27 Desember 2016
Hari-hari terakhir menjelang pergantian tahun, hari ini, katakanlah lima hari terakir. Seperti ritual wajib bahwa sebagian besar dari kita mengakumulasikan kewajiban berpikir, berencana, dan berstrategi pada kemampatan waktu di penghujung tahun. Bagiku pribadi, itu merujuk pada hari yang berada di antara perayaan lahirnya Yesus hingga malam pergantian kalender Masehi (keluargaku di rumah secara faktual baru akan mengganti kalender pada awal tahun), dan efek dari proses berpikir-berencana-berstrategi tersebut biasanya mengikuti kaidah penghentian obat-obatan steroid: tappering off.
Ya, ada 365 hari (366 tepatnya di tahun kabisat ini), dan hanya akhir bulan Desember yang paling jumawa muncul menyajikan atmosfer dengan lapisan yang memfasilitasi hal-hal semacam harapan, cita-cita, mimpi...jujur saja, periode akhir tahun ini merupakan penggal waktu paling kuat dimana hasrat seperti menaklukkan dunia terasa paling nyata.
Banyak hal yang terjadi, trending topics bukan parameter yang relevan lagi dalam menentukan skala dampak sejarah. Mungkin kata atau frasa yang paling banyak diminati publik akhir-akhir ini menyangkut teror, nista...atau memuat tentang uang baru, pahlawan. Selain ‘telolet’ tentunya. Aku rasa hal yang tidak absen, sama dengan tahun sebelumnya adalah kaleidoskop. Dan resolusi. Ah, ya, bicara tentang resolusi, aku termasuk korban ide konvensional menumpuk resolusi setahun ke depan, menuliskannya di sudut notes, menulis-ulangkannya pada lembar memo tempel, kemudian merekatkannya di tepi cermin. Atau di pintu lemari buku. Atau di belakang pintu. Riset pribadiku yang tidak berdasar menemukan bahwa dari segala resolusi yang aku janjikan pada diri sendiri, hanya satu atau dua yang benar-benar terjadi. Sisanya tetap menempel hingga berdebu dan kembali menunggu tahun yang baru. Aku berasumsi bahwa setahun tenagaku memang hanya cukup memotori satu atau dua mimpi. Ya, itulah kenapa pendahulu kita menginovasi hal yang disebut prioritas. Bagaimana pun, akhir tahun ini aku masih setia beresolusi, namun tidak sebanyak tahun yang sudah lalu. Fokus lain tenaga dan cadangan NOS akhir tahun ini akan dialihkan menjadi bentuk perenungan, kontemplasi.
Bulan belakangan aku mati-matian menahan diri untuk tidak menuliskan apa yang ingin aku tuliskan. Bila tidak, maka aku hanya akan mereproduksi tulisan kotor yang terinspirasi dari pendapat kotor yang secara sistematis muncul dalam bentuk tautan dengan konten berskala agak kotor hingga sangat kotor yang mengotori berbagai laman sosial media dan media masa. Bayangkan betapa kotornya pikiranku belakangan waktu.
Kotor, hanya sebuah kata yang merepresentasikan bagaimana perasaanku melihat manusia meninggalkan batas yang manusiawi, yang kita dengungkan dalam berbagai asas kehidupan; Pancasila, UUD 1945, Dasa Dharma Pramuka, Tujuh Prinsip Dasar Palang Merah, Sumpah Hippocrates.
Akh, apa benar kita masih sepenuhnya binatang yang disebut manusia?
[Dalam perjalanan menjemput kontemplasi lainnya.]
NB. Tentang kontemplasi ini, sedikit banyak mengikuti anjuran penggunaan antihipertensi: start low go slow.
15 Desember 2016
Memiliki agenda bersampul lucu, saling menukar dan mengisinya dengan segala utopia pertemanan selamanya, atau paling tidak selama lembaran itu masih bertahan digerus tahun baru yang terus datang tanpa tahu malu.
Adakah yang benar-benar ingat apa rasanya?
Beberapa orang kesulitan menyimpan nama. Beberapa lainnya bermasalah dengan identifikasi dirinya.
Sepenggal hal yang layak dimuat di dalam buku semacam itu, adalah sebagai berikut.
Hal yang tidak disukai: tempat berair yang tidak beraroma laut.
Contohnya,
(1)perjalanan di sepanjang Tol Bali Mandara,
(2)jalanan Denpasar saat hujan terlalu lama,
(3)keran kamar mandi yang terbuka dan terlupa,
(4)pipi-pipi berotot tipis milik sang patah hati dan si jatuh cinta,
(5) lain sebagainya.
Hal yang disukai: segala lembab yang berbau laut.
Contohnya,
(1)pantai,
(2)wakame salad,
(3)senyum(bibir)mu,
(4) sebuah kursi di depan Indomaret,
(5) lainnya yang tidak menuntut proses berpikir ekstra untuk tertawa.
Aku mungkin akan terlalu malu jika seorang teman masih menyimpan dan menemukan kembali tulisanku.
Bukan tentang kenangan dan aib yang naif dan lugu.
Melainkan karena tahu, betapa jauhnya aku telah berjingkat dari masa lalu.
Siang ini langit mempermainkanku.
ada banyak warna putih tertelan tepian menganga biru.
Kita membisu,
angin terlalu semarak seperti konser Coldplay di hari sabtu.
...dan salah, seperti biasa.
Bukan langit yang bermain warna.
para awan lah yang beranjangsana,
dengan kanvas maha hampa sebagai tamannya.
Di luar dugaan, mereka jenaka.
Bayangkan saja, segumpal besar keabuan membentuk pesawat udara,
tepat menyanding seekor Thai Air yang mengangkasa.
Bayangkan lagi, lebih ke utara ia melukiskan rupa Ganesha,
hanya kali ini lebih merupa gajah lucu milik Tiara Dewata.
Aku hampir tertawa.
Kita tidak membahas cuaca. Kita tidak membahas pertandingan bola.
Kita mungkin ingin, tapi menahan diri untuk menyentuh agama.
juga menyentuhmu karena dimensi kita tak sama.
Salah satu dari kita, mungkin aku, mendengungkan lagu latar sebuah drama Korea,
yang kita santap bersama sarapan yang kumasak terlalu lama.
Salah satu lainnya, mungkin dirimu, membiarkan kata tersangkut di udara.
Kita memilih melakonkan cakrawala,
pada panggung yang arahnya jelas berbeda.
Kita, berdua
Kita tidak bicara.
20 Oktober 2016
Clean Bali Series
- Bertemu teman baru?
- Bermain di halaman berumput?
- Tertawa hingga lupa waktu?
- Melewatkan mandi, lalu bermain lagi?
- Melupakan ada ulangan esok hari?
- .....(isi sendiri)
19 Oktober 2016
Sedih yang paling sedih adalah sedih yang tidak boleh ditunjukkan. Sama halnya dengan rasa yang tidak mendapatkan pengakuan. Dan dilema yang ada karena kita izinkan.
Sedih semacam itu sama seperti aroma aerosol pengharum ruangan, semakin kita hirup semakin cepat wanginya raib. Dan ketika aku berulang kali merasakan sedih yang sama, aku tahu, ini karena aku tak pernah berani menghirupnya terlalu lama, akibatnya ia selalu sisa.
Maka, aku bercerita.
* * *
Gadis kecil tak akan pernah yakin harus memanggilnya apa. Kepala kecilnya kala itu terdoktrin bahwa lelaki itu bukan siapa-siapa, bukan keluarga, dan keberadaannya dalam lapang pandang gadis kecil tidak mengartikan apa-apa. Jikapun gadis kecil menemukan panggilan yang menurutnya pantas, lagi-lagi menurut otak kecil dalam kepala kecilnya, maka itu hanya demi norma dan sebagai bentuk formalitas.
Gadis kecil tak tahu banyak cerita tentangnya. Selain tentang ia ada, mengenai asal muasal, gadis kecil (hingga ia tidak kecil lagi) hanya pelantun cerita dari bukan sumber pertama. Sebagian besarnya ia yakini sebagai rekaan belaka. Sejujurnya gadis kecil tidak peduli. Bagi anak berumur kurang dari lima, yang terpenting adalah ada hangat ketika tidak sendiri. Pada masa itu, banyak memori yang diracik bersama si lelaki.
Pernah suatu hari, sial menempeli angkot pagi, angkutan pulang taman kanak-kanak gadis kecil, dimana ia bersebelahan dengan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Si angkot tua tiba-tiba mati. Di pinggiran desa yang terlalu jauh dengan satuan jangkauan kaki. Melihat rumah berkat motor tua yang dipinjam sopir yang bertanggungjawab tidak serta merta membuat segala takut menjadi sirna. Sekantung plastik ikan segar, yang akan menjadi santapan sekeluarga, terlupa. Tergeletak mengait pada salah satu besi lengkung di dalam angkot. Gadis kecil memutuskan kembali. Bersamaan dengan drama hujan menari untuk bumi. Kala itu hanya ada sedikit insan yang mengerti, salah satunya adalah si lelaki. Payung yang berlubang bahkan kelelahan menahan hujan. Kaki kecil lelah menyerah dalam gendongan. Beratus kali gadis kecil berpikir, andai dalam hal berjalan dan menggendong itu mereka bisa bergantian.
Hari tidak beruntung lainnya. Gadis kecil bermain terlalu ceria di halaman sekolah, beberapa tahun sejak ia melupakan sekantung plastik ikan saat pulang menumpang angkot dari taman kanak-kanak. Ia terjatuh, tidak sengaja atau iya, ia lupa. Wajahnya berdarah penuh luka, salah satunya menganga. Entah masa itu ada apa dengan P3K, seorang petugas sekolah justru membawanya pulang ke rumah. Tidak ada siapa pun, kecuali lelaki yang bukan siapa-siapa. Diulangi, lelaki yang bukan siapa-siapa. Anehnya, ia yang paling marah. Lelaki mendatangi sekolah (aku lupa apa saat itu ia menggenggam sabit saat marah), menanyai setiap temanku sampai lelah. Hingga akhirnya ia menyadari wajah gadis kecil masih memiliki luka yang meskipun tidak parah, namun tak henti melelehkan darah. Hari itu, gadis kecil mendapat lima atau tujuh jaritan di pelipis dan dagu.
Tahun berganti, gadis kecil mungkin tidak kecil lagi. Ia melihat dunia, ia mengejar cinta, ia menjadi apa yang ia suka. Serangkum masa, dimana sedikit sekali memori yang terekam bersama si lelaki. Sementara gadis kecil beranjak dewasa, lelaki bertambah tua. Tentu saja.
Lelaki yang beranjak tua, bukan karakter favorit manusia. Ia tidak ramah pada segala tetek bengek dunia. Ia marginal, pada beberapa momentum ia bahkan kriminal. Gadis kecil tidak pernah membencinya, gadis kecil tidak pernah punya nyali untuk membenci. Maka kuncuplah sekuntum dilema disana, baik pada lelaki akan menyulut iritasi pada orang lain di dekatnya. Keras ia berusaha menjadi bukan siapa-siapa, tak pernah bisa. Ia tetap memijati lelaki jika ada waktu luang (ketika usianya masih kecil ia memijat dengan kaki, berjalan di punggung lelaki dan berpura-pura gumpalan otot berbalut kulit gelap milik lelaki sebagai jalan di perbukitan yang menyenangkan). Ia mengantarkan lelaki membeli kebutuhan perut setiap waktunya luang. Ia kadang menyelundupkan makanan, dan bila masih punya, sebelum pergi gadis kecil yang kini sudah besar akan meninggalkan sejumlah uang.
Bukan hanya pada si lelaki hidup berlaku keras. Gadis kecil juga memiliki prioritas. Gadis kecil mulai lelah menjadi satu-satunya yang tidak abai pada si lelaki. Apalagi ia mulai membicarakan hal yang tidak gadis kecil minati. Hal-hal seperti apa yang lelaki miliki dan bahwa lelaki akan mati.
Tiga hari. Tiga hari atau lebih ia tidak menampakkan diri. Manusia hidup, seberapa sendiri, wajib berjumpa dengan matahari. Saat itulah gadis kecil bersama mereka lainnya yang bukan siapa-siapa menyadari akan ada hari yang berat. Lelaki, yang entah sejak kapan menjadi sangat tua, sekarat.
Waktu menyimpan misteri mengenai kapan ia lalu, tapi apalah manusia yang tidak pernah tahu. Hari dimana gadis menemukan lelaki sekarat, ia tidak tahu harus apa. Ia menyiapkan air gula, menyuapinya dengan bubur dan telur, membersihkan kotoran di alas tidurnya, berpikir tapi tak bisa merangkum apapun. Lelaki tua berkata, "Apa kamu bisa meminta satu hari libur?". Tidak, lelaki tidak berkata, ia meminta. Gadis kecil menjawab sambil menyuapkan air gula dengan sendok logam yang gagangnya mengkonveksikan panas, "Tidak bisa, aku harus bekerja."
Hari berikutnya, gadis kecil dan lelaki bertemu, sudah tidak ada lagi kata. Lelaki sudah tidak ada di dunia. Sedih itu, ya, sedih yang sama persis dengan yang kadang muncul sewaktu-waktu. Seperti varicela yang dorman dan muncul bila imunitas terganggu. Lelaki, yang akan selalu bukan siapa-siapa, pergi. Gadis kecil bertanya, apa rasanya berkabung seorang diri. Selama beberapa hari, gadis kecil menjaga nyala lilin dari lintingan kapas terendam minyak agar tak mati. Selain dalam wujud jasad pucat pasi, setengah hatinya ingin si lelaki ada disini.
* * *
Aku terlalu memperkarakan apa,
Aku selalu memperhitungkan siapa,
Sementara aku sibuk mempertanyakan segalanya, aku lupa bahwa kami pernah sama-sama manusia.
Andai menuliskannya akan membuatku kembali lupa.
Belum setahun bersedih sendiri, 19 Oktober 2016
19 September 2016
Kita akan menggigiti delapan,
delapan sudah terlalu lama mendominasi figur tak terbatas, dari kasta kemajemukan yang paling atas.
Delapan, fleksibilitas yang enggan berubah rupa. Seperti dingin dari secangkir kopi hangat yang menyusupi ujung jari di bawah meja. Kepastian yang selalu diragukan.
Kita akan merobek delapan,
Sang Bentuk dari cacat dan hina yang dipuja dan disempurnakan. Lembaran daur ulang yang terlukai sekaligus dibanggakan. Ada noda lama yang menunggu hilang lenyap. Tapi ia? Kita? Senyap.
Kita sepakat akan memecahkan delapan.
Memperlakukannya seperti suara sumbang dari deretan merdu yang terdustakan. Meninggalkannya dengan tidur lelap tepat ketika kisahnya klimaks tentang bintang nan kerlap. Mengisinya dengan cair dan udara, kemudian menghapus sidik jari kita yang tertinggal di permukaannya. Atau skenario yang paling sadis, kita akan membiarkannya nyala hingga menyublim habis.
Kita akan menyayat delapan,
Iya, delapan yang sama yang mencerahkan langit demi melenyapkan pelangi.
Delapan yang juga memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan sesuka hati.
Delapan yang merayu mawar agar mengizinkannya menjadi duri.
Aku akan membunuh delapan.
bukan demi kita atau mengatasnamakan kebenaran.
Semata-mata karena delapan sudah terlalu lama berada di antara tujuh dan sembilan.
Maafkan, Delapan.
[Delapan hanyalah pilihan acak yang menjadi kambing hitam atas rasa muak yang memuncak. Tenang saja, akan segera ada "There is No Good in Goodbye" milik The Script dalam playlistmu. Tentu saja kita akan mengenang bagaimana perdebatan yang menyenangkan sepanjang perjalanan sepulangnya kita setelah menonton Train to Busan dan memperdebatkan nilai moral dari Bad Moms. Satupun tidak berkaitan dengan Delapan. Sekian]
18 September 2016
Sejak dua belas hari yang lalu, setiap malam, hal yang terbilang aneh terjadi padaku. Sejak dua belas hari yang lalu, setiap pukul tujuh, dua bercak merah muncul di lengan bawah sisi dalam sebelah kiri. Sejak dua belas hari yang lalu, selalu. Sepenuh hati aku mensyukuri fenomena ini. Paling tidak dua belas malam sudah, tanda ini menyeretku mendekati gelisah, namun sekaligus membebaskanku dari kompilasi malam yang terlampau resah. Tanyakan padaku, bagaimana mungkin udara mengizinkanku lepas dari tanya? Dua bercak merah, ada, begitu saja. Jikalau tanda ini peninggalan naluriah semacam serangga, bagaimana bisa hadirnya selalu pada bidang anatomi yang sama? Katakanlah memang sejenis nyamuk yang mencumbu, apa penjelasanmu tentang kesamaan jumlah yang seperti menyandikan rindu? Kalau pun sesuatu itu begitu normatif menghajar sistem limbikku dengan skema yang terlampau rapi, jahat itu tetap di genggamanmu, yang tak henti bertanya di kala aku terlalu kosong untuk menjawabnya.
Namun...
Namun... Selalu satu atau sepasang pengecualian untuk kompleksitas yang disamarkan sebagai harapan. Percaya saja, hal-hal magis hanya satu dari jutaan rahasia tata surya. Yang sulit diterima adalah sensasi yang menyenangkan hati pada banyak kali tertaut limitasi. Seperti bercak ini, muncul pukul tujuh, lenyap sesaat setelah jam sepuluh. Ya, begitu saja, menyaingi banyak keanehan lainnya di dunia.
Anomali adalah muse, provokator yang ditujukan untuk memulai tanya, sementara repetisi adalah modal awal yang cukup untuk menganalisa.
Sebuah alasan. Hanya perlu sebuah alasan. Entah reka atau nyata yang tidak ada korelasinya. Ketika rasa ingin-baik-baik-saja mengantarkanmu pada titik dimana akhirnya tidak apa jika terlihat tidak-baik-baik-saja. Jadi, bisakah kamu mengerti bagaimana dua makula misterius mengalihkanku dari segala gila yang semakin serius?
Ini alergi. Ya, ini seharusnya adalah reaksi alergi. Reaksi alergi, boleh juga disebut hipersensitivitas, pada dasarnya adalah aktivitas berlebihan dari sistem kekebalan tubuh...dan tidak akan ada kilas balik kelas imunologi disini. Maka, apalagi kalau bukan alergi. Aku ingat bagaimana secara naluriah melontarkan kata itu setiap kali berhadapan dengan hal yang sulit dijelaskan.
Apa alergenku? Aku alergi tatapan mengancam setiap kucing yang pernah aku temui. Aku alergi tidur dengan alas bantal. Aku alergi lembaran bubble wrap yang gelembungnya habis terpecahkan. Aku alergi masakan pedas. Aku alergi makan sendiri. Aku alergi pada panggilan telepon di hari libur. Aku alergi hari minggu yang terlalu pagi.
Kali ini, apa alergenku? Aku alergi menjawabi dunia saat kamu absen di sini.
Berhentilah menghakimi, bahkan nyeri yang melibatkan 'hati' butuh sensitisasi. Aku sungguh menahan diri untuk memasuki lapang pandangmu, bertahan satu sentimeter di luar kubah transparan yang dibuat atas imajinasiku. Berandai-andai, jika aku berhasil menghubungimu dan menceritakan tentang dua bercak misterius di kulitku, apakah kamu akan menyuruhku minum antihistamin, atau kamu akan memintaku menjauhimu dan berhenti bermain.
* * *
Ini hari Minggu. Aku ingin menonton film kartun seharian sambil menghangatkan ujung kaki di balik selimut sementara tetes hujan memercik sesekali pada jendela kamarku. Aku juga ingin makan otak-otak dan sate ceker di angkringan yang hanya meminta dihargai kurang dari dua puluh empat ribu untuk sepenuhnya perutku. Di saat yang sama aku ingin kesederhanaan setara memelukmu tanpa alasan. Demi jarum jam yang bergerak, ini masih hari Minggu, aku hanya akan menunggu sampai pukul tujuh.
10 September 2016
Aku selalu menyukai September. Sejak lama, September selalu menyisipkan hal-hal baik untuk terjadi dalam salah satu atau dua dari tiga puluh hari di dalamnya. Bisa aku katakan di sini, hal terhebat pertama yang dihadiahkan oleh September dalam hidupku adalah tidak tertukarnya aku sesaat setelah aku dilahirkan. Aku sangat bersyukur untuk itu. Selanjutnya, September tidak pernah absen menawarkan kebahagiaan. Seperti penanggal yang umum dipercaya dimulai pada Januari, bagiku, tahun baru adalah pada bulan September. Segala rencana (yang menurutku) hebat, pencapaian yang aku rasa pantas untuk dirayakan, mimpi-mimpi besar, sama seperti aku, lahir di bulan September. Selalu, hingga kita tiba di tahun ini.
Untuk pertama kalinya, September belum memberi tanda untuk sebuah euforia.
* * *
Entah kupelajari dari mana, sejak kecil aku memiliki pemahaman dalam otakku bahwa ketika aku menemukan uang secara kebetulan, dan ingin memungutnya, maka aku harus menukarnya dengan nominal yang lebih kecil. Misalnya, lembaran sepuluh ribu ditukar dengan logam seratus rupiah, letakkan tepat di titik yang sama. Kekanak-kanakanku kala itu mengartikan si logam penukar sebagai harga beli kebahagiaan yang aku rasakan saat menemukan uang (See? Harga kebahagiaan masa kecilku sedemikian murahnya). Seorang teman penggemar fisika menyebutnya sebagai kekekalan energi. Tidak ada penambahan dan pengurangan di semesta ini, yang ada hanya wujud yang berganti dan kemunculan yang tidak pasti. Kalau aku ingin memperpanjang masalah ini maka akan aku coba menjabarkannya dengan dasar ilmu probabilitas. Namun aku sedang tak ingin. Maka kita kembali saja pada perubahan-perubahan acak yang terjadi di muka bumi.
Karena aku sudah kehilangan kekanak-kanakan yang sungguh aku rindukan, persona dewasa muda berumur dua puluh enam ini justru bermain analogi dengan jejak karbon (baca: carbon footprint), dan belakangan hari lebih nyaman menjelaskan (pada diri sendiri) segala fenomena dengan jabaran Tat Twam Asi. September ini mungkin tidak begitu ramah padaku, namun aku masih bisa menawarkan September terbaik yang orang lain bisa miliki.
Akhir Pekan dan Boboiboy Game Card
Khilaf karena merasa dicurangi September berimbas pada afek keseharian kita. Benar, karenanya jangan main-main dengan September. Kejanggalan yang terjadi bisa berupa jatuh cinta pada hari kerja, mengusir akhir minggu agar segera lalu, dan mengutuk tanggal merah dan segala cuti bersama. Hari kerja memberi harapan, memberi spasi menunggu yang maknanya bisa diperdebatkan, makna yang susut ketika matahari Jumat lengser perlahan. Kemudian malam minggu, kemudian Minggu, keduanya tetap memaksa untuk ditunggu namun memuaikan waktu dalam ilusi yang buntu. Aku seperti kehilangan harapan pada kedua hari itu. Kini semua pekerja Senin-Jumat(Sabtu) akan mulai menyumpahiku.
Hanya memikirkan keegoisanku saja sudah membuatku merasa hina. Siang ini aku sedikit mengubahnya.
Aku sedang membeli makan siang yang terlalu sore di warung depan rumah kost. Sembari menunggu, aku menelaah setiap pengunjung yang juga datang ke warung. Baiklah, alih-alih menelaah, katakan saja aku memberi sedikit konteks sosial pada khayalan soliter yang mulai kehabisan wadah. Hingga datang seorang anak berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Anak itu membeli satu Choki-choki yang ternyata sedang dijual dengan promosi kartu bermain edisi Boboiboy. Setiap membeli satu Choki-choki akan diganjar dengan sebuah kartu bermain dengan sistem blind. Mengingatkan aku pada Forest Gump dan sekotak cokelatnya. Aku sangat mengerti perasaan anak itu. Sebagai ex pengumpul banyak seri kartu bergambar hingga tazos, mendapat kartu dengan gambar yang sama adalah petaka. Nah, anak tersebut membeli satu Choki-choki sehingga berhak atas satu kartu acak. Jantungku keluar dari ritme sinus sesaat ketika anak itu mengambil dua kartu. Mungkin napasku terlalu dekat atau ia merasakan pandanganku hingga ia menoleh, dan mata kami bertemu. Dan jatuh cinta. Dan tamat. *ups.
"Eh, kok dua... ", ujarnya perlahan, dan mengembalikan satu kartu ke tempatnya semula seiring dengan senyumku yang semakin lebar. Ketika semua pesanan makananku rampung, anak itu masih di warung itu. Aku membayar semua barang yang aku beli dengan menambahkan dua ekstra Choki-choki. Aku tidak berencana mengambil kartu Boboiboy (hey! Masaku sudah lewat.) Tiba-tiba, si anak menghampiriku, "Tante, dapat kartu apa?". "Tante nggak ambil kartunya, Sayang. Tolong diambilkan ya.. "."Ini, Tante, dapatnya dua kartu."."Untuk Adik aja ya.. Dibagi juga sama temannya." Saat aku menoleh ke belakang, kulihat ia sedang menyodorkan sebuah kartu (yang aku yakini dengan gambar yang paling tidak ia suka) pada seorang anak lain.
1. Aku merasa turut andil menggelitik bibit kejujuran pada anak itu.
2. Aku memberi sedikit rasa senang dengan menyumbang tambahan koleksi kartu
3. Aku menyentil sedikit rasa ingin berbagi paling tidak serupa dengan yang aku miliki.
4. Aku tidak marah walaupun anak tersebut memanggilku tante.
Begitulah hal terbaik yang terjadi padaku hari ini.
Hai Anak Penggemar Boboiboy, semoga September selalu ceria untukmu.
Hai, keegoisan yang membuatku hina, pada setiap kemunculanmu aku akan mulai tertawa. Tertawa sekerasnya sampai keluar airmata. Tiba-tiba, aku begitu saja ingin menjemputmu pulang, tertawa bersama sembari membahas dan menganalisa episode-episode drama Korea dengan Lee Seung Gi di dalamnya.
Masih ada dua puluh hari lagi di bulan ini.
3 September 2016
Hemisfer kanan: Kita terlalu banyak menunggu untuk mengucapkan syukur. Menunggu momentum untuk diperingati, menunggu tanggal baik, menunggu hari cerah, menunggu perasaan indah.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Kita terbiasa mengacukan diri pada sesuatu, seperti utas benang yang terikat pada tiang pancang. Itu mempertahankan kita agar berada di radian yang bisa kita jaga. Tentang penanggalan, kita sepakat mereferensikan diri pada sistematika yang digagas Suku Maya.
Eritrosit: Sudahlah, waktu, momentum...semuanya relatif. Penting bagi kita bukan garansi kelangsungan hidup umat manusia, seberapapun kuat cita-citamu menyelamatkan dunia.
Hemisfer kanan: Hanya tiga bulan, waktumu hanya tiga bulan.
Eritrosit: Tiga bulan yang aku habiskan dengan berpetualang ke setiap sudut dari setiap organ yang kita miliki. Bahkan aku dan rekan seprofesiku yang berjasa agar kalian tidak hipoksia.
Paru-paru: Alveoulusku mengkerut karena aku terlalu bersemangat.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Harus kita akui, perkiraan kiamat tahun 2012 tidak terbukti. Mungkin penanggalan Maya memiliki titik lemah. Atau jangan-jangan, interpretasi kita yang salah.
Hemisfer kanan: Momentum ini, ketika setiap dari kita menjadi liar.
Eritrosit: Aku akan mampir dan bermain di sekitar jantung. Sampai jumpa.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Terima kasih untuk segala tingkat kesadaran. Terimakasih untuk setiap like dan kata 'amin'.
Hemisfer kanan: Kerandoman ini...terima kasih.
Anya: Sudah lebih dari tiga bulan aku belum mendonorkan darah.
[Maklumilah. Akhir-akhir ini aku banyak meracuni diriku dengan kerancuan http://theawkwardyeti.com/ dan belajar sarkasme http://explosm.net/. Di titik ini, aku mulai kecanduan.]
Ya Tuhan, berikanlah sebuah rumah
Ya tuhan, kirimkanlah sebuah mobil
Ya Tuhan, restuilah pengangguran ini sebuah pekerjaan
Ya Tuhan, sehatkanlah segala yang sakit.
Ya Tuhan..Ya Tuhan..Ya Tuhan...
...kemudian Tuhan marah, kesal karena setiap rajuk perihal meminta, keinginan dari tiada menjadi ada, hanya akan menambah sesak dunia. Sebagai hukumannya, cokelat akan berstatus punah dari muka bumi, aku akan menjadi manusia pertama yang terdampak sampai mati. Baiklah, hanya khayalanku semata. (Aku pikir) Tuhan akan mengizinkan aku bercanda sesuka hati, hanya untuk hari ini.
Terima kasih.
29 Agustus 2016
Jadi begini. Saat ini aku sedang mengalami kondisi yang rumit untuk dijelaskan. Hari ini seharusnya aku berada di tempat yang jaraknya sepuluhribuan kilometer dari titikku duduk saat ini, mengikuti hari pertama preparatory course, kuliah persiapan, untuk studi lanjutanku. Sayangnya, beberapa hal memang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Visa yang nilainya setara dengan lampu hijauku untuk memasuki Berlin belum kunjung tiba, sudah lewat dua bulan lamanya. Kata para pendahulu exberliner, adalah sebuah keajaiban bila visa Berlin granted sebelum delapan minggu. Sayang sekali aku bukan orang terpilih yang bisa merasakan keajaiban tersebut.
Bukan masalah besar sebenarnya. Hal-hal semacam ini bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup kita. Keresahan semacam hari pertama menstruasi dan dengan bodohnya ternyata tidak menyiapkan satu pembalut pun di dalam tas. Untuk orang dengan siklus haid yang seperti musim dingin di Eropa akhir-akhir ini, tidak teratur, siapa yang tahu akan mens hari ini? Kekesalan yang serupa ketika memaksa diri bangkit dari tidur siang yang nyaman demi meluncur ke Pantai Kuta untuk sekian menit menikmati matahari terbenam dan ternyata mendung menertawakanmu dari batas langit dan laut. Siapa yang mengira awan hujan lebih superior sore ini? Seperti halnya yang sering aku bisikkan pada diriku di sela nada sumbang menyanyikan bait All I Ask milik Adele, "Beberapa hal ada di luar kendali kita. Nikmati saja."
Aku menerima. Aku menunggu. Namun udara di bawah langit biru bukan hanya milikku.
Awalnya aku bahagia. Aku merasa mendapat perpanjangan waktu pada pertandingan dua kali empat puluh lima menit dimana sekalipun aku belum menyentuh bola.
Hingga...
Entah sejak kapan aku merasakan cemas dengan alasan yang terlalu kabur
Entah bagaimana aku mendapat segala macam mimpi buruk setiap kali aku tidur.
Aku mendapati diriku mengecek surat elektronik setiap menitnya. Kemudian kecewa.
Aku mengikuti dorongan menghubungi setiap nomor yang kupikir akan menyelesaikan masalah. Kemudian meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah.
Aku takut pulang. Aku menghindari berjumpa banyak orang. Aku ingin hilang.
Aku ingin kembali bahagia. Tapi aku belum boleh bahagia sampai seseorang mengirim kabar dan berkata, "Ya, sekarang berbahagialah!"
Maka adalah momen sekarang ini. Setimental moment, demikian pikiran sentimentil ini ingin menyebutnya. Momentum dimana segala hal menelusup masuk ke dalam hatiku yang saat ini statusnya semacam dengan ginjal yang kehilangan fungsi glomerulusnya. (Aku tidak bisa memikirkan kondisi yang setara dengan sindrom nefrotik untuk liver.)
Aku tidak yakin sedang mengakui apa. Atau berbohong pada siapa.
Dan disinilah aku. Tidak kurang bahagia sama sekali. Bebas dari kecemasan walau seujung jemari. Berusaha memberi penjelasan. Untuk diriku sendiri.
Diantara segala perasaan tidak nyaman, latte art yang meragukan. Mari habiskan isi cangkir ini dan kembali pada kegelapan yang nyaman.
26 Agustus 2016
24 Agustus 2016
apa itu waktu?
"Sudahlah Id, seberapa kalipun seseorang ini terbanting secara egosentris, tetap tidak akan membiarkanmu meraih ippon."
17 Agustus 2016
Pada sebuah koordinat di atas bumi,
titik pertemuan bujur yang melintang hari.
Melekat pada kulit berpori, bergeser mengikuti gurat sidik jari.
Bulir pasirlah yang menegaskan eksistensi mereka, wahai Pencari Jati Diri.
Pada hakekatnya mereka hanyalah isyarat musim, yang dengan cerdik menipu waktu tidur para peri.
Para bulir bergesekan;
"Rasakanlah mereka, hanya pada gelap malam mereka jumawa bersombong diri."
"Aku hanya merasakan hangat yang keluar dari celah mikro yang jumlahnya menandingi kita."
"Seberapa sering kamu menempeli bentuk kasat dari asmara?"
"Akh, iya.. Ini pertama kalinya."
"Jadi, mereka siapa?"
Sesaat senyap, seiring kurva liar lemparan bola Poké yang bertubi. Ada hati yang tertangkap lepas berulang kali.
"Hari berganti... "
"Kenapa mereka masih disini?"
"Bibir pantai sudah muak melihat cinta sepanjang hari, dan mereka akan bertahan sampai dini?"
"Sudahlah, abaikan saja. Hanya malam dan kita yang mereka punya dan mungkin mereka bukan selamanya."
* * *
Aku sungguh tak ingin berlalu. Ketika dirimu beranjak dan mengibas sisa pasir di tubuhmu, sesaat aku pikir aku mendengar bisikan mereka, membicarakan kita. Kemudian kita usai, sepasang kelomang yang menyaru di balik malam.
Sudahlah. Mungkin tidak ada hari esok. Atau mungkin ada.
15 Agustus 2016
Masa sebelum kamu, aku bukan pengemar masakan kepiting. Bukan karena tidak suka rasanya (sesungguhnya lebih dari suka), melainkan karena tidak suka kerepotan yang ditimbulkan oleh cangkangnya. Aku bukan orang yang memuja kerumitan ekstra untuk hal yang sederhana, masalah makan adalah salah satunya. Makan adalah aktivitas memanjakan diri, dengan catatan tidak dilakukan sendiri.
Sebuah kalimat yang entah terpungut dari mana, aku menyukai dan menyetujuinya; dua hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah kelaparan dan sendirian. Diferensiasi dari premis tersebut adalah aku tidak suka makan sendirian (dimana logika?)
Masa dengan kamu di dalamnya, adalah sebuah kenyamanan tersendiri untuk menikmati rasa daging kepiting tanpa kerumitan yang aku sebutkan tadi. Seperti layaknya pada berbagai latar cerita yang berbeda, ada kamu, voila! masalahku sirna. Pertanyaannya adalah, apakah segala masalah memiliki tingkat kebebalan setara cangkang kepiting masak telor asin?
Masa dengan kamu yang masih bergentayangan di dalamnya, mohon izin membuatnya jelas dan sederhana. Aku dan kamu dan kepiting dan makanan lainnya dengan diameter radius terbentuk tak lebih dari seratus dua puluh sentimeter. Dalam lingkaran itu, aku adalah pemuja sederhana yang memandangimu berjuang memutus, menekuk, menggigiti, memecahkan lapisan kitosan yang berwarna oranye kemerahan. Aku menunggu, sepasif koala menanti bergantinya hari, dengan kamu adalah lembaran eucalyptusku. Eucalyptus yang ritmik melakukan gerakan menaruh daging kepiting di atas alas makanku. Sedap, bukan lagi rasa yang terkecap lidah, melainkan sensasi yang menyeruak sedikit agak di bawah.
Kepiting salju, kepiting papua, kerang merah, kerang bambu, kerang darah, kepiting bakau, betina, rajungan. Celotehanmu.
* * *
Packing,
Sejauh apapun, selama apapun, bagiku tak pernah mudah. Kadang melihat daftarnya saja membuatku lelah.
Malam ini, di hadapan koper yang masih tidak karuan, aku tak bisa berhenti memikirkan kamu dan cangkang kepiting yang bertebaran.
Ps. Special thanks to Onyun and Robert and my superb gank, Gembulz, Nessya, Pera, Rikco (and his plus one) and Kodok. You've made my night yesterday so I got some 'extra packing spirit' this whole day and night.
22 Juli 2016
ORBK: "Lab keberapa, Dik?"
A: "Kedua, Dok."
ORBK: "Oh, baru..."
ORBK: "Kenapa jadi dokter? Ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga."
A: ...(diam, tidak siap dengan pernyataan yang seperti tendangan Si Madun, jatuhnya dari langit)
ORBK: "Dokter cewek paling banter kerja Puskesmas. Mentok lagi praktek di rumah. Atau sekolah kedokteran buat naikin pasaran? Buat nyari suami?"
13 Juli 2016
30 Juni 2016
Jack Johnson
Well you win/ it's your show now/ So what's it gonna be/ 'Cause people will tune in/ How many train wrecks do we need to see(Today I choose this song with all of my heart as literal person.)
.../ Where did all the good people go/ I've been changing channels/ I don't see them/ On the TV shows/ ....
They got this and that/ With a rattle of tat/ Testing, one two/ Man what you gonna do/ Bad news, misused/ Got too much to lose/ Gimme some truth/ Now whose side are we on/ Whatever you say, turn on the boob tube/ I'm in the mood to obey/ So lead me astray, and by the way now
28 Juni 2016
Tahu.../Bulat.../Digoreng dadakan/Di mobil/Limaratusan/Anget-anget/Gurih-gurih/ Enyyyoyy....//
![]() |
Cinta pertama yang rasanya tak pernah sama. |
16 Juni 2016
"Aku takut setelah hari ini kita tidak menemukan waktu lagi."
"Aku takut perpisahan ini tidak terjadi berkali-kali."
Ketakutan adalah tatapan yang bila diulang tak lagi sama
Ketakutan adalah kesempatan yang terlalu langka, bahkan untuk dikarantina
Ketakutanku adalah tidak mengucapkan selamat tinggal dengan sempurna.
Karena sepucuk rasa takut, maka terambillah sebilah pisau paling tajam yang ditempa dengan rasa yang paling keras dan buta. Tanpa memalingkan muka, sebuah gerakan pasti memenggal satu-satunya tali yang memegang bulan agar tetap dalam tatapan.
Bulan tenggelam. Segera lenyap dari jangkauan, bergegas memasuki lapang pandang mata yang lain.
Satu, dua menanti, namun bulan tak kembali, karena ini adalah masa bulan mati.
Air pasang akan mengingatkan setiap insan di pinggiran.
Penanda masif oleh bulan di sepanjang Pantai Selatan
Yang bahagia, tak menginginkan apa-apa
Yang menanti, mengukir pasir sambil malu-malu menyentuh ombak yang meninggi.
[Hanya karena tiga hari ini langit secara konstan meneteskan batangan jerami, bukan jaminan bahwa rasa yang terbabat habis tak kan tumbuh lagi.]
12 Juni 2016
All I Want
Kesedihan juga bisa dipresentasikan, secara indah.
Setiap orang ingin menjadi istimewa, namun banyak yang menolak untuk berbeda
Dua partisi video Youtube.
Perasaan tak berbalas,
Kasih tak sampai,
Hubungan yang kandas,
Kekalahan,
Penyesalan,
Maaf yang tak tersampaikan,
Kegagalan,
Penolakan.
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup