Defect, anomali...and perspective

9 Maret 2016

On 05.26 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Selamat petang.
Selamat berbahagia.

Langit petang ini begitu indahnya. Langit adalah langit, di atas sana mungkin ia sama saja, malam ini, atau malam-malam sebelumnya. Yang berbeda adalah persepsi dari kedua mata ini, yang malam sebelumnya hanya menangkap bayangan benda kolong langit, dibandingkan malam ini yang memang dengan sengaja berusaha menikmati. Aku tahu aku tidak sendiri.

Saat senja tadi mulai turun, beberapa bintang muncul saat langit belum sepenuhnya gelap. Ada beberapa garis aneh yang sejajar di langit, warnanya putih bersemu oranye. Kami sepakat berasumsi bahwa gambaran di langit ini hanya kejadian ikutan paska gerhana matahari tadi pagi. Gerhana yang gagal kami nikmati. Gerhana yang masih menyisakan tanya, apa benar hari tadi gerhana? Apa radiasi hari tadi memang istimewa dan hanya berulang 300an tahun lagi? Ah, ilmu tentang benda langit, astronomi, yang oleh lidah (atau instingku) kerap kali terucap sebagai gastronomi, aku menyerah hanya berstatus spektator saja. Di setiap pagi dan senja.

Selamat malam. Bidang langit seperti diam, sesungguhnya ia bergerak relatif akibat rotasi bumi. Atau dalam pembahasaan yang lain, kitalah yang menari semu di permukaan bumi. Pikiranku melayang pada potongan adegan Interstellar, dan aku sepenuhnya yakin ini juga pengaruh seri keenam Supernova yang seharian tadi menjadi pelarianku dari rasa lapar dan tarikan telepon genggam. Kembali, bidang langit yang diam itu, dalam kasat mata ini hanya semakin gelap...dan gelap. Konsekuensinya, benda langit yang pendar semakin jelas dan terang. Bintang-bintang.

Setiap menyinggung bintang, pikiranku terpaku pada fakta bahwa bintang yang aku lihat malam ini adalah pendar yang eksis ratusan tahun jaraknya. Di saat yang sama aku menikmati cahayanya, bisa jadi bintang itu sudah padam. Di detik aku melihat kerlipnya, bisa saja ia tengah meledak, riuh sejenak, lalu mati.

*   *   *

Mata ini, kedua mata ini. Kedua mata ini sering sekali menipuku. Karena nyaris 100% hidupku mengikuti arah cahaya. Ditambah lagi segala penglihatan duniawi ini bergantung pada kacamata. Dan malam ini, kedua mata yang sering menipuku ini, ditipu oleh kesederhaan sekelas langit malam. Alasannya? Semata-mata karena malam ini malamnya Nyepi, api dan cahaya hanya diizinkan nyala di hati saja.

Aku tidak ingin dibatasi apa pun. Dengan atau tanpa kacamata, setiap bintang terlihat sama. Maka aku melepasnya. Kontemplasi tidak memerlukan dukungan optik berbasis dioptri.

Langit semakin mewah. Ramai. Aku seperti menyaksikan jamuan makan mewah, yang pesertanya mengenakan gaun indah, perhiasan tidak murah. Yang makanannya tidak dalam porsi mengenyangkan, yang minumannya disajikan sepertiga gelas saja, yang aturan makannya menyaingi pasal undang-undang paska amandemen. (Khayalan macam apa ini? Hipoglikemi akibat puasa satu hari?). Yang pasti aku bisa menciptakan bentuk apa saja dengan menghubungkan bintang-bintang. Aku melihat Scooby-Doo, melihat bentuk otoskop, aku menggambar bentuk Minion, bahkan aku bisa melihat Hillary Clinton, dan demi Fahrenheit, apa hanya aku yang merasa bahwa Hillary sangat mirip dengan Angela Merkel?

Khayalanku hilang. Kemewahan ini punah. Bukan oleh jilatan Molly yang basah-basah hangat di kakiku. Melainkan karena bapak sudah menyuruhku masuk. Sepertinya 30 menit menengadah sambil setengah menari di halaman rumah dalam kondisi gelap gulita sedikit mengkhawatirkan bapak.

Selamat Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Caka 1938.

Nyepi mengizinkanku menikmati langit yang begitu indah malam ini. Pada hakikatnya aku hanya anak desa yang belakangan ini terlalu lama main di bawah langit kota (mostly are langit-langit). Dan Nyepi kali ini, terasa mewah sekali.

Jika rencanaku berjalan lancar mungkin Nyepi berikutnya aku sudah tidak disini.
(Ditutup dengan doa sepenuh hati.)



Melaporkan langsung dari bawah langit malam. Oleh makhluk yang keberadaannya sering abai tanpa cahaya.

0 comments:

Posting Komentar