Defect, anomali...and perspective

26 Maret 2018


Hola! (baca: O-la!)

Mengambil advance course di Barcelona menjadi salah satu target jangka pendek sejak memulai perkuliahan. Iming-imingnya sungguh melemahkan iman; kotanya indah, makanannya enak, kuliahnya santai. Nikmat dunia mana yang ingin kau dustakan?! Maka sebagai insan saintifik, aku ingin mengumpulkan bukti empirik. Baiklah, intinya aku diterima di salah satu course di Universitas Barcelona dengan topik Under Nutrition and Food Security. Janji, tidak akan membahas materi perkuliahan di sini, sebagai manapun aku inginnya karena topiknya sangat menarik. Namun tak akan jauh dari itu, aku ingin bicara banyak bicara tentang hal-hal indah, termasuk dan terutama kuliner, selama aku di kota ini.
*   *   *
Bukan rahasia lagi bila kota ini identik dengan kemasyuran Antoni Gaudi dengan karya-karya arsitekturnya yang khas dan unik. Sebut saja Sagrada Familia yang fenomenal, Casa Mila, Casa Battlo, Park Guell...yang aku centang pada checklist dengan melihatnya dari luar saja (tiket masuknya mahal T.T). 


 

 


Namun, bukan hanya arsitektur bangunannya yang pantas disoroti. Catalunya juga juaranya arsitek makanan. Setidaknya, rasa makanannya sangat berterima di lidahku.

 





 








 










Harus meluangkan waktu memindahkan fragmen-fragmen dari evernote ke blogpost ini! #tekad

Carrier Trafalgar, sepanjang minggu kedua.




Hola! 

Masih dari Barcelona....lucunya, banyak hal mengingatkanku pada...rumah! 


Bagian kedua dari catatan edisi Barcelona ini lebih pada catatan pribadiku, yang penting sekaligus tidak penting, selama di berada di kota ini. 


  1. Jalanan di tengah kota Barcelona tidak bersudut. Bangunan yang terletak di titik temu antara dua jalan seperti dipotong atau di "di-crop". Aku sendiri tidak yakin alasan jelas di balik tata kota yang demikian rupa dimaksudkan untuk apa. Namun dari salah satu artikel yang pernah aku baca, konon dulunya pernah dicanangkan untuk moda transportasi tram dalam kota. Nah, karena tram membutuhkan radius lintas yang lebih lebar untuk berbelok, maka tercetuslah ide untuk "memotong" sudut-sudut blok. Kenyataannya hingga sekarang tram hanyalah sekadar wacana di kota ini. Konsekuensinya bagi pejalan kaki seperti aku, di setiap persimpangan kita harus melipir sedikit ke jalan berikutnya jika ingin menyeberang jalan.  
  2. Nah, perihal menyeberang jalan. Ini harus aku bahas karena tata cara menyeberangnya sangat Asia Tenggara (sebisa mungkin aku tidak menyebut sangat Indonesia). Menyeberang jalan di Barcelona, prioritas adalah toleh kanan-kiri, masalah lampu lalu lintas adalah nomor sekian. Untuk aku yang selalu bermasalah dengan menyeberang jalan (bahkan ketika masih di Bali, payah!) ini bukan berita baik. Beberapa kali aku merasa seperti orang bodoh karena menunggu tanda lampu hijau penyeberang jalan menyala. 
  3. Motor diparkir, helm ditenteng kemana-mana. Hm..sounds familiar? Ini akan terdengar berlebihan, tapi selama beberapa bulan terakhir sangat jarang aku melihat helm, apalagi yang ditenteng hingga masuk mall. Di Uni Barcelona, bahkan dosen-dosen juga memajang helmnya di meja depan sepanjang kuliah berlangsung. 
  4. Must-see-spots sampai do-not-pass-corners. Dikenal sebagai kota wisata, aku harus bilang kalau sebagian besar areanya terkesan sangat turistik. Bangunan-bangunan tua, bernuansa gotik akibat pengaruh pendudukan Romawi di masa lampau, hingga fokus pada karya-karya Goudi dengan gayanya yang khas adalah barisan yang muncul jika kita mengetik di google image "enjoy Barcelona". Upside nya, objek-objek tersebut mudah diakses dari dalam kota dan uniknya bercampur baur dengan hunian penduduknya. Di sini aku harus mengklarifikasi sedikit bahwa aku bisa dibilang turis yang sedikit melenceng. Tentu sebagai penggemar bangunan tua aku juga mengisi checklist spot yang wajib dilihat dan dikunjungi. Namun dalam dua minggu ini, aku meluangkan banyak waktu untuk melihat sisi yang jarang ingin dilihat (sebagiannya tentu akibat keahlian membaca peta yang sedikit di bawah rata-rata). Maka, bisa dibilang aku tamat menjelajahi kota Barcelona; indahnya, semaraknya, bersahabatnya, bahayanya, sepinya, bahkan sudut kumuhnya. Aku bisa bilang begitu karena pada suatu malam yang seharusnya aku menikmati waktu bersama teman-teman, alih-alih menikmati tapas aku malah tersasar ke antah berantah dengan ponsel tanpa daya, sampai pada satu persimpangan ditawari mariyuana. 
  5. Aku tidak bisa memilih, tentang di kota mana mariyuana lebih hakiki, Amsterdam atau Barcelona. Di kota yang kusebut kedua, observasiku, aku bisa mencium aroma mariyuana dimana-mana dan di waktu kapan saja. Di zebra cross sesaat di depan Plaza Catalunya saat berangkat kampus pagi hari, di tepi pantai Barceloneta di sore cerah, di pintu masuk atau keluar Metro...seperti kubilang sebelumnya, di mana-mana dan kapan saja. 
  6. Barceloneta sampai Nude Beach. Kata orang-orang, karena aku lahir besar di Bali, standarku akan keindahan pantai relatif tinggi. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Mungkin standarku juga fleksibel, ketika mengunjungi pantai namun pemandangan utamanya justru abang-abang berkeringat di gym area yang transparan, atau ketika jalan terus dan terus seakan tak tahu tujuan padahal tahu pasti bahwa di ujung sana adalah nude beach. Welcome to Barcelona!   😎
  7. Jam biologis yang anomali. Bagaimana mungkin aku bisa menyesuaikan waktu makanku dengan lokal Barcelona? Tubuhku tidak akan pernah paham. Makan siang normal di Barca adalah setelah lewat pukul 14.00 dan jangan heran jika jam 10 malam, tetangga di apartement baru mulai kelontengan masak untuk makan malam. Beberapa restoran atau rumah makan juga memiliki jam operasional yang 'ajaib'.    
  8. Kota yang tak pernah dikejar waktu. Kata temanku, di Barcelona, tidak ada istilah pagi hari mengejar kereta dengan coffee to go di tangan. Dan memang benar, pagi terasa damai sekali, bahkan di jam berangkat kerja, kita masih bisa melihat orang-orang dengan tas kerja duduk manis menyeruput kopi di kedai sambil bercengkerama. 
  9. Kota yang memang tak berlari, namun juga sekaligus kota yang segera ingin sendiri. Adalah cerita panjang jika membahas mengenai asal muasal perjuangan kemerdekaan Catalonia dari Spanyol. Selama aku di sana pun masih kental aksi protes, unjuk rasa terhadap pemerintahan pusat. 
Daftar yang mungkin akan bertambah lagi.




    Placa Reial, 20 Maret 2018


    25 Maret 2018

    On 12.01 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

    Christening Little David
    [Satu momen lainnya dimana cinta kasih tidak mengenal teritori.]

    Saat aku menerima undangan di acara pembaptisan anak salah satu teman sekelas yang juga merupakan ponakan pertama bagi Charite MScIH kelas 2017, aku langsung bertekad akan datang. Jujur saja aku merasa melewatkan banyak hal selama dua minggu tidak berada di Berlin. Juga ketika aku tiba beberapa hari yang lalu, tiba-tiba semua orang yang aku kenal berada di luar kota, dan ada juga yang pulang ke Indonesia. Praktis, aku agak merasa sendiri. Hari kedua kembali ke kota ini aku melewatkan malam bersama teman-teman di pub sampai pubnya tutup. Sehari setelahnya aku menemani seorang teman lain ke acara ulang tahun yang menjerumuskanku ke sebuah pesta yang penuh dengan pengacara, hakim, prosekutor, dan lain-lainnya yang baunya serupa. Maka aku pikir, muncul di gereja di hari minggu pada momen bahagia seorang teman akan melengkapi kembalinya aku di sini (setidaknya agar berhenti mengeluhkan musim semi yang tidak nampak seminya.). 

    Bilingual New Testament
    yang aku beli dari toko buku 1 euro-an,
    yang sekarang sudah tutup :')
    Seperti yang telah aku akui di instastory-ku siang tadi, ini bukan pertama kalinya aku menyusup ke acara-acara di gereja. Sebagai salah seorang pengamat arsitektur bangunan tua amatir, gereja dan katedral menjadi salah satu tempat yang gemar aku datangi. Kalau masalah menyusup di waktu ibadah, hehe, ini karena perspektifku pribadi; selalu ada daya tarik magis tentang keindahan gereja di waktu ibadah. Perasaan yang sama dengan yang aku rasakan saat upacara piodalan di pura, vibrasi ketika mencermati sholat berjamaah di masjid, atau ritual persembahan di klenteng. Intinya aku suka. Selain bahwa aku adalah juga penggemar kisah-kisah dalam alkitab (aku baru menyelesaikan New Testament bilingual Englisch-Deutsch beberapa bulan kemarin) dan penikmat nyanyian pujian khas ibadah umat kristiani. Khusus seminar minggu pagi tadi plus christening bayi David, suasananya sedikit berbeda. Karena ini bukan service di gereja seperti yang biasa aku datangi (baca:susupi). Hm..kalau boleh dibilang, ini lebih privat.
    Penanda rumah ibadah Hausotterstrasse 25

    Aku yang datang terlambat dengan penuh keyakinan asal masuk ke ruangan yang aku suspek sebagai tempat berlangsungnya acara. Yang terjadi ketika aku masuk? Orang-orang terlihat kaget (yang mana aku juga kaget) karena jelas sekali secara penampakan anatomi aku tidak akan bisa menyaru di sana. Tempat ibadah ini lebih pada tempat ibadah komunitas, yang pengikutnya cenderung homogen yaitu penduduk sekitar dengan latar belakang Afrika Selatan. Selain dari warna kulit, pakaian yang mereka kenakan juga bernuansa afrika. Mentalku agak susut juga, namun di luar dugaan, setelah menyapa singkat orang-orang yang aku lewati semuanya mempersilahkan aku lewat dengan senyum ramah dan bahkan seorang mama membersihkan satu kursi demi agar aku bisa mengikuti acara dengan lapang pandang yang bagus. Ternyata acara juga belum lama dimulai, pendamping pendeta (aku tidak yakin bagaimana harus menyebutnya) mempersilahkan orang-orang yang baru pertama kali beribadah di sana untuk memperkenalkan diri. Termasuk aku juga. Aku tidak ambil pusing sama sekali untuk menegaskan agama yang aku anut, walaupun di data registrasi aku tetap menulis Hindu sebagai latar belakang kepercayaanku. Ini pertama kalinya aku memperkenalkan diri secara formal di dalam rangkaian ibadah gereja dan disoraki, "Sister Anya, you are welcomed!"- berkali-kali. 

    Aku mengikuti pembacaan alkitab, yang mana seorang mama baik hati meminjamkan satu buah alkitab agar aku bisa mengikuti. Sebelumnya ia bertanya apa aku ingin ikut membaca, yang aku jawab dengan mengambil holy bible yang disodorkan ke arahku. Aku tidak terlalu mengalami kesulitan mengikuti lompatan-lompatan partisi dan verse yang dibaca oleh pendeta yang sangat bersemangat dan atraktif. Pun, mama yang sama yang meminjamiku bible selalu siaga jika aku kesulitan menemukan bagian yang dimaksud. Tidak terasa pembacaan alkitab dan interpretasi cerita diselingi dengan nyanyian yang menyenangkan, kemudian tiba waktunya pembaptisan. Jangan harap akan menyaksikan bayi mungil diguyur air. Christening di sini lebih pada ceremonial act, simbolisasi diterimanya bayi kecil di komunitas gereja, dan pengukuhan nama. Memang sebelumnya aku sudah bertanya pada Felix, temanku yang ayahnya si David, tentang nama anaknya. Tapi hari ini namanya secara resmi diumumkan. Kemudian tentu saja doa-doa baik untuk si bayi. 

    Potret bahagia di hari bahagia. Little David anteng sekali.
    Menghadiri christening tadi, mengingatkan aku pada upacara nelubulanin (tiga bulanan) di Bali. Esensinya kurang lebih sama, hanya ceremonial act-nya yang berbeda. Menyenangkan bisa menemukan kesamaannya. Salah satunya yang juga serupa adalah 'after ceremony rejoice', bagian dimana hadirin ikut bersuka cita atas diterimanya anggota baru gereja atau komunitas. Alias, makan-makan!! Karena aku anaknya pemalu, maka aku mengantre jauh di belakang karena banyak anak-anak yang menurutku penting didahulukan. Berkali-kali aku ditawari agar mengambil terlebih dahulu. Berkali-kali juga aku dijelaskan mengenai menu hari tadi, menanyakan preferensi makananku, dan menawarkan untuk mencicipi dulu jika mau. Secara umum, aku diperlakukan istimewa. Pada tiba saatnya giliranku, satu porsi (BESAR) yang menunya komplit menungguku. Ajaibnya, tandas pindah ke saluran cernaku sembari mengobrol dengan Bianca, Maria, Robin dan lainnya, anak-anak yang merubungi aku dan menanyakan banyak hal karena jelas aku nampak 'berbeda'. Mungkin seperti ini perasaan bule yang masuk ke Pasar Kumbasari.

    Hingga tiba waktunya aku berpamitan karena perutku sudah penuh, ehm, maksudku karena memang acara sudah usai, aku masih menerima salam dan pelukan dari orang-orang yang belum sempat aku kenal. Aku ragu jika di masa mendatang akan menyusup lagi di tempat itu. Jaraknya terlalu jauh dan dari rumah harus ditempuh dengan berganti kereta tiga kali dan berjalan kaki. Bagaimana pun, selain tentang little David yang anteng sekali, aku akan ingat bagaimana tempat ini dan orang-orangnya memperlakukan aku dengan indahnya. Selangkah sebelum aku pergi, seorang mama memberikan undangan merayakan Paskah bersama, dan memberiku pelukan yang hangat luar biasa. 

    Aku rasa aku sudah benar-benar kembali di Berlin.

    25 Maret 2018