Defect, anomali...and perspective

19 September 2016

On 08.11 by anya-(aydwprdnya) in ,    3 comments

Kita akan menggigiti delapan,
delapan sudah terlalu lama mendominasi figur tak terbatas, dari kasta kemajemukan yang paling atas.
Delapan, fleksibilitas yang enggan berubah rupa. Seperti dingin dari secangkir kopi hangat yang menyusupi ujung jari di bawah meja. Kepastian yang selalu diragukan.

Kita akan merobek delapan, 
Sang Bentuk dari cacat dan hina yang dipuja dan disempurnakan. Lembaran daur ulang yang terlukai sekaligus dibanggakan. Ada noda lama yang menunggu hilang lenyap. Tapi ia? Kita? Senyap.

Kita sepakat akan memecahkan delapan.
Memperlakukannya seperti suara sumbang dari deretan merdu yang terdustakan. Meninggalkannya dengan tidur lelap tepat ketika kisahnya klimaks tentang bintang nan kerlap. Mengisinya dengan cair dan udara, kemudian menghapus sidik jari kita yang tertinggal di permukaannya. Atau skenario yang paling sadis, kita akan membiarkannya nyala hingga menyublim habis. 

Kita akan menyayat delapan,
Iya, delapan yang sama yang mencerahkan langit demi melenyapkan pelangi.
Delapan yang juga memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan sesuka hati.
Delapan yang merayu mawar agar mengizinkannya menjadi duri.

Aku akan membunuh delapan.
bukan demi kita atau mengatasnamakan kebenaran.
Semata-mata karena delapan sudah terlalu lama berada di antara tujuh dan sembilan.

Maafkan, Delapan.

[Delapan hanyalah pilihan acak yang menjadi kambing hitam atas rasa muak yang memuncak. Tenang saja, akan segera ada "There is No Good in Goodbye" milik The Script dalam playlistmu. Tentu saja kita akan mengenang bagaimana perdebatan yang menyenangkan sepanjang perjalanan sepulangnya kita setelah menonton Train to Busan dan memperdebatkan nilai moral dari Bad Moms. Satupun tidak berkaitan dengan Delapan. Sekian]

18 September 2016

On 00.41 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Sejak dua belas hari yang lalu, setiap malam, hal yang terbilang aneh terjadi padaku. Sejak dua belas hari yang lalu, setiap pukul tujuh, dua bercak merah muncul di lengan bawah sisi dalam sebelah kiri. Sejak dua belas hari yang lalu, selalu. Sepenuh hati aku mensyukuri fenomena ini. Paling tidak dua belas malam sudah, tanda ini menyeretku mendekati gelisah, namun sekaligus membebaskanku dari kompilasi malam yang terlampau resah. Tanyakan padaku, bagaimana mungkin udara mengizinkanku lepas dari tanya? Dua bercak merah, ada, begitu saja. Jikalau tanda ini peninggalan naluriah semacam serangga, bagaimana bisa hadirnya selalu pada bidang anatomi yang sama? Katakanlah memang sejenis nyamuk yang mencumbu, apa penjelasanmu tentang kesamaan jumlah yang seperti menyandikan rindu? Kalau pun sesuatu itu begitu normatif menghajar sistem limbikku dengan skema yang terlampau rapi, jahat itu tetap di genggamanmu, yang tak henti bertanya di kala aku terlalu kosong untuk menjawabnya.

Namun...
Namun... Selalu satu atau sepasang pengecualian untuk kompleksitas yang disamarkan sebagai harapan. Percaya saja, hal-hal magis hanya satu dari jutaan rahasia tata surya. Yang sulit diterima adalah sensasi yang menyenangkan hati pada banyak kali tertaut limitasi. Seperti bercak ini, muncul pukul tujuh, lenyap sesaat setelah jam sepuluh. Ya, begitu saja, menyaingi banyak keanehan lainnya di dunia.

Anomali adalah muse, provokator yang ditujukan untuk memulai tanya, sementara repetisi adalah modal awal yang cukup untuk menganalisa.

Sebuah alasan. Hanya perlu sebuah alasan. Entah reka atau nyata yang tidak ada korelasinya. Ketika rasa ingin-baik-baik-saja mengantarkanmu pada titik dimana akhirnya tidak apa jika terlihat tidak-baik-baik-saja. Jadi, bisakah kamu mengerti bagaimana dua makula misterius mengalihkanku dari segala gila yang semakin serius?

Ini alergi. Ya, ini seharusnya adalah reaksi alergi. Reaksi alergi, boleh juga disebut hipersensitivitas, pada dasarnya adalah aktivitas berlebihan dari sistem kekebalan tubuh...dan tidak akan ada kilas balik kelas imunologi disini. Maka, apalagi kalau bukan alergi. Aku ingat bagaimana secara naluriah melontarkan kata itu setiap kali berhadapan dengan hal yang sulit dijelaskan. 

Apa alergenku? Aku alergi tatapan mengancam setiap kucing yang pernah aku temui. Aku alergi tidur dengan alas bantal. Aku alergi lembaran bubble wrap yang gelembungnya habis terpecahkan. Aku alergi masakan pedas. Aku alergi makan sendiri. Aku alergi pada panggilan telepon di hari libur. Aku alergi hari minggu yang terlalu pagi. 

Kali ini, apa alergenku? Aku alergi menjawabi dunia saat kamu absen di sini. 

Berhentilah menghakimi, bahkan nyeri yang melibatkan 'hati' butuh sensitisasi. Aku sungguh menahan diri untuk memasuki lapang pandangmu, bertahan satu sentimeter di luar kubah transparan yang dibuat atas imajinasiku. Berandai-andai, jika aku berhasil menghubungimu dan menceritakan tentang dua bercak misterius di kulitku, apakah kamu akan menyuruhku minum antihistamin, atau kamu akan memintaku menjauhimu dan berhenti bermain.

*   *   *

Ini hari Minggu. Aku ingin menonton film kartun seharian sambil menghangatkan ujung kaki di balik selimut sementara tetes hujan memercik sesekali pada jendela kamarku. Aku juga ingin makan otak-otak dan sate ceker di angkringan yang hanya meminta dihargai kurang dari dua puluh empat ribu untuk sepenuhnya perutku. Di saat yang sama aku ingin kesederhanaan setara memelukmu tanpa alasan. Demi jarum jam yang bergerak, ini masih hari Minggu, aku hanya akan menunggu sampai pukul tujuh.



10 September 2016

On 01.48 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Aku selalu menyukai September. Sejak lama, September selalu menyisipkan hal-hal baik untuk terjadi dalam salah satu atau dua dari tiga puluh hari di dalamnya. Bisa aku katakan di sini, hal terhebat pertama yang dihadiahkan oleh September dalam hidupku adalah tidak tertukarnya aku sesaat setelah aku dilahirkan. Aku sangat bersyukur untuk itu. Selanjutnya, September tidak pernah absen menawarkan kebahagiaan. Seperti penanggal yang umum dipercaya dimulai pada Januari, bagiku, tahun baru adalah pada bulan September. Segala rencana (yang menurutku) hebat, pencapaian yang aku rasa pantas untuk dirayakan, mimpi-mimpi besar, sama seperti aku, lahir di bulan September. Selalu, hingga kita tiba di tahun ini. 

Untuk pertama kalinya, September belum memberi tanda untuk sebuah euforia. 
*   *   *

Entah kupelajari dari mana, sejak kecil aku memiliki pemahaman dalam otakku bahwa ketika aku menemukan uang secara kebetulan, dan ingin memungutnya, maka aku harus menukarnya dengan nominal yang lebih kecil. Misalnya, lembaran sepuluh ribu ditukar dengan logam seratus rupiah, letakkan tepat di titik yang sama. Kekanak-kanakanku kala itu mengartikan si logam penukar sebagai harga beli  kebahagiaan yang aku rasakan saat menemukan uang (See? Harga kebahagiaan masa kecilku sedemikian murahnya). Seorang teman penggemar fisika menyebutnya sebagai kekekalan energi. Tidak ada penambahan dan pengurangan di semesta ini, yang ada hanya wujud yang berganti dan kemunculan yang tidak pasti. Kalau aku ingin memperpanjang masalah ini maka akan aku coba menjabarkannya dengan dasar ilmu probabilitas. Namun aku sedang tak ingin. Maka kita kembali saja pada perubahan-perubahan acak yang terjadi di muka bumi. 

Karena aku sudah kehilangan kekanak-kanakan yang sungguh aku rindukan, persona dewasa muda berumur dua puluh enam ini justru bermain analogi dengan jejak karbon (baca: carbon footprint), dan belakangan hari lebih nyaman menjelaskan (pada diri sendiri) segala fenomena dengan jabaran Tat Twam Asi. September ini mungkin tidak begitu ramah padaku, namun aku masih bisa menawarkan September terbaik yang orang lain bisa miliki. 

Akhir Pekan dan Boboiboy Game Card

Khilaf karena merasa dicurangi September berimbas pada afek keseharian kita. Benar, karenanya jangan main-main dengan September. Kejanggalan yang terjadi bisa berupa jatuh cinta pada hari kerja, mengusir akhir minggu agar segera lalu, dan mengutuk tanggal merah dan segala cuti bersama. Hari kerja memberi harapan, memberi spasi menunggu yang maknanya bisa diperdebatkan, makna yang susut ketika matahari Jumat lengser perlahan. Kemudian malam minggu, kemudian Minggu, keduanya tetap memaksa untuk ditunggu namun memuaikan waktu dalam ilusi yang buntu. Aku seperti kehilangan harapan pada kedua hari itu. Kini semua pekerja Senin-Jumat(Sabtu) akan mulai menyumpahiku. 

Hanya memikirkan keegoisanku saja sudah membuatku merasa hina. Siang ini aku sedikit mengubahnya. 

Aku sedang membeli makan siang yang terlalu sore di warung depan rumah kost. Sembari menunggu, aku menelaah setiap pengunjung yang juga datang ke warung. Baiklah, alih-alih menelaah, katakan saja aku memberi sedikit konteks sosial pada khayalan soliter yang mulai kehabisan wadah. Hingga datang seorang anak berusia sekitar enam atau tujuh tahun. Anak itu membeli satu Choki-choki yang ternyata sedang dijual dengan promosi kartu bermain edisi Boboiboy. Setiap membeli satu Choki-choki akan diganjar dengan sebuah kartu bermain dengan sistem blind. Mengingatkan aku pada Forest Gump dan sekotak cokelatnya. Aku sangat mengerti perasaan anak itu. Sebagai ex pengumpul banyak seri kartu bergambar hingga tazos, mendapat kartu dengan gambar yang sama adalah petaka. Nah, anak tersebut membeli satu Choki-choki sehingga berhak atas satu kartu acak. Jantungku keluar dari ritme sinus sesaat ketika anak itu mengambil dua kartu. Mungkin napasku terlalu dekat atau ia merasakan pandanganku hingga ia menoleh, dan mata kami bertemu. Dan jatuh cinta. Dan tamat. *ups.

"Eh, kok dua... ", ujarnya perlahan, dan mengembalikan satu kartu ke tempatnya semula seiring dengan senyumku yang semakin lebar. Ketika semua pesanan makananku rampung, anak itu masih di warung itu. Aku membayar semua barang yang aku beli dengan menambahkan dua ekstra Choki-choki. Aku tidak berencana mengambil kartu Boboiboy (hey! Masaku sudah lewat.) Tiba-tiba, si anak menghampiriku, "Tante, dapat kartu apa?". "Tante nggak ambil kartunya, Sayang. Tolong diambilkan ya.. "."Ini, Tante, dapatnya dua kartu."."Untuk Adik aja ya.. Dibagi juga sama temannya." Saat aku menoleh ke belakang, kulihat ia sedang menyodorkan sebuah kartu (yang aku yakini dengan gambar yang paling tidak ia suka) pada seorang anak lain. 

1. Aku merasa turut andil menggelitik bibit kejujuran pada anak itu. 
2. Aku memberi sedikit rasa senang dengan menyumbang tambahan koleksi kartu 
3. Aku menyentil sedikit rasa ingin berbagi paling tidak serupa dengan yang aku miliki. 
4. Aku tidak marah walaupun anak tersebut memanggilku tante. 

Begitulah hal terbaik yang terjadi padaku hari ini.

Hai Anak Penggemar Boboiboy, semoga September selalu ceria untukmu.
Hai, keegoisan yang membuatku hina, pada setiap kemunculanmu aku akan mulai tertawa. Tertawa sekerasnya sampai keluar airmata. Tiba-tiba, aku begitu saja ingin menjemputmu pulang, tertawa bersama sembari membahas dan menganalisa episode-episode drama Korea dengan Lee Seung Gi di dalamnya. 

Masih ada dua puluh hari lagi di bulan ini. 

3 September 2016

On 21.37 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
"Terima kasih. Terima kasih atas segala kerepotan dan keribetan yang telah terjadi. Atas segala pengorbanan, hari-hari yang menyenangkan, hutang yang jarang terbayarkan, dan hal-hal lain yang tidak tersebutkan. Juga untuk sensasi kelistrikan saat permukaan kulit saling menyentuh dan kelebatan rasa yang bertukar utuh."

Rasa syukur, cara menyampaikan terima kasih itu personal. Mungkin juga sama manusiawinya dengan ekspresi kewarasan (atau kegilaan). Hanya kadang-kadang saja, identifikasinya harus tidak melenceng dari norma, mengikuti kaidah yang disuapkan pada kita sejak taman kanak-kanak dengan nyanyian satu ditambah satu sama dengan dua. Belakangan otak kiriku malah meyakini bahwa bersyukur adalah salah satu cabang ilmu pasti, korelasinya adalah dengan berdoa sebelum makan dan refleksi hidup sesaat sebelum tidur malam. Tenang saja, di salah satu hari Minggu di tahun ini, hemisfer kanan akan mengganti sementara fungsi kiri yang kemarin malam lelah bermain bersama kafein.

Hemisfer kanan: Kita terlalu banyak menunggu untuk mengucapkan syukur. Menunggu momentum untuk diperingati, menunggu tanggal baik, menunggu hari cerah, menunggu perasaan indah.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Kita terbiasa mengacukan diri pada sesuatu, seperti utas benang yang terikat pada tiang pancang. Itu mempertahankan kita agar berada di radian yang bisa kita jaga. Tentang penanggalan, kita sepakat mereferensikan diri pada sistematika yang digagas Suku Maya.
Eritrosit: Sudahlah, waktu, momentum...semuanya relatif. Penting bagi kita bukan garansi kelangsungan hidup umat manusia, seberapapun kuat cita-citamu menyelamatkan dunia.
Hemisfer kanan: Hanya tiga bulan, waktumu hanya tiga bulan.
Eritrosit: Tiga bulan yang aku habiskan dengan berpetualang ke setiap sudut dari setiap organ yang kita miliki. Bahkan aku dan rekan seprofesiku yang berjasa agar kalian tidak hipoksia.
Paru-paru: Alveoulusku mengkerut karena aku terlalu bersemangat.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Harus kita akui, perkiraan kiamat tahun 2012 tidak terbukti. Mungkin penanggalan Maya memiliki titik lemah. Atau jangan-jangan, interpretasi kita yang salah.
Hemisfer kanan: Momentum ini, ketika setiap dari kita menjadi liar.
Eritrosit: Aku akan mampir dan bermain di sekitar jantung. Sampai jumpa.
Hemisfer kiri terdampak kafein: Terima kasih untuk segala tingkat kesadaran. Terimakasih untuk setiap like dan kata 'amin'.
Hemisfer kanan: Kerandoman ini...terima kasih.
Anya: Sudah lebih dari tiga bulan aku belum mendonorkan darah.
[Maklumilah. Akhir-akhir ini aku banyak meracuni diriku dengan kerancuan http://theawkwardyeti.com/ dan belajar sarkasme http://explosm.net/. Di titik ini, aku mulai kecanduan.]

Keinginan yang tidak familiar yang aku dapati hari ini adalah mengenai bersyukur di setiap kini, berterimakasih pada setiap helaian napas. Sulit? Sangat. Kita terbiasa memintal helaian napas menjadi umpatan, makian, iri, dengki, patah hati. Terbiasa melihat jauh ke atas. Terbiasa merutuki dinding keras di depan kita. Aku memiliki kebiasaan yang sama, walaupun belum sampai pada tahap spam di setiap status di media sosial [Cek ig kita, Kakaaaakk... dan ya, aku sekarang dengan ig @anya_aydwprdnya. Sekian.] Kebiasaan bukan proyeksi cahaya yang mudah dibelokkan hingga muncul pelangi. Tapi sungguh aku ingin keluar dari kebiasaan yang sempit itu, aku perlu ruang yang lebih luas. Aku ingin merajut napas menjadi hal baik, mungkin bukan lembaran motivasi, tapi paling tidak bukan melankolisme negatif semacam sendiri di malam sabtu. Jikapun aku melihat ke atas, maka bukan pandangan super menembus stratosfer. Apalah arti cemburu, bila kita sama-sama memandang langit biru? Tentang dinding ini, hari ini akan aku sandari. Esok aku berencana memutar dan keluar lewat pintu samping. Masih sulit, namun terima kasih.

Terima kasih untuk hal yang terlihat maupun tidak.
Satu lagi tentang terima kasih yang mandatori.Hanya rasa sedap yang pantas disitasi dalam doa. Karena bait selanjutnya adalah tentang meminta.
Kata hemisfer kanan, mitos tentang meminta adalah dari tidak ada menjadi ada.
Ya Tuhan, berikanlah sebuah rumah
Ya tuhan, kirimkanlah sebuah mobil
Ya Tuhan, restuilah pengangguran ini sebuah pekerjaan
Ya Tuhan, sehatkanlah segala yang sakit.
Ya Tuhan..Ya Tuhan..Ya Tuhan...
...kemudian Tuhan marah, kesal karena setiap rajuk perihal meminta, keinginan dari tiada menjadi ada, hanya akan menambah sesak dunia. Sebagai hukumannya, cokelat akan berstatus punah dari muka bumi, aku akan menjadi manusia pertama yang terdampak sampai mati. Baiklah, hanya khayalanku semata. (Aku pikir) Tuhan akan mengizinkan aku bercanda sesuka hati, hanya untuk hari ini.
Bagaimanapun, aku tetap manusia yang gemar meminta. Katakanlah pagi ini aku bangun dengan mata sepat dan sedikit tambahan kesadaran teologis. Alih-alih meminta rumah, mungkin kita bisa memohon agar hunian yang kita miliki terasa lebih hangat. Daripada meminta badan kurus, mungkin aku akan memohon keteguhan hati agar kuat mengitari lapangan Renon sebanyak tujuh kali setiap dua hari.

Maka, apakah aku sedang menunggu hari baik untuk bersyukur, berterimakasih, kemudian meminta? Kecuali lambung yang sudah penuh terisi, setiap organ tubuhku juga menanyakan pertanyaan yang sama.

Terima kasih.