31 Desember 2014
On 06.08 by anya-(aydwprdnya) No comments
Aku takut esok hujan,
Dan tidak ada sepasang tanganmu menadah air di atas kepalaku
Aku takut esok pasang,
Dan tidak ada tubuhmu kokoh tempat kusandarkan pilu
Aku takut esok angin bertiup kencang,
Dan tidak ada lengan hangat melingkar di bahuku
Dan tidak ada sepasang tanganmu menadah air di atas kepalaku
Aku takut esok pasang,
Dan tidak ada tubuhmu kokoh tempat kusandarkan pilu
Aku takut esok angin bertiup kencang,
Dan tidak ada lengan hangat melingkar di bahuku
Kengerianku adalah gelap pagi, saat matamu tak pijar bahkan untuk sekadar redup
Ketakutanku adalah terik siang, ketika terbawa angin lalu hilang kata-katamu sejuk
Keenggananku sekali lagi semburat senja, bila aku mesti buta dan hanya hawa memanjamu yang meyakinkanku hidup.
Ketakutanku adalah terik siang, ketika terbawa angin lalu hilang kata-katamu sejuk
Keenggananku sekali lagi semburat senja, bila aku mesti buta dan hanya hawa memanjamu yang meyakinkanku hidup.
Dengar, pahamkah?
Lihat, mengertikah?
Lihat, mengertikah?
Aku mimpi mengarung angin, walau kau ingin hanya duduk berdamping
Aku khayalkan beribu ingin, tepat di titik sederhana kau utus mengiring
Dengar, dan kata mencari
Lihat, dan kata menjawab
Akankah esok hujan pasang berangin kencang?
Dari seorang yang penuh ketakutan, salam.
[Sebuah catatan dari Bulan September tahun ini.]
30 Desember 2014
29 Desember 2014
On 07.19 by anya-(aydwprdnya) No comments
Cangkir Pertama. Espresso.
Sesapan pertama meninggalkan rasa
pahit hangat sekaligus rindu yang menyengat. Ternyata aku memang membutuhkan
sejumlah kafein untuk mendobrak sekat yang membatasi pikiran ini untuk
memikirkan tentang kita. Aku ingin lagi dan lagi, rasa pahit yang bertubi akan
menjembatani kenangan yang seharusnya masih di sini. Setelah tegukan ketiga,
aku kecewa. Toleransi rasa lidah ini menjadikan pahit yang awalnya nikmat
semakin lama semakin memudar. Semakin ingin kutahan rasanya di pangkal lidah,
semakin aku menyadari, mungkin beberapa hal yang terlanjur pergi memang tidak
ditakdirkan untuk kembali.
Ya..aku sengaja. Aku memang
sengaja meninggalkan cangkir ini setengah isi untuk waktu yang lebih lama dari
yang seharusnya. Karena tidak ada sebentuk abstraksi pun yang secara nyata bisa
kugenggam, paling tidak cangkir pertama mewakili perasaanku yang ingin
merengkuhmu, seperti caranya mewadahi cairan hitam pekat yang semakin lama
semakin dingin.
Meminta. Salah satu kelemahanku,
otakku selalu meminta. Dorongan yang sangat kuat untuk menyaksikan dasar
cangkir pertanda bukan hanya aku yang gagal di meja ini, hingga akhirnya isinya
tandas. Aku tidak berhasil menyimpulkan apapun, kecuali bahwa espresso yang
telah dingin sekalipun masih menyimpan aroma yang sama dengan saat pertama ia
diletakkan di atas meja. Kamu juga gagal, Cangkir Pertama.
Cangkir Kedua. Arabica, Double
Cream.
Aku ingat perdebatan terakhir
kita. Seperti biasa aku akan mengambil peran banyak bicara. Menyalahkan,
mengungkit masa lalu, menaruh segala beban di pundakmu. Ya, harus ada salah
satu dari kita yang mengambil peran itu. Lihat? Bagaimana aku berkorban
mengambil pilihan peran yang tidak akan kamu ambil. (Apa ini juga bagian
sifatku yang tidak pernah kamu suka?)
Seperti biasa juga, hanya ada
napas berat yang bertukar melalui alveoli paru-parumu yang aku tebak hampir
meledak mendengar muntahan kata-kataku. Aku membayangkan pandanganmu yang lurus
ke depan semacam posisi ancang-ancang sprinter sebelum mulai putaran 150 meter.
Benar saja, saat tembakan itu bergema, segala logikamu (yang kuakui benar),
semua argumen (yang tanpa cela), beragam alasan (yang satupun tak mampu aku
patahkan)...berlompatan, berlarian, menjadikanku seperti siaran radio tua yang
mengulang-ulang cerita lawas. Pada meter ke 149, aku mati lemas.
Seperti krim ini. Perasaan yang
tidak terima disalahkan menjelma seperti krim dalam mulutku. Tidak memberiku
pilihan selain membiarkannya bertahan selama mungkin di antara geligi dan
lidahku.
Bahkan sisa krim yang bertahan di
Cangkir Kedua masih tidak membawaku kemana-mana.
Cangkir Ketiga. White Coffee.
Beralih pada sebuah keistimewaan
yang lain. Seperti melompat dari satu ranting teduh, ke ranting rindang lainnya
selama bersamamu yang seperti pohon sejuta buah. Ya..aku simpanse yang memiliki
jaminan hidup sejahtera tanpa perlu membaca ketentuan polis ataupun membayar
premi. Kamu seistimewa itu, kalau kamu belum tahu. Yang kita lupakan bersama
adalah dalam kungkungan hutan (yang mungkin tipe hutan hujan tropis) yang kita
ciptakan berdua, ada banyak akar lain yang merambat lewat bawah tanah, ada
banyak hewan lain yang sekadar lewat saat bermigrasi ataupun memutuskan
berdomisili. Sebagai substansi yang menggantungkan harapan pada titik embun di
pagi hari, kita tidak bersiap untuk itu, bukan?
Ah, mungkin akan lebih
menguntungkan bila aku adalah luwak dan kamu adalah pohon kopi yang tengah
berbiji. Paling tidak, aku bisa mengisi Cangkir Ketiga ini tanpa perlu melihat
harganya.
* * *
Di luar masih gerimis. Aku, dan
tiga buah cangkir kosong. Seharusnya ini momentum Cangkir Keempat, yang tak pernah tiba di meja ini.
Bukan tatapan pengunjung lain
yang terasa mengarah kesini saat aku berusaha tetap hanya peduli pada layar
netbook (dan tentu saja juga peduli padamu yang entah dimana). Bukan pula waitress yang seperti
tak sabar ingin mendengar berita besar; apa aku akan memesan lagi atau segera
angkat kaki dari sudut yang kujajah selama tiga jam ini. Tidak pula penunjuk
waktu yang menggaungkan suara seperti ‘pulang...pulang..pulang’.
Ini hanya aku, yang terlalu takut
untuk menemukan jawaban di Cangkir Keempat.
[A Coffee Shop, Renon. Akan
sangat sulit tidur malam ini.]
On 07.15 by anya-(aydwprdnya) No comments
Ada masa aku bertemu tapi tidak memandangmu.
Ada saat aku mengetahui hanya nama tanpa mengetahui hal
lainnya tentangmu.
Ada jeda yang sangat lama, sebelum perputaran masa, tanpa
bertemu, tanpa mengetahui, hanya mengenalmu.
Aku merasa sangat
ganjil.
Ada ketidakserasian yang kuat mendesak, mengusik
ketentramanku.
Perasaan yang sama saat aku melihat kecantikan wajah Audrey
Hepburn tergambar di pantat truk pengangkut ikan tuna yang memacu lajunya
terlalu lambat di depanku.
Aku merasa sangat
ganjil. Tolong genapi aku.
Sebelum itu, aku sangat ingin tahu, bilangan apakah gerangan
dirimu, wahai Pengusik Hati?
On 07.08 by anya-(aydwprdnya) No comments
Sudah malam lagi, menjadikannya genap satu rotasi bumi
terlewati.
![]() |
*status: pinjaman. |
Pikiranku tidak begitu ingat
kapan terakhir kali tubuh ini merasakan debarnya jantung saat menanti dan
desiran samar sedikit di bawah ulu hati. Hingga malam kemarin saat aku
merasakannya lagi. Yang mengejutkan bagiku, dua sensasi asing itu tidak hadir
seiring dengan pertemuan mata penuh
makna. Tidak pula dengan kontak kulit tak sengaja dan harapan terselubung bahwa
salah satu dari kita telah berencana. Tidak keduanya. Tepat malam kemarin, aku
hanya seonggok daging tanpa pulasan apapun, menekur di balik selimut,
menggenggam ponsel yang aku harap akan segera menderingkan nada yang akan
menggandakan kehangatan selimut. Ya, aku tidak ingin membuat pertaruhan yang
terlalu besar dengan ‘menjual’ hal-hal cantik (yang senyatanya tidak aku
miliki). Tanpa itu, dalam perjudian malam kemarin, aku sudah menang saat
ponselku benar berdenting, aku tahu layarnya memunculkan namamu tanpa perlu aku
berpaling. Insting.
Sebenarnya aku ingin
memperingatkanmu. Namun aku lupa.
Kepribadianku adalah keping mata
uang. Pada kedua sisinya, aku mereferensikan diriku pada siang dan malam.
Dirimu mengenalku saat siang? Mungkin tidak lagi saat malam memberiku ruang
untuk melihat lebih terang. Kala malam, peluang munculnya sisi koin tidak lagi
50:50, satu sisi (yang aku sebut milik malam) mendominasi: gelap yang penuh
pertanyaan, riang yang mungkin tak terbantahkan, liar yang terbungkus rapi
dalam kepolosan (maaf telah meminjam kata-katamu).
[Aku adalah binar yang hidup dari cerita dan dibesarkan dengan seribu
tanda tanya.]
Wajar bila hatimu merasakan
asingnya nada-nada sumbangku saat malam. (Sudah jelas, dirimulah yang
seharusnya bernyanyi.) Sebenarnya aku ingin memperingatkanmu, namun seperti
yang kau tahu, aku ini pelupa. Jadi tolong jangan hentikan jika aku mulai bertanya.
Sejarah, masa lalu. Fisika, kerja
dan mimpimu. Biologi, keingintahuanku yang tak tahu malu. Kimia, perasaan yang
mati-matian kita emulsi dalam koloid. Apalagi? Dari makanan hingga kegelisahan.
Dari mimpi hingga percaturan hati. Dan mungkin dirimu menyimpan pertanyaan yang
sama, apa kita akan cukup sampai disini?
Itu dari malam kemarin.
Bila siang, aku tidak akan
mengingat perihal malam. Malam kemarin, malam sebelumnya, atau malam malam
sebelumnya lagi.
Ah, siang tadi aku sangat
merindukan malam. Mari kita ulangi, saling mempertanyakan segala picisan yang
terus berputar dan mengulang.
Semoga dirimu belum bosan,
Selamat malam.
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup