Defect, anomali...and perspective

30 Desember 2017

Pagi ini terbangun dengan perasaan aneh agar hari besok jaraknya menjauh. Tidurku nyenyak, durasinya cukup, tidak ada mimpi yang bisa diingat, dan begitu saja, aku tak ingin esok. Kamarku masih sama, berantakan seperti biasa. Novel The Surgeon milik Gerritsen menyapa di sisi kanan kepala, nampaknya aku tertidur di tengah-tengahnya karena lampu baca portabel milikku juga tergeletak di sebelahnya dalam kondisi tombol on namun tidak lagi menyala. Homo Deus milik Yuval Noah Harari terasa mengganjal kepalaku, aku terlalu malas mengembalikannya ke rak buku. Di sudut kanan kaki tempat tidur, koper kecil yang setengah terbuka, isinya berceceran kemana-mana. Laptop di atas meja dan catatan harianku di sebelahnya. Ah ya, kemarin aku berencana menulis beberapa hal dalam catatan harian, namun rupanya aku lupa. Kursi beroda yang berderit lesu tiap aku duduki (sudah demikian adanya sejak aku menemukannya pertama kali), tergeser jauh mendekati pintu. Pada sandarannya tersampir jaket hitam tebal dan syah merah maroon yang juga tebal. Sepasang boots warna biru pudar, ada noda lumpur pada solnya, dan mereka tidak berada pada tempatnya. Aku mengenakan piyama biru langit dengan aksen polka dots kecil, bersyukur karena aku tidak tidur dengan pakaian yang bukan piyama (seringkali demikian). Karena kecilnya kamar ini, semua dapat aku lihat dari atas tempat tidur. Kesimpulan prematurku: aku tidak siap untuk tahun baru. 

Aku kehilangan beberapa hal selama perjalanan kemarin:
  1. Ketinggalan scarf di Schonefeld (dan hampir ketinggalan pesawat)
  2. Kehilangan sebelah anting di Brussels (tenang, Bu..kali ini bukan anting emas yang Ibu belikan)
  3. Ketinggalan sarung tangan di salah satu bar di Brussels
  4. Kehilangan selembar 20Euro di Ghent
  5. Menjatuhkan satu tube hand cream entah di jalan mana di Ghent juga (kemudian membeli yang baru Body Shop di Brugge, jadi tidak buruk juga)
  6. Kehilangan notes kecil di waktu City Walking Tour!! Kesal karena aku mencatat banyak hal di dalamnya :(
  7. (sempat) Kehilangan keberanian di sekitar Minnewater karena ada creepy-exhibitionist-guy mengikuti T.T
  8. Ketinggalan sepasang bra dan celana dalam (yang kebetulan warnanya aku suka, ugh) di salah satu hostel tempatku menumpang mandi *facepalm
  9. Kehilangan sebagian harga diri (yang syukurnya kembali dengan cepat) karena salah mengirim pesan singkat di malam terakhir di Amsterdam (blamed on alcohol).
  10. Kehilangan (lebih tepatnya melupakan) kartu ucapan tahun baru dari beberapa teman di salah satu kedai waffle.
  11. Kehilangan beberapa Euro lagi, karena harus mengganti beberapa rencana perjalanan yang melibatkan pembatalan beberapa tiket dan pembelian tiket baru. 
Bukan hal yang menyenangkan memang, namun deretan hal tersebut tidak cukup menjadi alasan untuk perasaan yang ganjal pagi ini. Aku menyalakan aplikasi Spotify, memutar acak salah satu channel terakhir yang aku dengarkan. Mengalun melodi yang diikuti suara Sia menyanyikan Under The Mistletoe. Ah, mistletoe lagi. Beberapa gambar melintas di benakku, memberi sinyal tentang hal-hal yang seharusnya namun belum bisa aku selesaikan. Enggan terhanyut, aku tekan tombol next. 



Ada momentum dimana telinga kita mendengar satu lagu secara nyata, yang kemudian beresonansi menjadi musik yang jauh berbeda di kepala kita. Lagu berikutnya masih milik Sia, Snowman. Namun yang berputar di kepalaku adalah lagu milik Bon Iver berjudul For Emma. Saat itu juga aku tahu, ada yang tidak beres dengan konten hemisferku. 

For Emma bukanlah lagu pop, egoku memaksanya masuk ke aliran musik kesukaanku, folk. Maka mungkin tidak banyak yang tahu siapa Bon Iver, sayangnya aku sedang tidak dalam kapasitas untuk membahas group musik ini. Alih-alih aku ingin membahas si Emma dari For Emma. Siapa ia? 


FOR EMMA LYRICS 

"So apropos: 
Saw death on a sunny snow" 
"For every life ..." 
"forego the parable." 
"Seek the light." 
"... my knees are cold." 
Running home 
Running home 
Running home
Running home 
"Go find another lover 
To bring a ..., to string along!" 
"With all your lies 
you're still very lovable." 
"I toured the light 
So many foreign roads 
For Emma, ​​forever ago."
(dari SongTexte)

Jadi, siapakah Emma? 
Emma adalah siapa saja, atau akan lebih mendekati jika aku katakan apa saja. Emma adalah manusia-manusia yang pernah hadir dalam hidup kita (yang mampir, yang berlalu, juga yang datang dan pergi tanpa menunggu). Emma adalah waktu yang terdayakan, waktu yang membebaskan, juga waktu yang posesif meminta untuk diingat senantiasa. Emma adalah ukuran yang tidak terkalibrasi namun selalu presisi. Hm...apalagi ya? Emma adalah tempat, yang sudah atau belum pernah dijejaki dan tiba-tiba saja mengendapkan perasaan lain di hati. 

--dan aku akan sedikit berkonsultasi dengan mereka yang gemar menganalisa makna lirik songfacts, dan juga mencari tahu dari Justin Vernon sendiri, sang pencipta lagu.

--dan aku kembali. Mungkin aku tidak 100% benar tentang penginterpretasian dari si Emma ini. 

[Sungguh jika kalian ingin mendapatkan sensasi yang sama dengan yang aku rasakan terhadap Emma, setidaknya kalian harus mendengarkan lagu ini minimal tiga kali, sebisa mungkin setelah mandi.]

Banyak hal menjadi asosiatif akhir-akhir ini. Berakhir di Emma, bermula dari segala hal yang bisa diingat di 2017. Dan seperti lagu ini, ikhlas itu sulit (tawa getir). Lebih sulit lagi adalah menyelesaikan, jika kita bandingkan dengan memulai. Di luar fakta bahwa Emma adalah nama tengah dari salah satu mantan Justin Vernon di masa lalu (mungkin di masa SMA, aku asal saja), setiap orang memiliki Emma. Setiap orang memiliki hal yang tidak pernah belum selesai dalam hidupnya. Emma-ku pagi ini adalah keseluruhan 2017 yang termampatkan di beberapa bulan terakhir, dan tidak akan rampung hingga tahun ini berakhir.

Memikirkan Emma membuatku lapar. Aku ingin Emma, tapi tak ingin esok. Sia sudah tidak terdengar lagi.

Dari balik selimut, Berlin
30.12.2017

27 Desember 2017

Seperti halnya kisah cinta, tidak semua perjalanan berakhir bahagia. Ini semacam sensasi pahit yang mengikuti tablet bandel yang sulit ditelan (tentang peliknya urusan minum obat ini adalah cerita tersendiri). Ya, sensasi pahit yang itu, yang tidak hilang dengan minum air dua gelas, yang hanya sedikit tersamarkan dengan sesendok madu kemudian terasa lagi. Akh..dimana sebenernya bahagia yang tidak ada akhirnya? Setidaknya aroma kopi milik seseorang di kereta pagi ini memberikan kesan bahwa tidak ada buruk yang terlalu buruk juga. 

Mari berbicara tentang hal yang menyenangkan. Hal yang aku suka...hm..anting. Kami bertemu di pasar malam (yang buka sejak pagi hari), salah satu pasar malam Natal dan tahun baru yang kami kunjungi. Standar, ia penjual di salah satu stal, kami pengunjung dan penikmat keramaian. Komoditas yang ia pajang dan jajakan adalah perhiasan buatan tangan. Pun saat aku lihat pertama kali, ia sedang asyik memilah batu-batuan berwarna. Bukan aku yang berinisiatif mendekati stal miliknya. Rekanku penikmat keramaian yang menarikku ke arah situ, dan berhenti bukan hanya untuk melihat. Keputusan yang buruk, tentang anting, aku tidak bisa hanya sambil lalu. 

Namanya Lora, wanita sekitar 30an, berambut merah yang membuat bentuk rahang perseginya kontras. Lebih kontras lagi adalah topi bertelinga kelinci yang ia kenakan, seperti penanda bahwa ada sesuatu di balik kelincahan jemarinya memindahkan bentuk-bentuk biji dari satu wadah ke wadah lainnya. Di luar dugaan, ia punya ciri kepribadian periang yang kentara. Kami pun mudah akrab seperti sudah saling mengenal sebelumnya. 

Lora adalah penduduk asli kota itu, Antwerp, menikah dengan pria asal Prancis dan menjalani kesehariannya di negara keduanya tersebut. Ia mengambil kesempatan berjualan di pasar ini antara lain juga agar memiliki alasan untuk pulang dan bertemu teman-teman di kota kelahiran. Menyenangkan mendengarnya bercerita sambil tak henti bekerja dan matanya juga berbicara. Sampai pada bagian bagaimana ia rindu suami dan hewan-hewan peliharaannya di Prancis selama ia menjadi salah satu vendor di sana, aku seperti punya perasaan pada level yang sama. Rekanku penikmat keramaian, aku yakin sadar akan itu karena aku mulai berusaha mengalihkan perasaanku dengan meniupi gelas kertas berisi coklat panas yang sudah lama mendingin (di sana, kecepatan pendinginan minuman cokelat berbanding lurus dengan angin yang memberantakkan rambut). 

Lora adalah seorang akuntan, maksudku punya latar belakang pendidikan sebagai akuntan, yang punya mimpi untuk mengerjakan hal-hal yang cinta; berkreasi membuat perhiasan. Tiupan ke gelasku semakin meningkat frekwensinya. Tanpa aku niatkan. 

Rekan penikmat keramaianku, mengambil alih dengan bercerita tentang bagaimana perhiasan-perhiasan buatan tangan tersebut begitu mengingatkannya pada rumah, terutama ibunya yang juga gemar membuat pernak pernik dan perhiasan buatan tangan. 

Kata Lora, visi di balik idealisme perhiasannya adalah tidak ada perhiasan yang percuma dan sia-sia. Prinsip. Maka semua karya yang ia jual sore itu adalah hasil daur ulang dari perhiasaan lain yang tidak terpakai, atau tidak ingin diingat lagi, atau ingin dikenang namun dalam bentuk yang berbeda (kadang kita sangat lihai menemukan alasan untuk mengenang sesuatu bukan dalam bentuk orisinalnya). 

Lora salah memahami kami sebagai pasangan, mengomentari bagaimana kami terlihat serasi. Tidak ada satupun dari kami yang berniat mengoreksi. Setidaknya bagi Lora, bisa jadi kami juga adalah sebentuk memori yang tidak orisinal sejak pertama. Lucunya, menjiwai perannya, rekanku penikmat keramaian mengamati dengan seksama deretan anting di hadapanku sebelum akhirnya memilih satu. Menyodorkan ke arahku, memberi isyarat untuk mencobanya, mengabaikan mulutku yang membentukkan "really?" tanpa suara.


Tentu sebagai penjual, Lora harus memuji bahwa anting tersebut terlihat bagus di telingaku, dan memang iya, Lora memujiku dan selera rekanku penikmat keramaian. Sesaat suasananya hangat seperti teman lama yang bertandang ke rumah. Kiranya beberapa Euro (bukan Euro-ku) tidak lenyap tanpa makna. 

Yah, itu tentang Lora dan sepertujuhbelas perjalanan di hari kedua di Antwerp. 
*   *   *
Kereta ini menuju Berlin Hauptbahnhof, hari kemarin aku masih membayangkan berada di bus menuju Munchen. Begitulah banyak hal berubah tanpa kita minta. Tapi, 
tidak ada buruk yang terlalu buruknya. Bahkan bagian-bagian sedih dari cerita Lora. Bahkan kopi yang tidak nikmat pun pada akhirnya tetaplah kopi. Surga. Dan aku perlu segelas kopi juga.

Tertanda, bajak laut dengan eye patch kedodoran. 
Berlin, aku pulang lebih awal, 28.12.2017

26 Desember 2017

On 14.32 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Kepada mereka, orang-orang yang mampu mengikhlaskan sepanjang hayat untuk satu hal saja, mungkin sesungguhnya satu hal tersebut hanya menginginkan dua puluh menit saja. Juga kepada mereka, orang-orang yang mengabdikan tahun-tahun berharganya entah pada satu siapa, bisa jadi siapa tersebut hanya membutuhkan dua puluh menit saja.

Senja tadi, aku adalah satu hal. Sementara dirimu adalah satu hal yang lain. Dan cerita ini adalah tentang dua puluh menit. Dua puluh menit ini, dua puluh menitku.

Apakah kamu punya dua puluh menit?
To talk?
Untuk bermain. 
Will it cost much credit?
Satu-satunya kredit yang dipertaruhkan disini adalah kreditmu di mataku.
If I can see those credits in your eyes, that would be my game. Let's start!

Cat or dog [kita sepakat dalam hal ini]
Metal or hip hop [yoo..yoo, sesungguhnya musikku adalah folk]
White or black socks [absolute black!]
Soap or shampoo [shampoo(?)]
Deodorant or perfume [dan dimulai ceramahmu tentang bagaimana aku salah memahami syntax, hingga tentang aftershave hingga eau de toilette]
Lady gaga or Adele [ketidakjelasan, ketidakpastian, keragu-raguan, dari kedua sisi]
Window seat or aisle [windows 98]
Apple pie or blueberry tart [plain apple pie]

Kita masih punya beberapa menit lagi, dua puluh menitku mengambil alih 
Pineapple or coconut [pineapple]
Asia or west [Asia]
Zoo or theater [tidak bisa memilih, memutuskan untuk pergi ke zoo with a nice girl]
Spiderman or batman [spiderman, less miserable]
Capitalist or communist [communist, their leaders are kinda cool! No further explanation.]
Age of Empire or Half-life [Half-life from my side, karena aku payah dalam manajemen game yang membosankan.]
Tartan or polka dots [tartan dari sisi situ, polka dots dari bagianku]
Dua puluh menitku habis. Rasa sendiriku kikis. Aku masih satu hal.

*   *   *

Hanya senja tadi, ketika aku menjadi satu hal, dan dirimu menjadi hal yang lain. Kala itu, dua puluh menit kita yang tidak saling bertemu. 
On 02.09 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Adalah sebuah alasan lain untuk menulis pagi ini yaitu headset yang sudah lelah berfungsi dan dua jam perjalanan yang perlu dibunuhi. Aku bukan penggemar perjalanan yang sunyi. Well, kereta ini tentu tidak sepi, namun Anda harap mengerti, betapa nyamannya mendengar suara yang familiar dan kita pahami. 

Hari keenam dalam perjalanan menemukan diri sendiri (cieeeileee...maafkan ke-melayu-an ini). Jujur saja, aku masih belum yakin akan apa yang aku lakukan. Sejauh ini, semua tempat baru atau lama, pertama atau kesekiankalinya, belum gagal membuatku terpana dan ternganga. Yang lebih membuat terpana tentunya adalah bahwa ternyata aku masih baik-baik saja. 

Merry Christmas!! Happy holiday!!
Ya, dua frase yang paling sering aku ucapkan dan aku dengar sejak kemarin. Di akhir setiap transaksi, atau bertemu orang secara random di jalan, frase itu yang saling ditukar instead of "danke", "hi", atau "bye". Rentang hari-hari ini terasa sangat sesuai denganku, terasa sangat positif dan mayoritas wajah tersenyum dan bahagia. Indahnya. 

Aku sendiri tidak merayakan Natal. Pada konteks ini, aku adalah orang yang selalu menikmati suasana dan printilan Natal dan tahun baru. Khusus tahun ini, jujur saja, vibrasi festivalnya sangat sangat terasa (walaupun aku tidak ingin membandingkannya dengan suasana menjelang Galungan). Aku lumayan hanyut juga, secara tidak sadar mengorek-ngorek ingatan tentang pencapaian dan hal baik yang aku lakukan selama hampir setahun, dan mengira-ngira pantas tidaknya aku mendapat hadiah dari Santa. Well, those gifts are listed! 

1. Videocall from my family on 25th! Ini harus aku akui sangat manis, walaupun singkat, walaupun kualitas gambarnya ya begitulah. Ketahuilah, sendiri di tengah ramainya Christmas markt itu sedih-sedih bagaimana gitu. Dan tiba-tiba videocall dengan keluarga nun jauh disana? Terbaik!

2. Solo trip. Ini sangat arogan, bahwa aku menghadiahi diriku dengan perjalanan tanpa rencana yang sejauh ini, one of the best trip of my life! 
3. Nietzsche on the way! Sudah beberapa lama aku jatuh cinta pada Nietzsche. Tulisannya memberikan sensasi yang serupa dengan kombinasi antara anting baru dan sepatu yang terlalu nyaman. Bagian terburuknya adalah, cukup sulit menemukan beberapa judul karya Nietzsche. Fakta bahwa aku tinggal di Jerman, berbuah banyak kekecewaan karena ketidakmampuanku menikmati karya dalam bahasa ibunya. Tapiii... 
Tadaaa... Walaupun sepertinya aku harus sabar membacanya sampai tahun depan. Terima kasih, dr. Dwi Ariawan, sponsor utama sepanjang masa. 

4. Extra one day trip to Amsterdam. Katakanlah aku beruntung seperti biasa. 

5. I'm working on my novel-to-be-craps, mencoba serius menggarap beberapa penggalan draft, dan dengan dorongan beberapa spektator (thank you, guys!) memberanikan diri untuk konsultasi dengan salah satu agen penyunting naskah (entah dimana mendapat rasa percaya diri yang kelewatan ini.) Tapi, ya, it seems like they like it! Thank you Mas Gugun, for letting things happened!

6. One-voucher-of-whatever-I-want dari seorang penulis yang aku kenal secara tidak sengaja. Di luar bahwa kami akan mengerjakan artikel tentang budaya dan literasi (jelas aku hanya penyumbang perspektif tentang budaya Indonesia), aku pikir voucher ini akan ia sesali. Thanks Rob!

7. Ah ya, hadiah dari Secret Santa (yang pada akhirnya bukan rahasia lagi) dari malam gathering sebagai penanda berakhirnya core course kami! 

8._____

Aku ingin membiarkan daftar ini terbuka karena aku menyukainya. Haha...

*  *  *

Selanjutnya mungkin tetek bengek resolusi tahun baru. Tentu aku perlu sedikit lebih banyak waktu untuk berpikir dulu. Yang pasti salah satunya mesti mengenai merampungkan studi (periiiih!)

Well, Amsterdam sebentar lagi. Dan sesuatu, mungkin waffle dan kopi, di lambungku mulai bereaksi. Akh, biar sejauh apa aku pergi, ternyata ke-ndeso-an dan keudikan pusat emesis di otakku hampir mustahil dibenahi. 

Happy Holiday!
Rotterdam 26.12.2017

20 Desember 2017

On 08.09 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Adalah hal yang lumrah, ketika tidak ada rekan berbagi, dorongan untuk bercerita justru semakin tinggi. Itulah yang terjadi, ketika aku bepergian seorang diri. 

Kali ini aku ingin bercerita tentang awan. Karena tidak seimbang dengan hasratku bercerita, ternyata aku tidak memiliki bahan yang layak untuk diceritakan. Kebetulan saat ini hanya awan, entitas yang cukup memenuhi lapang pandang. 

Jadi, awan. 
Seberapa sering kita memandangi awan, dengan kaki memijak bumi, sambil memikirkan pertanyaan seperti; apakah bentuk awan dari bawah sini sama indah atau lebih indah dari sisi atasnya? Aku, cukup sering. Sebagai penikmat langit biru, awan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari observasiku. Dalam hal ini, keberadaan awan bisa jadi ambigu sekali. Awan seperti pengganggu, awan seperti benalu, di saat yang sama pada setiap lembar langit biru, awan juga selalu kutunggu. Bahkan ketika kesempurnaan biru tercemari segumpal awan kecil, di luar dugaan, perfeksionismeku tidak terusik sama sekali. 

Kembali ke pertanyaan tadi, kegelisahan tentang sisi atas awan, apa, dan bagaimana.. (setiap pertanyaan adalah kegelisahan). 


Pagi ini aku ada di daftar penumpang penerbangan dari Schonefeld tujuan Brussels. Langit terlalu berkabut, aku sendiri lumayan takut, pesawat kami tertunda sekitar satu jam lamanya. Aku mendapat tempat duduk di sisi jendela (syukurnya), seorang lelaki satu kursi di sebelahku, lelaki lainnya dua satu kursi di sebelahnya. Aku sempat menawarkan permen karet ke lelaki di sebelahku, yang ia terima, dan menyimpulkan bahwa sepertinya tidak akan terjadi percakapan lain diantara kami. Lelaki tersebut mengerjakan sesuatu dengan komputer portabelnya, yang sayup-sayup mengeluarkan nada-nada harmonik yang indah. Maka, aku mengetikkan cerita tentang awan ini sambil diiringi denting-denting musik yang tengah dikomposisi. 

Ah, ya, awan. Awan dari atas sini jauh berbeda dari gumpalan harum manis yang menari-nari. Aku tidak akan membuatnya terdengar luar biasa seakan-akan naik pesawat adalah peristiwa langka. Sesaat setelah lepas landas, awan menutupi seperti permadani, terlihat lembut dan nyaman sekali, hampir seperti yang dideskripsikan lewat episode-episode seri Doraemon. Namun selayaknya pertunjukan teater, awan tidak mengizinkan satu bentuk menetap terlalu lama, kemudian ia berubah menjadi savana. Seperti padang rumput yang luas tiada tara, hanya saja warnanya putih. Beberapa rumpun perdu rebah sesuai arah angin, aku hampir yakin bintik serupa serbuk sari ikut beterbangan di sekitarnya. Belum lama, pesawat agak oleng ke kanan, memberi ruang pada awan berbentuk roti kasur unjuk aksi. Terlihat sangat nyata dan tiga dimensi sampai aku bisa membayangkan isian selai cokelat, keju, dan srikaya di dalamnya. 

Seperti ingin mengalihkanku dari rasa lapar, pertunjukan masuk ke level yang lebih tinggi. Air terjun Niagara! Sangat, sangat, megah, dan mengalir dalam debit yang terlalu presisi skalanya. Kemudian kabut, seperti panggung yang jeda karena para artisnya harus berganti busana. Sayup musik masih terdengar di sebelah kiri. 

Kemudian aku melihat semacam bentuk lereng pegunungan, tapi juga mirip tembok besar China. Semakin aneh karena ada semacam rumah-rumah kayu tertata rapi di sekitar lereng atau tembok tersebut. Yang paling aneh, ada tanda kehidupan di dalamnya! Asap yang membubung, beberapa sosok yang mirip gnome berlarian mengerjakan hal yang tidak aku pahami. 

Dan, sentuhan di luar sweater di lengan kiriku menyadarkanku bahwa pesawat baru saja mendarat di Brussels. Lelaki di sebelahku sudah rampung dengan laptopnya, dia lah yang menyentuh (atau menyenggol) lenganku saat landing tadi. Ya, ampun, sampai dimana awan-awan tadi nyata, aku tidak yakin. 

Oh iya, ngomong-ngomong, namanya Evan. Seorang musisi. 


Brussels, 20 Desember 2017

18 Desember 2017

On 15.43 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Disclaimer: Bukan tulisan tentang resep level basis untuk bertahan hidup (walaupun mungkin juga bisa iya).

Kalau boleh menilai diri sendiri, saya adalah orang yang 'mudah'. Mudah tertawa, juga mudah menangis. Mudah terpicu emosinya, sekaligus mudah dipadamkan dengan beberapa tiupan halus. Mudah diatur, sekaligus mudah mengacaukan segala yang teratur. Mudah memberi, kemudian sadar ataupun tidak, saya mudah mengambil lagi dan membawa pergi. Mudah jatuh hati, (mungkin juga) mudah membenci, tapi kembali mudah lupa kalau seharusnya benci. Mudah menyelipkan diri dalam kelompok apapun, di saat yang sama mudah menghilang tanpa bilang. Ya, saya mudah dalam makna yang seperti itu. Saya mudah karena tangan-tangan ajaib yang melakukan segala hal untuk saya sedari kecil menanamkan cikal bakal yang demikian. Memastikan 'kemudahan' itu tumbuh di lahan yang subur setiap kali menjelang saya tidur. Telaten menyirami bilamana saya mandi. Hingga akhirnya kedua tangan saya ini secara maksimal berfungsi, 'kemudahan' itu sudah bisa merawat dirinya sendiri. 

Dan hidup kelihatan begitu baik-baik saja, bukan? Bukan. Karena mudah untuk segalanya sesungguhnya adalah omong kosong. Di balik layar, ada skenario yang tidak pernah tampil di atas panggung. Dari sebuah draft, ada bab yang tidak akan pernah muncul di lembaran buku yang terbeli di Togamas atau Gramedia atau Dussmann. Karena otak saya memiliki kecenderungan asosiatif dengan makanan, saya menamai skenario dan bab yang tersembunyi tersebut sebagai TELUR ATAU KENTANG, akan terjelaskan kemudian.



$ $ $

Cerita ini akan lebih mudah dipahami jika latar belakang saya sedikit diketahui. Sekilas, saya sedang menempuh studi di Berlin, baru beberapa bulan, baru melewati satu fase studi dan tengah di masa libur, sekaligus berusaha menikmati pergantian musim ke musim dingin. Jujur saja, saya mulai jatuh hati pada kota ini, di saat yang sama, tidak satu hari pun saya lewati tanpa memikirkan Indonesia, Bali, rumah, keluarga, sambel buatan ibu, rujak bulung, dan sebagainya. Hidup masih indah.

Pada waktu tertentu, yang tidak pernah tentu, saya mengunggah foto, tulisan, segala sampah yang memenuhi kepala dan catatan saya lewat media sosial. Menyenangkannya adalah ketika teman-teman di Indonesia memberikan hati atau jempolnya, bukan karena apa, semata-mata hal tersebut membuat saya merasa sedikit lebih dekat dengan rumah atau setidaknya memberi tanda bahwa masih ada tanda kehidupan dari manusia di seberang sini. Sayangnya, kita tidak memilih agar hanya hal menyenangkan yang terjadi di hidup ini. Dan ini lagi-lagi berawal karena saya 'mudah', kali ini mudah sakit hati dan tercederai. Sekian kalinya dalam hidup ini, satu kalimat bisa melukai berhari-hari. 

Ia bilang, "Mudah ya, hidup jadi kamu."

Dan saya, "Wow."

Aneh sekali, ketika saya bicara tentang diri saya yang serba mudah, terasa lumrah sekali. Namun ketika satu orang mengatakan hal yang sama tentang saya, rasanya berbeda. Tidak menyenangkan. 
Saat itu saya sedang tidak ingin berceramah panjang lebar tentang bagaimana tidak terimanya saya terhadap satu kalimat tersebut. Egoisme manusia. Defensif. Alih-alih saya berusaha kembali ke hakekat saya, menjadi mudah, ironisnya, sebagaimana yang orang tersebut labelkan terhadap hidup saya. 

Saya memulainya setelah seminggu. Salah satu kunci menepikan satu kegelisahan adalah dengan mengantinya dengan kegelisahan lain yang kadarnya hampir sama namun masih bisa dinalarkan sakitnya. Tiba-tiba sebuah cerita lama terputar di kepala saya, akar kegelisahannya adalah saya rindu setengah mati pada kehidupan praktis sebagai dokter setelah sekian bulan saya tinggalkan.

Di suatu sore praktek di salah satu klinik tempat saya dulu bekerja, saya ingat betul bahwa hari tersebut ada dalam rentang minggu dimana saya merasa jenuh dengan keseharian saya. Sederhananya, masa-masa tidak produktif dimana saya banyak menghabiskan waktu dengan menonton video tidak berbobot di youtube, menelusuri laman facebook dari atas ke bawah hingga atas lagi, hingga membaca tuntas komentar netizen di akun gosip instagram. Seorang anak perempuan datang diantar oleh kedua orang tuanya, menangis sambil memegang belah tangan kanan dengan tangan kirinya. Sang ibu menjelaskan singkat mengenai apa yang terjadi: sebuah cincin emas dimasukkan paksa ke jari yang ukurannya tak beda dengan diameter cincin tersebut. Alhasil, cincin berhasil masuk tak bisa dilepaskan. Riwayat dicoba tarik paksa, sabun, dan deterjen yang alih-alih membuat jari tengah si anak bengkak dan semakin tidak bisa dikeluarkan. Saya tak ingin langsung menyerah dengan mengirim anak tersebut ke UGD Bedah.
  • Percobaan pertama: melumurkan gel ke jari bermasalah, bertaruh pada kelicinan gel. Gagal.
  • Percobaan kedua: berimprovisasi dengan pinset, juga gagal bahkan sebelum mencoba karena si anak sepertinya mengasosiasikan pinset dengan aksi kekerasan.
  • Percobaan ketiga: (mereferensikan diri pada video yang entah dari facebook atau instagram) dengan lugas menginstruksikan sang ayah untuk mencari benang. Kemudian kami mengerjakan tepat seperti yang dilakukan dalam video berikut.



Berhasil!
Hal yang saya pikirkan saat itu adalah, ini adalah hal yang tidak pernah saya pelajari selama pendidikan dokter. Ini adalah pelajaran hidup yang ternyata saya peroleh lewat bermalas-malasan menonton video yang faedahnya diragukan. Dan jujur saja, rasa terima kasih yang diungkapkan oleh kedua orang tua dan anak itu sendiri, dalam pendengaran saya, tak berbeda dengan terima kasih dari seorang yang tertolong nyawanya. Kali itu juga, saya sadar, mudah itu relatif. Bagi saya kala itu mudah melilitkan benang di jari anak tersebut sambil menyanyikan lagu naik-naik ke puncak gunung (don't blame me over the song of choice), namun bagi mereka, bisa terlihat luar biasa. Mereka sekeluarga pulang dengan gembira. Saya pun merasa bangga. 

Kenyataannya saat ini saya kangen bertemu mereka yang pulang ke rumah dengan gembira setelah bertemu saya. Amarah tentang masalah mudah-tak-mudah redup mereda. Apalagi mengingat relativitas dari mudah itu sendiri. 

$   $   $

Panas yang sama yang mengeraskan telur adalah juga panas yang melunakkan kentang. Kita tidak akan memperdebatkan fakta bahwa telur dan kentang yang dimakan bersama dapat memberikan kenikmatan tiada tara (apalagi ditambah siomay, yummy!). Poin saya adalah, pada praktisnya, kita banyak menyalahkan lingkungan yang memperlakukan kita seperti ini dan itu. Lingkungan yang terlalu panas, lingkungan yang terlalu bulat, lingkungan yang terlalu abu-abu, lingkungan...blablabla. Saya sendiri meyakini, lingkungan dan apapun yang dilakukan olehnya terhadap kita hanya satu diantara sejuta hal essensial lainnya. Saya mulai berhenti menyalahkan dan banyak menerima (yang ternyata sangat-sangat menyenangkan) sejak saya secara sadar melewati panas dengan fase memilih; menjadi telur atau kentang. Menyenangkan lagi, karena tidak ada batasan memilih setiap kali. Sama halnya dengan memilih menu yang sama sepanjang hari atau berganti hingga tiga empat kali. 

Kemarin sore saya kentang. Siang ini, telur. 

9 Desember 2017

On 06.40 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
For me, it is forever superficially physical on how I capture you in my mind.

Blue eyes,
Dark silver hair,
Long legs,
Heavy voice.

I would never involved in this game if I know it could be so intimidating.
Owh, you don't like that word; intimidating. As you never like elevator and narrow space.

Till the end of the day, I was sure something beautiful works on some full time job inside your hemispheres. I found that was very appealing.

(The first encounter.)
On 06.30 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
I was standing in front of book self of your friend while you were texting your other friend. It was a very long story on how we end up in your friend's room in a corner of the city. I tried my best not to be awkward, at least I think I did.

"You're so ambitious."
"No, I am not."
"I mean ambitious in good way."
"No. Believe me, I am not."

Either I am a denial, or a big liar. You could tell.

(The first encounter.)

7 Desember 2017

On 00.57 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

[Dunia T. Dunia ini baru sama sekali, hangat menyambut para penghuni.]

Kita menyala, tidak ada siapa yang menemukan siapa.
Hanya nyala.

Mata biru, rambut perak. 
Di sisi sebaliknya, hanya legam dan legam
Dingin gelap dan hati lantak,
Jeda sedetiknya, hanya genggam dan genggam.
Ini mudah sekali. Nyala ini mudah sekali.

Mulut yang tak berhenti mencatat, 
Mulut yang sama yang menyesap teh herbal dari cangkir yang cacat.

Sedikit di atasnya, hidung yang merasa segala residu di udara 
Udara yang selisih atas langkah panjang dan naif yang mengimbanginya.

popcorn yang hambar, bir yang kurang dingin,
tawa satir tertukar, film lawas mengumbar ingin.
Ini Berlin. 

Di jarak lima belas menit,
Visualisasi adalah hal terakhir yang bisa dipercaya.
sebilah tangan yang terdengar gemetar,
bibir manis yang beraroma retakan awal musim,
badan yang meliuk di tengah spasi...dan hal-hal yang tak bisa terlihat dengan mata.
Kecuali, kulihat bukumu di atas rak yang entah sejak kapan kosong.

Dan,

Kita menyala, tidak ada siapa yang menemukan siapa.
Hanya nyala.
Hari ini, semua kereta masih lintas di jalurnya. 

.A
(featuring RD, the one and only.)