Defect, anomali...and perspective

30 Agustus 2015

On 09.47 by anya-(aydwprdnya)   3 comments

Jadi ceritanya begini: Beberapa hari kemarin, karena suatu alasan yang tidak sanggup aku jelaskan lewat tulisan, aku tidak punya akses moda transportasi pribadi. Tidak ada kendaraan bukan berarti aku boleh ngendon di kost saja (kalau diizinkan sebenarnya sangat berharap), tugas jaga ya tetap jaga, nongkrongin ugd ya mesti tetap dijalani juga. Sarana transportasi publik pun menjadi pilihan. Dengan alasan kepraktisan dan dorongan jiwaku yang kekinian, akhirnya aku memanfaatkan jasa Gojek (yang bukan kebetulan masih dalam masa promo).

Apa istimewanya? Bukan aku saja yang rajin nge-Gojek. Lalu? Rangkaian nge-Gojek beberapa hari kemarin memberikan bentuk kesadaran baru bagiku. Kini hidup tak sama lagi (sumpah, dengan penuh kesadaran ini berlebihan.)

*   *   *

Driver (sebutan kerennya abang ojek) pertamaku di bawah bendera Gojek namanya Bang Nada Wijaya. Nama belakangnya adalah marga yang mengindikasikan daerah asal Sumatera Utara, hampir aku tanya, “Bang, masih sodaraan sama Sammy Simorangkir nggak?” Sebelumnya perlu aku permaklumkan, itu kali pertama aku menggunakan jasa Gojek sebagai ojek, sebelumnya yang aku gunakan adalah jasa antar barang, beli makan, beli makan, ngambil pesanan makanan (kok banyak makanannya ya?). Nah, Bang Nada ini orangnya ramah dan komunikatif. Dari pertama duduk boncengan sampai ke tempat tujuan si abang banyak bertanya dan menjawab. Usut punya usut ternyata Bang Nada ini lulusan Fakultas Hukum yang satu almamater universitas denganku, dan jadi driver Gojek ini hanya pekerjaan sampingan baginya. Walah...pantesan. Perasaanku benar, Batak (hampir selalu) identik dengan hukum, pengacara, jaksa, dll. Sepanjang perjalanan kost-RS Puri Raharja kami ngobrol dan sampainya cepat. Karena pelayanannya bagus, aku vote banyak bintang buat si abang. Ekspektasiku tentang driver Gojek menanjak, “Oke juga Gojek ini ya” pikirku saat itu.

Namun layaknya roller coaster, ada pasang ada surutnya (roller coaster atau ombak Pantai Sanur), ekspektasi yang sudah terbangun dihempaskan oleh driver Gojek berikutnya. Siang terik, jamnya pulang jaga, pesan Gojek, langsung dijemput di pos satpam Puri Raharja. Kesan pertamaku, alamak..motornya. Ternyata sebut saja Bli N, driver Gojek kedua, berbekal motor yang menurut pendapat pribadiku tidak ergonomis untuk boncengan. Ya sudahlah, nasi sudah ditambah lauk, eh sudah menjadi bubur. Ojek sudah kadung dipesan, aku pun diangkut pulang. Entah karena kinerja kelenjar keringat berbanding lurus dengan teriknya mentari atau karena si bli kurang niat mandinya, aku harus menikmati sepoi angin beraroma sepanjang perjalanan (menyesal menolak masker). Bukan hanya tambahan service “aroma terapi” yang membuat hatiku kesal, ternyata si bli juga tidak hapal jalanan Denpasar! Sempat dua kali salah belok, dan nyaris melawan arus di jalan satu arah. Bukan apa-apa, aku bukan ahli arah dan penguasa jalanan, tapi yang tukang ojek siapa??! Alhasil, aku tiba di kost (full arahan dariku, jadi sepanjang jalan lebih mirip aku lagi guiding si bli city tour de Denpasar), bayar Gojek, dan migrain sampai sore.

Hari lain aku pesan Gojek, tujuanku lagi-lagi RS Puri Raharja (ketahuanlah trayek hidupku kost-Puri Raharja-kost). Karena pengalaman pemesanan sebelumnya sangat tepat waktu penjemputannya aku dengan santai memesan 20 menit sebelum jam jaga. Ternyata datangnya 10 menitan setelah konfirmasi, okelah telat-telat dikit bisa dikebut pas jalan, kataku pada diri sendiri untuk menghibur hati. Driver kali ini seorang bapak, lokal alias Bali aseli tapi lama menetap di luar pulau. Si bapak ramah, tidak bau badan, hanya saja caranya mengendarai motor itu lho...pelan banget! Sering kulirik speedometer jarang sekali mencapai angka 40km/jam. Alamak.... Maunya aku suruh kebut, nggak tega, jadilah aku terlambat 20 menit. Maafkan. Driver ketiga ini rasanya sudah di luar analogi roller coaster, akan aku pertimbangkan analogi odong-odong.

*   *   *

Syukurnya sekarang aku didampingi kendaraan bermotor lagi. Ribet dan tekor juga kalau setiap hari naik Gojek. Seperti aku katakan di atas, pengalaman berGojek-ria mengubah persepsiku tentang perumpamaan hidup. Kalau kata Forest Gump, life is like a box of chocolate, kataku life is like ordering Gojek, you’ll never know till you meet the driver (and good luck).

3 komentar:

  1. Sini abang aja ug ojekin. Dijamin tepat waktu, keselamatan nomer 2..

    BalasHapus
  2. Sini abang aja ug ojekin. Dijamin tepat waktu, keselamatan nomer 2..

    BalasHapus
  3. Kalau dung kan fokus ngojekin dede bayi dulu.. :D

    BalasHapus