Defect, anomali...and perspective

26 Agustus 2017

Membuat rekening bank baru bukan agenda favorit Aci. Ada banyak data yang harus diisikan ke dalam formulir. Ada banyak identitas yang harus dicocokkan. Ada banyak informasi yang harus didengarkan. Pada banyak kesempatan, beberapa hal harus diberi anggukan kepala, walaupun sulit dicerna. Itu pengalaman selama ini mengurus akun bank di Indonesia. Di Jerman? Hal menjadi lebih rumit lagi.

TERMIN. Lagi-lagi kata ini. Sesaat setelah memegang Anmeldung di tangan, aku pikir akun bank bisa dibuat segera, tinggal datang, mengantre seperti biasa. Pilihan bank aku rasa hampir sama, kecuali status student dengan usia kurang dari 25 (unfortunate me!), dapat membuat akun student yang tanpa biaya bulanan. Tanpa alasan yang krusial, Berliner Sparkasse menjadi pilihan. Setidaknya warna merah dan logonya mudah dikenali. Namun, mendatangi cabang terdekat Berliner Sparkasse ternyata tidak menyelesaikan segalanya, terutama jika ingin mendapat pelayanan dalam bahasa Inggris. (Tentu aku bersiap dengan bekal Deutsch for Dummy bagian 'Conversation at Bank', nyatanya, tidak cukup untuk penjelasan panjang lebar dengan untuk mengerti seluk beluk perbankan dasar. Fuhh.)

Secara total, aku mendatangi, mari kita hitung...1,2,3... 7 kantor cabang Sparkasse!

16 Agustus 2017

Kantor cabang Wilmersdorf (terdekat dari Burgeramt tempatku menuai Anmeldung). Jawaban yang aku terima, tidak ada staf berbahasa Inggris yang lowong hari itu. Disarankan membuat TERMIN, yang adanya di 10 hari kemudian (whaaat?). Kemudian berpindah.


Sparkasse Alexanderplatz. Ini cabang yang terbesar aku rasa. Kebetulan aku bertemu langsung dengan staf yang bisa melayani dalam bahasa Inggris dan gemar mengedipkan mata sebelah kirinya. Masih belum beruntung, TERMIN harus dibuat untuk hari besoknya, padahal besoknya aku harus menghadiri YLH conference. Dengan terpaksa pembuatan termin ditunda, sampai lewat masa rusuh conference. Namun aku sudah diyakinkan bahwa rekening dapat dibuat karena kelengkapannya berupa passport dan Anmeldung sudah ada.


Masih ada sisa waktu, aku melompat ke Sparkasse cabang terdekat, dengan harapan mungkin masih ada kesempatan jika aku beruntung bertemu dengan staf bank yang bisa melayani tanpa termin. Melompat bus, kemudian turun lagi begitu melihat siluet logo S dengan titik di atasnya. Aku bahkan lupa cabang mana, yang pasti aku mendapat penolakan juga. 


21 Agustus 2017

Mendedikasikan hari untuk membuat rekening bank, aku kembali ke Alexanderplatz, tempat dimana dinyatakan bisa. Jawaban yang aku terima, "You should go to Sparkasse branch near Charlottenburg, because you're living there." Akh, ini semacam, "Bu, tidak bisa bikin rekening di Jakarta, soalnya KTP Ibu domisili Bali. Bikinnya juga yang cabang deket rumah ya...jangan yang nyebrang kabupaten." Hatiku patah lagi. Tapi ngikut juga ke cabang arahannya, salah satunya yang nomor 5.


Theodor-Heuss-Platz. Semua staf berbahasa Inggris cuti. Good timing.


Martin-Luther Strasse. Disambut dengan keyakinan, "Bisa, tunggu 5 menit". Apa yang kami dapat setelah 5 menit? "Ini resident permitnya tidak bisa untuk akun bank, harus cari lagi semacam surat keterangan di Auslanderbehorde." Lemaslah aku, appointment lain lagi? Membayangkan ribetnya appointment di Auslanderbehorde membuatku terpikir, apa ada cara lain bertahan hidup tanpa akun bank...jualan siomay ikan tenggiri, mungkin?


Grunewaldstrasse. Nihil.


Nollendorfplatz. Bertemulah dengan Pak Olaf (yang belakangan aku ketahui juga membantu pembuatan rekening beberapa kawan di Berlin.). TERMIN untuk keesokan harinya jam 10 pagi. 


22 Agustus 2017

Mendatangi Pak Olaf. Mendapat penjelasan detail tentang rekening Berliner Sparkasse. Dan yes! Rekening di tangan (kartunya belum). Terima kasih Pak, jasamu tidak akan terlupakan, juga karena Bapak berkenan mengantar Anya ke toilet. 

Pesan moral: membuat akun bank, baik di Indonesia, di Jerman, dan mungkin di mana pun, seperti uji keberuntungan. Keberuntungan kamu kasuk ke cabang bank yang mana. Keberuntungan kamu datang di hari apa. Keberuntungan kamu bertemu dengan staf bank yang bagaimana. Ingin sekali colekin temen anak bank, Onyun, Gembulz, Nechan. Jadilah sebaik Pak Olaf. 

Sudah bukan rahasia lagi, Berlin ini, atau katakanlah Jerman secara umum adalah surganya termin. Termin adalah appointment, adalah perjanjian. Maka yang sering berjanji dan tidak ditepati, berbenahlah sebelum memasuki kancah per-termin-an. Jadi apa-apa disini harus dengan perjanjian. Urusan kantor pemerintahan, pake termin. Urusan sama bank, termin lagi. Segala macam instalasi atau servis atau reparasi, termin lagi. Kadang yang menyebalkan, mengatur terminnya sendiri susahnya minta ampun. 

Lalu apa itu Anmeldung? Ulah apa lagi yang dilakukan Aci perihal Anmeldung? 

Anmeldung adalah semacam surat yang memuat data kita termasuk alamat sementara yang akan kita peroleh setelah melakukan lapor ke Burgeramt. Kalau lokalnya di Indonesia adalah semacam KITAS atau KIPEM yang kita dapat setelah lapor ke kelurahan. Kalau di Berlin ini (entah wilayah Jerman lain), Anmeldung harus sudah di tangan dalam jangka waktu 14 hari setelah kedatangan disini, berdasarkan info situs resminya https://service.berlin.de/dienstleistung/120686/ Burgeramt-nya bebas, boleh yang mana saja. Nah, Aci sendiri tidak ada masalah dengan termin, karena pada dasarnya Aci seperti merpati...tidak ingkar janji. Hanya saja, tidak ada waktu kosong pada termin yang bisa ditemukan sampai dua minggu lebih disini. Maka dengan saran dari kawan, aku dan Aci menyambangi Burgeramt terdekat dari dorm di Dauerwaldweg yaitu Burgeramt Heerstrasse. Berangkatlah kesana, tiba 7.40 (dua puluh menit sebelum Burgeramtnya buka). Bingung juga mau nanya kemana dan bagaimana, sementara begitu dibuka, pemanggilan sudah sesuai nomor termin. Aci pun galau, ia terlalu malu mengakui datang tanpa termin, takut disangka tidak tahu aturan. Sampai memasuki jam kedua, memberanikan diri bertanya dengan bahasa Jerman pas-pasan, dan menuai jawaban. Aci dan aku diarahkan ke sebuah ruangan yang mojok sendiri, aku mneyebutnya sebagai room of shame, dimana ada tiga orang di depan komputer yang langsung menebak benar bahwa aku tidak memiliki termin. Segalanya langsung mudah, termin dadakan dibuatkan oleh salah satu penjaga room of shame, dengan catatan terminnya di kantor Burgeramt yang lain yaitu di Charlottenburg-Wilmerdorfstrasee. Walaupun harus berhujan-hujan, apapun, demi Anmeldung di hari itu.

Syarat pembuatan Anmeldung ini sendiri tergolong mudah:

Mengisi formulir


Passport


Mietvertrag (wohnung, apartment, dimanapun kita tinggal)

Perjuangan lainnya adalah mengisi formulir yang keseluruhannya berbahasa Jerman, yang selalu memunculkan penyesalan, kenapa aku tidak intens belajar bahasa. 

Demikianlah, Anmeldung di tangan. Penting melentingnya adalah untuk pembuatan rekening bank. Tapi di balik proses meraih Anmeldung ini, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik:

- Pastikan mengecek ramalan cuaca setiap hari, setiap akan keluar rumah

- Latih bladder untuk menahan pipis lebih lama, toilet umum langka adanya, bilapun ada di stasiun yang lumayan besar bayarnya sama dengan dua belas kali pipis di toilet umum di Indonesia

- Hapalkan frasa yang sering dipakai, tanya alamat, tanya jalan, bilang maaf nggak bisa bahasa Jerman, dst

- Anmeldung bisa juga diperoleh tanpa perjanjian, sebaiknya jangan ditiru, membutuhkan kesabaran, kerja keras, dan rasa tidak tahu malu.

Anmeldung ini harus dibuat baru setiap kali kita berpindah alamat. Dengan ini, aku pikir, sebaiknya aku tidak berpindah dari dorm ini.

20 Agustus 2017


Pertama tiba disini, Aci menyebalkan sekali. Bingung, takut, bersemangat, bingung lagi. Kadang ditambah lapar, kadang takut tersesat. Katanya, "Kota ini, yakin kota ini?"
Aku jawab, "Aci...bisa enggak, enggak usah menyel?"
Kemudian kemana-mana Aci selalu aku temani.
Kini, memang baru lima hari, tapi Aci sudah mulai nyaman makan sendiri.

*   *    *
Kalau harus menyebut kota impian, tentu Berlin tidak akan jadi kota pertama yang tersebut. Mungkin kelima setelah Paris, Vancouver, Budapest, Tokyo, Barcelona (ya, aku memang mainstream)...atau keempatbelas bila disisipi kota-kota lainnya lagi. Bagaimana pun, pada nantinya, Berlin ini harus masuk juga dalam daftar, paling tidak kota yang di dalamnya selama beberapa lama ke depan akan menampung mimpi-mimpiku di dalamnya. Yang buruk, maupun yang indah.

Ngomong-ngomong soal mimpi. Mimpi indahnya malah dimulai sebelum sampai di sini, bersumber dari keberuntungan dan belas kasih mbak loket check-in Etihad. Maka tidur nyenyaklah kami di rute Jakarta-UEA. Yayy!


Tak ada jetlag di Berlin hari ini. Bukan judul film.
Andai ini hanya tentang sampai ke Berlin. Berhasil ditemukan Jody, dibantu Marc, hari pertama habis untuk mengamankan wohnung Studentenwerk yang selama ini susah payah diperjuangkan. Masalah muncul, office Studentenwerk, markasnya House Master (yang pegang kunci), lokasi dorm...macam jerawat di muka, berantakan. Namun segala hal perlu diambil hikmahnya. Dengan misi mendapatkan sebuah kunci, jalanan Berlin mulai terpahami, aku hanya tersesat beberapa kali. Pencapaian yang cukup baik.

Studentenwerk merupakan suatu badan yang memfasilitasi apartemen dan kost-kostan mahasiswa, termasuk mahasiswa international, di berbagai kota di Jerman. Untuk kamar satu ini, aku memasukkan aplikasi sekitar 6 bulan sebelum dinyatakan bisa dapat jatah. Kelebihan Stw adalah sewanya lebih murah. Kekurangannya ya itu, lama dapat kamarnya. Link https://www.stw.berlin/
Syarat agar bisa masuk tenant studentenwerk adalah:
1. Terdaftar di kampus di Berlin (bisa nyusul, tapi bisa menunjukkan LoA)
2.  Rekening tabungan bank Jerman (juga bisa nyusul)
3. Bayar uang sewa+kaution
4. Hati yang sabar dan teguh.



Tadaaa....wohnung baru. Agenda menggelandang bisa dicoret dari daftar.

Masalah memang analog dengan pacaran yang baru tiga mingguan. Datangnya bergandengan, kalau bisa dempetan. Kamar wohnung kosong melompong, menyisakan tanya, serius ini mesti belanja di IKEA di hari pertama??? Jawabannya memang hanya satu dan itu iya. Tentang berapa kali tersesat demi IKEA? Sekitar dua atau tiga.

Rekening tabungan yang perlu dibuka, masalah berikutnya. Tapi akan aku tulis di bagian selanjutnya saja. Juga tentang Anmeldebestatigung.

Demi pengetahuan umum, walaupun bukan pertama kali, sekali lagi aku dan Aci harus beradaptasi. Setidaknya beberapa hal yang masih perlu diberikan perhatian khusus:
1. Perlu waktu menata kamar yang terasa rumah. Kangen irawadi berseri.
2. Tatakan kloset kadang terlalu dingin di pagi hari.
3. Selalu lihat weather forecast sebelum pergi.
4. Lupa sudah caranya memilah sampah, jangan lupa bilas wadah pembungkus yogurt kalau mau dibuang dengan cara yang benar (sepertinya ini juga perlu dibuatkan sesi khusus).
5. Kabar buruk, botol minum yang baru dipakai 3 hari hilang T.T 10EU terbuang.

Malam pertama kedatangan, langsung menempati dorm yang ala kadarnya. (Maunya foto tampak kamar baru, tapi berantakannya level sempak masuk sepatu). Jam tidur seperti biasa, tanpa jetlag, syukurnya. Yang menyenangkan lagi, sepanjang ingatanku, tidak ada mimpi malam itu.





Caucus, moderated, unmoderated, motion, key note, policy brief, delegate, honorable chair, workshop, motion (again), vote, partnership, resolution, amendment.....dan seterusnya seterusnya. Mungkin dalam beberapa hari, minggu, atau kalau beruntung, dalam beberapa bulan ke depan kata-kata tersebut dan variannya masih akan bergema di pikiranku. Empat hari di Young Leaders in Health 2017 bukan cara terbaik memang untuk memulai hari-hari pertama di Berlin (terutama ketika aku tidak memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan diri dan lebih fokus pada perihal timbang-menimbang koper). Tapi empat hari ini juga memberikan perspektif baru tentang visiku selama ini (ugh, terlalu berat). Tentang bagaimana rencana ke depan yang terlalu naif, tentang pemikiran idealku selama ini yang mungkin saja benar, dan mungkin juga salah.
 
Young Leaders in Health Conference 2017.
Awal mula memutuskan untuk ikut mendaftar untuk mengikuti konferensi ini adalah sesaat setelah informasi ini muncul di halaman grup Facebook Troped MIH Student kemudian pikiran sempitku menilai nama konferensinya sendiri terdengar keren, langsung mengecek tanggal dan biaya pendaftaran, itu saja. Come on, when you have decided to dedicate your life in health, combine it with cool words like LEADER and YOUNG...you can be not impressive and turn impulsive. Ok, itu excuse yang payah sekali. Sedikit banyak aku masih menyisakan rasa yang tidak nyaman karena menyiakan kesempatan konferensi di Thailand Juli kemarin karena alasan yang tidak nyaman juga diungkapkan. Begitulah, selected by luck, surat elektronik notifikasi ini dan itu mulai berdatangan. Tugas-tugas berdatangan. Panduan dan tetek bengek link ke situs inu dan anu berdatangan. Pikirku, apa ini, aku ingin memulai hariku di Jerman dengan sedikit pemanasan, bukan ngos-ngosan. Segalanya terasa asing. Judulnya sendiri adalah kesehatan, tapi kontennya melebihi apa yang aku definisikan sebagai 'kesehatan' selama ini. Ekonomi, politik, kebijakan, inisiatif. Berada dekat jangkauan organisasi macam WHO, main pura-pura jadi World Health Assembly, mencetak resolusi, dst, dst... Demikian hingga hari konferensi tiba aku masih punya rasa, kenapa aku harus ada disana?
 
Karena dengan ada di sana, duniaku lebih terbuka. Aku tidak hanya melihat dengan dua mata.
Ya, itu terlalu banyak untuk sebuah jawaban. Katakanlah aku dalam status super inspired, sindroma ketika dalam jangka waktu tertentu terpapar dengan orang-orang yang menurut kita hebat, membicarakan ide-ide hebat.
 

 



WHA Simulation-Key notes-Super cool workshop-Social program 
Jelas aku bukan penggemar debat, di tubuhku tidak mengalir darah itu. Sayangnya, proses debat itu masih aku perlukan, paling tidak jika aku masih bertahan dengan idealisme menjadi dokter yang tidak biasa-biasa saja (apa coba maksudnya). Atau lebih tepatnya menjadi warga negara yang ada gunanya, walaupun peringatan kemerdekaan kemarin aku tidak hormat bendera. YLH ini pertama kalinya aku diperlihatkan dan dilibatkan dalam model World Health Assembly, yang sebelumnya tidak aku kenal bentuknya. Jujur saja aku terkesan, lembar resolusi, terlepas dari terealisasi atau tidaknya, terjadinya sepelik ini.
 

Tentang pembicara, key note speaker. Secara tulus, aku ingin sekali agar lebih banyak seminar dalam negeri paling tidak dipersiapkan seperti ini. Topik yang memang dipersiapkan agar memberikan maanfaat yang maksimal, seminar yang tidak hanya seremonial. Dan tentu harus aku akui, topic semacam ini, SDGs, global movement, global partnership...bukan topik yang menjadi favorit di dalam negeri.
 


Social program yang aku ikuti, berkebun; Urban Gardening. Ya, bukan tentang berkebun yang gimana-gimana. Jadi di Berlin ada semacam ruang hijau yang dikelola NGO, namanya Prinzessinnengaerten yang lokasinya di Prinzenstrasse. Pesannya adalah promosi perkebunan organic, hingga teringat project HFHL (huhu...sendu). Konsepnya juga menarik sekali, jadi semacam café plus coworking space (seperti yang merebak ngetrend di Bali akhir-akhir ini), tapi konsepnya kebun yang integrasinya apik sekali. Seharusnya, menurut hematku, kalau di Berlin yang hampir beton semua aja bisa ada yang begini, amat sangat bisa dibikin di Bali juga. Serius, keren sekali.
 
Terinspirasi tapi Tetap Obyektif
Di luar segala lebihnya yang membuatku terinspirasi,
beberapa catatan juga aku tandai tentang keikutsertaanku di YLH.
  1. Bentuk penugasan yang mungkin memang relevan dengan workshop akan lebih optimal dengan evaluasi di tengah masa pengumpulan (bagiku, policy brief bukan jenis tulisan yang begitu familiar denganku.)
  2. Akan sangat menyenangkan bila bisa terlibat dalam lebih banyak workshop. (Bukannya maruk, tapi aku terhidupkan di dalam workshopnya.)
  3. Dalam beberapa hal, aku merasa kurang terfasilitasi (dan juga memfasilitasi diri) untuk debat dan simulasi. Merepresentasikan negara yang tidak kita kuasai (walaupun Singapura adalah tetangga, namun sangat jauh berbeda.)
  4. Urban gardening overlap dengan program utama. Sempat keteteran juga jadinya di sesi regional block.
 
Bagaimana pun, 75 Euro terasa sangat murah setelah menjadi output dari YLH conference 17-20 Agustus 2017. Walau pun tidak ada kaitannya, aku jadi lebih semangat melanjutkan hidup di Berlin. Selanjutnya aku ingin sekali muncul tulisan tentang ide yang saat ini seperti merubungi kepala.
 
Demikian,
Yang Terinspirasi dan Sudah Mulai Bisa Makan Sendirian.