Defect, anomali...and perspective

17 Januari 2015

On 18.09 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave mekar. Seberapa jauh dirimu akan pergi, berapa lama dirimu bertahan menunggu?”



*   *   *

Apa yang kita lakukan selama ini? Pertanyaanku.
Apalah kita ini? Yang satu itu darimu.
Aku merasa dangkal. Dirimulah yang benar. Karena dirimu mempertanyakan kebenaran. Sementara aku sibuk mencari alasan yang membuat semua ini benar. Kita impas, sejak kita sama-sama berani berucap lugas. Namun ini bukan pertaruhan sebuah koin, dimana apapun sisi mata koin yang muncul hanya akan menerbitkan satu angka yang kita sebut peluang.

*   *   *

Aku penggemar besarmu, yang maha bercerita. Sekaligus pemujamu yang pendengar setia. Selama ini kita selalu dibatasi oleh dimensi keempat (entah pengurutan ini versi siapa) yang kita sebut waktu. Padahal secara teori, abstraksi bernama waktu ini bisa memuai dan melengkung. Aku curiga bahkan ia bisa menggumpal bahkan menguap. Tanpa mengurangi rasa hormatku pada Sir Issac Newton, Sang Penggagas Waktu, nyatanya waktu bukanlah anak penurut yang mengikuti persamaan hukum gerak dan mekanika. Ia liberal, dan cenderung bebal. Terpujilah Einstein yang mematahkannya dengan Teori Relativitasnya. Ah, aku memang bukan penggemar teori fisika.

Aku pikir ada momentum dimana waktu tidak berperan... kitalah itu. 

5 Januari 2015

On 20.31 by anya-(aydwprdnya)   No comments
Aku punya sebuah kotak make up. Iya, serius.
Ini sedikit cerita dari dalamnya.

Judulnya saja kotak make up. Nyatanya isinya tidak dimaksudkan untuk make-my-anything-up. Yah, terakhir aku cek isinya tidak ada yang aneh. Yang secara de facto aku gunakan: krim muka kode nomor dua (untuk kulit tipe berminyak dengan riwayat jerawat kambuhan), pelembab dengan SPF 15, bedak tabur dengan antiseptik, dan lipbalm. Tapi aku sengaja menambahkan eyeliner (yang selalu gagal kupakai sejak percobaan pertama), maskara (produk warisan yang tertinggal di kost sejak kakakku menikah dan pindah domisili), ultra foundation (ditodong beli oleh sepupu yang berkutat dengan MLM), dan juga eyeshadow dengan kombinasi warna yang entahlah....yang nyatanya tidak pernah aku gunakan.

Seberapa sering sih, kita (aku) bertingkah menipu diri sendiri?
Seperti cerita dari dalam kotak make up ini.
Bahkan membeli kotak make up ini pun aku akui sebagai penipuan mendasar yg aku lakukan. Kisahnya, tahun-tahun koas, banyak kegiatan merawat diri (baca: mandi seadanya) harus dilakukan di rumah sakit. Praktis, segala perkakas rias (yang secuil tadi) harus aku bawa. Aku secara pribadi tidak terganggu dengan kebiasaan membawa perlengkapanku itu dengan kantong plastik biasa. Ya, kantong plastik yang sama yang digunakan untuk membungkus ote-ote atau tahu isi. Kadang warna hitam, kadang oleh-oleh belanja roti di Indomaret atau CircleK. Tambahan lagi, dalam satu tas plastik semuanya bergabung, termasuk sikat gigi, odol, dan sabun mandi. Praktis. Namun ternyata, di mata teman-teman, kebiasaanku itu lumayan menyayat hati. Miris, katanya.

"Duh, pakai je tas make-up yang lebih layak pakai, Nya!"
"Kenapa digabung gitu, Nya? Rusak nanti krimnya."
"Nyanya..jangan kayak orang susah deh!"
....dst.dll.dsb.

Dan begitulah, dengan dukungan semesta, terbelilah kotak make-up, yang sekali lagi tidak memberi andil dalam making-up-mine dan sejak hari pertama aku bingung harus diisi apa.


Sebagian besar isinya hanya pencitraan semata.


*   *   *

Ironinya hampir mirip dengan kenyataan bahwa setiap hari aku memadankan warna pakaian dalam (memastikan celana dalam dan bra yang kupakai menempel di badan dengan tone warna yang senada). Tujuannya apa? Kepuasan dua menit mematut diri di depan cermin sebelum akhirnya ditutupi helaian kemeja dan celana yang kupikir juga tidak sebegitu anggunnya. (Tepat saat ini, yang kupakai bernada abu-abu). *Ya..ya..sangat esensial untuk diketahui -_-"

Tiba-tiba aku teringat aktivitas lab forensik masa koas. Pemeriksaan luar setiap jenazah yang teregister di sanctuary badan-kasar-only yang letaknya biasanya di belakang bangunan rumah sakit. (Sindiran tentang kematian yang selalu membelakangi hidup mungkin?) Ya, pemeriksaan luar, PL. Jangan-jangan kegiatan padu padan pakaian dalam ini antisipasi alam bawah sadarku kalau-kalau aku perlu di-PL (aku merinding).

Haha... Aku jadi seperti manusia kebanyakan yang takut membicarakan kematian. Padahal mati kan bukan hal yang tabu secara ketimuran seperti free sex atau sekadar duduk melamun di depan pintu. (Aku curiga pikiranku banyak tercuci oleh kicauan Mbah Sujiwotejo).
Ini jadi melantur kemana-mana, padahal awalnya hanya lamunan di depan kaca.
Hanya saja. Kebetulan malam kemarin purnama.


Hanya bercerita, sambil mencoba membunuhi waktu.
On 19.39 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Tahun berganti, kita menanti
Telah lewat hampir seminggu, anehnya aku tetap menunggu.

Apa? Sesuatu pada dirimu?
Atau bergesernya ruang di dalamku?

Tadi pagi aku bermimpi, tentang kita dan kembang api. Kembang api yang semakin waktu semakin kencang. Mendekati dasar akan meledak paling besar. Dan aku ingat kita. Saat ledakan kita terus membesar, kita terpesona pada nyala di angkasa. Terpesona, hingga tidak ingin mengingat berapa letupan yang tersisa.

Aku takut membayangkan sepi tiba-tiba. Sama takutnya dengan senyap yang menyusul hingar-bingar yang lenyap. Sisa mesiu bertebaran di udara, asap pekat yang memerihkan mata. Apa dirimu masih di sana?

Setelah semua tak ada, kita akan kemana?
Jika semua berlalu, apa aku masih boleh menunggu?

[Kepadamu, Pengisi Ruang dan Waktu]



3 Januari 2015

On 00.32 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Selamat sore, Partner.
Akhirnya kita keluar lagi, mencari sedikit kesegaran di sela pekatnya harimu dan penatnya hatiku.
Mencari celah diantara bait-bait hujan deras yang berkejaran, terdengar seperti gaya yang kita tinggalkan sekian lama. Dan perjalanan kita berawal di sebuah tempat makan yang cukup lama tidak kita kunjungi. Seperti hati yang pernah kecewa, kadang kita ingin mencoba kembali untuk bertaruh tentang rasa.

Kita memilih tempat duduk yang tepat. Dari sini aku bisa melihat ke segala arah, menyaksikan bahwa kita bukan satu-satunya pasangan (aku menggunakan kata ini) di dalam ruangan. Setelah kita ada banyak pasangan-pasangan lainnya, bermacam jenis dan rupa. Ah, ini salahmu memilih tempat duduk ini, padahal kamu tahu, Partner, semakin banyak mata ini menerima impuls cahaya, semakin liar pula imajinasi di dalam kepala. Kamu tahu itu, Partner. Kamu sangat tahu.

Arah jam 9.
Tentu saja jarak satu meter di sebelah kiriku tidak menghalangi niat kita melihat diam-diam ke atas meja mereka. Kamu melihatnya juga, dua potong sosis (yang kamu tebak rasanya sintetis) yang bersanding dengan sebentuk mangkok nasi putih. Kita tertawa, berderai. Kapan terakhir kali kita mentertawakan makanan orang lain sementara piring-piring yang kita tandaskan juga tak lebih baik? Kenapa kita (aku) usil sekali sore ini?

Arah jam 12.
Tepat di hadapan kita. Sial aku terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Science of Deduction-nya Mr. Watson. Aku mulai menilai, mengajakmu bersama agar segala pikiran konyol ini terurai.
[Lelaki] Sekitar usia 20an, kemapanan masih diragukan namun kita sepakat bahwa ia hanya orang berada yang rendah hatinya (aku bilang semacam Bob Sadino versi ABG puber). Aku beri nilai enam, hanya karena pemilihan celana merahnya yang membuatnya terkesan tidak bisa move on dari kenangan masa sekolah dasar. Aku juga berharap ia sudah mandi, karena tato beraneka rupa (walaupun salah satunya bertuliskan '9 to 5' ) tidak mengurangi kekontrasan dengan makhluk yang duduk berhadapan dengannya.
[Wanita] Cantik kataku, rock-girl nanggung istilahmu. Ya..kamu memang tidak sesering itu memberi penilaian positif terhadap orang lain, Partner. Aku orang yang menghargai liberalitas, dipadukan dengan aliran feminis garis kiri, aku memutuskan untuk tidak memojokkan wanita yang satu itu.
Mereka terlihat dingin dan kurang bahagia. Bagaimana dengan kita?

Arah jam 2.
Mereka sedang kasmaran. Hey! Kamu tanya bagaimana aku tahu? Pandangan yang mengkonduksi arus listrik tanpa resistor, sentuhan malu-malu yang dibuat seakan-akan tidak sengaja, cubitan gemas di hidung, saling suap, bertukar minuman tanpa berganti sedotan...apa namanya kalau bukan kasmaran? Mereka duduk tak lama. Aku tahu mereka akan berpindah ke tempat lain, entah bangku taman, atau kedai gelato. Seperti karakteristik love bird pada umumnya, mereka akan menebar bau cinta dimana-mana.

Arah jam 3.
Sebelumnya mereka ada di jam setengah dua. Pindah untuk sebuah rencana duduk yang lebih lama, tebakanku.
Aku bisa bilang apa? Just a princess (wanna be) and her prince charming. Ya, semacam pasangan yang muncul dalam salah satu episode barbie yang tayang di pagi Natal. Hanya saja mereka duduk menyebelahi kita, seorang pria yang sibuk berperang dalam gadget tersayang, dan wanita yang autis tenggelam dalam tulisan sambil berharap bisa menghilang.

*   *   *
Mungkin awal ini harus kita lanjutkan ke tempat berikutnya (dimana?).

Dihadapan sisa mashed potato milikku, bulir nasi yang tidak habis terambil olehmu, dan jelly grass yang terbenam dalam sepatnya teh, kita sibuk pikiran masing-masing dan masih bisa mengomentari orang lain. Aku benar-benar tidak ingin menuliskan tentang nama waitress ataupun poni lempar mas waiter (maaf :p)

Ada sesuatu yang mendesak mengakhiri awalan ini, aku rindu.

(7 of 10, mungkin ada kesempatan lain untuk tempat ini.)