Defect, anomali...and perspective

21 Januari 2018

On 11.38 by anya-(aydwprdnya) in , , , ,    No comments
Ingin cepat namun juga ingin lambat. Dilema rutin seumpama menunggu sekaligus juga berpacu. Terlebih lagi, ini adalah buah karya dari sebentuk otak yang sejak beberapa hari mempertanyakan hal-hal yang bagi kelangsungan umat manusia dan alam semesta, terkategori: tidak bermakna. Misalnya, empat hari yang lalu, merenungkan mana yang lebih nestapa: lapar atau sendiri. Atau kemarin lusa, menghabiskan tiga menit sia-sia untuk mencerna bintik di tepi jaket apakah salju atau ketombe (kesimpulan akhirnya adalah salju, sungguh!). Atau tadi sore, manusia dua puluh tujuh tahun macam apa yang tidak memiliki intuisi sama sekali untuk membedakan antara mimisan dengan ingusan. 

Pantas saja, kata ibu, banyak hal yang dari bungkus luarnya yang kelihatannya seolah-olah pintar namun sesungguhnya selalu perlu dievaluasi ulang, setidaknya dengan ditanyai, "Apa kabar?". Mungkin aku bisa mengerti. 


Tapi adalah fakta, ketika seseorang memulai kalimat dengan kata-kata yang muatannya lebih eksesif daripada muatan truk barang yang melaju di jalur Denpasar-Gilimanuk, maka bodoh dan pintar itu hanya aspal kualitas rendah yang dikutuk oleh manusia-manusia lapar. Kata-kata yang aku maksud, salah satunya adalah sore, senja, rumput, ilalang, lagu, juga segala hal romantis lainnya.

Terlihatkah bagimu seberapa besar usahaku? 

Sore yang datangnya terlalu pagi #1 Lagu-lagu yang liriknya memantul di udara sampai kulit yang mati rasa.


 Sore yang datangnya terlalu pagi #2Anak-anak tangga berlari, aroma angin kering mengikuti dari jarak tiga senti, dan membran tipis yang membatasi jauh dari tinggi.

Sore yang datangnya terlalu pagi #3
Garis residual dari ekor pesawat yang melintas sehari delapan belas kali, tirai jendela yang terbuka abadi (siapa yang suka melewatkan matahari?), surat yang sampai namun tak kembali, dan lain-lain. 



Berlin 21.01.2018
A. 

12 Januari 2018

On 16.28 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Ada suatu tempo yang spesifik dimana otakmu gagal memaklumi apa yang Kau ingini sementara segala kendali diambil alih oleh kaki. Ya, kau tentu pahami, sepasang kaki cendekia yang tahu segalanya. Kaki yang membawaku naik dan turun kereta. Kaki yang pernah berjanji untuk mengikutimu berbelok entah kanan atau kiri. Kaki yang selalu Kau telanjangi, setiap kali aku bergerak pergi. Tapi toh nyatanya kaki ini terlalu keras kepala (frasa ini terasa aneh karena kita sedang membicarakan tentang kaki), kaki yang tak bisa menuruti apa yang Kau suka, kaki yang menari dalam dentuman luka. Sore tadi kaki yang sama membawaku masuk dari satu toko ke toko lainnya, semata-mata karena otakku menolak untuk bekerja namun menginginkan dopamin instan dengan semena-mena. Ia mendapatkannya! Dalam sebuah tas jinjing kecil yang harus kubayar dengan 50 sen ekstra. Namun kaki tidak ambil pusing, ia tidak ingin tahu berapa uang yang melayang dari kantongku. Ia hanya tahu bagaimana menggesek hangat bagian dalam sepatu, yang konstan walaupun tidak mengikuti rumus baku. Ah, tahukah Kau, betapa riuhnya sore ini dengan kesendirianku dan juga perang dingin (sedingin udara kota sore tadi) antara penggila buku dan penikmat sepatu; kepala dan kakiku. 

Aku tiba di sebuah taman. Aku menjilat sekilas ujung telunjuk dan mengacungkannya ke udara, bermaksud menyapa angin dan menguntit arahnya. Seperti berkompromi dengan angin, seorang asing lebih dahulu menyapa. "Maaf, menunggu lama..", ucapnya. Telingaku masih tersumbat earphone yang entah sejak kapan sudah tidak menyalurkan suara. Aku menatapnya heran, aku tidak menunggu siapa-siapa. Pun aku tidak berencana kemana-mana. Seperti yang Kau duga, otakku kehilangan dominasinya hingga teguk espresso yang kedua. Aku dan Seorang Asing bertukar cerita, tentang apa saja dari hal yang paling tetek hingga hal yang kelewat bengek. Juga perihal benda-benda yang terbangnya ngalor sampai yang tidurnya ngidul. Kalau Kau percaya bahwa aku mencintai Tuhan di atas segalanya, maka gelas-gelas kopi yang kosong adalah saksinya. 

Aku di atas kereta, Seorang Asing juga. Hey! Ini kereta yang membawaku ke arah yang tidak semestinya! Tapi ini satu malam sebelum sabtu, dan kafein gagal mengembalikan fungsi otakku, dan Seorang Asing mulai merayu. Aku tidak menemukan apa-apa, sama seperti ujung jemariku, hatiku mati rasa. Aku biarkan saja Seorang Asing meracau seenaknya. Aku tahu, kami tidak akan kemana-mana.

Aku di salah satu kafe Shisha di sudut jalan yang hanya kakiku yang tahu ini dimana, Seorang Asing juga. Tidak satupun dari kami adalah penikmat Shisha (sebuah tanya kenapa di tempat ini kami tiba), dan kami mengulang hal yang sama, berbicara. Berbicara sambil menangkapi aneka rupa aroma asap dan udara yang keluar masuk dari paru-paru berbagai manusia. 
  • Aku ingin melihat ke dalam matanya yang berwarna sama denganku.
  • Aku merasakan napasnya sedikit di atas garis dagu.
  • Aku melupakan ponsel di jendela toilet kafe itu. 
  • Kami berdiri dan menari
  • Dengan musik dan gerakan yang tidak selaras sama sekali
  • Dengan degup jantungnya yang dirasakan makin keras dan cepat oleh telapak tanganku.
  • Ponselku kembali
  • Ponselnya hampir mati.
-Aku berusaha. Aku tidak merasakan apa-apa. Kami tidak kemana-mana.-

Kami berdiri di persimpangan yang memisahkan kafe Shisha dengan apartemen Seorang Asing (terjawab sudah mengapa). "Ingin minum sesuatu?",ajakan terakhirnya sebelum aku meninggalkan deretan nomor di ingatannya. Aku berusaha. Tapi aku tetap tidak merasakan apa-apa. Kami tidak kemana-mana. Hangat di pipi kananku pun tak menunggu detik untuk hilang tak bersisa. 

Ini kota yang selalu menyimpan cadangan dimensi tak terduga. Segala yang berlalu sore tadi adalah hal yang biasa. Aku pun berkeyakinan, tentang Seorang Asing, bahwa sebentar lagi aku akan lupa. Aku tiba di rumah,sambil memasukkan anak kunci kutatap bayanganku sendiri memantul di permukaan kaca, aku menemukan Seorang Asing menatap tepat di lintasan mataku melihatnya. 

Mungkin aku tidak akan lupa.
(Mungkin aku tidak gila.)

Hanya salah satu malam di hari Jumat.  

A.

6 Januari 2018

On 12.31 by anya-(aydwprdnya)   No comments
Tentang seorang perempuan yang membuat segalanya terlihat mudah.

Ini aneh sekali. Aku merasa sedih untuk alasan yang bahkan tidak menempatkan aku pada subyek kesedihannya sendiri. Mungkin inilah mengapa sebuah hubungan bisa sangat berbahaya. Aku mengerti empati, tapi kali ini aku gagal menahannya di batas aman sesaat sebelum ia berubah menjadi simpati. Kemudian aku mulai menunjukkan afek sedih dan merasa sendiri. Dan orang yang lebih pantas sedih, rasanya juga pantas mengutukiku dalam hati. 

Ya, orang ini.  
Kami saling mengenal belum terlalu lama. Jika seumpama bayi, hubungan kami bahkan belum berbicara, kira-kira sudah bisa tegak kepala. Situasi yang mendekatkan kami, kondisi yang mensyaratkan kami bertemu hampir setiap hari. Untuk setiap pertemuan dan perkenalan, organ pencernaan kita biasanya memberikan firasat apakah akan menjadi pertemuan tanpa faedah, berujung teman, atau berakhir lebih dari sekadar teman. Aku sendiri tidak yakin dengannya, tapi bagiku sendiri, aku tahu kami akan saling membutuhkan sejak mengenalnya pertama kali.

Tentu aku tahu banyak cerita superfisial tentangnya, begitu juga sebaliknya. Kami juga mulai saling mengerti apa yang membuat kami berbeda, apa yang serupa. Hal yang aku suka adalah aku bisa sesuka hati mengambil peran sebagai kakak dari adik perempuan (satu-satunya adik kandungku adalah lelaki, jelas tidak bisa didandani), bahkan mungkin tanpa ia setujui. Hal lainnya lagi adalah aku juga merasa bebas menunjukkan kemanjaan yang menjadi-jadi karena setiap aku butuhkan, voila! ia berubah jauh lebih mandiri. 

Kami melewati banyak gradasi emosi; senang, sangat senang, hiper-senang, kesal, sedih, terharu...juga aku banyak membagi perasaan dan ekspresi dari segala masalah hidup yang kalau boleh jujur, aku harap ia lupakan begitu saja. Hal-hal memalukan, segala drama, pertanyaan hidup, hingga momentum minim emosi saat kami di ruangan yang sama; aku membaca dan ia menonton drama Korea. Melewati tetek bengek tersebut, tiba-tiba hadir emosi yang sulit dibagi dan lebih parahnya tidak bisa aku pahami...aku sedih, dimana seharusnya tidak. Argh. Maaf karena aku malah jadi emosional.


Ada lagi yang aku suka darinya. Ia adalah seorang perempuan yang melihat masalah dengan mudah. 
Aku sering merasa bersalah karena jika kami tersesat (yang pasti karena aku) ia selalu nrimo, katanya, nggak apa..masih mending tersesat berdua. Haha..

Aku malah membuat tulisan ini terdengar seperti perpisahan, padahal maksudku tidak demikian. Aku hanya, seperti yang ia juga tahu, kadang sulit mengungkapkan emosi secara frontal. Ketahuilah, aku tidak menangis di malam setelah bertemu denganmu, kalaupun iya, itu karena aku terlalu banyak belanja. Hai, teman main, teman belanja, adik kecil, obyek foto, suplier cemilan, mamak bawel, manusia yang tidak peka, orang (yang heran deh) tidak suka tahu, si bunga kecombrang, it won't be any help here, but please remember, mimpi dan impian itu selalu ada, ini hanya tentang seberapa betah kita menari sambil menutup mata. 

Love. Love.

4 Januari 2018

On 12.33 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Hari ini aku bercerita saja. Hari ini aku hanya orang ketiga, terkadang mataku buta, syukurnya fungsi penglihatanku kadang diambil alih oleh telinga. Agar cerita ini tidak sekering kedengarannya, aku menambahkan latar musik milik Stars and Rabbit. Bukan, ini bukan semata karena seorang teman yang tergila-gila pada suara manja Elda Suryani. Bukan juga karena aku harus sabar menunggu Susah Sinyal bisa di-streaming di sini. Melainkan karena cerita yang akan muncul setelah ini, meniti jalur yang sama dengan seorang pria di atas bukit. 

*   *   *
1
Tidak keluar rumah selama beberapa hari bukanlah hal yang sehat untuk dijalani. Ia tahu benar itu. Tidak bersentuhan dengan udara luar dalam jangka waktu lama juga sama patologisnya, ia pun tahu. Maka, mengikuti anjuranku, ia pergi setiap hari. Tepatnya setiap kali aku menuntutnya pergi. Satu januari, sore hari, ia pergi berbelanja karena isi kulkas dan isi kepala kami sama tidak layaknya.  Matahari muncul sore itu, dan ia tidak masuk rumah sampai benam. Tanggal dua, ia pergi jogging di pagi hari dengan kesadarannya sendiri. Malam hari, ia menempelkan hidungnya ke jendela, memandangi bulan sehari setelah purnama. Tiga januari, banyak hal yang menjadi sulit. Butuh sepanjang pagi untuk memaksanya pergi, atau setidaknya mengangkat pensil dari buku catatan yang penuh tulisan dan sketsa. Sampai akhirnya berhasil memakaikan jaket dan mengenakan topi menutupi rambutnya yang berantakan, aku menyeretnya keluar rumah. Kami hanya berjalan dari rumah ke stasiun, berganti kereta beberapa kali, kemudian menghabiskan hampir dua jam di atas ringbahn, kereta lintasan cincin yang tidak ada ujungnya, sebelum akhirnya kembali ke rumah. Di atas kereta yang terus berputar itu lah aku tidak mendengar apapun darinya, namun aku jadi tahu segalanya. Maka, tanggal empat, aku berhenti memaksanya. Hari ini kami di rumah saja. merasakannya berulang kali bertanya, 
"Kapan terakhir kali, hari berganti cepat dan melambat di waktu yang sama?"
"Kapan salah dan benar berpelukan di atas sofa yang sama?"
Aku rasa ia tidak gila. Setidaknya belum. Mungkin banyak orang menyangka ia patah hati; berkeliaran, bahagia tanpa alasan, musik mengalir dari earphone yang secara instan teramplifikasi lewat udara dari ubun-ubunnya. Tapi mungkin juga tidak ada yang peduli. Hey, ini Berlin!

Aku rasa ia tidak gila.
Gejalanya lebih menunjukkan bahwa ia jatuh cinta. Jauh lebih berbahaya. 

2
Ia, perempuan yang menyukai langit biru. Sayangnya, di sisi sini, langit biru adalah kesakralan bagi pemuja daun gugur dan tabu bagi musim yang ingin tidur. Maka sebelum tahun berganti, perempuan penyuka musim mempertaruhkan segala warna yang dirangkaikan secara rapi, hampir seperti kail darurat yang hendak menyapa ikan dengan metode Wakasagi di salah satu tepi Hokkaido. Lain cerita, warnanya lebih terlihat pelangi, dan yang menyukainya adalah seorang pria. Ya, pria ini yang aku maksud sebagai pria di atas bukit. 

Apa yang terjadi jika pria bermata hijau bertemu pertama kali dengan perempuan berambut legam? Ya, secangkir kopi dan segelas jeruk nipis hangat di salah satu sudut kota yang tidak lebih dingin dari sudut lainnya. Perempuan penyuka langit biru tidak melihat apa-apa, tidak merasakan apa-apa. Ia pikir segalanya baik-baik saja. 


“I stop right there. You’ve found a new home. And I should be happy.”

(Bersambung)