman-teman sekantornya naik terlebih dahulu. Menyesal karena ia percaya bahwa ia akan bertemu dengan yang ditunggu di tempat ini.

Ya, di tempat ini. Persis seperti tahun- tahun yang lalu.

*   *   *

Bulan Mei tahun 2010.
Bulan Mei adalah bulan yang baik untuk mendaki. Bukan menurut Feng Sui. Itu hanya menurut keyakinan Lea sendiri. Pemanasan global membuat musim  meninggalkan pakem semester panas dan semester penghujan,  hampir mustahil untuk meramal cuaca. Di Bulan Mei itu, kekasih Lea memutuskan hubungan begitu saja, menjadikan suasana hati Lea sebagai cuaca yang paling mudah dipastikan. Di Bulan Mei itu juga jatah cuti dari kantornya tiba. Waktu kosong dan hati yang gundah adalah kombinasi sempurna yang mengarahkan telunjuk Lea, memilih secara acak dari Peta Indonesia, Gunung Rinjani sebagai tempat pelariannya.

"Indonesia terlalu sayang untuk hanya dipandangi lewat televisi. Yang begini diciptakan untuk dijelajahi." ujar seorang pria tiba-tiba. Itu kali pertama Lea mendaki Rinjani, ia tidak siap dengan interaksi tiba-tiba dengan pendaki lain, maka ia membalas dengan senyum saja.
"Mungkin beberapa tahun lagi, alam ini akan terasa mewah sekali." Sambungnya lagi. Lea terhenyak, sesuatu menggerakkan hatinya.
"Lea." katanya sambil mengulurkan tangan.
"Ito." balas pria itu, lebih terdengar seperti 'itok' di telinga Lea.
"Darimana Mas Ito?"
"Surabaya, Mbak."
"Sendiri?" tanya Lea.
"Di alam kita tidak pernah sendiri, Mbak. Mbaknya?"
Lea tersenyum, pendakian pertamanya menuju puncak Rinjani, dan ia tidak sendiri.

*   *   *

Lea membuka lagi botol air minumnya. Meminum isinya, bukan karena haus, melainkan untuk menutupi kegugupan hatinya. Tiga rombongan lagi berlalu, melanjutkan perjalanan menuju Segara Anak. Bendera merah menyala di ransel beberapa pendaki mengingatkannya pada kejadian empat tahun yang lalu. Pendakiannya yang kedua di Gunung Rinjani, pendakian yang mereka, Lea dan Ito, rencanakan sejak jauh-jauh hari, dan kembali memilih Bulan Mei. Tepat setahun sejak pertemuan pertama mereka. Berjanji untuk bertemu di Pos I, hari itu Ito terlihat kurang sehat.
"Batuk pilek biasa." dalih Ito saat Lea menawarkan untuk menunda rencana pendakian.
Batuk pilek biasa itu berubah menjadi bencana. Tiba di Segara Anak, dimana seharusnya mereka menikmati udara dan air segar, Ito justru terkapar. Napasnya tersengal. Lea panik setengah mati, apalagi ternyata Ito tidak membawa persediaan obat pribadi. Lea yang panik mengambil kain merah di tasnya, melambaikannya ke arah jalur pendakian, berharap ada yang melihatnya. Tepat sebelum Lea kalap dan menyerah melempar Ito begitu saja ke Segara Anak, seorang pria datang menghampiri.
"Saya Dimas, dokter. Saya coba bantu." ucapannya datar, namun geraknya sigap, menyeret Ito ke hamparan bebatuan yang lebih lapang, melonggarkan syal dan jaketnya, membuka syalnya sendiri, kemudian menggabungkannya dengan syal Ito sebagai penyangga kepala.
"Tolong, Mbak." ia memberiku isyarat untuk menjaga posisi kepala Ito dengan kedua belah tanganku, sementara ia merogoh ke dalam ranselnya, mengeluarkan semacam vial obat dan suntikan. Lea bahkan tidak punya pikiran untuk menghentikan apapun yang Dimas sedang lakukan. Yang pasti, kurang dari tiga menit kemudian, Ito dapat bernapas dengan lega, biru di bibirnya lumer menjadi pucat kemerahan.
"Gila, Tok! Kamu bikin aku panik setengah mati!" teriak Lea sambil mengguncang bahu Ito.
"Jangan Mbak, lebih baik masnya diberi minum."
Lea menggapai botol minumnya, menenggaknya sampai puas sebelum menyodorkannya ke arah Ito.

Hari itu, hari dimana Lea bertemu Dimas untuk pertama kali. Hari itu, Lea tahu bahwa Ito adalah pengidap astma. Hari itu, dengan kekerasan hati Ito, mereka melanjutkan perjalanan sampai puncak, bertiga.

*   *   *

Pos Plawangan Senaru, pukul 10.16 WITA

Dari kejauhan Lea melihat siluet tiga pria berjalan beriringan. Senyumnya merekah, tangannya melambai girang. Ketika rombongan itu mendekat, Lea menyadari itu bukan mereka. Semangatnya pupus lagi. Anggota rombongan itu mengangguk ke arah Lea saat berjalan melewatinya. Mereka sempat berhenti sebentar, membenahi isi ransel masing-masing. Salah satu pria mengeluarkan kompor kecil dari tasnya, membenahi isi tas lainnya kemudian kembali menjejalkan kompor tersebut ke dalam tas. Pemandangan itu mengingatkan Lea pada saat mereka berempat memasak makanan dan makan bersama. Tentu saja tukang masaknya adalah Gat, sang koki. Gat, Gatot nama lengkapnya, adalah teman ketiga yang Lea temui di Rinjani. Bulan Mei 2012, cuaca cukup dingin dan berkabut. Saat itu, Lea, Ito, dan Dimas memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda di Plawangan Sembalun. Sendirian, seseorang terlihat termenung di depan sebuah tenda yang bentuknya tak sempurna. Seseorang itu Gat, termenung setelah tenda dan isinya diacak-acak oleh entah siapa. Kompor jinjingnya, hartanya yang mungkin paling berguna di Rinjani ini lenyap. Berbagi kompor dan makanan ternyata memang awal pertemanan yang sempurna. Terlebih lagi Gat adalah koki handal sebuah restoran terkenal di Jakarta.

Dalam sebuah percakapan, di tengah acara santap makanan buah karya Gat, pendakian Rinjani bulan Mei 2013. Tahun pertama mereka memulainya berempat.
"Bon appetite!" pekik Lea. Ia selalu takjub setiap kali Gat berhasil menyulap setumpuk 'rumput' menjadi masakan yang lezat.
"Oh, ya, Kawan-kawan. Pada kesempatan ini aku ingin mengucapkan terimakasih karena kita bertemu lagi di gunung ini. Terimakasih atas setiap langkah pendakian. Terimakasih atas napas yang tersengal." Gat menengahi kunyahan mereka.
Ito unjuk tangan, ingin segera bicara dengan mulut setengah penuh. Ito tersedak, mereka tertawa.
"Saya juga berterimakasih. Pada Mbak Lea, Mas Dimas, Mas Gatot. Terutama pada alam raya. Hanya oleh alam raya tukang parkir seperti saya bisa berjumpa dengan bankir galau macam Lea. Hanya berkat alam ini saya tidak jadi mati karena dipertemukan dengan Dimas. Dan juga, syukur karena kompor Gat hilang tahun lalu maka kita semua dapat menikmati hidangan seperti ini di antara pepohonan."
"Lea tidak boleh patah hati lagi. Dimas, selalu jadi super dokter. Itok, buktikan kalau seluruh Indonesia bisa kamu tapaki. Gat...dimanapun, selalu beri kami makanan gratis. Amin." ucap Lea, berlagak khusyuk berdoa, diikuti jitakan jari Gat di jidatnya.
"Pokoknya, walaupun bukan di atas gunung ini, kita adalah saudara. Bertemu di sudut manapun kita tetap saudara." ujar Dimas, menyodorkan gelas plastik, bersulang dengan air yang mereka ciduk dari danau Segara Anak.

*   *   *
Lea bersandar di batang salah satu pohon. Bibirnya mengembangkan senyum kala mengingat momentum pendakian bersama. Hari beranjak siang, sebuah tangan membayang terulur ke arah Lea. Gat, tersenyum. Di belakangnya Itok dan Dimas juga mengembangkan senyum yang sama.
"Bagaimana? Ke puncak?"

*   *   *

3726 meter di atas permukaan laut, puncak Rinjani hanya satu titik di muka bumi. Satu titik yang mempertemukan segala kemustahilan menjadi ada. Satu titik yang menggaransikan persahabatan di atas segalanya. Sementara titik-titik lain yang tak terbatas, selalu ada dan menunggu siapa saja.

[Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .]

0 comments:

Posting Komentar