Defect, anomali...and perspective

3 September 2016

On 21.37 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
"Terima kasih. Terima kasih atas segala kerepotan dan keribetan yang telah terjadi. Atas segala pengorbanan, hari-hari yang menyenangkan, hutang yang jarang terbayarkan, dan hal-hal lain yang tidak tersebutkan. Juga untuk sensasi kelistrikan saat permukaan kulit saling menyentuh dan kelebatan rasa yang bertukar utuh."

Rasa syukur, cara menyampaikan terima kasih itu personal. Mungkin juga sama manusiawinya dengan ekspresi kewarasan (atau kegilaan). Hanya kadang-kadang saja, identifikasinya harus tidak melenceng dari norma, mengikuti kaidah yang disuapkan pada kita sejak taman kanak-kanak dengan nyanyian satu ditambah satu sama dengan dua. Belakangan otak kiriku malah meyakini bahwa bersyukur adalah salah satu cabang ilmu pasti, korelasinya adalah dengan berdoa sebelum makan dan refleksi hidup sesaat sebelum tidur malam. Tenang saja, di salah satu hari Minggu di tahun ini, hemisfer kanan akan mengganti sementara fungsi kiri yang kemarin malam lelah bermain bersama kafein.

Hemisfer kanan: Kita terlalu banyak menunggu untuk mengucapkan syukur. Menunggu momentum untuk diperingati, menunggu tanggal baik, menunggu hari cerah, menunggu perasaan indah.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Kita terbiasa mengacukan diri pada sesuatu, seperti utas benang yang terikat pada tiang pancang. Itu mempertahankan kita agar berada di radian yang bisa kita jaga. Tentang penanggalan, kita sepakat mereferensikan diri pada sistematika yang digagas Suku Maya.
Eritrosit: Sudahlah, waktu, momentum...semuanya relatif. Penting bagi kita bukan garansi kelangsungan hidup umat manusia, seberapapun kuat cita-citamu menyelamatkan dunia.
Hemisfer kanan: Hanya tiga bulan, waktumu hanya tiga bulan.
Eritrosit: Tiga bulan yang aku habiskan dengan berpetualang ke setiap sudut dari setiap organ yang kita miliki. Bahkan aku dan rekan seprofesiku yang berjasa agar kalian tidak hipoksia.
Paru-paru: Alveoulusku mengkerut karena aku terlalu bersemangat.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Harus kita akui, perkiraan kiamat tahun 2012 tidak terbukti. Mungkin penanggalan Maya memiliki titik lemah. Atau jangan-jangan, interpretasi kita yang salah.
Hemisfer kanan: Momentum ini, ketika setiap dari kita menjadi liar.
Eritrosit: Aku akan mampir dan bermain di sekitar jantung. Sampai jumpa.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Terima kasih untuk segala tingkat kesadaran. Terimakasih untuk setiap like dan kata 'amin'.
Hemisfer kanan: Kerandoman ini...terima kasih.
Anya: Sudah lebih dari tiga bulan aku belum mendonorkan darah.
[Maklumilah. Akhir-akhir ini aku banyak meracuni diriku dengan kerancuan http://theawkwardyeti.com/ dan belajar sarkasme http://explosm.net/. Di titik ini, aku mulai kecanduan.]

Keinginan yang tidak familiar yang aku dapati hari ini adalah mengenai bersyukur di setiap kini, berterimakasih pada setiap helaian napas. Sulit? Sangat. Kita terbiasa memintal helaian napas menjadi umpatan, makian, iri, dengki, patah hati. Terbiasa melihat jauh ke atas. Terbiasa merutuki dinding keras di depan kita. Aku memiliki kebiasaan yang sama, walaupun belum sampai pada tahap spam di setiap status di media sosial [Cek ig kita, Kakaaaakk... dan ya, aku sekarang dengan ig @anya_aydwprdnya. Sekian.] Kebiasaan bukan proyeksi cahaya yang mudah dibelokkan hingga muncul pelangi. Tapi sungguh aku ingin keluar dari kebiasaan yang sempit itu, aku perlu ruang yang lebih luas. Aku ingin merajut napas menjadi hal baik, mungkin bukan lembaran motivasi, tapi paling tidak bukan melankolisme negatif semacam sendiri di malam sabtu. Jikapun aku melihat ke atas, maka bukan pandangan super menembus stratosfer. Apalah arti cemburu, bila kita sama-sama memandang langit biru? Tentang dinding ini, hari ini akan aku sandari. Esok aku berencana memutar dan keluar lewat pintu samping. Masih sulit, namun terima kasih.

Terima kasih untuk hal yang terlihat maupun tidak.
Satu lagi tentang terima kasih yang mandatori.Hanya rasa sedap yang pantas disitasi dalam doa. Karena bait selanjutnya adalah tentang meminta.
Kata hemisfer kanan, mitos tentang meminta adalah dari tidak ada menjadi ada.
Ya Tuhan, berikanlah sebuah rumah
Ya tuhan, kirimkanlah sebuah mobil
Ya Tuhan, restuilah pengangguran ini sebuah pekerjaan
Ya Tuhan, sehatkanlah segala yang sakit.
Ya Tuhan..Ya Tuhan..Ya Tuhan...
...kemudian Tuhan marah, kesal karena setiap rajuk perihal meminta, keinginan dari tiada menjadi ada, hanya akan menambah sesak dunia. Sebagai hukumannya, cokelat akan berstatus punah dari muka bumi, aku akan menjadi manusia pertama yang terdampak sampai mati. Baiklah, hanya khayalanku semata. (Aku pikir) Tuhan akan mengizinkan aku bercanda sesuka hati, hanya untuk hari ini.
Bagaimanapun, aku tetap manusia yang gemar meminta. Katakanlah pagi ini aku bangun dengan mata sepat dan sedikit tambahan kesadaran teologis. Alih-alih meminta rumah, mungkin kita bisa memohon agar hunian yang kita miliki terasa lebih hangat. Daripada meminta badan kurus, mungkin aku akan memohon keteguhan hati agar kuat mengitari lapangan Renon sebanyak tujuh kali setiap dua hari.

Maka, apakah aku sedang menunggu hari baik untuk bersyukur, berterimakasih, kemudian meminta? Kecuali lambung yang sudah penuh terisi, setiap organ tubuhku juga menanyakan pertanyaan yang sama.

Terima kasih.

0 comments:

Posting Komentar