20 Juni 2015
Juni minggu ketiga.
...dan aku seperti melewatkan banyak hari.
Bulan Juni ini, minggu-minggu sebelum minggu ketiga ini aku mengalami beberapa pertemuan yang aku sebut sebagai 'flash rendezvous'. Kasarnya, pertemuan-pertemuan yang (terlalu) singkat.
* * *
Rendezvous #1
Salah satu pertemuan yang boleh jadi sangat aku tunggu sekaligus aku hindari (haha!) Ia salah satu teman lama, lama sekali tidak bertemu. Saking lamanya aku sampai tidak bisa menyebut lagi apa yang mungkin berubah darinya, atau apa yang berubah tentangku baginya. Sempat lama sekali kami tidak berhubungan sama sekali, kemudian kebetulan sesuatu mempertemukan kami lewat media sosial (hail internet!) sekitar bulan-bulan akhir tahun lalu. Ternyata Juni ini akhirnya bertemu. Ini pertemuan yang aku tunggu, selalu menyenangkan bertemu seseorang yang pernah kita tahu namun lama tidak bertemu. Sekaligus pertemuan yang aku hindari, karena aku tahu tidak banyak waktu, bingung juga apa yang harus dibicarakan untuk mengisi waktu yang singkat ini.
Less than 2 hours, aku bersyukur kami masih jadi teman (eh)
Pertemuanku dengan teman yang satu ini membuatku berpikir ulang lagi. Banyak siklus pertemanan yang mengalami pasang surut. Teman sebangku bertahun-tahun, jauh karena beda sekolah, jarang memberi kabar, bertahun kemudian kembali saling bercerita hampir setiap malam. Ada juga teman biasa saja, dekat karena mengerjakan hobi yang sama, saling menjauh karena perbedaan cara pandang, dan ternyata mentok di batas teman biasa saja. Aku sendiri tidak tahu, pertemuan singkat dengan teman ini akan mengubah arah pertemanan ini ke arah mana. Mungkin besok kami akan saling melupakan, mungkin masih bertukar referensi musik kesukaan, bisa jadi malah lupa mengundang saat nikahan. Siapa yang tahu?
Rendezvous #2
Aku bertemu pertama kali empat tahun yang lalu. Kami menjalani dua minggu dalam sebuah acara multinasional konferensi bertemakan lingkungan di Jerman. Kami beda usia, beda gender, beda kewarganegaraan, beda warna kulit, beda bahasa ibu..segala beda-beda lainnya yang ternyata tidak membuat pertemanan kami menjadi sulit. Karenanya, saat ia mengabarkan kedatangannya sebagai turis ke Bali, aku mati-matian ingin meluangkan waktu. Jadwalnya padat sekali karena kedatangannya juga sekaligus untuk menghadiri konferensi di Nusa Dua, sementara jadwal jagaku di RS juga sulit ditawar. Akhirnya kami bertemu di Pesta Kesenian Bali, Art Center.
20 menit! Setelah adegan hilang arah, kami bertemu juga. Hanya 20 menit. Aku sendiri tidak yakin apa yang bisa disampaikan dalam 20 menit. Tapi kami saling sepakat, seeing each other for real, little hugs and light kisses on cheeks, gesture universal yang sementara dapat kami terima untuk mewakili tahun-tahun yang terlewati dan kisah-kisah yang gagal diceritakan.
Pertemanan itu borderless. Yang selama ini menciptakan batas itu adalah kita sendiri. *pesan moral.
Rendezvous #3
Jarak kami tidak jauh. Kesibukan kami tidak sesulit itu, walau kami semua (pertemuan kali ini melibatkan lebih dari satu) memkliki banyak preferensi yang berbeda. Mereka yang dengan segala ketidaksopananku kusebut sebagai teman ini adalah kakak, senior, panutan, yah...tempat aku menimba banyak hal selama ini. Beralasan menonton salah satu film yang sedang hits di XXI, menghabiskan uang untuk mengisi perut, kami malah ngobrol sampai tengah malam di bilangan Kuta. Hm, waktu sangat cepat berlalu bersama orang-orang yang sangat menyenangkan.
Seperti biasa setelah beberapa jam bertemu dengan teman-teman yang ini, aku menjadi super-highly-motivated.
Ternyata selama ini ibu benar. Jangan pilih-pilih dalam berteman, tapi pilihlah lingkungan pertemanan yang baik agar kamu juga baik. (Sesungguhnya aku tidak memiliki kesempatan memilih seluas itu, lingkunganku relatif sempit.) Syukurlah, dimensi luas juga dipengaruhi oleh banyak variabel, keberadaan teman yang menyenangkan adalah salah satunya.
Rendezvous #4
Menjadi diri sendiri. Menjadi gila. Menjadi apa adanya.
Tidak enggan walau belum mandi. Tidak malu mengingat lemak tubuh disana-sini. Mengejek tapi tidak membenci. Menyindir karena mencintai. Bertemu, menghindar, bersama, membuat janji yang sering ingkar...nyatanya kami lakoni dalam waktu yang lama. Kelompok pertemanan yang terlalu kompleks untuk kuceritakan, dan mereka, membuat aku rela bermalam di tempat karaoke demi suara serak, mata merah, dan nyeri menelan keesokan harinya.
Kapan kita mengganggu umat manusia lagi?
* * *
Aku ingin bertemu denganmu.
Sebuah kerandoman di malam minggu.
8 Juni 2015
Pagi adalah penawaran terbaik pertama yang dapat diperoleh dengan cuma-cuma setiap hari.
Bersamaan dengan itu, pagi adalah satu-satunya kebohongan yang sama-sama kita percaya.
Langit biru, udara segar, garis-garis cahaya, dan berbagai kepelikan yang disisipkan dengan elok di balik awan-awan kapas. Lucunya, kita semua terpesona dan justru mengaguminya. Padahal guratan di langit itu adalah kekesalan yang sama yang kita umpat di siang hari, kekecewaan yang sama yang kita hina di belahan hari yang bukan pagi.
Hanya demi pagi, badan-badan lelah menengadah demi sinar milik matahari. Tentu saja, kita percaya doktrin metabolisme vitamin D yang bersimbiosis dengan bintang terbesar di galaksi kita. Percaya walau tak kasat mata, seperti halnya dengan kepercayaan kita pada hal besar lainnya.
Hanya untuk pagi, paru-paru jutaan umat mengembang lebih luas, kalau mungkin maka melebihi kapasitas ruang dada. Ya, pastinya karena kini kemewahan seperti udara pagi pun berlaku dengan batas waktu. Karenanya, maka secara logika, pohon pun harusnya mencintai pagi.
Hanya ada satu kebohongan yang sama-sama kita percaya. Dan itu adalah pagi.
Satu-satunya yang enggan dipunguti walau berguguran mati
Satu-satunya yang tidak ingin diingat namun berjanji selalu menjadi pengawal hari
Satu-satunya yang tak pernah meminta diulang namun selalu datang kembali.
Begitulah pagi. Aku jatuh cinta lagi.
3 Juni 2015
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah bolak-balik membuka sosial media lewat ponsel. Berpindah dari beranda Facebook, singgah sebentar di SoundCloud, cek pembaharuan terkini BBM, geser atas bawah linimasa Twitter, balas pesan WhatsApp yang lupa dibalas, main-main ke blog teman-teman. Kebetulan saja aku tidak punya akun Path dan tidak aktif di Instagram, kalau iya, bertambah panjanglah 'rute jelajah' antesomne-ku. Haha, bukan kebiasaan yang baik memang. Aku sangat mengerti bahwa pendaran cahaya ponsel tidak membantu meningkatkan kualitas tidurku. Tapi yah..mau bagaimana lagi, akhir-akhir ini semakin sulit menyapa teman di dunia nyata, juga aku sering ketinggalan berita (--> banyak alasan plus curahan hati terselubung).
Oke. Jadi intinya adalah, aku meluangkan waktu untuk media sosial.
Belakangan ini ada beberapa topik yang naik daun. Salah satunya adalah koar-koar pengguna sosial media yang memamerkan keunggulan generasi 90an sebagai generasi paling kece. Sebagai tambahan saja, topik ini bersaing ketat dengan populernya meme dan jargon 'gue mah gitu orangnya', 'aku mah apa atuh', dan mulai melewati popularitas '...disitu saya merasa sedih' (turut sedih ya bu polwan), atau tagar lokal '#jaen idup di Bali'. Ya, sekali lagi, orang-orang yang menyebut diri generasi 90an (termasuk juga yang mengaku-ngaku generasi 90an, dan agak memaksakan diri masuk sebagai generasi 90an) saling pamer keindahan masa jaya 90an yang katanya tidak ditemukan, menjadi langka, atau bahkan punah di periode generasi seterusnya. Segalanya, mulai dari makanan anak populer, permainan, konsol game zaman dodol, tokoh kartun, serial televisi...hingga gimmick konyol yang hanya Tuhan dan anak 90an yang memahami apa faedahnya (contoh: meramal jumlah anak dengan metode memencet bagian pangkal telapak tangan.) Woww...apa benar generasi 90an seindah, sehebat, sekeren itu?
Jelas aku tidak akan menyanggah. Masa di tahun 1990-an ke atas adalah masa yang indah sekali, khususnya bagiku. Bagaimana tidak, kalau masalah klaim hak paten (hmm..maafkan penggunaan frasa ini) generasi 90an, aku mantap mengatakan aku anak 90an sejati. Lahir tepat di tahun 1990. Masa keemasan (gold periode) 1000hari pertamaku dimulai di tahun 1990, masa kanak-kanakku sebelum puber kuhabiskan di sepanjang periode 1990-2000, kurang 90an apa coba diriku ini? Segala postingan tentang nostalgia anak 90an aku baca sambil manggut-manggut rindu. Jadi, apa masa kecilku bahagia? Ya. Apa masa 90an adalah masa yang indah? Exactly ya! Lalu, apa generasi 90an lebih baik daripada generasi lainnya? Hm, belum tentu.
Mayoritas postingan generasi 90an yang aku baca diikuti dengan keprihatinan tentang degradasi yang dialami generasi selanjutnya dan peringatan agar generasi lain 'belajar' merasakan senangnya hidup seperti halnya dengan generasi 90an. Jujur saja aku merasa sangat tidak adil, menganaktirikan generasi yang satu, meng-istri-muda-kan generasi yang lainnya, men-teman-tapi-mesra-kan generasi sebelahnya (eh!). Bagaimanapun, generasi 90an adalah representasi dari generasi sebelumnya dengan sedikit reparasi teknologi, sekaligus masinis bagi generasi selanjutnya yang lesatannya menyaingi Shinkansen Kereta api Bandung-Surabaya. Jadi kalau keretanya terlambat, mogok, atau salah jurusan, apa masinisnya boleh lepas tangan begitu saja?
Ini opini pribadi saja sih. Kita seringkali mengeluhkan perilaku anak-anak sekarang yang kita anggap 'beda sekali dibandingkan dengan zaman 90an dulu'. Namun kita menyangkal, perilaku dan karakter yang kita sebut berbeda itu merupakan hasil dari 'reparasi' oleh generasi 90an itu sendiri. Kita terlalu malu mengakui bahwa kita gagal mewariskan keindahan masa 90an, gagal melestarikan sisi-sisi hidup yang dengan egois hanya kita nikmati dengan batas penanggal 1 Januari 1990-31 Desember 1999. Kemudian yang kita lakukan bukannya berusaha membangun kembali kejayaan masa itu, melainkan menyudutkan mental anak-anak masa sekarang. Bagi yang bertujuan non-nostalgia, apa sebenarnya yang kita harapkan? Buruk yang kita lihat di generasi masa kini, bukankah mereka adik-adik kita juga? Mereka keponakan-keponakan kita, kerabat kita, beberapa malah anak kita sendiri (agak njlebb di tiga kata terakhir -.-"). Sudahkah kita memberikan contoh yang baik sebagai generasi yang katanya generasi paling bahagia?
Anak-anak sekarang jarang yang main lompat karet, petak umpet, galah... Sudahkah kita memfasilitasi mereka dengan halaman dan tanah lapang yang cukup luas? Ataukah halaman sudah terlalu sempit oleh bangunan, dan kalaupun ada lahan kosong dimanfaatkan sebagai areal parkiran?
Anak-anak sekarang tidak ada yang mendongak ke atas sambil teriak-teriak minta uang setiap ada pesawat yang menderu lewat di angkasa. Apa mereka sudah kita beri kesempatan bermain di bawah langit biru? Atau mereka terlalu sibuk dengan jam sekolah yang estafet dengan les ini-itu?
Anak-anak sekarang tidak mengenal apa itu mengantre di wartel atau benda yang disebut telepon umum koin/kartu. Jangan-jangan karena kitanya yang terlalu sayang dan khawatir sampai-sampai membelikan anak-anak gadget bahkan ketika mereka belum bisa menggenggam benda dengan mantap apalagi membaca dan mengerti aplikasi.
Anak-anak sekarang tidak tahu apa itu layar tancap yang menontonnya gratis di tanah lapang hanya dengan satu aturan: gerimis, ya bubar. Sudahkah kita membatasi waktu anak menonton televisi? Atau justru membiarkan saja mereka menonton sesuka hati, kemudian ketika perilaku anak berubah kasar dan agresif beramai-ramai menghujat siaran televisi?
Anak-anak sekarang nyanyinya lagu cinta-cintaan. Hey, sehari-hari, apa kita mengajarkan mereka dendang lagu Pelangi, Aku Sayang Ibu, Balonku...atau ,malah kita latih intensif untuk goyang Dumang?
Anak-anak sekarang tidak hapal Pancasila, tidak paham apa isi pembukaan UUD1945, boro-boro ingat pasal-pasalnya. Hayoo..kita sendiri apa masih lancar melafalkan Pancasila? Apa semangat mendorong anak ikut upacara bendera?
Wah...setelah membaca ulang bait-bait tulisan sendiri, berpikir lagi, anak-anak sekarang kasihan bukan karena mereka lahir post era 90an, melainkan karena mereka punya generasi pendahulu yang seperti aku ini. Apa sih contoh baik yang sudah aku lakukan untuk adik, ponakan, dan anak-anak di sekitarku?
Tiba-tiba teringat kata bapak dan ibu, jelas mereka bukan generasi sembilan puluh, namun menjadi saksi kelahiran generasi 90an.
"Bapak sukanya Ebiet G. Ade, ngefansnya dulu sama Broery Marantika, terus lagu-lagu zaman dulu enak-enak. Sampai puluhan tahun juga masih bisa dinikmati. Tapi Bapak suka juga dengerin yang ini..(kebetulan lagi denger lagu Sheila on 7 di radio) apa nama penyanyinya, beliin besok CDnya, Dek."
"Ini sinetron sekarang aneh-aneh, semua bisa berubah jadi macan. Ibu sih nonton sinetron sama gosip tetep doyan, namanya juga ibu-ibu. Serial yang kayak Baywatch, McGyver udah nggak ada lagi (OMG, Mom...) Tapi sekarang sumber film kan udah bisa di internet ya..cariin ibu Sokola Rimba, De. Sama kalau ada film tentang bidan-bidan gitu.."
Hm..mereka yang berhasil merawat anak 90an macam aku atau aku yang gagal menjadi toleran dan lebih konstruktif layaknya mereka?
Yuk, sama-sama berusaha jadi contoh yang baik bagi anak-anak dan adik-adik kita agar wacana generasi 90an bukan hanya legenda dan kejayaan masa lalu saja. Beri mereka ruang untuk menjadi bangga dengan masa yang mereka punya.
[Teruntuk bagi semua yang pernah mengecap manisnya permen Trebor T-drop,
Salam sayang]
2 Juni 2015
Tidak semua orang lihai meninggalkan kenangan.
Sama halnya dengan tidak semua orang berbakat menyimpan.
Diantara yang lihai dan berbakat, lebih sedikit lagi yang mampu menggunakan kelihaian dan bakatnya dengan baik.
Kenangan, abstraksi dari salah satu karakter id dalam diri manusia; ingin memiliki dan membawa segala hal di bawah kendali. Terlalu banyak untuk definisi 'kenangan'? Ayolah, bukan aku saja yang mengenang demi menggaransikan sebuah (atau lebih) memori untuk dimiliki lagi di masa nanti. (Katakan saja iya.)
***
Jadi hari ini aku berencana menyingkirkan beberapa barang di kamar kost yang sudah mulai penuh sesak.
... terkendala oleh semacam 'ini diberikan oleh si ini' 'ini kupakai waktu acara ini' 'ini hadiah dari ini saat menang lomba ini bersama ini' dan deretan ini-ini lainnya.
Kenapa membuang benda-benda itu jadi terasa berat?
Padahal bahkan ada benda yang tidak pernah kusentuh 3 tahun terakhir ini.
Begitu mungkin beratnya membuang kenangan. Kita terlalu takut untuk lupa, takut kehilangan apapun sensasi yang pernah ada.
Dan...
Kenangan juga bisa seperti suplemen vitamin C salut gula.
Manis, manis, sungguh manis. Namun bila lena terlalu lama terbiarkan dalam mulut sembari mengulumnya, asam pun terbit dan pahit rasanya.
***
Untuk segala kenangan, yang sudah atau pun akan terlupakan.
1 Juni 2015

Ini ceritanya berawal dari kegelisahan hati menanggapi pertanyaan "Kok blog kamu sepi?", atau pernyataan "Tulisan kamu di blog terlalu hati-hati." Selanjutnya jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati, jangan-jangan memang benar pengalaman menulisku masih jauh dari mumpuni. Iseng kemudian aku lihat-lihat lagi daftar tulisan di aplikasi Evernote, alamak...buanyak'e rekk!
Yah, ternyata frekwensi menulis memang harus dibarengi dengan kepercayaan diri yang tinggi. Tidak aku pungkiri memang dalam hal publikasi pendapat, bahkan seremeh pembaharuan status di media sosial pun, aku sangat berhati-hati. Bagaimana tidak, kata-kata kan 'wajah' pertama yang dinilai dan dikenali saat tidak secara langsung bertatap muka. Karena kehati-hatian ini, aku secara sadar mengakui, kadang aku merasa tidak bisa menjadi diri sendiri. Karena kehati-hatian ini, puluhan tulisan yang berawal dari ide yang muncul begitu saja akhirnya hanya ada dan memenuhi kapasitas memori. Sebagian berakhir di kategori 'tidak layak terbit', sebagian terkelompok sebagai 'terlalu random'.
Sampai beberapa hari yang lalu, aku menemukan kicauan menarik di timeline twitter, dari @nulisbuku
Berani terima tantangan ini?-> Ajakan Menulis Random Setiap Hari! #NulisRandom2015. Info: https://goo.gl/MCdYHs
CHALLENGE ACCEPTED!
Maka demikianlah, kebetulan saja ini bulan Juni. Mari mengunggah apa pun setiap hari.
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup