Defect, anomali...and perspective

4 Januari 2018

On 12.33 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Hari ini aku bercerita saja. Hari ini aku hanya orang ketiga, terkadang mataku buta, syukurnya fungsi penglihatanku kadang diambil alih oleh telinga. Agar cerita ini tidak sekering kedengarannya, aku menambahkan latar musik milik Stars and Rabbit. Bukan, ini bukan semata karena seorang teman yang tergila-gila pada suara manja Elda Suryani. Bukan juga karena aku harus sabar menunggu Susah Sinyal bisa di-streaming di sini. Melainkan karena cerita yang akan muncul setelah ini, meniti jalur yang sama dengan seorang pria di atas bukit. 

*   *   *
1
Tidak keluar rumah selama beberapa hari bukanlah hal yang sehat untuk dijalani. Ia tahu benar itu. Tidak bersentuhan dengan udara luar dalam jangka waktu lama juga sama patologisnya, ia pun tahu. Maka, mengikuti anjuranku, ia pergi setiap hari. Tepatnya setiap kali aku menuntutnya pergi. Satu januari, sore hari, ia pergi berbelanja karena isi kulkas dan isi kepala kami sama tidak layaknya.  Matahari muncul sore itu, dan ia tidak masuk rumah sampai benam. Tanggal dua, ia pergi jogging di pagi hari dengan kesadarannya sendiri. Malam hari, ia menempelkan hidungnya ke jendela, memandangi bulan sehari setelah purnama. Tiga januari, banyak hal yang menjadi sulit. Butuh sepanjang pagi untuk memaksanya pergi, atau setidaknya mengangkat pensil dari buku catatan yang penuh tulisan dan sketsa. Sampai akhirnya berhasil memakaikan jaket dan mengenakan topi menutupi rambutnya yang berantakan, aku menyeretnya keluar rumah. Kami hanya berjalan dari rumah ke stasiun, berganti kereta beberapa kali, kemudian menghabiskan hampir dua jam di atas ringbahn, kereta lintasan cincin yang tidak ada ujungnya, sebelum akhirnya kembali ke rumah. Di atas kereta yang terus berputar itu lah aku tidak mendengar apapun darinya, namun aku jadi tahu segalanya. Maka, tanggal empat, aku berhenti memaksanya. Hari ini kami di rumah saja. merasakannya berulang kali bertanya, 
"Kapan terakhir kali, hari berganti cepat dan melambat di waktu yang sama?"
"Kapan salah dan benar berpelukan di atas sofa yang sama?"
Aku rasa ia tidak gila. Setidaknya belum. Mungkin banyak orang menyangka ia patah hati; berkeliaran, bahagia tanpa alasan, musik mengalir dari earphone yang secara instan teramplifikasi lewat udara dari ubun-ubunnya. Tapi mungkin juga tidak ada yang peduli. Hey, ini Berlin!

Aku rasa ia tidak gila.
Gejalanya lebih menunjukkan bahwa ia jatuh cinta. Jauh lebih berbahaya. 

2
Ia, perempuan yang menyukai langit biru. Sayangnya, di sisi sini, langit biru adalah kesakralan bagi pemuja daun gugur dan tabu bagi musim yang ingin tidur. Maka sebelum tahun berganti, perempuan penyuka musim mempertaruhkan segala warna yang dirangkaikan secara rapi, hampir seperti kail darurat yang hendak menyapa ikan dengan metode Wakasagi di salah satu tepi Hokkaido. Lain cerita, warnanya lebih terlihat pelangi, dan yang menyukainya adalah seorang pria. Ya, pria ini yang aku maksud sebagai pria di atas bukit. 

Apa yang terjadi jika pria bermata hijau bertemu pertama kali dengan perempuan berambut legam? Ya, secangkir kopi dan segelas jeruk nipis hangat di salah satu sudut kota yang tidak lebih dingin dari sudut lainnya. Perempuan penyuka langit biru tidak melihat apa-apa, tidak merasakan apa-apa. Ia pikir segalanya baik-baik saja. 


“I stop right there. You’ve found a new home. And I should be happy.”

(Bersambung)

0 comments:

Posting Komentar