25 Maret 2016
On 17.54 by anya-(aydwprdnya) in Puisi No comments
~Senandung nada rendah.
~Angin terlalu enggan menggali sunyi demi menimbun sisa-sisa sepi. Maka mengalunlah segala kesumbangan yang dipaksa harmoni. Seekor tupai nanar berliur memandangi sebatang nyiur, menunggu disela desir yang membaur. Dalam tunggu ia mengetukkan sisi kanan ekornya pada kaleng aluminium yang permukaannya masih berembun. Ritmik, musik, cantik, unik. Notasinya kres dan mol, tumpang tindih berkali-kali.
~Seperti tupai dengan sepasang gigi besarnya, jalang menanti cinta...sesosok manusia tengah sabar menanti berita dan hal-hal biasa lainnya.
9 Maret 2016
On 05.26 by anya-(aydwprdnya) in Refleksi No comments
Selamat petang.
Selamat berbahagia.
Langit petang ini begitu
indahnya. Langit adalah langit, di atas sana mungkin ia sama saja, malam ini,
atau malam-malam sebelumnya. Yang berbeda adalah persepsi dari kedua mata ini,
yang malam sebelumnya hanya menangkap bayangan benda kolong langit,
dibandingkan malam ini yang memang dengan sengaja berusaha menikmati. Aku tahu
aku tidak sendiri.
Saat senja tadi mulai turun,
beberapa bintang muncul saat langit belum sepenuhnya gelap. Ada beberapa garis
aneh yang sejajar di langit, warnanya putih bersemu oranye. Kami sepakat berasumsi
bahwa gambaran di langit ini hanya kejadian ikutan paska gerhana matahari tadi
pagi. Gerhana yang gagal kami nikmati. Gerhana yang masih menyisakan tanya, apa
benar hari tadi gerhana? Apa radiasi hari tadi memang istimewa dan hanya
berulang 300an tahun lagi? Ah, ilmu tentang benda langit, astronomi, yang oleh
lidah (atau instingku) kerap kali terucap sebagai gastronomi, aku menyerah
hanya berstatus spektator saja. Di setiap pagi dan senja.
Selamat malam. Bidang langit
seperti diam, sesungguhnya ia bergerak relatif akibat rotasi bumi. Atau dalam
pembahasaan yang lain, kitalah yang menari semu di permukaan bumi. Pikiranku melayang pada potongan adegan Interstellar, dan aku sepenuhnya yakin ini juga pengaruh seri keenam Supernova yang seharian tadi menjadi pelarianku dari rasa lapar dan tarikan telepon genggam. Kembali, bidang langit
yang diam itu, dalam kasat mata ini hanya semakin gelap...dan gelap.
Konsekuensinya, benda langit yang pendar semakin jelas dan terang.
Bintang-bintang.
Setiap menyinggung bintang,
pikiranku terpaku pada fakta bahwa bintang yang aku lihat malam ini adalah
pendar yang eksis ratusan tahun jaraknya. Di saat yang sama aku menikmati
cahayanya, bisa jadi bintang itu sudah padam. Di detik aku melihat kerlipnya,
bisa saja ia tengah meledak, riuh sejenak, lalu mati.
* * *
Mata ini, kedua mata ini. Kedua
mata ini sering sekali menipuku. Karena nyaris 100% hidupku mengikuti arah
cahaya. Ditambah lagi segala penglihatan duniawi ini bergantung pada kacamata. Dan
malam ini, kedua mata yang sering menipuku ini, ditipu oleh kesederhaan sekelas langit
malam. Alasannya? Semata-mata karena malam ini malamnya Nyepi, api dan cahaya
hanya diizinkan nyala di hati saja.
Aku tidak ingin dibatasi apa pun.
Dengan atau tanpa kacamata, setiap bintang terlihat sama. Maka aku melepasnya.
Kontemplasi tidak memerlukan dukungan optik berbasis dioptri.
Langit semakin mewah. Ramai. Aku seperti
menyaksikan jamuan makan mewah, yang pesertanya mengenakan gaun indah,
perhiasan tidak murah. Yang makanannya tidak dalam porsi mengenyangkan, yang
minumannya disajikan sepertiga gelas saja, yang aturan makannya menyaingi pasal
undang-undang paska amandemen. (Khayalan macam apa ini? Hipoglikemi akibat
puasa satu hari?). Yang pasti aku bisa menciptakan bentuk apa saja dengan
menghubungkan bintang-bintang. Aku melihat Scooby-Doo, melihat bentuk otoskop, aku menggambar bentuk Minion, bahkan aku bisa melihat Hillary Clinton, dan demi Fahrenheit, apa hanya aku
yang merasa bahwa Hillary sangat mirip dengan Angela Merkel?
Khayalanku hilang. Kemewahan ini
punah. Bukan oleh jilatan Molly yang basah-basah hangat di kakiku. Melainkan
karena bapak sudah menyuruhku masuk. Sepertinya 30 menit menengadah sambil
setengah menari di halaman rumah dalam kondisi gelap gulita sedikit
mengkhawatirkan bapak.
Selamat Hari Raya Nyepi, Tahun
Baru Caka 1938.
Nyepi mengizinkanku menikmati
langit yang begitu indah malam ini. Pada hakikatnya aku hanya anak desa yang
belakangan ini terlalu lama main di bawah langit kota (mostly are
langit-langit). Dan Nyepi kali ini, terasa mewah sekali.
Jika rencanaku berjalan lancar
mungkin Nyepi berikutnya aku sudah tidak disini.
(Ditutup dengan doa sepenuh hati.)
Melaporkan langsung dari bawah
langit malam. Oleh makhluk yang keberadaannya sering abai tanpa cahaya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup