Defect, anomali...and perspective

28 Juni 2016

On 22.28 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Jelas ini bukan salah satu ekspresi penduduk Indonesia yang latah euforia tahu bulat. Apalagi download permainannya di Google Store kemudian autis menyentuh layar gadget secara repetitif seharian. Apalagi kalap dan murka karena tidak menemukan soundtrack tahu bulat di list lagu saat karaoke *banting mic*

Tahu.../Bulat.../Digoreng dadakan/Di mobil/Limaratusan/Anget-anget/Gurih-gurih/ Enyyyoyy....//

Tentang tahu, dan tentang apapun di muka bumi, bila diniatkan untuk dikaji secara serius maka akan serius af. Karena ini astigmatism, maka aku tidak akan membahas kaitan antara kebulatan tekad tahu bulat dengan hukum termodinamika. Jauh lebih serius dari itu, secara pribadi, sepak terjangku mendiskreditkan takdir, jodoh, dan semacamnya sirna semenjak aku mengenal tahu bulat.

*   *   *
Sejarahnya berawal dari masa beberapa tahun ke belakang, mengambil latar negeri Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. *self slap* Hanya salah satu kesempatanku berkunjung ke Jogja tepatnya di Alun-Alun Kidul. Tujuan utama adalah makan cilok sambil lesehan dan menantang diri lewat diantara dua beringin. Kali pertama, aku gagal. Gagal adalah pangkal lapar, daya ganjal cilok pun sirna, dan hatiku jatuh pada dua mas-mas berkeringat di atas sebuah mobil model pick up. Rasa tahu bulat pertama di lidahku, dan aku suka.

Keesokan harinya aku ke Alkid lagi, motivasinya jelas: bertemu tahu bulat. Namun malam itu aku pulang dengan kecewa, mobil pick up itu, mas-mas itu, tahu bulat...aku gagal menemukannya.

Skema teknikal beberapa jenis penganan tahu (sumber dari grup Telegram yang aku juga lupa, maafkan)

Belum setahun, aku punya kesempatan lagi berkunjung ke Jogja. Diburu waktu, tapi aku tetap merasa wajib mendatangi alun-alun. Mencoba melewati dua beringin dan gagal lagi, aku ingin benar-benar napak tilas perkenalan historikalku dengan tahu bulat. Ia, tahu bulat, lagi-lagi tidak disana. Aku menggali informasi kesana-kemari (sesungguhnya aku hanya bertanya pada rumput yang bergoyang sepupuku yang tinggal disekitar sana). Kabar burung mengatakan penjual tahu bulat alun-alun itu suka berpindah tempat. Isu di jalanan bilang penjual tahu bulat serupa mangkal di depan sekolah dasar di jam-jam istirahat sekolah. Tapi layaknya cinta pertama, aku hanya menginginkan dia. Tahu bulat di Alun-alun Kidul di petang hari berwahanakan mobil pick up dengan mas-mas yang nangkring menggoreng tahu di atasnya sesaat setelah aku melewati dua beringin dengan mata tertutup. Aku kecewa, di saat yang sama aku mulai meyakini bahwa takdir itu ada. 

*   *   *
Berselang tak lebih dari setahun sejak aku mulai percaya takdir, aku terdampar di seputaran jalan Thamrin, Jakarta. Bingung karena tidak menemukan minimarket karena aku perlu membeli sikat gigi, aku merasa lebih mirip gelandangan di rimba Jakarta (so literal ya, mengingat kucelnya wajahku petang itu). Perjalanan kembali ke hotel, tanpa disangka aku bertemu dengan penjual tahu, dan senangnya karena komoditas dagangnya ternyata memiliki bentuk...BULAT! Senang, riang, girang...hingga aku sadar ini hanya perasaan sesaat. Tahunya memang bulat, tapi tanpa mobil pic up, juga tidak ada hawa-hawa panas dari wajan penuh minyak, dan ini bukan Yogyakarta. Ini seperti bertemu seseorang yang mirip dengan cinta pertama kita, dan menyadari bahwa itu bukan dia, dan kamu tetap membelinya. 

Ada rasa berbunga, tapi tak sama.
Ada rindu yang nyaris tersampaikan tapi tak bisa.

Cinta pertama yang rasanya tak pernah sama.
Saat di kamar hotel aku menikmati tahu bulat sambil menonton channel National Geographic yang tengah memaparkan kisah ikan predator terkuat di muka bumi. Keduanya, rasa tahu bulat dan tayangan tentang ikan, sama-sama tidak bisa mengisi kekosongan hatiku.

*nyanyi Jakarta Ramai*belagak Maudy Ayunda*pokoknya soundtrack selama di Jakarta*duet sama abang Uber*ganggu sopir bajaj pake suara fals.


Katanya takdir dan jodoh sudah diatur oleh-Nya. Katanya cinta pertama harus dikejar.
Yah, untuk tahu bulat dan cinta pertama lainnya.

Salam.

0 comments:

Posting Komentar