Defect, anomali...and perspective

22 November 2012

On 20.48 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Bukan semata-mata karena ‘harus’ tinggal sebulan di negeri Sakura maka saya mencoba selihai mungkin dalam mengunakan sumpit. Dari dulu saya memang pecinta hal-hal berbau Jepang nomor wahid, kalau boleh saya bilang. Apalagi makanannya. Karena itu, sumpit, sebagai bagian dari salah satu kegatan paling esensial dalam hidup, bukan hal yang asing bagi saya. Tapi bedanya, sampai bulan lalu, saya masih melihat sumpit sebagai alat bantu makan saja. Hingga sepasang sumpit di tengah dinginnya angin musim gugur di salah satu sudut kota di Jepang, mengajari saya banyak hal.

Sejak dulu saya sudah sering mendengar bahwa budaya Jepang sangat ketat tentang tatakrama. Oleh karenanya saya berusaha sebisa mungkin mengikuti aturan yang berlaku disana selama sebulan terakhir. Jadilah senjata utama saya identik dengan langkah-langkah pemeriksaan fisik: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
On 20.12 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya. Hubungan jarak jauh. LDR bagi sebagian besar orang bisa jadi merupakan tantangan tersendiri dalam suatu hubungan. Saya sendiri, akibat pengaruh teman dan drama TV, cukup setuju dengan hal tersebut. Bagaimana pun saya masih termasuk anak ibu-bapak yang kadang kangen setengah mati pada rumah, apalagi saat kantong sedang kosong. Beranjak dari latar belakang tersebut, saya punya firasat bahwa saya memang agak kurang bersahabat dengan yang namanya jarak.

Untuk hubungan pacaran jarak jauh, sebenarnya LDR terklasifikasikan berdasarkan 3 hal: kuantitas jarak, kualitas jarak, dan tingkat keberhasilan. Berdasarkan kuantitas jarak, LDR dibedakan menjadi 2 yaitu common Long Distance Relationship (cLDR) dan very Long Distance Relationship (vLDR). Bedanya sederhana, cLDR merujuk pada hubungan berjarak yang masih sangat mungkin dijangkau. Misal, pacaran sama anak kuliahan luar kota, pacaran sama anak tetangga beda pulau satu provinsi, pacaran sama abang angkot antar kota dalam provinsi, atau pacaran antara Surti gadis desa dan Tejo yang cari kerja di kota. Persamaan diantara semua contoh itu juga jelas, hubungan masih bisa dijaga dengan fasilitas dan biaya yang terjangkau. Sms dan telefon masih sangat mungkin sering dilakukan dengan bantuan provider telekomunikasi dalam negeri (baca: tarif murah brayy..). Selain itu, kalaupun kangen sudah memuncak dan tidak bisa ditahan, puasa tiga hari juga dapat dilakukan demi mengumpulkan modal agar dapat berjumpa belahan jiwa.

Sementara pada kasus vLDR, harapan ada pada fasilitas internet, berharap jaringan WiFi bersinyal super agar dapat mempertahankan wajah cantik/ganteng pasangan dalam rekaman webcam. Kendala yang paling tidak diinginkan adalah berubahnya wajah pasangan menjadi kotak-kotak pixel yang kadang membuat mereka lebih mirip beruang hitam. Kendala lainnya yang masih bisa diatasi adalah bagaimana saat jadwal webcaming, keluarga pasangan atau teman lain ikut nimbrung dan menyita lebih dari tujuh per delapan dari quality time yang harusnya kita miliki. Contoh dari hubungan vLDR ini adalah pasangan yang terpisah jarak ribuan mil di negara antah-berantah, mungkin pacar sedang melanjutkan studi di luar negeri, bekerja di kapal pesiar, atau mungkin pacaran dengan TKI/TKW. Beberapa contoh yang lebih ekstrem adalah pacaran dengan relawan perang jalur Gaza, pacaran dengan peneliti jumlah pasir yag berpotensi membuat kelilipan saat badai gurun di Sahara, atau forbiden love between north pole polar bear and south pole penguin.

Mengenai klasifikasi berdasarkan kualitas jarak, LDR dibagi menjadi dua yaitu LDR permanen dan LDR temporer. LDR permanen termasuk di dalamnya adalah pasangan yang terpisah jarak selama berbulan hingga bertahun-tahun. Tentu ini adalah cobaan yang sangat berat dalam kancah percintaan. Namun hampir dapat dipastikan bahwa pasangan yang berhasil melewati fase LDR permanen ini akan berhasil membia hubungan sampai tujuh turunan. Hampir pasti. Walaupun demikian, LDR temporer juga tidak kurang cobaannya. Sekali lagi saya ingin berbagi pengalaman sebagai salah satu pelaku LDR temporer. Meski dari namanya terkesan agak plin-plan, LDR-temporer: kadang LDR, kadang SDR (short distance relationship), namun level tantangannya tetap tinggi. Beberapa kali saya harus melewatkan beberapa hari, hingga beberapa minggu di luar kota atau luar negeri, begitu pula sebaliknya pacar saya kadang memiliki kepentingan yang mengharuskan perpanjangan jarak antara kami. Jujur sejujur-jujurnya, variasi perasaan yang muncul saat berjauhan kadang seperti pisau bermata dua. Di satu sisi menguatkan ikatan kita, di sisi lain yang menempel dengannya justru berpotensi melonggarkan. As people say, what does not kill you will make you stronger. But I say, what did not kill you may try to kill you at second chance.

Untuk tingkat keberhasilan, lagi-lagi terbagi dua dan sangat jelas: gagal dan berhasil. Untuk yang satu ini saya justru tidak punya penalaran yang cukup logis untuk menjelaskan. Suksesi suatu hubungan terlalu rumit untuk ditentukan hanya dengan parameter jarak. Itu menurut saya. Deep condolescent for them who failed in struggling their love life of.

White Lies.
Red lie, yellow lie, black lie, purple lie, pink lie. Why are people choose white instead of other colors? Mungkin karena putih adalah lambang kesucian, maka keburukan macam apapun bila disandingkan dengan warna putih akan dinetralisir menjadi hal yang legal. Termasuk kebohongan. Kalau begitu dasarnya, maka bisa saja esok akan ada korupsi putih, copet putih, atau maling yang membobol rumah dengan kolor putih. Saya sedikit skeptis dengan konsep bohong putih ini karena memang dibohongi adalah salah satu hal yang paling saya benci.

Mungkin bagi sebagian orang berbohong untuk menjaga perasaan orang lain adalah sah dilakukan, tentu saja dengan label sakti; white lie. Bukan berarti saya begitu sucinya hingga tak pernah berbohong, bila benar demikian mungkin saya seharusnya bukan menghuni bumi. Saya juga manusia yang kadang berbohong untuk melindungi hati saya, dan mungkin juga hati orang lain. Tapi tetap saja saya tidak ingin membenarkan kebohongan saya dengan menamainya sebagai kebohongan putih. Kebohongan, apalagi dari orang tercinta, menurut pengalaman saya lebih banyak berujung pada rasa dikhianati, dianggap bodoh, dan rasa diremehkan karena mungkin mereka pikir kita tidak cukup kuat untuk menghadapi kebenaran.

Despite of our vary opinion about white lies, for me, bitter truth is far better than sweet lie. Otherwise, keep silent.

18 November 2012

On 09.18 by anya-(aydwprdnya) in    No comments

Tulisan saya kali ini mungkin agak berbau romantisme dewasa. Bukan, bukan...bukan cerita dewasa berbumbu erotisme apalagi pornografi. Namun ini lebih pada maturitas dari sebuah sisi misterius hati manusia, yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan secara gamblang oleh ranah ilmiah. Kita, manusia, secara sederhana dan retorik menyebutnya sebagai cinta. Ah, semakin lama tulisan ini bisa berubah menjadi sajak beruntai atau soneta tujuh bait. Yang sebenarnya terjadi adalah saya sedang menjadi saksi mata dari sebuah proses yang melibatkan kakak perempuan saya sendiri, dimana proses itu didalihkan atas nama cinta. Tapi sekali lagi, saya tidak akan mempergunjingkan persiapan pernikahan dari saudara sekandung saya (blog saya ini sama sekali bukan warta berita gosip murahan). Hanya saja, melihat puluhan hal yang terjadi di sekeliling saya akhir-akhir ini membuat saya berpikir tentang ratusan hal lain. Hal-hal itulah yang ingin saya persepsikan dengan cara saya, tentunya dengan sedikit bumbu curhat colongan. Sedikit saja kok.

Cinta yang Banyak adalah Cinta yang Satu

Namanya juga proses menyatukan dua individu atas nama cinta, ibarat kata proklamasi dimana Soekarno-Hatta mengatasnamakan rakyat Indonesia atau menyertifikatkan tanah atas nama Dwi Pradnya (astungkara, aminnnn...). Semua nama yang di atas-atas itu; rakyat Indonesia kah, Dwi Pradnya kah (?) merupakan simbol yang harus dipertanggungjawabkan. Tidak peduli rakyat Indonesia yang sebelah timur atau barat, tak mau tahu Dwi Pradnya yang gembul atau kurus (sekali lagi diaminin). Apalagi yang namanya si cinta-cinta itu.
Tapi ngomong-ngomong tentang cinta, saya dulu sering bingung menanggapi pertanyaan, “Kamu cinta mana, pacar atau keluarga”. Mungkin masih gampang, keluarga. Alasannya jelas karena pacar mungkin putus tapi keluarga pastinya sepanjang masa. Klise. Level berikutnya, “Kamu cinta mana, bapak atau ibu?”. Nah, lho! Bagaimana mungkin saya memilih antara ayah atau ibu, sementara dari dua kromosom X yang saya miliki, satu saya dapat dari ayah, dan satunya lagi dari ibu, lainnya adalah sepasang sepatu baru karena rajin membantu...*kacau.

Belakangan saya sadar, itu adalah pertanyaan paling bodoh di dunia. Dan belakangan juga saya berusaha untuk menanggapi pertanyaan bodoh itu (dan beberapa pertanyaan bodoh serupa) secara lebih cerdas. Saya cinta semua. I’m not kind a greedy. I just consider that my own definition for love is that flexible. I have spesific love for every single thing I know on this galaxy. Cinta untuk bapak, ibu, adik, kakak, pacar, ibunya pacar, kakaknya pacar, pacarnya kakak, teman, teman tapi mesra, teman main, semua mendapat cinta masing-masing dari hati saya. Lalu kenapa cinta-cinta itu tidak bisa dibandingkan? Karena untuk saya, cinta yang berbeda juga memiliki satuan yang berbeda. They are definitely uncomparable.

Karena karakteristiknya itulah maka saya bisa membentuk pola pikir bahwa cinta yang banyak itu adalah cinta yang satu. Cinta yang BANYAK=cinta yang SATU. BANYAK=SATU. Analog dengan KOSONG adalah BERISI *impuls acak tengah malam. Bagaimana pun, sebisa mungkin peliharalah cinta sebnayak-banyaknya, tapi ingatlah untuk memastikan bahwa setiap cinta yang kita punya adalah berbeda dan jangan sekali-kali mencoba untuk membandingkan satu dengan yang lainnya.



Kalau Cinta Biarlah Mereka Tahu

Sejak sekolah dasar, mungkin taman kanak-kanak, kita sudah terbiasa melabeli semua barang pribadi dengan nama kita. Botol minum, kotak bekal, pensil warna (baik yang milik sendiri maupun milik teman), sampul buku. Semakin dewasa, kita semakin kreatif dengan tanda yang lebih identik dengan karakter; stempel novel dan komik dengan nama (terkadang simbol), mug dengan lambang zodiak atau bahkan foto kita, bahkan surat keterangan absen dengan tanda tangan kita (oops, I’m not truly sure about the last one). Konsepnya adalah memastikan orang lain tau bahwa barang itu adalah hak milik kita. Sama saja halnya dengan saat kita mencintai seseorang, sebaiknya kita ‘melabeli’ cinta kita. Sounds like an overprotective lover, but the true meaning is leting them know about your feeling.

Saya sendiri termasuk salah satu yang (dengan sedikit menyesal) pernah terlambat mengumumkan perasaan saya. Sebenarnya saya adalah tipe anak rumahan yang dilarang pacaran sampe lulus kuliah (Mom’s rule never die!). But, I got my own equation,

curiousity + puberty hormonal support + minggle group = BREAK THE RULE.

Jadilah saya mulai pacaran (dengan pacar yang sekarang) sejak tahun terakhir SMA, dan saya baru mengakui hubungan tersebut pada orang tua sejak akhir tahun lalu. Dalam hal ini saya sama sekali tidak ingin menyombongkan liberalitas yang saya lakoni selama empat tahun. Melainkan sekelumit penyesalan terutama kepada pacar karena ketidakberanian saya mengakui perasaan yang saya punya di depan orang tua. Believe me guys, the worst feeling of being in love is when you are not sure if your partner love you back or not. When they can’t say to others that they love you, that is peak point of being worry about their otherwise feeling. [Sorry, my partner in crime, for waiting that long.]

So, it is not just about confession. But more about announcing the whole world that you’ve labeled yours.
[Part I. end]

Next....
Jarak, Masalah?
Long Distance Relationship (LDR) begitu istilah bekennya...