Defect, anomali...and perspective

27 Desember 2016

On 01.02 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Hari-hari terakhir menjelang pergantian tahun, hari ini, katakanlah lima hari terakir. Seperti ritual wajib bahwa sebagian besar dari kita mengakumulasikan kewajiban berpikir, berencana, dan berstrategi pada kemampatan waktu di penghujung tahun. Bagiku pribadi, itu merujuk pada hari yang berada di antara perayaan lahirnya Yesus hingga malam pergantian kalender Masehi  (keluargaku di rumah secara faktual baru akan mengganti kalender pada awal tahun), dan efek dari proses berpikir-berencana-berstrategi tersebut biasanya mengikuti kaidah penghentian obat-obatan steroid: tappering off.

Ya, ada 365 hari (366 tepatnya di tahun kabisat ini), dan hanya akhir bulan Desember yang paling jumawa muncul menyajikan atmosfer dengan lapisan yang memfasilitasi hal-hal semacam harapan, cita-cita, mimpi...jujur saja, periode akhir tahun ini merupakan penggal waktu paling kuat dimana hasrat seperti menaklukkan dunia terasa paling nyata.

Banyak hal yang terjadi, trending topics bukan parameter yang relevan lagi dalam menentukan skala dampak sejarah. Mungkin kata atau frasa yang paling banyak diminati publik akhir-akhir ini menyangkut teror, nista...atau memuat tentang uang baru, pahlawan. Selain ‘telolet’ tentunya. Aku rasa hal yang tidak absen, sama dengan tahun sebelumnya adalah kaleidoskop. Dan resolusi. Ah, ya, bicara tentang resolusi, aku termasuk korban ide konvensional menumpuk resolusi setahun ke depan, menuliskannya di sudut notes, menulis-ulangkannya pada lembar memo tempel, kemudian merekatkannya di tepi cermin. Atau di pintu lemari buku. Atau di belakang pintu. Riset pribadiku yang tidak berdasar menemukan bahwa dari segala resolusi yang aku janjikan pada diri sendiri, hanya satu atau dua yang benar-benar terjadi. Sisanya tetap menempel hingga berdebu dan kembali menunggu tahun yang baru. Aku berasumsi bahwa setahun tenagaku memang hanya cukup memotori satu atau dua mimpi. Ya, itulah kenapa pendahulu kita menginovasi hal yang disebut prioritas. Bagaimana pun, akhir tahun ini aku masih setia beresolusi, namun tidak sebanyak tahun yang sudah lalu. Fokus lain tenaga dan cadangan NOS akhir tahun ini akan dialihkan menjadi bentuk perenungan, kontemplasi.

Bulan belakangan aku mati-matian menahan diri untuk tidak menuliskan apa yang ingin aku tuliskan. Bila tidak, maka aku hanya akan mereproduksi tulisan kotor yang terinspirasi dari pendapat kotor yang secara sistematis muncul dalam bentuk tautan dengan konten berskala agak kotor hingga sangat kotor yang mengotori berbagai laman sosial media dan media masa. Bayangkan betapa kotornya pikiranku belakangan waktu.

Kotor, hanya sebuah kata yang merepresentasikan bagaimana perasaanku melihat manusia meninggalkan batas yang manusiawi, yang kita dengungkan dalam berbagai asas kehidupan; Pancasila, UUD 1945, Dasa Dharma Pramuka, Tujuh Prinsip Dasar Palang Merah, Sumpah Hippocrates.

Akh, apa benar kita masih sepenuhnya binatang yang disebut manusia?

[Dalam perjalanan menjemput kontemplasi lainnya.]

NB. Tentang kontemplasi ini, sedikit banyak mengikuti anjuran penggunaan antihipertensi: start low go slow.

15 Desember 2016

On 23.54 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Memiliki agenda bersampul lucu, saling menukar dan mengisinya dengan segala utopia pertemanan selamanya, atau paling tidak selama lembaran itu masih bertahan digerus tahun baru yang terus datang tanpa tahu malu.
Adakah yang benar-benar ingat apa rasanya?
Beberapa orang kesulitan menyimpan nama. Beberapa lainnya bermasalah dengan identifikasi dirinya.

Sepenggal hal yang layak dimuat di dalam buku semacam itu, adalah sebagai berikut.

Hal yang tidak disukai: tempat berair yang tidak beraroma laut.
Contohnya,
(1)perjalanan di sepanjang Tol Bali Mandara,
(2)jalanan Denpasar saat hujan terlalu lama,
(3)keran kamar mandi yang terbuka dan terlupa,
(4)pipi-pipi berotot tipis milik sang patah hati dan si jatuh cinta,
(5) lain sebagainya.

Hal yang disukai: segala lembab yang berbau laut.
Contohnya,
(1)pantai,
(2)wakame salad,
(3)senyum(bibir)mu,
(4) sebuah kursi di depan Indomaret,
(5) lainnya yang tidak menuntut proses berpikir ekstra untuk tertawa.

Aku mungkin akan terlalu malu jika seorang teman masih menyimpan dan menemukan kembali tulisanku.
Bukan tentang kenangan dan aib yang naif dan lugu.
Melainkan karena tahu, betapa jauhnya aku telah berjingkat dari masa lalu.

On 23.26 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Siang ini langit mempermainkanku.
ada banyak warna putih tertelan tepian menganga biru.
Kita membisu,
angin terlalu semarak seperti konser Coldplay di hari sabtu.

...dan salah, seperti biasa.
Bukan langit yang bermain warna.
para awan lah yang beranjangsana,
dengan kanvas maha hampa sebagai tamannya.
Di luar dugaan, mereka jenaka.

Bayangkan saja, segumpal besar keabuan membentuk pesawat udara,
tepat menyanding seekor Thai Air yang mengangkasa.
Bayangkan lagi, lebih ke utara ia melukiskan rupa Ganesha,
hanya kali ini lebih merupa gajah lucu milik Tiara Dewata.
Aku hampir tertawa.

Kita tidak membahas cuaca. Kita tidak membahas pertandingan bola.
Kita mungkin ingin, tapi menahan diri untuk menyentuh agama.
juga menyentuhmu karena dimensi kita tak sama.
Salah satu dari kita, mungkin aku, mendengungkan lagu latar sebuah drama Korea,
yang kita santap bersama sarapan yang kumasak terlalu lama.
Salah satu lainnya, mungkin dirimu, membiarkan kata tersangkut di udara.
Kita memilih melakonkan cakrawala,
pada panggung yang arahnya jelas berbeda.

Kita, berdua
Kita tidak bicara.

20 Oktober 2016

On 09.13 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Bila ada yang masih menyimpan tanya, tentang kabarku bagaimana, aku dimana, sedang apa, semalam berbuat apa, dan seterusnya... Maka aku harus menjawab bahwa segalanya baik-baik saja, aku kembali bekerja sambil mengantisipasi segala detail perubahan rencana. Aku bekerja. Seperti biasa, mengerjakan hal penting tak penting yang aku suka, sambil di selanya bekerja (menghasilkan uang) demi membiayai penting tak penting yang aku maksud tadi.

Menekan tombol reset, masuk ke mode kerja dengan situasiku bukan hal yang sulit, namun juga tak mudah. Setahun belakangan aku mengalami siklus kerja-resign berkali-kali di berbagai tempat yang berbeda. Menyenangkan karena akhirnya aku kembali menemukan tempat kerja baru untuk bernaung sementara waktu, namun bagaimanapun otak ini perlu beradaptasi dan perlu waktu. Karenanya, begitu Lia, teman lama dari masa SMA, mengajakku untuk bersenang-senang, aku merasa harus menyingkirkan beberapa jadwalku untuk itu. 

Clean Bali Series
Dari judul kegiatannya aku berasumsi bahwa ada rangkaian kegiatan lainnya, selain acara hari Minggu, 16 Oktober 2016 yang kebetulan bertempat di Oemah Apik, Pejeng, Gianyar. Aku mengorek sedikit, modus rangkaian kegiatan ini adalah sejalan dengan namanya, berbasis lingkungan, fokus pada pendidikan lingkungan bagi anak. (Pada titik ini aku merasakan kerinduan yang dalam sekali pada Pondok Buku Genitri, mengingat bagaimana konsep sederhana yang serupa juga kami pikirkan sepenuh hati.) Kelemahan dan kenaifanku yang tak pernah berubah, dimana ada anak-anak tertawa, di sana ada ceria, di sana awal cerita, dan di sana obat mujarab untuk segala sedih. Maka jangan pertanyakan bagaimana aku tiba di sana dengan semangat membara seakan aku tidak jaga malam di sabtu sebelumnya. Terima kasih Google Map yang menunjukkan jalan kebenaran hingga insan ini tidak terlunta di bumi Gianyar. 


Oemah Apik, selayak namanya, apik benar. Sebenarnya tempat ini berformat villa yang dikomersilkan. Hanya saja karena si pemilik memiliki kepedulian tinggi terhadap anak-anak, maka diselenggarakanlah kegiatan Clean Bali Series ini di Oemah Apik ini. Tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan hari minggu bila aku masih anak-anak (bahkan juga sebagai wanita 26 tahun). Juga tempat yang indah untuk bertemu dengan Pak Taro, bintangnya kegiatan minggu kemarin.

Pak Taro, Koran Minggu, dan Kisah-kisah Masa Lalu.
Ini kali pertama aku bertemu langsung dengan beliau. Kali sebelumnya, hanya lewat cerita yang aku catut dari koran pagi tanpa seizin beliau atau siaran TVRI. Tak banyak kesempatanku berinteraksi dengan beliau, jelas beliau harus fokus pada anak-anak. Secara sepintas beliau memancarkan aura mengayomi, setelah lewat sebuah dongeng dan beberapa gimmick dengan anak-anak, kesan tambahanku adalah beliau mesti adalah guru yang tegas. Jika aku anak-anak, aku akan berpikir bahwa Pak Taro adalah guru yang galak, haha, maafkan saya, Pak. Saya juga bukan murid yang baik. 


Mendengarkan Pak Taro, melihat fluktuasi emosi anak-anak, mengingatkanku pada masa lalu dimana aku pernah menjadi tanah liat yang dibentuk salah satunya lewat dongeng-dongeng dan cerita lisan maupun tulis. Indah, menyenangkan, masa dimana aku tidak wajib memikirkan masalah dunia.



Apa yang rela kita tukar dengan deretan kartun (yang kini nyaris punah) di hari Minggu pagi?
  • Bertemu teman baru?
  • Bermain di halaman berumput?
  • Tertawa hingga lupa waktu?
  • Melewatkan mandi, lalu bermain lagi?
  • Melupakan ada ulangan esok hari?
  • .....(isi sendiri)



Aku mendapatkan pelarianku di hari minggu pagi. Bersama anak-anak aku merasakan akrab yang tak asing. Aku boleh menjadi apa saja. Aku tidak harus dokter. Aku boleh menjadi teknisi pesawat. Aku bisa menjadi pengrajin kayu. Aku boleh menjadi kolektor batu akik. Aku tidak dilarang mengingkari beban yang menempel sejak awal bulan. Seperti berhenti di ruas jalan tol, keniscayaan yang bebas aku main-mainkan. 

Namun aku harus subyektif, karena bagaimanapun aku hanya merangkum kembali hari itu yang berkesan bagiku. Juga referensi untuk hari nanti bersama anak yang sama atau beda. Kadang beberapa anak bosan, kadang beberapa anak teralihkan perhatiannya. Di saat yang sama, tentu kita ingin segalanya berjalan sesuai rencana. Mengalah saja, biarkan anak-anak menikmati keriaannya. Aku adalah defender nomor wahid bila seseorang tega merampas senang milik minggu ketika kita terlibat dalam lingkungan yang mengamini setiap anak untuk bersekolah dari senin hingga sabtu. Beberapa kali aku merasa terganggu karena oknum kakak gemas melihat oknum anak yang nyleneh, sulit diatur, dan menolak diperintah. Karena dedikasi hari itu adalah suguhan untuk keceriaan mereka, biarkan mereka kenyang karena senang. Bilapun bosan, tanggungjawab kita semua untuk menyuguhkan menu yang berbeda.

Sisanya, hari minggu kemarin adalah short escape yang membuka pikiranku akan hal-hal besar lainnya. 

Sekali lagi, terima kasih atas perhatiannya. Aku baik-baik saja.

19 Oktober 2016

On 17.57 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Sedih yang paling sedih adalah sedih yang tidak boleh ditunjukkan. Sama halnya dengan rasa yang tidak mendapatkan pengakuan. Dan dilema yang ada karena kita izinkan. 

Sedih semacam itu sama seperti aroma aerosol pengharum ruangan, semakin kita hirup semakin cepat wanginya raib. Dan ketika aku berulang kali merasakan sedih yang sama, aku tahu, ini karena aku tak pernah berani menghirupnya terlalu lama, akibatnya ia selalu sisa.

Maka, aku bercerita. 

*   *   *
Gadis kecil tak akan pernah yakin harus memanggilnya apa. Kepala kecilnya kala itu terdoktrin bahwa lelaki itu bukan siapa-siapa, bukan keluarga, dan keberadaannya dalam lapang pandang gadis kecil tidak mengartikan apa-apa. Jikapun gadis kecil menemukan panggilan yang menurutnya pantas, lagi-lagi menurut otak kecil dalam kepala kecilnya, maka itu hanya demi norma dan sebagai bentuk formalitas. 

Gadis kecil tak tahu banyak cerita tentangnya. Selain tentang ia ada, mengenai asal muasal, gadis kecil (hingga ia tidak kecil lagi) hanya pelantun cerita dari bukan sumber pertama. Sebagian besarnya ia yakini sebagai rekaan belaka. Sejujurnya gadis kecil tidak peduli. Bagi anak berumur kurang dari lima, yang terpenting adalah ada hangat ketika tidak sendiri. Pada masa itu, banyak memori yang diracik bersama si lelaki.

Pernah suatu hari, sial menempeli angkot pagi, angkutan pulang taman kanak-kanak gadis kecil, dimana ia bersebelahan dengan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Si angkot tua tiba-tiba mati. Di pinggiran desa yang terlalu jauh dengan satuan jangkauan kaki. Melihat rumah berkat motor tua yang dipinjam sopir yang bertanggungjawab tidak serta merta membuat segala takut menjadi sirna. Sekantung plastik ikan segar, yang akan menjadi santapan sekeluarga, terlupa. Tergeletak mengait pada salah satu besi lengkung di dalam angkot. Gadis kecil memutuskan kembali. Bersamaan dengan drama hujan menari untuk bumi. Kala itu hanya ada sedikit insan yang mengerti, salah  satunya adalah si lelaki. Payung yang berlubang bahkan kelelahan menahan hujan. Kaki kecil lelah menyerah dalam gendongan. Beratus kali gadis kecil berpikir, andai dalam hal berjalan dan menggendong itu mereka bisa bergantian.

Hari tidak beruntung lainnya. Gadis kecil bermain terlalu ceria di halaman sekolah, beberapa tahun sejak ia melupakan sekantung plastik ikan saat pulang menumpang angkot dari taman kanak-kanak. Ia terjatuh, tidak sengaja atau iya, ia lupa. Wajahnya berdarah penuh luka, salah satunya menganga. Entah masa itu ada apa dengan P3K, seorang petugas sekolah justru membawanya pulang ke rumah. Tidak ada siapa pun, kecuali lelaki yang bukan siapa-siapa. Diulangi, lelaki yang bukan siapa-siapa. Anehnya, ia yang paling marah. Lelaki mendatangi sekolah (aku lupa apa saat itu ia menggenggam sabit saat marah), menanyai setiap temanku sampai lelah. Hingga akhirnya ia menyadari wajah gadis kecil masih memiliki luka yang meskipun tidak parah, namun tak henti melelehkan darah. Hari itu, gadis kecil mendapat lima atau tujuh jaritan di pelipis dan dagu.

Tahun berganti, gadis kecil mungkin tidak kecil lagi. Ia melihat dunia, ia mengejar cinta, ia menjadi apa yang ia suka. Serangkum masa, dimana sedikit sekali memori yang terekam bersama si lelaki. Sementara gadis kecil beranjak dewasa, lelaki bertambah tua. Tentu saja. 

Lelaki yang beranjak tua, bukan karakter favorit manusia. Ia tidak ramah pada segala tetek bengek dunia. Ia marginal, pada beberapa momentum ia bahkan kriminal. Gadis kecil tidak pernah membencinya, gadis kecil tidak pernah punya nyali untuk membenci. Maka kuncuplah sekuntum dilema disana, baik pada lelaki akan menyulut iritasi pada orang lain di dekatnya. Keras ia berusaha menjadi bukan siapa-siapa, tak pernah bisa. Ia tetap memijati lelaki jika ada waktu luang (ketika usianya masih kecil ia memijat dengan kaki, berjalan di punggung lelaki dan berpura-pura gumpalan otot berbalut kulit gelap milik lelaki sebagai jalan di perbukitan yang menyenangkan). Ia mengantarkan lelaki membeli kebutuhan perut setiap waktunya luang. Ia kadang menyelundupkan makanan, dan bila masih punya, sebelum pergi gadis kecil yang kini sudah besar akan meninggalkan sejumlah uang. 

Bukan hanya pada si lelaki hidup berlaku keras. Gadis kecil juga memiliki prioritas. Gadis kecil mulai lelah menjadi satu-satunya yang tidak abai pada si lelaki. Apalagi ia mulai membicarakan hal yang tidak gadis kecil minati. Hal-hal seperti apa yang lelaki miliki dan bahwa lelaki akan mati. 

Tiga hari. Tiga hari atau lebih ia tidak menampakkan diri. Manusia hidup, seberapa sendiri, wajib berjumpa dengan matahari. Saat itulah gadis kecil bersama mereka lainnya yang bukan siapa-siapa menyadari akan ada hari yang berat. Lelaki, yang entah sejak kapan menjadi sangat tua, sekarat. 

Waktu menyimpan misteri mengenai kapan ia lalu, tapi apalah manusia yang tidak pernah tahu. Hari dimana gadis menemukan lelaki sekarat, ia tidak tahu harus apa. Ia menyiapkan air gula, menyuapinya dengan bubur dan telur, membersihkan kotoran di alas tidurnya, berpikir tapi tak bisa merangkum apapun. Lelaki tua berkata, "Apa kamu bisa meminta satu hari libur?". Tidak, lelaki tidak berkata, ia meminta. Gadis kecil menjawab sambil menyuapkan air gula dengan sendok logam yang gagangnya mengkonveksikan panas, "Tidak bisa, aku harus bekerja."

Hari berikutnya, gadis kecil dan lelaki bertemu, sudah tidak ada lagi kata. Lelaki sudah tidak ada di dunia. Sedih itu, ya, sedih yang sama persis dengan yang kadang muncul sewaktu-waktu. Seperti varicela yang dorman dan muncul bila imunitas terganggu. Lelaki, yang akan selalu bukan siapa-siapa, pergi. Gadis kecil bertanya, apa rasanya berkabung seorang diri. Selama beberapa hari, gadis kecil menjaga nyala lilin dari lintingan kapas terendam minyak agar tak mati. Selain dalam wujud jasad pucat pasi, setengah hatinya ingin si lelaki ada disini.

*   *   *

Aku terlalu memperkarakan apa,
Aku selalu memperhitungkan siapa,
Sementara aku sibuk mempertanyakan segalanya, aku lupa bahwa kami pernah sama-sama manusia.

Andai menuliskannya akan membuatku kembali lupa.

Belum setahun bersedih sendiri, 19 Oktober 2016

19 September 2016

On 08.11 by anya-(aydwprdnya) in ,    3 comments

Kita akan menggigiti delapan,
delapan sudah terlalu lama mendominasi figur tak terbatas, dari kasta kemajemukan yang paling atas.
Delapan, fleksibilitas yang enggan berubah rupa. Seperti dingin dari secangkir kopi hangat yang menyusupi ujung jari di bawah meja. Kepastian yang selalu diragukan.

Kita akan merobek delapan, 
Sang Bentuk dari cacat dan hina yang dipuja dan disempurnakan. Lembaran daur ulang yang terlukai sekaligus dibanggakan. Ada noda lama yang menunggu hilang lenyap. Tapi ia? Kita? Senyap.

Kita sepakat akan memecahkan delapan.
Memperlakukannya seperti suara sumbang dari deretan merdu yang terdustakan. Meninggalkannya dengan tidur lelap tepat ketika kisahnya klimaks tentang bintang nan kerlap. Mengisinya dengan cair dan udara, kemudian menghapus sidik jari kita yang tertinggal di permukaannya. Atau skenario yang paling sadis, kita akan membiarkannya nyala hingga menyublim habis. 

Kita akan menyayat delapan,
Iya, delapan yang sama yang mencerahkan langit demi melenyapkan pelangi.
Delapan yang juga memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan sesuka hati.
Delapan yang merayu mawar agar mengizinkannya menjadi duri.

Aku akan membunuh delapan.
bukan demi kita atau mengatasnamakan kebenaran.
Semata-mata karena delapan sudah terlalu lama berada di antara tujuh dan sembilan.

Maafkan, Delapan.

[Delapan hanyalah pilihan acak yang menjadi kambing hitam atas rasa muak yang memuncak. Tenang saja, akan segera ada "There is No Good in Goodbye" milik The Script dalam playlistmu. Tentu saja kita akan mengenang bagaimana perdebatan yang menyenangkan sepanjang perjalanan sepulangnya kita setelah menonton Train to Busan dan memperdebatkan nilai moral dari Bad Moms. Satupun tidak berkaitan dengan Delapan. Sekian]

18 September 2016

On 00.41 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Sejak dua belas hari yang lalu, setiap malam, hal yang terbilang aneh terjadi padaku. Sejak dua belas hari yang lalu, setiap pukul tujuh, dua bercak merah muncul di lengan bawah sisi dalam sebelah kiri. Sejak dua belas hari yang lalu, selalu. Sepenuh hati aku mensyukuri fenomena ini. Paling tidak dua belas malam sudah, tanda ini menyeretku mendekati gelisah, namun sekaligus membebaskanku dari kompilasi malam yang terlampau resah. Tanyakan padaku, bagaimana mungkin udara mengizinkanku lepas dari tanya? Dua bercak merah, ada, begitu saja. Jikalau tanda ini peninggalan naluriah semacam serangga, bagaimana bisa hadirnya selalu pada bidang anatomi yang sama? Katakanlah memang sejenis nyamuk yang mencumbu, apa penjelasanmu tentang kesamaan jumlah yang seperti menyandikan rindu? Kalau pun sesuatu itu begitu normatif menghajar sistem limbikku dengan skema yang terlampau rapi, jahat itu tetap di genggamanmu, yang tak henti bertanya di kala aku terlalu kosong untuk menjawabnya.

Namun...
Namun... Selalu satu atau sepasang pengecualian untuk kompleksitas yang disamarkan sebagai harapan. Percaya saja, hal-hal magis hanya satu dari jutaan rahasia tata surya. Yang sulit diterima adalah sensasi yang menyenangkan hati pada banyak kali tertaut limitasi. Seperti bercak ini, muncul pukul tujuh, lenyap sesaat setelah jam sepuluh. Ya, begitu saja, menyaingi banyak keanehan lainnya di dunia.

Anomali adalah muse, provokator yang ditujukan untuk memulai tanya, sementara repetisi adalah modal awal yang cukup untuk menganalisa.

Sebuah alasan. Hanya perlu sebuah alasan. Entah reka atau nyata yang tidak ada korelasinya. Ketika rasa ingin-baik-baik-saja mengantarkanmu pada titik dimana akhirnya tidak apa jika terlihat tidak-baik-baik-saja. Jadi, bisakah kamu mengerti bagaimana dua makula misterius mengalihkanku dari segala gila yang semakin serius?

Ini alergi. Ya, ini seharusnya adalah reaksi alergi. Reaksi alergi, boleh juga disebut hipersensitivitas, pada dasarnya adalah aktivitas berlebihan dari sistem kekebalan tubuh...dan tidak akan ada kilas balik kelas imunologi disini. Maka, apalagi kalau bukan alergi. Aku ingat bagaimana secara naluriah melontarkan kata itu setiap kali berhadapan dengan hal yang sulit dijelaskan. 

Apa alergenku? Aku alergi tatapan mengancam setiap kucing yang pernah aku temui. Aku alergi tidur dengan alas bantal. Aku alergi lembaran bubble wrap yang gelembungnya habis terpecahkan. Aku alergi masakan pedas. Aku alergi makan sendiri. Aku alergi pada panggilan telepon di hari libur. Aku alergi hari minggu yang terlalu pagi. 

Kali ini, apa alergenku? Aku alergi menjawabi dunia saat kamu absen di sini. 

Berhentilah menghakimi, bahkan nyeri yang melibatkan 'hati' butuh sensitisasi. Aku sungguh menahan diri untuk memasuki lapang pandangmu, bertahan satu sentimeter di luar kubah transparan yang dibuat atas imajinasiku. Berandai-andai, jika aku berhasil menghubungimu dan menceritakan tentang dua bercak misterius di kulitku, apakah kamu akan menyuruhku minum antihistamin, atau kamu akan memintaku menjauhimu dan berhenti bermain.

*   *   *

Ini hari Minggu. Aku ingin menonton film kartun seharian sambil menghangatkan ujung kaki di balik selimut sementara tetes hujan memercik sesekali pada jendela kamarku. Aku juga ingin makan otak-otak dan sate ceker di angkringan yang hanya meminta dihargai kurang dari dua puluh empat ribu untuk sepenuhnya perutku. Di saat yang sama aku ingin kesederhanaan setara memelukmu tanpa alasan. Demi jarum jam yang bergerak, ini masih hari Minggu, aku hanya akan menunggu sampai pukul tujuh.



10 September 2016

On 01.48 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Aku selalu menyukai September. Sejak lama, September selalu menyisipkan hal-hal baik untuk terjadi dalam salah satu atau dua dari tiga puluh hari di dalamnya. Bisa aku katakan di sini, hal terhebat pertama yang dihadiahkan oleh September dalam hidupku adalah tidak tertukarnya aku sesaat setelah aku dilahirkan. Aku sangat bersyukur untuk itu. Selanjutnya, September tidak pernah absen menawarkan kebahagiaan. Seperti penanggal yang umum dipercaya dimulai pada Januari, bagiku, tahun baru adalah pada bulan September. Segala rencana (yang menurutku) hebat, pencapaian yang aku rasa pantas untuk dirayakan, mimpi-mimpi besar, sama seperti aku, lahir di bulan September. Selalu, hingga kita tiba di tahun ini. 

Untuk pertama kalinya, September belum memberi tanda untuk sebuah euforia. 
*   *   *

Entah kupelajari dari mana, sejak kecil aku memiliki pemahaman dalam otakku bahwa ketika aku menemukan uang secara kebetulan, dan ingin memungutnya, maka aku harus menukarnya dengan nominal yang lebih kecil. Misalnya, lembaran sepuluh ribu ditukar dengan logam seratus rupiah, letakkan tepat di titik yang sama. Kekanak-kanakanku kala itu mengartikan si logam penukar sebagai harga beli  kebahagiaan yang aku rasakan saat menemukan uang (See? Harga kebahagiaan masa kecilku sedemikian murahnya). Seorang teman penggemar fisika menyebutnya sebagai kekekalan energi. Tidak ada penambahan dan pengurangan di semesta ini, yang ada hanya wujud yang berganti dan kemunculan yang tidak pasti. Kalau aku ingin memperpanjang masalah ini maka akan aku coba menjabarkannya dengan dasar ilmu probabilitas. Namun aku sedang tak ingin. Maka kita kembali saja pada perubahan-perubahan acak yang terjadi di muka bumi. 

Karena aku sudah kehilangan kekanak-kanakan yang sungguh aku rindukan, persona dewasa muda berumur dua puluh enam ini justru bermain analogi dengan jejak karbon (baca: carbon footprint), dan belakangan hari lebih nyaman menjelaskan (pada diri sendiri) segala fenomena dengan jabaran Tat Twam Asi. September ini mungkin tidak begitu ramah padaku, namun aku masih bisa menawarkan September terbaik yang orang lain bisa miliki. 

Akhir Pekan dan Boboiboy Game Card

Khilaf karena merasa dicurangi September berimbas pada afek keseharian kita. Benar, karenanya jangan main-main dengan September. Kejanggalan yang terjadi bisa berupa jatuh cinta pada hari kerja, mengusir akhir minggu agar segera lalu, dan mengutuk tanggal merah dan segala cuti bersama. Hari kerja memberi harapan, memberi spasi menunggu yang maknanya bisa diperdebatkan, makna yang susut ketika matahari Jumat lengser perlahan. Kemudian malam minggu, kemudian Minggu, keduanya tetap memaksa untuk ditunggu namun memuaikan waktu dalam ilusi yang buntu. Aku seperti kehilangan harapan pada kedua hari itu. Kini semua pekerja Senin-Jumat(Sabtu) akan mulai menyumpahiku. 

Hanya memikirkan keegoisanku saja sudah membuatku merasa hina. Siang ini aku sedikit mengubahnya. 

Aku sedang membeli makan siang yang terlalu sore di warung depan rumah kost. Sembari menunggu, aku menelaah setiap pengunjung yang juga datang ke warung. Baiklah, alih-alih menelaah, katakan saja aku memberi sedikit konteks sosial pada khayalan soliter yang mulai kehabisan wadah. Hingga datang seorang anak berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Anak itu membeli satu Choki-choki yang ternyata sedang dijual dengan promosi kartu bermain edisi Boboiboy. Setiap membeli satu Choki-choki akan diganjar dengan sebuah kartu bermain dengan sistem blind. Mengingatkan aku pada Forest Gump dan sekotak cokelatnya. Aku sangat mengerti perasaan anak itu. Sebagai ex pengumpul banyak seri kartu bergambar hingga tazos, mendapat kartu dengan gambar yang sama adalah petaka. Nah, anak tersebut membeli satu Choki-choki sehingga berhak atas satu kartu acak. Jantungku keluar dari ritme sinus sesaat ketika anak itu mengambil dua kartu. Mungkin napasku terlalu dekat atau ia merasakan pandanganku hingga ia menoleh, dan mata kami bertemu. Dan jatuh cinta. Dan tamat. *ups.

"Eh, kok dua... ", ujarnya perlahan, dan mengembalikan satu kartu ke tempatnya semula seiring dengan senyumku yang semakin lebar. Ketika semua pesanan makananku rampung, anak itu masih di warung itu. Aku membayar semua barang yang aku beli dengan menambahkan dua ekstra Choki-choki. Aku tidak berencana mengambil kartu Boboiboy (hey! Masaku sudah lewat.) Tiba-tiba, si anak menghampiriku, "Tante, dapat kartu apa?". "Tante nggak ambil kartunya, Sayang. Tolong diambilkan ya.. "."Ini, Tante, dapatnya dua kartu."."Untuk Adik aja ya.. Dibagi juga sama temannya." Saat aku menoleh ke belakang, kulihat ia sedang menyodorkan sebuah kartu (yang aku yakini dengan gambar yang paling tidak ia suka) pada seorang anak lain. 

1. Aku merasa turut andil menggelitik bibit kejujuran pada anak itu. 
2. Aku memberi sedikit rasa senang dengan menyumbang tambahan koleksi kartu 
3. Aku menyentil sedikit rasa ingin berbagi paling tidak serupa dengan yang aku miliki. 
4. Aku tidak marah walaupun anak tersebut memanggilku tante. 

Begitulah hal terbaik yang terjadi padaku hari ini.

Hai Anak Penggemar Boboiboy, semoga September selalu ceria untukmu.
Hai, keegoisan yang membuatku hina, pada setiap kemunculanmu aku akan mulai tertawa. Tertawa sekerasnya sampai keluar airmata. Tiba-tiba, aku begitu saja ingin menjemputmu pulang, tertawa bersama sembari membahas dan menganalisa episode-episode drama Korea dengan Lee Seung Gi di dalamnya. 

Masih ada dua puluh hari lagi di bulan ini. 

3 September 2016

On 21.37 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
"Terima kasih. Terima kasih atas segala kerepotan dan keribetan yang telah terjadi. Atas segala pengorbanan, hari-hari yang menyenangkan, hutang yang jarang terbayarkan, dan hal-hal lain yang tidak tersebutkan. Juga untuk sensasi kelistrikan saat permukaan kulit saling menyentuh dan kelebatan rasa yang bertukar utuh."

Rasa syukur, cara menyampaikan terima kasih itu personal. Mungkin juga sama manusiawinya dengan ekspresi kewarasan (atau kegilaan). Hanya kadang-kadang saja, identifikasinya harus tidak melenceng dari norma, mengikuti kaidah yang disuapkan pada kita sejak taman kanak-kanak dengan nyanyian satu ditambah satu sama dengan dua. Belakangan otak kiriku malah meyakini bahwa bersyukur adalah salah satu cabang ilmu pasti, korelasinya adalah dengan berdoa sebelum makan dan refleksi hidup sesaat sebelum tidur malam. Tenang saja, di salah satu hari Minggu di tahun ini, hemisfer kanan akan mengganti sementara fungsi kiri yang kemarin malam lelah bermain bersama kafein.

Hemisfer kanan: Kita terlalu banyak menunggu untuk mengucapkan syukur. Menunggu momentum untuk diperingati, menunggu tanggal baik, menunggu hari cerah, menunggu perasaan indah.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Kita terbiasa mengacukan diri pada sesuatu, seperti utas benang yang terikat pada tiang pancang. Itu mempertahankan kita agar berada di radian yang bisa kita jaga. Tentang penanggalan, kita sepakat mereferensikan diri pada sistematika yang digagas Suku Maya.
Eritrosit: Sudahlah, waktu, momentum...semuanya relatif. Penting bagi kita bukan garansi kelangsungan hidup umat manusia, seberapapun kuat cita-citamu menyelamatkan dunia.
Hemisfer kanan: Hanya tiga bulan, waktumu hanya tiga bulan.
Eritrosit: Tiga bulan yang aku habiskan dengan berpetualang ke setiap sudut dari setiap organ yang kita miliki. Bahkan aku dan rekan seprofesiku yang berjasa agar kalian tidak hipoksia.
Paru-paru: Alveoulusku mengkerut karena aku terlalu bersemangat.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Harus kita akui, perkiraan kiamat tahun 2012 tidak terbukti. Mungkin penanggalan Maya memiliki titik lemah. Atau jangan-jangan, interpretasi kita yang salah.
Hemisfer kanan: Momentum ini, ketika setiap dari kita menjadi liar.
Eritrosit: Aku akan mampir dan bermain di sekitar jantung. Sampai jumpa.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Terima kasih untuk segala tingkat kesadaran. Terimakasih untuk setiap like dan kata 'amin'.
Hemisfer kanan: Kerandoman ini...terima kasih.
Anya: Sudah lebih dari tiga bulan aku belum mendonorkan darah.
[Maklumilah. Akhir-akhir ini aku banyak meracuni diriku dengan kerancuan http://theawkwardyeti.com/ dan belajar sarkasme http://explosm.net/. Di titik ini, aku mulai kecanduan.]

Keinginan yang tidak familiar yang aku dapati hari ini adalah mengenai bersyukur di setiap kini, berterimakasih pada setiap helaian napas. Sulit? Sangat. Kita terbiasa memintal helaian napas menjadi umpatan, makian, iri, dengki, patah hati. Terbiasa melihat jauh ke atas. Terbiasa merutuki dinding keras di depan kita. Aku memiliki kebiasaan yang sama, walaupun belum sampai pada tahap spam di setiap status di media sosial [Cek ig kita, Kakaaaakk... dan ya, aku sekarang dengan ig @anya_aydwprdnya. Sekian.] Kebiasaan bukan proyeksi cahaya yang mudah dibelokkan hingga muncul pelangi. Tapi sungguh aku ingin keluar dari kebiasaan yang sempit itu, aku perlu ruang yang lebih luas. Aku ingin merajut napas menjadi hal baik, mungkin bukan lembaran motivasi, tapi paling tidak bukan melankolisme negatif semacam sendiri di malam sabtu. Jikapun aku melihat ke atas, maka bukan pandangan super menembus stratosfer. Apalah arti cemburu, bila kita sama-sama memandang langit biru? Tentang dinding ini, hari ini akan aku sandari. Esok aku berencana memutar dan keluar lewat pintu samping. Masih sulit, namun terima kasih.

Terima kasih untuk hal yang terlihat maupun tidak.
Satu lagi tentang terima kasih yang mandatori.Hanya rasa sedap yang pantas disitasi dalam doa. Karena bait selanjutnya adalah tentang meminta.
Kata hemisfer kanan, mitos tentang meminta adalah dari tidak ada menjadi ada.
Ya Tuhan, berikanlah sebuah rumah
Ya tuhan, kirimkanlah sebuah mobil
Ya Tuhan, restuilah pengangguran ini sebuah pekerjaan
Ya Tuhan, sehatkanlah segala yang sakit.
Ya Tuhan..Ya Tuhan..Ya Tuhan...
...kemudian Tuhan marah, kesal karena setiap rajuk perihal meminta, keinginan dari tiada menjadi ada, hanya akan menambah sesak dunia. Sebagai hukumannya, cokelat akan berstatus punah dari muka bumi, aku akan menjadi manusia pertama yang terdampak sampai mati. Baiklah, hanya khayalanku semata. (Aku pikir) Tuhan akan mengizinkan aku bercanda sesuka hati, hanya untuk hari ini.
Bagaimanapun, aku tetap manusia yang gemar meminta. Katakanlah pagi ini aku bangun dengan mata sepat dan sedikit tambahan kesadaran teologis. Alih-alih meminta rumah, mungkin kita bisa memohon agar hunian yang kita miliki terasa lebih hangat. Daripada meminta badan kurus, mungkin aku akan memohon keteguhan hati agar kuat mengitari lapangan Renon sebanyak tujuh kali setiap dua hari.

Maka, apakah aku sedang menunggu hari baik untuk bersyukur, berterimakasih, kemudian meminta? Kecuali lambung yang sudah penuh terisi, setiap organ tubuhku juga menanyakan pertanyaan yang sama.

Terima kasih.

29 Agustus 2016

On 07.34 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Jadi begini. Saat ini aku sedang mengalami kondisi yang rumit untuk dijelaskan. Hari ini seharusnya aku berada di tempat yang jaraknya sepuluhribuan kilometer dari titikku duduk saat ini, mengikuti hari pertama preparatory course, kuliah persiapan, untuk studi lanjutanku. Sayangnya, beberapa hal memang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Visa yang nilainya setara dengan lampu hijauku untuk memasuki Berlin belum kunjung tiba, sudah lewat dua bulan lamanya. Kata para pendahulu exberliner, adalah sebuah keajaiban bila visa Berlin granted sebelum delapan minggu. Sayang sekali aku bukan orang terpilih yang bisa merasakan keajaiban tersebut. 

Bukan masalah besar sebenarnya. Hal-hal semacam ini bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup kita. Keresahan semacam hari pertama menstruasi dan dengan bodohnya ternyata tidak menyiapkan satu pembalut pun di dalam tas. Untuk orang dengan siklus haid yang seperti musim dingin di Eropa akhir-akhir ini, tidak teratur, siapa yang tahu akan mens hari ini? Kekesalan yang serupa ketika memaksa diri bangkit dari tidur siang yang nyaman demi meluncur ke Pantai Kuta untuk sekian menit menikmati matahari terbenam dan ternyata mendung menertawakanmu dari batas langit dan laut. Siapa yang mengira awan hujan lebih superior sore ini? Seperti halnya yang sering aku bisikkan pada diriku di sela nada sumbang menyanyikan bait All I Ask milik Adele, "Beberapa hal ada di luar kendali kita. Nikmati saja." 

Aku menerima. Aku menunggu. Namun udara di bawah langit biru bukan hanya milikku. 

Awalnya aku bahagia. Aku merasa mendapat perpanjangan waktu pada pertandingan dua kali empat puluh lima menit dimana sekalipun aku belum menyentuh bola. 

Hingga... 
Entah sejak kapan aku merasakan cemas dengan alasan yang terlalu kabur
Entah bagaimana aku mendapat segala macam mimpi buruk setiap kali aku tidur. 
Aku mendapati diriku mengecek surat elektronik setiap menitnya.  Kemudian kecewa. 
Aku mengikuti dorongan menghubungi setiap nomor yang kupikir akan menyelesaikan masalah. Kemudian meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah. 
Aku takut pulang. Aku menghindari berjumpa banyak orang. Aku ingin hilang. 
Aku ingin kembali bahagia. Tapi aku belum boleh bahagia sampai seseorang mengirim kabar dan berkata, "Ya, sekarang berbahagialah!" 

Maka adalah momen sekarang ini. Setimental moment, demikian pikiran sentimentil ini ingin menyebutnya. Momentum dimana segala hal menelusup masuk ke dalam hatiku yang saat ini statusnya semacam dengan ginjal yang kehilangan fungsi glomerulusnya. (Aku tidak bisa memikirkan kondisi yang setara dengan sindrom nefrotik untuk liver.)

Aku tidak yakin sedang mengakui apa. Atau berbohong pada siapa. 

Dan disinilah aku. Tidak kurang bahagia sama sekali. Bebas dari kecemasan walau seujung jemari. Berusaha memberi penjelasan. Untuk diriku sendiri. 

Diantara segala perasaan tidak nyaman, latte art yang meragukan. Mari habiskan isi cangkir ini dan kembali pada kegelapan yang nyaman.

26 Agustus 2016

On 01.47 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Mengecup kening. Mengelus kepala. Mengikat rambut. Membukakan pintu. Menahan pintu dengan ujung kaki. Menyentuh hidung. Menutup telinga dari angin dingin. Adalah sebuah daftar yang kamu reka semalam tadi. Masih belum rampung. Aku ingin membantumu melanjutkannya. Merapikan rambut belakang telinga yang berantakan. Memberantakkan rambut di puncak kepala yang sudah dirapihkan. Menyentuh minimal dua dari lima jari selama minimal tiga perempat detik di tempat umum. Membiarkanku menempelkan jari telunjukku dan menekankannya ke pipimu sesuka hatiku.

Aku gemas mendengarmu melafalkan segala hal yang dianggapmu akan melarutkan setiap sekat yang membatasi tiap partisi jantungku. Agar kisah ini berbelok mengikuti rima turbulensi yang romantisnya lebih dari sekadar murmur diastolik. Agar aku kehilangan arah, seperti biasa, dan berlarian menyaring oksigen yang tersisa sementara kamu akan menjadi satu-satunya yang mampu mengekstrakkannya dari udara. 

Malam kemarin, kelembaban udara terlalu pincang menuntut waktu ekstra mengusir partikel air yang menggelayut di helaian rambutku. Di malam yang lain, aku akan dengan senang hati menciptakan perdebatan kecil denganmu, sekadar melepaskan panas lewat pori-pori kulit kepala dan berharap argumenku menang melawan basah, atau paling tidak ada kehangatan yang melingkupiku setiap kamu mengalah. Namun malam kemarin mataku terlalu berat, dan lagi-lagi bila ini malam yang lain, maka aku akan pasrah membiarkan segala cair terserap bantal yang seharusnya mengalasi kepalaku. Dengan tak absennya kamu, aku tidak bisa begitu. 
*   *   *
Aku suka jemari yang menelusup rambutku hingga sedikit mengeksitasi ujung serabut sarafku. Aku suka hembusan angin hangat dari alat pengering yang mengitari bagian atasku tanpa pola. Ini jauh berbeda dari rutinitas di salon kecantikan yang kadang aku kunjungi. Kecanggungan ini, ketidaksinkronan ini, kehati-hatianmu yang tidak beralasan, segala keanehan yang anehnya aku nikmati selama sekitar lima menit itu membawaku pada paradoks: aku ingin pengering rambut itu tidak mengusir basah rambutku. Tentu saja itu aku, paradoks yang sama yang mengusirmu tiap kali aku rindu. 

Apakah aku orang pertama yang kamu sisiri sepanjang hidupmu? Sejenak aku pikir kamu sedang melafalkan mantera tertentu dengan sisir yang sekiranya berfungsi sama dengan tongkat sihir. Aku bisa merasakanmu menahan napas. Aku bisa membayangkan otot interfalangmu memendek hingga sisir itu nyaris lepas. Aku dihantam geli sekaligus ingin menghayati. 

Lain kali aku ingin kamu sisiri lagi. 
Lain kali aku ingin kamu lagi. 
Lain kali lagi. 
Semoga selalu ada lain kali. 

Selamat ulang tahun, Multi-purposed Partner. 


24 Agustus 2016

On 17.50 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Konon katanya, dalam salah satu dari 13 partisi Confessions, St. Augustine mempertanyakan sebuah retorika massal;
apa itu waktu? 
Ternyata teka-teki gasal, universalitas yang belakangan menyerah pada fisika, benda-benda kosmotik, hingga teori psikologis, telah hadir dan dipertanyakan sejak masa 400 tahun sebelum masehi. Atau mungkin lebih tua lagi. 

Tenang saja, kita akan menyerah dari mendefinisikan waktu, tidak akan ada kutipan mengenai perdebatan Plato dan Aristoteles mengenai hal apapun itu. Mereka melelahkan, lagipula manusia modern masa kini sudah cukup manusia, bahkan dengan mengakuisisi peran sebagai obyek proyeksi dari argumen-argumen yang tak ada habisnya. 

Bicara tentang menjadi manusia modern, seseorang ini terpaku pada lantunan Titi Kala Mangsa, memantik paradoks tentang konsep jadul-modern, menunggu-ditunggu, menunggu-meragu. 


Ya, seseorang berusaha mengalihkan keringat samar dan gemetar tipis yang mengikuti beberapa mimpi buruknya akhir-akhir ini. Menyenangkan mengetahui salah satu pengalihannya adalah linimasa Sujiwo Tejo yang mengaburkan dua hal yang jauh jaraknya: jancuk dan aksiologi cinta. [Seseorang itu kini hampir mengimbangi ke-jancuk-annya. Kegilaan yang menenangkan seperti senja. Ada latar nada Pada Suatu Ketika, kelima kalinya.]
*   *   *
Entah studi ilmiah macam apa yang dirampungkan oleh Albert Camus (tidak semua orang hidup untuk menggemari filsafat Perancis) hingga ia berakhir pada simpulan bahwa hidup manusia itu absurd. Di sini, seseorang menolak untuk setuju. 

Sebagai seseorang yang tengah menunggu dikala ia tak ingin menunggu, persepsi rutin pagi harimu akan berwujud waktu yang melambat, memuai, terhenti, dan di saat yang sama ia berlari, mengejar. 
"Sudahlah Id, seberapa kalipun seseorang ini terbanting secara egosentris, tetap tidak akan membiarkanmu meraih ippon." 
Bukankah Mother Teresa juga dibuat menunggu sebelum menjadi malaikat yang kita kenal hingga hari ini? Abaikan, hanya sebuah interpretasi kasar yang terpungut dari alinea-alinea dalam Come Me by Light.

Di antara makna yang terpostulasi dari segala tunggu, seseorang berusaha memberi ruang dan arti seni pada meragu. 

Rentang Tunggu, 25 Agustus 2016
(Dengan janji atas sebuah penjelasan yang mudah-mudahan akan seseorang ini tepati). 

17 Agustus 2016

On 06.59 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Pada sebuah koordinat di atas bumi,
titik pertemuan bujur yang melintang hari.

Melekat pada kulit berpori, bergeser mengikuti gurat sidik jari.
Bulir pasirlah yang menegaskan eksistensi mereka, wahai Pencari Jati Diri. 
Pada hakekatnya mereka hanyalah isyarat musim, yang dengan cerdik menipu waktu tidur para peri.  

Para bulir bergesekan;
"Rasakanlah mereka, hanya pada gelap malam mereka jumawa bersombong diri."
"Aku hanya merasakan hangat yang keluar dari celah mikro yang jumlahnya menandingi kita."
"Seberapa sering kamu menempeli bentuk kasat dari asmara?"
"Akh, iya.. Ini pertama kalinya."
"Jadi, mereka siapa?"

Sesaat senyap, seiring kurva liar lemparan bola Poké yang bertubi. Ada hati yang tertangkap lepas berulang kali.

"Hari berganti... "
"Kenapa mereka masih disini?" 
"Bibir pantai sudah muak melihat cinta sepanjang hari,  dan mereka akan bertahan sampai dini?"
"Sudahlah, abaikan saja. Hanya malam dan kita yang mereka punya dan mungkin mereka bukan selamanya."

*   *   *

Aku sungguh tak ingin berlalu. Ketika dirimu beranjak dan mengibas sisa pasir di tubuhmu, sesaat aku pikir aku mendengar bisikan mereka, membicarakan kita. Kemudian kita usai, sepasang kelomang yang menyaru di balik malam. 

Sudahlah. Mungkin tidak ada hari esok. Atau mungkin ada. 

15 Agustus 2016

On 10.11 by anya-(aydwprdnya) in , ,    2 comments

Masa sebelum kamu, aku bukan pengemar masakan kepiting. Bukan karena tidak suka rasanya (sesungguhnya lebih dari suka), melainkan karena tidak suka kerepotan yang ditimbulkan oleh cangkangnya.  Aku bukan orang yang memuja kerumitan ekstra untuk hal yang sederhana,  masalah makan adalah salah satunya. Makan adalah aktivitas memanjakan diri,  dengan catatan tidak dilakukan sendiri.  

Sebuah kalimat yang entah terpungut dari mana, aku menyukai dan menyetujuinya; dua hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah kelaparan dan sendirian.  Diferensiasi dari premis tersebut adalah aku tidak suka makan sendirian (dimana logika?) 

Masa dengan kamu di dalamnya, adalah sebuah kenyamanan tersendiri untuk menikmati rasa daging kepiting tanpa kerumitan yang aku sebutkan tadi.  Seperti layaknya pada berbagai latar cerita yang berbeda,  ada kamu, voila! masalahku sirna. Pertanyaannya adalah,  apakah segala masalah memiliki tingkat kebebalan setara cangkang kepiting masak telor asin? 

Masa dengan kamu yang masih bergentayangan di dalamnya, mohon izin membuatnya jelas dan sederhana. Aku dan kamu dan kepiting dan makanan lainnya dengan diameter radius terbentuk tak lebih dari seratus dua puluh sentimeter. Dalam lingkaran itu, aku adalah pemuja sederhana yang memandangimu berjuang memutus, menekuk, menggigiti,  memecahkan lapisan kitosan yang berwarna oranye kemerahan. Aku menunggu, sepasif koala menanti bergantinya hari, dengan kamu adalah lembaran eucalyptusku. Eucalyptus yang ritmik melakukan gerakan menaruh daging kepiting di atas alas makanku. Sedap, bukan lagi rasa yang terkecap lidah, melainkan sensasi yang menyeruak sedikit agak di bawah.  

Kepiting salju,  kepiting papua,  kerang merah,  kerang bambu,  kerang darah,  kepiting bakau,  betina,  rajungan.  Celotehanmu. 

*   *   *

Packing

Sejauh apapun, selama apapun, bagiku tak pernah mudah. Kadang melihat daftarnya saja membuatku lelah. 

Malam ini, di hadapan koper yang masih tidak karuan, aku tak bisa berhenti memikirkan kamu dan cangkang kepiting yang bertebaran. 

Ps. Special thanks to Onyun and Robert and my superb gank, Gembulz, Nessya, Pera, Rikco (and his plus one) and Kodok.  You've made my night yesterday so I got some 'extra packing spirit'  this whole day and night.  

22 Juli 2016

On 01.16 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Throwback time to four years ago.
Bukan masa yang terlalu dirindukan, aku masih dengan setelan merah muda pada kebanyakan hari dalam satu minggunya, terkadang setelan hijau tua saat tugas ruang ok. Koas. Lab kedua, bedah.


Banyak hal yang entah penting atau tidak namun sangat membekas di otakku selama koas. Ini salah satu hal penting-tak-penting yang aku maksud. Aku ingat itu hari Senin, stase bedah toraks kardiovaskuler, tugas di instalasi bedah sentral ruang ok 1, di hadapan seorang pasien yang sedang menjalani AV shunt. 

Aku (A)
Oknum Residen Bedah Kala itu (ORBK)
ORBK: "Lab keberapa, Dik?"
A: "Kedua, Dok."
ORBK: "Oh, baru..."
[Senyap dengan latar suara monitor, kadang diselingi dengan basa-basi diantara dentingan perangkat baja stainless]
ORBK: "Kenapa jadi dokter? Ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga."
A: ...(diam, tidak siap dengan pernyataan yang seperti tendangan Si Madun, jatuhnya dari langit)
ORBK: "Dokter cewek paling banter kerja Puskesmas. Mentok lagi praktek di rumah. Atau sekolah kedokteran buat naikin pasaran? Buat nyari suami?"
Sesaat aku pikir jangan-jangan sebuah scalpel telah dengan tidak sengaja mampir ke badanku. Pernyataan (atau pertanyaan) dari sejawat yang lebih senior tersebut membuat luka. Entah dimana. Senyum pahit yang aku paksakan juga sia-sia, aku lupa kami semua di ruangan itu memakai masker. Aku sulit menerima bagaimana ia bisa dengan ringan mengatakan hal yang tidak berdasar sambil berkonsentrasi memilah pembuluh darah. Beberapa minggu setelahnya, melewati berbagai operasi sebagai observer ataupun asisten, aku simpulkan bahwa trepanasi dini hari saat stase bedah saraf pun rasanya tidak selama menyambungkan arteri dan vena di hari Senin itu. Walaupun sejawat adalah saudara, kadang ada saudara yang enggan kita temui beberapa waktu lamanya.

*   *   *
Tentu saja ini bukan tentang dendam, aku bahkan lupa nama beliau yang telah menyakitiku kala itu. Aku adalah orang yang mudah memaafkan. Ini justru tentang rasa terima kasih yang tertunda sekian lama.

PERTAMA.
Apa yang salah dengan menjadi seorang ibu rumah tangga? Apa sosok gempal, berminyak, kurang menyisir rambut, dalam balutan daster motif kembang...apa itu identifikasi ibu rumah tangga di kepala kita? Kemudian apa yang salah dengan sosok gempal, berminyak, kurang menyisir rambut, dalam balutan daster motif kembang, bila ternyata pada sosok semacam itu kita pernah menyusu sampai kenyang dan oleh sosok semacam itu kita pernah disuapi sampai gila? Kalaupun ada capaian yang sangat aku inginkan, sosok sempurna yang sekiranya bisa aku dambakan, adalah menjadi dokter yang ibu rumah tangga. 

KEDUA.
Menjadi dokter Puskesmas, praktek swasta di rumah...akankah kemana kita pergi nanti akan membedakan makna sumpah yang pernah kita lafalkan, Sejawat? Dulu aku mungkin sesederhana itu, aku suka anak-anak, aku ingin menjadi dokter anak. Sampai sekarang pun aku belum sepenuhnya menanggalkan cita-cita tersebut. Namun dalam tahun pendidikan yang aku jalani,belakangan aku sadar, aku jauh lebih suka melihat anak yang sehat ketimbang berhadapan dengan anak yang sakit. Aku masih sederhana, namun dalam konteks yang jauh berbeda, muncullah ketertarikan pada kedokteran preventif; aku ingin membuat mereka bertahan sehat. Ketika aku lebih jelas melihat sebuah puncak besar, maka aku harus lebih matang memilih batu landai mana yang aku pijak terlebih dahulu agar ketika tiba di atas sana, aku yakin tidak akan terlalu lelah dan masih bisa menikmati segala yang bisa dilihat dari ketinggian. (Esensi paragraf ini aku kutip saat menjawab pertanyaan interviewer pada seleksi wawancara LPDP tahun kemarin. Mungkin kenaifan tidak terduga macam ini yang dikombinasikan dengan muka kuyu akhirnya menyentuh hati interviewer.)

KETIGA.
Menjadi dokter=menaikkan derajat=memperlancar urusan mencari suami? oh, come on! Hanya pemikiran yang sempit yang mengembangkan ide demikian. Mungkin Sejawat, waktu itu Anda kurang makan lalapan lesehan dan main pasir di pantai. Pernah dengar cerita saat berjas putih orang kadang terlalu sungkan untuk mendekati kita? Melihat dari sudut pandang yang lain, mungkin dengan memutuskan menjadi dokter aku justru melewatkan banyak calon jodoh hanya karena sungkan. Jadi berbahagialah, apapun itu, harga kita tidak akan pernah ditentukan oleh profesi, melainkan oleh sesuatu di dalam sini *tunjuk dada*.

Ah, pada akhirnya aku lega telah menuliskannya. Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan keputusanku melanjutkan studi master di luar negeri. Banyak yang mempertanyakan kekonkretan "barang" yang akan aku pelajari. Tentang Jerman dan studi, akan ada cerita tersendiri. Pada tulisan ini aku hanya ingin secara resmi berterimakasih pada Oknum Residen Bedah Kala Itu. Luka yang pernah terasa mencoreng harga diriku ternyata justru selalu mengingatkan bahwa aku jauh lebih baik dari itu.

Salam. Peace, love, begaul. [Sedikit merindukan seragam pink.]

13 Juli 2016

On 09.41 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Filmnya tentang cinta, tapi aku menulis tentang bantal. 
Aku tipe orang yang tidur tanpa bantal. Kalau pun aku punya bantal, keberadaannya hanya demi estetika semata. Kali ini sedikit perasaanku, tentang....bantal. Ya, tentang bantal.


Ada tapi tak makna
Di sana namun bukan utama.
Tidak semua bantal berdampingan dengan dipan
Kadang eksistensi patah, jauh dari harapan.

Pada suatu malam ia menyangga mimpi.
Hanya suatu, menyisakan lelap yang tak pernah kembali.
Di malam lain, ia hanyalah sarang di balik sarung,
Dalam sunyi yang tertahan meraung.
Pelukan getir saat sendiri saja,
amarah liar untuk tak jumpa yang terlalu lama

Ketika pun ia terakui di belahan hari yang tak sama.
Tak akan pernah ia menjadi apa yang dirinya.
Mengganjal lengan,
Mengganti teman,
Menyangga buku,
Menakuti kucing yang siluetnya lewat di balik pintu.

Bantal ada, kadang sekadar mengisi ruang agar tak hampa

Jangan menjadi bantal,
jangan menjadi kenangan.

*   *   *

Aku baru saja pulang setelah movie session with the genk. Koala Kumal, film komedi untuk yang patah hati, demikian katanya. Seharusnya aku bukan bagian dari pangsa pasarnya Raditya Dika, hanya saja entahlah, hati ini juga mulai mengalami retak rambut. 

Retak yang aku yakin tak tertutupi walaupun dipoles cat Dulax edisi palet warna Mediteranian sekalipun. Aku hanya ingin punya lebih banyak waktu bersama, sindroma wajib yang muncul setiap kali sadar waktu kita tak lama.

Berpisah bisa kapan saja,
yang melukai adalah setiap rasa ketika salah satu dari kita tidak disana. 
#baper#senengtapisyedih#prefarewell#earlyfarewell#yoknextmeetup


30 Juni 2016

On 22.07 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Good People
Jack Johnson 
Well you win/ it's your show now/ So what's it gonna be/ 'Cause people will tune in/ How many train wrecks do we need to see
(Today I choose this song with all of my heart as literal person.) 


*   *   *
Saat menemukan hari libur sama sulitnya dengan mencari needle 26G diantara tumpukan jerami, penulis banyak mengeluh tentang hidup. Setelah akhirnya dihadapkan pada lembaran organizer bulan Juli yang nyaris kosong, ternyata penulis juga masih mengeluh. Ya, duduk manis di depan televisi memang bukan aktivitas favoritku. Awalnya aku pikir menyenangkan, tapi belakangan menonton televisi bisa jadi lebih melelahkan daripada jaga sore di hari Senin.
.../ Where did all the good people go/ I've been changing channels/ I don't see them/ On the TV shows/ ....
Jack Johnson berselancar, menekan gulungan ombak salah satu pantai di Hawaii yang lebih terlihat seperti Pantai Kuta (semata-mata karena keterbatasan daya khayal penulis). Anehnya, ia tetap seimbang dengan sebelah tangan menenteng sebuah gitar. Lebih anehnya lagi, gitar tersebut tidak dimainkan, namun suara ombak seketika senyap digantikan suara berat syahdu dari Jack sendiri, mempertanyakan orang-orang baik yang mungkin pernah ia temui. Akh, seandainya Jack pernah berjumpa penulis. Entah dari mana, George the Curious Little Monkey datang, bertepuk tangan demi memeriahkan pertunjukan Jack. Suara Jack berulang-ulang seperti loop playlist, menghipnotis semua penyimak, dengan diamplifikasi angin di awal bulan Juli. Dunia damai. Keesokan harinya, sinetron dengan lebih dari 30 episode, infotainment, acara alay tipu-tipu, dan seluruh kejahatan dimuka bumi dikabarkan punah. 



Tiba-tiba salah satu pisang milik George terlempar mengenai wajah penulis, hingga ia tersadar, empat halaman folio penuh keluh kesah bumi minggu ini mulai dari vaksin palsu, korupsi (tiada pernah habis), Brexit, LGBT, cerita lama isu HAM yang selalu baru, konflik guru-siswa, perseteruan polisi-Jack mania, terapi kanker terbaru, sampai iklan OLX untuk koper murah, terganti begitu saja dengan sebuah EARGASM. Yah, dunia mungkin menyeleksi alam manusia yang terlalu banyak bicara (baca: mengeluh) dan mempertahankan mereka yang betah mendengarkan.
They got this and that/ With a rattle of tat/ Testing, one two/ Man what you gonna do/ Bad news, misused/ Got too much to lose/ Gimme some truth/ Now whose side are we on/ Whatever you say, turn on the boob tube/ I'm in the mood to obey/ So lead me astray, and by the way now
Bersama Jack Johnson, aku terus bertanya-tanya:..../Where did all the good people go?
Padahal seharusnya aku tahu, good people masih ada di depan televisi, menonton channel NetTV.

28 Juni 2016

On 22.28 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Jelas ini bukan salah satu ekspresi penduduk Indonesia yang latah euforia tahu bulat. Apalagi download permainannya di Google Store kemudian autis menyentuh layar gadget secara repetitif seharian. Apalagi kalap dan murka karena tidak menemukan soundtrack tahu bulat di list lagu saat karaoke *banting mic*

Tahu.../Bulat.../Digoreng dadakan/Di mobil/Limaratusan/Anget-anget/Gurih-gurih/ Enyyyoyy....//

Tentang tahu, dan tentang apapun di muka bumi, bila diniatkan untuk dikaji secara serius maka akan serius af. Karena ini astigmatism, maka aku tidak akan membahas kaitan antara kebulatan tekad tahu bulat dengan hukum termodinamika. Jauh lebih serius dari itu, secara pribadi, sepak terjangku mendiskreditkan takdir, jodoh, dan semacamnya sirna semenjak aku mengenal tahu bulat.

*   *   *
Sejarahnya berawal dari masa beberapa tahun ke belakang, mengambil latar negeri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. *self slap* Hanya salah satu kesempatanku berkunjung ke Jogja tepatnya di Alun-Alun Kidul. Tujuan utama adalah makan cilok sambil lesehan dan menantang diri lewat diantara dua beringin. Kali pertama, aku gagal. Gagal adalah pangkal lapar, daya ganjal cilok pun sirna, dan hatiku jatuh pada dua mas-mas berkeringat di atas sebuah mobil model pick up. Rasa tahu bulat pertama di lidahku, dan aku suka.

Keesokan harinya aku ke Alkid lagi, motivasinya jelas: bertemu tahu bulat. Namun malam itu aku pulang dengan kecewa, mobil pick up itu, mas-mas itu, tahu bulat...aku gagal menemukannya.

Skema teknikal beberapa jenis penganan tahu (sumber dari grup Telegram yang aku juga lupa, maafkan)

Belum setahun, aku punya kesempatan lagi berkunjung ke Jogja. Diburu waktu, tapi aku tetap merasa wajib mendatangi alun-alun. Mencoba melewati dua beringin dan gagal lagi, aku ingin benar-benar napak tilas perkenalan historikalku dengan tahu bulat. Ia, tahu bulat, lagi-lagi tidak disana. Aku menggali informasi kesana-kemari (sesungguhnya aku hanya bertanya pada rumput yang bergoyang sepupuku yang tinggal disekitar sana). Kabar burung mengatakan penjual tahu bulat alun-alun itu suka berpindah tempat. Isu di jalanan bilang penjual tahu bulat serupa mangkal di depan sekolah dasar di jam-jam istirahat sekolah. Tapi layaknya cinta pertama, aku hanya menginginkan dia. Tahu bulat di Alun-alun Kidul di petang hari berwahanakan mobil pick up dengan mas-mas yang nangkring menggoreng tahu di atasnya sesaat setelah aku melewati dua beringin dengan mata tertutup. Aku kecewa, di saat yang sama aku mulai meyakini bahwa takdir itu ada. 

*   *   *
Berselang tak lebih dari setahun sejak aku mulai percaya takdir, aku terdampar di seputaran jalan Thamrin, Jakarta. Bingung karena tidak menemukan minimarket karena aku perlu membeli sikat gigi, aku merasa lebih mirip gelandangan di rimba Jakarta (so literal ya, mengingat kucelnya wajahku petang itu). Perjalanan kembali ke hotel, tanpa disangka aku bertemu dengan penjual tahu, dan senangnya karena komoditas dagangnya ternyata memiliki bentuk...BULAT! Senang, riang, girang...hingga aku sadar ini hanya perasaan sesaat. Tahunya memang bulat, tapi tanpa mobil pic up, juga tidak ada hawa-hawa panas dari wajan penuh minyak, dan ini bukan Yogyakarta. Ini seperti bertemu seseorang yang mirip dengan cinta pertama kita, dan menyadari bahwa itu bukan dia, dan kamu tetap membelinya. 

Ada rasa berbunga, tapi tak sama.
Ada rindu yang nyaris tersampaikan tapi tak bisa.

Cinta pertama yang rasanya tak pernah sama.
Saat di kamar hotel aku menikmati tahu bulat sambil menonton channel National Geographic yang tengah memaparkan kisah ikan predator terkuat di muka bumi. Keduanya, rasa tahu bulat dan tayangan tentang ikan, sama-sama tidak bisa mengisi kekosongan hatiku.

*nyanyi Jakarta Ramai*belagak Maudy Ayunda*pokoknya soundtrack selama di Jakarta*duet sama abang Uber*ganggu sopir bajaj pake suara fals.


Katanya takdir dan jodoh sudah diatur oleh-Nya. Katanya cinta pertama harus dikejar.
Yah, untuk tahu bulat dan cinta pertama lainnya.

Salam.

16 Juni 2016

On 05.12 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
TILL WE MEET AGAIN

"Aku takut setelah hari ini kita tidak menemukan waktu lagi."
"Aku takut perpisahan ini tidak terjadi berkali-kali."

Ketakutan adalah tatapan yang bila diulang tak lagi sama
Ketakutan adalah kesempatan yang terlalu langka, bahkan untuk dikarantina
Ketakutanku adalah tidak mengucapkan selamat tinggal dengan sempurna.

Karena sepucuk rasa takut, maka terambillah sebilah pisau paling tajam yang ditempa dengan rasa yang paling keras dan buta. Tanpa memalingkan muka, sebuah gerakan pasti memenggal satu-satunya tali yang memegang bulan agar tetap dalam tatapan.

Hari kemarin kataku mengikhlaskan.
Hari ini katamu kita biarkan. Riuh, rendah, redam. 

Bulan tenggelam. Segera lenyap dari jangkauan, bergegas memasuki lapang pandang mata yang lain.
Satu, dua menanti, namun bulan tak kembali, karena ini adalah masa bulan mati.
Air pasang akan mengingatkan setiap insan di pinggiran.
Penanda masif oleh bulan di sepanjang Pantai Selatan
Yang bahagia, tak menginginkan apa-apa
Yang menanti, mengukir pasir sambil malu-malu menyentuh ombak yang meninggi.

Seekor burung ingin menanti.
Gaung dari karang berteriak, "Pergi!"
Waktumu tak sisa, aku masih ingin bersama
Waktuku memuai, namun takut tak akan terbuai.
Di bawah hujan, 
Pisau di tanganku masih sama tajamnya. 

[Hanya karena tiga hari ini langit secara konstan meneteskan batangan jerami, bukan jaminan bahwa rasa yang terbabat habis tak kan tumbuh lagi.]

12 Juni 2016

On 09.32 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
KODALINE
All I Want

Kesedihan juga bisa dipresentasikan, secara indah.

Setiap orang ingin menjadi istimewa, namun banyak yang menolak untuk berbeda
Setiap orang memilih untuk menjadi unik, namun masih ragu dilabeli tak sama.
Percayalah, segala istimewa, beda, unik, ketidaksamaan...enyah seketika begitu kau ditabrak cinta.



All I want is nothing more// Than to hear you knocking at my door//'Cause if I could see your face once more// I could die a happy man I'm sure

When you said your last goodbye// I died a little bit inside// I lay in tears in bed all night// Alone without you by my side

But If you loved me// Why'd you leave me?// Take my body// Take my body

All I want is// And all I need is// To find somebody// I'll find somebody like you

So you brought out the best of me// A part of me I've never seen// You took my soul and wiped it clean// Our love was made for movie screens

But If you loved me// Why'd you leave me?// Take my body// Take my body// All I want is// And all I need is// To find somebody// I'll find somebody

If you loved me// Why'd you leave me?// Take my body// Take my body// All I want is// All I need is// To find somebody// I'll find somebody like you

Angin mengabarkan bahwa seseorang bekerja terlalu keras akhir-akhir ini. Kodaline hanya memfasilitasi sebuah visualisasi tentang manusia yang menghabiskan jam-jamnya dalam kubikel yang kasual kita sebut sebagai 'jam kerja'. Aku, kamu, kita...membayangkannya saja mengingatkanku pada sosok lusuh yang kulihat setiap hari di dalam cermin sebelum kudandani menjadi sosok yang kurang lusuhnya. Akh...apa waktu kita terlalu sempit untuk sebuah cerita cinta?



Dua partisi video Youtube.
Aku lebih suka part I, walaupun tanpa wajah tampan kalian, aku lebih suka cinta yang (sedang) mulai bersemi. Aku kurang suka part II, lebih karena hatiku terasa berat sepanjang Digby berkeliaran di luar rumah. Terimakasih karena akhirnya ia bisa pulang kembali. Bila tidak, kalian yang pulang saja ke Irlandia atau kembali menjadi 21 Demands!

Dua menit pertama cukup untuk merampungkan kompilasi perasaan negatif yang ditransfer lewat Whatsapp; 
Perasaan tak berbalas,
Kasih tak sampai,
Hubungan yang kandas,
Kekalahan,
Penyesalan,
Maaf yang tak tersampaikan,
Kegagalan,
Penolakan.
Mendengarkannya berkali-kali membangkitkan afek depresi...dengan indah.