Defect, anomali...and perspective

29 Agustus 2016

On 07.34 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Jadi begini. Saat ini aku sedang mengalami kondisi yang rumit untuk dijelaskan. Hari ini seharusnya aku berada di tempat yang jaraknya sepuluhribuan kilometer dari titikku duduk saat ini, mengikuti hari pertama preparatory course, kuliah persiapan, untuk studi lanjutanku. Sayangnya, beberapa hal memang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Visa yang nilainya setara dengan lampu hijauku untuk memasuki Berlin belum kunjung tiba, sudah lewat dua bulan lamanya. Kata para pendahulu exberliner, adalah sebuah keajaiban bila visa Berlin granted sebelum delapan minggu. Sayang sekali aku bukan orang terpilih yang bisa merasakan keajaiban tersebut. 

Bukan masalah besar sebenarnya. Hal-hal semacam ini bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup kita. Keresahan semacam hari pertama menstruasi dan dengan bodohnya ternyata tidak menyiapkan satu pembalut pun di dalam tas. Untuk orang dengan siklus haid yang seperti musim dingin di Eropa akhir-akhir ini, tidak teratur, siapa yang tahu akan mens hari ini? Kekesalan yang serupa ketika memaksa diri bangkit dari tidur siang yang nyaman demi meluncur ke Pantai Kuta untuk sekian menit menikmati matahari terbenam dan ternyata mendung menertawakanmu dari batas langit dan laut. Siapa yang mengira awan hujan lebih superior sore ini? Seperti halnya yang sering aku bisikkan pada diriku di sela nada sumbang menyanyikan bait All I Ask milik Adele, "Beberapa hal ada di luar kendali kita. Nikmati saja." 

Aku menerima. Aku menunggu. Namun udara di bawah langit biru bukan hanya milikku. 

Awalnya aku bahagia. Aku merasa mendapat perpanjangan waktu pada pertandingan dua kali empat puluh lima menit dimana sekalipun aku belum menyentuh bola. 

Hingga... 
Entah sejak kapan aku merasakan cemas dengan alasan yang terlalu kabur
Entah bagaimana aku mendapat segala macam mimpi buruk setiap kali aku tidur. 
Aku mendapati diriku mengecek surat elektronik setiap menitnya.  Kemudian kecewa. 
Aku mengikuti dorongan menghubungi setiap nomor yang kupikir akan menyelesaikan masalah. Kemudian meyakinkan diriku bahwa aku tidak salah. 
Aku takut pulang. Aku menghindari berjumpa banyak orang. Aku ingin hilang. 
Aku ingin kembali bahagia. Tapi aku belum boleh bahagia sampai seseorang mengirim kabar dan berkata, "Ya, sekarang berbahagialah!" 

Maka adalah momen sekarang ini. Setimental moment, demikian pikiran sentimentil ini ingin menyebutnya. Momentum dimana segala hal menelusup masuk ke dalam hatiku yang saat ini statusnya semacam dengan ginjal yang kehilangan fungsi glomerulusnya. (Aku tidak bisa memikirkan kondisi yang setara dengan sindrom nefrotik untuk liver.)

Aku tidak yakin sedang mengakui apa. Atau berbohong pada siapa. 

Dan disinilah aku. Tidak kurang bahagia sama sekali. Bebas dari kecemasan walau seujung jemari. Berusaha memberi penjelasan. Untuk diriku sendiri. 

Diantara segala perasaan tidak nyaman, latte art yang meragukan. Mari habiskan isi cangkir ini dan kembali pada kegelapan yang nyaman.

26 Agustus 2016

On 01.47 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Mengecup kening. Mengelus kepala. Mengikat rambut. Membukakan pintu. Menahan pintu dengan ujung kaki. Menyentuh hidung. Menutup telinga dari angin dingin. Adalah sebuah daftar yang kamu reka semalam tadi. Masih belum rampung. Aku ingin membantumu melanjutkannya. Merapikan rambut belakang telinga yang berantakan. Memberantakkan rambut di puncak kepala yang sudah dirapihkan. Menyentuh minimal dua dari lima jari selama minimal tiga perempat detik di tempat umum. Membiarkanku menempelkan jari telunjukku dan menekankannya ke pipimu sesuka hatiku.

Aku gemas mendengarmu melafalkan segala hal yang dianggapmu akan melarutkan setiap sekat yang membatasi tiap partisi jantungku. Agar kisah ini berbelok mengikuti rima turbulensi yang romantisnya lebih dari sekadar murmur diastolik. Agar aku kehilangan arah, seperti biasa, dan berlarian menyaring oksigen yang tersisa sementara kamu akan menjadi satu-satunya yang mampu mengekstrakkannya dari udara. 

Malam kemarin, kelembaban udara terlalu pincang menuntut waktu ekstra mengusir partikel air yang menggelayut di helaian rambutku. Di malam yang lain, aku akan dengan senang hati menciptakan perdebatan kecil denganmu, sekadar melepaskan panas lewat pori-pori kulit kepala dan berharap argumenku menang melawan basah, atau paling tidak ada kehangatan yang melingkupiku setiap kamu mengalah. Namun malam kemarin mataku terlalu berat, dan lagi-lagi bila ini malam yang lain, maka aku akan pasrah membiarkan segala cair terserap bantal yang seharusnya mengalasi kepalaku. Dengan tak absennya kamu, aku tidak bisa begitu. 
*   *   *
Aku suka jemari yang menelusup rambutku hingga sedikit mengeksitasi ujung serabut sarafku. Aku suka hembusan angin hangat dari alat pengering yang mengitari bagian atasku tanpa pola. Ini jauh berbeda dari rutinitas di salon kecantikan yang kadang aku kunjungi. Kecanggungan ini, ketidaksinkronan ini, kehati-hatianmu yang tidak beralasan, segala keanehan yang anehnya aku nikmati selama sekitar lima menit itu membawaku pada paradoks: aku ingin pengering rambut itu tidak mengusir basah rambutku. Tentu saja itu aku, paradoks yang sama yang mengusirmu tiap kali aku rindu. 

Apakah aku orang pertama yang kamu sisiri sepanjang hidupmu? Sejenak aku pikir kamu sedang melafalkan mantera tertentu dengan sisir yang sekiranya berfungsi sama dengan tongkat sihir. Aku bisa merasakanmu menahan napas. Aku bisa membayangkan otot interfalangmu memendek hingga sisir itu nyaris lepas. Aku dihantam geli sekaligus ingin menghayati. 

Lain kali aku ingin kamu sisiri lagi. 
Lain kali aku ingin kamu lagi. 
Lain kali lagi. 
Semoga selalu ada lain kali. 

Selamat ulang tahun, Multi-purposed Partner. 


24 Agustus 2016

On 17.50 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Konon katanya, dalam salah satu dari 13 partisi Confessions, St. Augustine mempertanyakan sebuah retorika massal;
apa itu waktu? 
Ternyata teka-teki gasal, universalitas yang belakangan menyerah pada fisika, benda-benda kosmotik, hingga teori psikologis, telah hadir dan dipertanyakan sejak masa 400 tahun sebelum masehi. Atau mungkin lebih tua lagi. 

Tenang saja, kita akan menyerah dari mendefinisikan waktu, tidak akan ada kutipan mengenai perdebatan Plato dan Aristoteles mengenai hal apapun itu. Mereka melelahkan, lagipula manusia modern masa kini sudah cukup manusia, bahkan dengan mengakuisisi peran sebagai obyek proyeksi dari argumen-argumen yang tak ada habisnya. 

Bicara tentang menjadi manusia modern, seseorang ini terpaku pada lantunan Titi Kala Mangsa, memantik paradoks tentang konsep jadul-modern, menunggu-ditunggu, menunggu-meragu. 


Ya, seseorang berusaha mengalihkan keringat samar dan gemetar tipis yang mengikuti beberapa mimpi buruknya akhir-akhir ini. Menyenangkan mengetahui salah satu pengalihannya adalah linimasa Sujiwo Tejo yang mengaburkan dua hal yang jauh jaraknya: jancuk dan aksiologi cinta. [Seseorang itu kini hampir mengimbangi ke-jancuk-annya. Kegilaan yang menenangkan seperti senja. Ada latar nada Pada Suatu Ketika, kelima kalinya.]
*   *   *
Entah studi ilmiah macam apa yang dirampungkan oleh Albert Camus (tidak semua orang hidup untuk menggemari filsafat Perancis) hingga ia berakhir pada simpulan bahwa hidup manusia itu absurd. Di sini, seseorang menolak untuk setuju. 

Sebagai seseorang yang tengah menunggu dikala ia tak ingin menunggu, persepsi rutin pagi harimu akan berwujud waktu yang melambat, memuai, terhenti, dan di saat yang sama ia berlari, mengejar. 
"Sudahlah Id, seberapa kalipun seseorang ini terbanting secara egosentris, tetap tidak akan membiarkanmu meraih ippon." 
Bukankah Mother Teresa juga dibuat menunggu sebelum menjadi malaikat yang kita kenal hingga hari ini? Abaikan, hanya sebuah interpretasi kasar yang terpungut dari alinea-alinea dalam Come Me by Light.

Di antara makna yang terpostulasi dari segala tunggu, seseorang berusaha memberi ruang dan arti seni pada meragu. 

Rentang Tunggu, 25 Agustus 2016
(Dengan janji atas sebuah penjelasan yang mudah-mudahan akan seseorang ini tepati). 

17 Agustus 2016

On 06.59 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Pada sebuah koordinat di atas bumi,
titik pertemuan bujur yang melintang hari.

Melekat pada kulit berpori, bergeser mengikuti gurat sidik jari.
Bulir pasirlah yang menegaskan eksistensi mereka, wahai Pencari Jati Diri. 
Pada hakekatnya mereka hanyalah isyarat musim, yang dengan cerdik menipu waktu tidur para peri.  

Para bulir bergesekan;
"Rasakanlah mereka, hanya pada gelap malam mereka jumawa bersombong diri."
"Aku hanya merasakan hangat yang keluar dari celah mikro yang jumlahnya menandingi kita."
"Seberapa sering kamu menempeli bentuk kasat dari asmara?"
"Akh, iya.. Ini pertama kalinya."
"Jadi, mereka siapa?"

Sesaat senyap, seiring kurva liar lemparan bola Poké yang bertubi. Ada hati yang tertangkap lepas berulang kali.

"Hari berganti... "
"Kenapa mereka masih disini?" 
"Bibir pantai sudah muak melihat cinta sepanjang hari,  dan mereka akan bertahan sampai dini?"
"Sudahlah, abaikan saja. Hanya malam dan kita yang mereka punya dan mungkin mereka bukan selamanya."

*   *   *

Aku sungguh tak ingin berlalu. Ketika dirimu beranjak dan mengibas sisa pasir di tubuhmu, sesaat aku pikir aku mendengar bisikan mereka, membicarakan kita. Kemudian kita usai, sepasang kelomang yang menyaru di balik malam. 

Sudahlah. Mungkin tidak ada hari esok. Atau mungkin ada. 

15 Agustus 2016

On 10.11 by anya-(aydwprdnya) in , ,    2 comments

Masa sebelum kamu, aku bukan pengemar masakan kepiting. Bukan karena tidak suka rasanya (sesungguhnya lebih dari suka), melainkan karena tidak suka kerepotan yang ditimbulkan oleh cangkangnya.  Aku bukan orang yang memuja kerumitan ekstra untuk hal yang sederhana,  masalah makan adalah salah satunya. Makan adalah aktivitas memanjakan diri,  dengan catatan tidak dilakukan sendiri.  

Sebuah kalimat yang entah terpungut dari mana, aku menyukai dan menyetujuinya; dua hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah kelaparan dan sendirian.  Diferensiasi dari premis tersebut adalah aku tidak suka makan sendirian (dimana logika?) 

Masa dengan kamu di dalamnya, adalah sebuah kenyamanan tersendiri untuk menikmati rasa daging kepiting tanpa kerumitan yang aku sebutkan tadi.  Seperti layaknya pada berbagai latar cerita yang berbeda,  ada kamu, voila! masalahku sirna. Pertanyaannya adalah,  apakah segala masalah memiliki tingkat kebebalan setara cangkang kepiting masak telor asin? 

Masa dengan kamu yang masih bergentayangan di dalamnya, mohon izin membuatnya jelas dan sederhana. Aku dan kamu dan kepiting dan makanan lainnya dengan diameter radius terbentuk tak lebih dari seratus dua puluh sentimeter. Dalam lingkaran itu, aku adalah pemuja sederhana yang memandangimu berjuang memutus, menekuk, menggigiti,  memecahkan lapisan kitosan yang berwarna oranye kemerahan. Aku menunggu, sepasif koala menanti bergantinya hari, dengan kamu adalah lembaran eucalyptusku. Eucalyptus yang ritmik melakukan gerakan menaruh daging kepiting di atas alas makanku. Sedap, bukan lagi rasa yang terkecap lidah, melainkan sensasi yang menyeruak sedikit agak di bawah.  

Kepiting salju,  kepiting papua,  kerang merah,  kerang bambu,  kerang darah,  kepiting bakau,  betina,  rajungan.  Celotehanmu. 

*   *   *

Packing

Sejauh apapun, selama apapun, bagiku tak pernah mudah. Kadang melihat daftarnya saja membuatku lelah. 

Malam ini, di hadapan koper yang masih tidak karuan, aku tak bisa berhenti memikirkan kamu dan cangkang kepiting yang bertebaran. 

Ps. Special thanks to Onyun and Robert and my superb gank, Gembulz, Nessya, Pera, Rikco (and his plus one) and Kodok.  You've made my night yesterday so I got some 'extra packing spirit'  this whole day and night.