29 Desember 2014
On 07.19 by anya-(aydwprdnya) No comments
Cangkir Pertama. Espresso.
Sesapan pertama meninggalkan rasa
pahit hangat sekaligus rindu yang menyengat. Ternyata aku memang membutuhkan
sejumlah kafein untuk mendobrak sekat yang membatasi pikiran ini untuk
memikirkan tentang kita. Aku ingin lagi dan lagi, rasa pahit yang bertubi akan
menjembatani kenangan yang seharusnya masih di sini. Setelah tegukan ketiga,
aku kecewa. Toleransi rasa lidah ini menjadikan pahit yang awalnya nikmat
semakin lama semakin memudar. Semakin ingin kutahan rasanya di pangkal lidah,
semakin aku menyadari, mungkin beberapa hal yang terlanjur pergi memang tidak
ditakdirkan untuk kembali.
Ya..aku sengaja. Aku memang
sengaja meninggalkan cangkir ini setengah isi untuk waktu yang lebih lama dari
yang seharusnya. Karena tidak ada sebentuk abstraksi pun yang secara nyata bisa
kugenggam, paling tidak cangkir pertama mewakili perasaanku yang ingin
merengkuhmu, seperti caranya mewadahi cairan hitam pekat yang semakin lama
semakin dingin.
Meminta. Salah satu kelemahanku,
otakku selalu meminta. Dorongan yang sangat kuat untuk menyaksikan dasar
cangkir pertanda bukan hanya aku yang gagal di meja ini, hingga akhirnya isinya
tandas. Aku tidak berhasil menyimpulkan apapun, kecuali bahwa espresso yang
telah dingin sekalipun masih menyimpan aroma yang sama dengan saat pertama ia
diletakkan di atas meja. Kamu juga gagal, Cangkir Pertama.
Cangkir Kedua. Arabica, Double
Cream.
Aku ingat perdebatan terakhir
kita. Seperti biasa aku akan mengambil peran banyak bicara. Menyalahkan,
mengungkit masa lalu, menaruh segala beban di pundakmu. Ya, harus ada salah
satu dari kita yang mengambil peran itu. Lihat? Bagaimana aku berkorban
mengambil pilihan peran yang tidak akan kamu ambil. (Apa ini juga bagian
sifatku yang tidak pernah kamu suka?)
Seperti biasa juga, hanya ada
napas berat yang bertukar melalui alveoli paru-parumu yang aku tebak hampir
meledak mendengar muntahan kata-kataku. Aku membayangkan pandanganmu yang lurus
ke depan semacam posisi ancang-ancang sprinter sebelum mulai putaran 150 meter.
Benar saja, saat tembakan itu bergema, segala logikamu (yang kuakui benar),
semua argumen (yang tanpa cela), beragam alasan (yang satupun tak mampu aku
patahkan)...berlompatan, berlarian, menjadikanku seperti siaran radio tua yang
mengulang-ulang cerita lawas. Pada meter ke 149, aku mati lemas.
Seperti krim ini. Perasaan yang
tidak terima disalahkan menjelma seperti krim dalam mulutku. Tidak memberiku
pilihan selain membiarkannya bertahan selama mungkin di antara geligi dan
lidahku.
Bahkan sisa krim yang bertahan di
Cangkir Kedua masih tidak membawaku kemana-mana.
Cangkir Ketiga. White Coffee.
Beralih pada sebuah keistimewaan
yang lain. Seperti melompat dari satu ranting teduh, ke ranting rindang lainnya
selama bersamamu yang seperti pohon sejuta buah. Ya..aku simpanse yang memiliki
jaminan hidup sejahtera tanpa perlu membaca ketentuan polis ataupun membayar
premi. Kamu seistimewa itu, kalau kamu belum tahu. Yang kita lupakan bersama
adalah dalam kungkungan hutan (yang mungkin tipe hutan hujan tropis) yang kita
ciptakan berdua, ada banyak akar lain yang merambat lewat bawah tanah, ada
banyak hewan lain yang sekadar lewat saat bermigrasi ataupun memutuskan
berdomisili. Sebagai substansi yang menggantungkan harapan pada titik embun di
pagi hari, kita tidak bersiap untuk itu, bukan?
Ah, mungkin akan lebih
menguntungkan bila aku adalah luwak dan kamu adalah pohon kopi yang tengah
berbiji. Paling tidak, aku bisa mengisi Cangkir Ketiga ini tanpa perlu melihat
harganya.
* * *
Di luar masih gerimis. Aku, dan
tiga buah cangkir kosong. Seharusnya ini momentum Cangkir Keempat, yang tak pernah tiba di meja ini.
Bukan tatapan pengunjung lain
yang terasa mengarah kesini saat aku berusaha tetap hanya peduli pada layar
netbook (dan tentu saja juga peduli padamu yang entah dimana). Bukan pula waitress yang seperti
tak sabar ingin mendengar berita besar; apa aku akan memesan lagi atau segera
angkat kaki dari sudut yang kujajah selama tiga jam ini. Tidak pula penunjuk
waktu yang menggaungkan suara seperti ‘pulang...pulang..pulang’.
Ini hanya aku, yang terlalu takut
untuk menemukan jawaban di Cangkir Keempat.
[A Coffee Shop, Renon. Akan
sangat sulit tidur malam ini.]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar