17 Mei 2015
Beberapa hari yang lalu, seorang teman bertanya, "Nya, nggak ngeri ya, jadi dokter zaman sekarang? Rentan dituntut, kok bisa gitu ya?"
Sebelumnya aku ingin menjawab pertanyaan itu. Pertama, tanpa keraguan sedikit pun, jelas aku takut. Bahkan jauh sebelum dinamika hukum dimana dokter dapat langsung diproses hukum pidana tanpa melewati alur audit MKDKI terlebih dahulu, aku sudah merasa takut. Bukan apa-apa, aku juga manusia biasa. Di luar jas putih yang menjadi identitas profesiku. Di luar tambahan gelar yang memperpanjang namaku. Takut adalah hakiki manusia, yang menjadikan kita awas dan waspada. Awalnya ketakutanku terjun ke dunia kedokteran ini semacam takut yang paradoks. Seperti jejas yang justru memicu ekskresi endorfin yang malah membantu kita merasa nyaman, takut ini awalnya takut yang melecutkan semangatku secara pribadi. Setelah isu di atas merebak, aku masih memiliki ketakutan yang sama, hanya saja ada rasa yang bergeser ke arah yang belum terlalu aku mengerti. Untuk pertanyaan 'kok bisa gitu', itu masalah yang lain lagi bagiku.
[Tulisan ini hanya sepenggal keluh kesah atas kekhawatiranku, karenanya sebisa mungkin aku menghindari kata "kami" yang merujuk pada kelompok profesi. Pun segala pernyataan yang mengikuti di bawah ini adalah dalam bentuk opini yang belum sempat diuji silang dengan sumber ilmiah manapun.]
Seberapa banyak pun aku belajar, semakin aku merasa kurang. Seberapa sering pun aku melihat, selalu ada titik yang luput. Dalam novel Erich Segal dikutip bahwa dunia kedokteran modern hanya meyakini pengobatan empiris untuk 26 penyakit saja. Artinya, sisanya diobati dengan memanfaatkan data riset dan metode dengan pembuktian ilmiah yang paling memuaskan. Artinya lagi, ada puluhan kelompok penyakit, ada ratusan diagnosis, semuanya dapat dijabarkan dengan variasi gejala yang tidak terbatas, dan kurang dari satu persen yang diketahui pasti obatnya. Selanjutnya adalah kombinasi ilmu pengetahuan, analisa, logika, dan seni. Keempatnya memiliki celah, yang walaupun tidak diinginkan, dapat dinyatakan salah.
Ada yang namanya ketidaksengajaan, yang berarti tanpa didasari niat untuk melakukan. Ada juga yang namanya ke-tidak-beruntung-an (sepadan makna dengan kesialan, out of luck) yang merujuk pada hasil buruk yang tetap terjadi walaupun sebisa mungkin dihindari. Keduanya sering kita dengar dan gunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun akan berbeda bila subyeknya adalah dokter, maka keduanya akan sama saja diberi sebutan baru, malpraktek. Kurang lebih begitulah cara pikir masyarakat secara general. Mungkin ini cikal bakal jawaban 'kok bisa gitu' di awal tulisan. Kemampuan berpikir kritis masyarakat berkembang dengan pesat dekade terakhir. Sayangnya, banyak berkembang kekritisan yang tidak terarah dan terlalu mudah diarahkan.
Kritis yang tidak terarah dan yang terlalu mudah diarahkan sama buruknya, sama bahayanya. Masih terbayang kasus dr. Ayu yang memaksa dokter se-Indonesia menunjukkan solidaritasnya hingga ke jalanan. Sempat juga aku menyimak berita pasien penyakit kronis (kalau tidak salah malignansi) yang menuntut dokternya karena tidak kunjung sembuh sampai jatuh miskin. Belum lagi, berita yang mencoreng profesi dokter tentang pasien yang tidak dilayani lah, tentang obat yang mahal lah, dan sebagainya. Ada perasaan miris karena wajah kritis masyarakat dalam hal ini seringkali adalah wujud lain dari upaya pelimpahan tanggungjawab kesehatan ke tangan dokter semata. Memang kewajiban dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan, tapi sebagai pasien juga seharusnya tidak melepaskan tanggungjawab akan kesehatannya sebagai hak miliknya sendiri. Tentang ini juga aku singgung dalam tulisan lain tentang pasien yang memiliki alergi di sini.
Selanjutnya mengenai kritis yang terlalu mudah diarahkan. Aku pernah mendengar cerita dari teman sejawat, tentang senior yang pasiennya meninggal karena sebab tertentu, telah diinformasikan kepada pihak keluarga, dan pihak keluarga menerima. Selang beberapa hari kemudian, keluarga kembali sambil mengajukan tuntutan dengan tuduhan (lagi-lagi) malpraktek. Dalam jeda waktu beberapa hari tersebut, dikatakan pihak keluarga berkonsultasi terlebih dahulu dengan orang yang lebih tahu (entah siapa, tetaplah teguh bahwa hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui). Begitu mudah sebagian orang terhasut dan menyerap informasi yang belum pasti benar.
Memang, sudah menjadi hal baku, dalam hubungan dokter pasien dikenal komunikasi medis dan informed consent. Intinya segala hal harus dipastikan dimengerti oleh kedua belah pihak. Pilihan terapi dan keputusan medis dimengerti oleh pasien, sebaliknya keinginan dan harapan pasien juga dapat ditangkap oleh dokter. Kenyataannya, idealisme semacam itu hanya bertahan di kondisi yang kondusif. Tidak heran sekarang malah mencuat wacana mengenai defensif med seperti yang aku baca disini dan disini juga.
Hhh...memang kata Bapak Mahfud MD, sebagai dokter aku tidak perlu takut kalau tidak salah. Yang aku bayangkan adalah jika dokter begitu mudah diproses secara pidana karena masalah dalam ruang lingkup profesi, ada banyak hal negatif mengikuti. Dokter bisa dikatakan adalah penyedia layanan jasa, jasa kesehatan. Apabila tersangkut kasus pidana, walaupun nantinya terbukti tidak bersalah, apa nama baik akan kembali hanya dengan sebaris kalimat pengembalian dari peradilan? Aku sendiri tidak yakin prosesnya sesederhana sidang pengambilan surat kendaraan setelah terciduk razia gabungan, yang setelah sidang tidak akan mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan. (Sementara ini belum pernah dengar kasus PHK karena tertangkap razia, atau dikucilkan karena lupa membawa SIM.)
Ditegaskan lagi, opini hanya opini. Subyektivitasku ini bukanlah pernyataan bahwa profesi dokter adalah ranah ekslusif. Sama sekali bukan karena merasa lebih penting, lebih bermartabat, lebih patut diperhatikan. Sama sekali bukan. Profesi lain pun aku yakin memiliki subyektivitas tersendiri yang juga timbul tenggelam dalam arus kebijakan negara dan sorotan media massa. Hanya saja, aku tidak mahir beropini untuk hal yang tidak aku mengerti. Maka aku dengan segala keterbatasan hanya menyentuh dinding yang membatasiku, membela profesi yang memelukku, walaupun menjadikanku terdengar egois dan arogan.
Kembali lagi, aku merasa takut. Sebagai warga negara yang aku tahu tidak akan luput dari hukum (yang lurus, kuharap). Sebagai dokter yang disumpah untuk menghargai setiap nyawa yang aku temui. Sebagai manusia, yang anak, yang kakak, yang adik, yang sahabat, yang berusaha sebaik mungkin menjadikan ketakutan ini alasan untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Awal Mei, bersama ketakutanku di sela hujan saat jaga sore.
Suatu sore di poliklinik umum,
Seorang Bapak (SB) : "Saya mau berobat, tapi saya ada alergi obat. Sekalian aja dikasi obat alergi."
Aku : " Bapak keluhannya apa?"
SB : " Batuk pilek, Dok. Inget saya ada alergi, tambah obat alergi."
Aku : " Bapak alergi obat apa saja?"
Istrinya Bapak (IB) : "Banyak dia alerginya Dok. Biasanya di dokter Anu, langsung dikasi obat. Sudah hapal dokternya sama suami saya." ( mulai nyolot)
Aku : "Tapi Bapak baru pertamakali kesini ya Pak..Bu.. Saya belum tahu Bapak ada alergi apa saja. Sebaiknya kalau memang ada riwayat alergi, Bapak punya catatan obat apa saja yang alergi, catatannya disimpan yang rapi, kalau berobat kemanapun harap diperlihatkan agar tidak diberikan obat-obat tersebut."
IB : "Jadi suami saya nggak dapet obat disini?" (Mulai teriak)
SB: " Saya alergi antibiotik, obat panas, obat pilek. Minum obat-obatan itu gatal. Tapi sekarang saya sakit, kasi aja obat pilek, tambahin obat alergi."
Aku : "Mohon maaf, Bapak, Ibu. Sebelumnya saya jelaskan, reaksi alergi itu tidak bisa diprediksi. Tidak selalu hanya gatal dan merah kulit. Bisa sesak, bengkak, hilang kesadaran, sampai syok. Itu yang ingin kita hindari. Saya tidak bisa memberikan obat yang dengan kecurigaan bapaknya alergi." (Nada disabar-sabarin).
IB : "Udah Pak, gimana sih dokternya, kita bayar tapi nggak mau dikasi obat. Pelayanannya kok jelek gini!" (Terus minggat dari poliklinik)
Aku : "..." (ngelus dada)
Suatu sore menjelang malam di UGD
Seorang Ibu (SI) : "Tolong Dok, kenapa nih anak saya??" (Nada panik)
Anak Seorang Ibu (ASI) : (Kelopak mata bengkak, kulit merah-merah, garuk-garuk tapi kalem.)
Aku : "Kenapa bisa ada keluhan gini anaknya, Bu?"
SI : "Nggak tahu, tiba-tiba kayak gini. Sebelumnya anak saya sakit gigi, gusinya sakit, terus dikasi resep sama dokter gigi. Setelah minum obat jadi kayak gini." (Sambil menunjukkan obat Ibuprofen)
-----------Aku dan tim medis UGD memberikan penanganan sesuai protokol reaksi alergi---------------
SI : "Gimana sih apoteknya, kok saya malah dikasi obat yang bisa bikin alergi.
Aku : "Begini Bu, alergi terhadap obat bisa terjadi pada siapa saja. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada riwayat jelas mengenai alergi pada anak Ibu."
SI : "Dokternya juga gimana kok anak saya diresepkan obat yang kayak gini?"
Aku : "Ibu..obat jenis ini, Ibuprofen, merupakan obat yang sangat umum digunakan. Tidak ada yang tahu sebelumnya mengenai alergi terhadap suatu obat kecuali sudah pernah mengalami reaksi alergi terhadap obat tersebut atau sudah dilakukan tes alergi. Saya sendiri tidak akan tahu bila Ibu ada alergi obat tertentu."
SI : "Terus saya harus gimana? Saya harus nyalahin siapa sekarang anak saya seperti ini?"
Aku : "Sekarang kami tangani gelaja alergi yang dialami anak Ibu sesuai prosedur. Selanjutnya Ibu harus mencatat alergi yang dialami anak Ibu, kemanapun berobat harap diinformasikan agar tidak diresepkan obat yang memiliki kandungan yang sama. Nanti penghilang nyerinya saya ganti Parasetamol ya.."
SI : "Parasetamol anak saya alergi juga."
Aku : (--.--)" *hmm..
Hari lain, UGD pagi-pagi
Ibu Muda (IM) : "Mata saya bengkak habis minum neuralgin tadi."
Suami Ibu Muda (SIM): "Dia sakit kepala, terus minum obat yang itu."
Aku : "Sebelumnya sudah ada alergi obat?"
SIM : "Ya itu, alergi antalgin."
Aku : "Lha, terus kenapa minum obat itu lagi?"
IM : "Ya..soalnya sakit kepala. Setelah minum itu sakit kepala ilang."
Aku : "......" *speechless. Ya, sakit kepala ilang, bengkak iya.
* * *
Tidak banyak yang mengerti, alergi merupakan reaksi aktivitas pertahanan tubuh yang berlebihan menanggapi suatu agen. Bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada orang dengan riwayat atopi sebelumnya. Dapat disebabkan oleh agen apapun; obat, makanan tertentu, debu, serat kain, bahan kulit dan karet, dan lainnya, tidak terbatas. Reaksinya sangat bervariasi. Mulai dari kulit kemerahan, gatal, mata bengkak, sesak, penurunan tekanan darah, reaksi berat dimana kulit melepuh (baca SJS), hingga syok yang berujung pada kematian.
Alergi, jangan disepelekan.
Alergi, bukan semata-mata tanggung jawab tenaga kesehatan Anda.
Alergi, tolong sekali diingat sebagai catatan pribadi.
Dokter Anda bertemu dengan ratusan orang setiap hari. Anda tidak percaya bahwa dua belah otaknya akan menyimpan setiap data yang ditemui, bukan?
Dengan mencatat dan mengingat riwayat alergi Anda, maka Anda sudah membantu diri Anda sendiri.
Terimakasih.
13 Mei 2015
Pos Plawangan Senaru, pukul 09.50 WITA
Lea berselonjor begitu saja di tanah. Wajahnya menyiratkan gelisah. Tidur dan meregangkan otot beberapa jam sebelumnya ternyata tidak mampu membunuh rasa lelahnya yang luar biasa. Berselang tepat setahun dari pendakian sebelumnya, belum setengah perjalanan, dan otot betisnya seperti mati rasa. Namun bukan itu yang mengganggu pikirannya. Matanya nanar memandangi para pendaki lain yang datang dan pergi, belum muncul yang ia nanti. Sesaat ia merasa menyesal. Menyesal karena memutuskan naik lewat jalur Senaru dan bukan mengambil jalur Sembalun. Menyesal karena memaksa tinggal sementara teman-teman sekantornya naik terlebih dahulu. Menyesal karena ia percaya bahwa ia akan bertemu dengan yang ditunggu di tempat ini.
Ya, di tempat ini. Persis seperti tahun- tahun yang lalu.
* * *
Bulan Mei tahun 2010.
Bulan Mei adalah bulan yang baik untuk mendaki. Bukan menurut Feng Sui. Itu hanya menurut keyakinan Lea sendiri. Pemanasan global membuat musim meninggalkan pakem semester panas dan semester penghujan, hampir mustahil untuk meramal cuaca. Di Bulan Mei itu, kekasih Lea memutuskan hubungan begitu saja, menjadikan suasana hati Lea sebagai cuaca yang paling mudah dipastikan. Di Bulan Mei itu juga jatah cuti dari kantornya tiba. Waktu kosong dan hati yang gundah adalah kombinasi sempurna yang mengarahkan telunjuk Lea, memilih secara acak dari Peta Indonesia, Gunung Rinjani sebagai tempat pelariannya.
"Indonesia terlalu sayang untuk hanya dipandangi lewat televisi. Yang begini diciptakan untuk dijelajahi." ujar seorang pria tiba-tiba. Itu kali pertama Lea mendaki Rinjani, ia tidak siap dengan interaksi tiba-tiba dengan pendaki lain, maka ia membalas dengan senyum saja.
"Mungkin beberapa tahun lagi, alam ini akan terasa mewah sekali." Sambungnya lagi. Lea terhenyak, sesuatu menggerakkan hatinya.
"Lea." katanya sambil mengulurkan tangan.
"Ito." balas pria itu, lebih terdengar seperti 'itok' di telinga Lea.
"Darimana Mas Ito?"
"Surabaya, Mbak."
"Sendiri?" tanya Lea.
"Di alam kita tidak pernah sendiri, Mbak. Mbaknya?"
Lea tersenyum, pendakian pertamanya menuju puncak Rinjani, dan ia tidak sendiri.
* * *
Lea membuka lagi botol air minumnya. Meminum isinya, bukan karena haus, melainkan untuk menutupi kegugupan hatinya. Tiga rombongan lagi berlalu, melanjutkan perjalanan menuju Segara Anak. Bendera merah menyala di ransel beberapa pendaki mengingatkannya pada kejadian empat tahun yang lalu. Pendakiannya yang kedua di Gunung Rinjani, pendakian yang mereka, Lea dan Ito, rencanakan sejak jauh-jauh hari, dan kembali memilih Bulan Mei. Tepat setahun sejak pertemuan pertama mereka. Berjanji untuk bertemu di Pos I, hari itu Ito terlihat kurang sehat.
"Batuk pilek biasa." dalih Ito saat Lea menawarkan untuk menunda rencana pendakian.
Batuk pilek biasa itu berubah menjadi bencana. Tiba di Segara Anak, dimana seharusnya mereka menikmati udara dan air segar, Ito justru terkapar. Napasnya tersengal. Lea panik setengah mati, apalagi ternyata Ito tidak membawa persediaan obat pribadi. Lea yang panik mengambil kain merah di tasnya, melambaikannya ke arah jalur pendakian, berharap ada yang melihatnya. Tepat sebelum Lea kalap dan menyerah melempar Ito begitu saja ke Segara Anak, seorang pria datang menghampiri.
"Saya Dimas, dokter. Saya coba bantu." ucapannya datar, namun geraknya sigap, menyeret Ito ke hamparan bebatuan yang lebih lapang, melonggarkan syal dan jaketnya, membuka syalnya sendiri, kemudian menggabungkannya dengan syal Ito sebagai penyangga kepala.
"Tolong, Mbak." ia memberiku isyarat untuk menjaga posisi kepala Ito dengan kedua belah tanganku, sementara ia merogoh ke dalam ranselnya, mengeluarkan semacam vial obat dan suntikan. Lea bahkan tidak punya pikiran untuk menghentikan apapun yang Dimas sedang lakukan. Yang pasti, kurang dari tiga menit kemudian, Ito dapat bernapas dengan lega, biru di bibirnya lumer menjadi pucat kemerahan.
"Gila, Tok! Kamu bikin aku panik setengah mati!" teriak Lea sambil mengguncang bahu Ito.
"Jangan Mbak, lebih baik masnya diberi minum."
Lea menggapai botol minumnya, menenggaknya sampai puas sebelum menyodorkannya ke arah Ito.
Hari itu, hari dimana Lea bertemu Dimas untuk pertama kali. Hari itu, Lea tahu bahwa Ito adalah pengidap astma. Hari itu, dengan kekerasan hati Ito, mereka melanjutkan perjalanan sampai puncak, bertiga.
* * *
Pos Plawangan Senaru, pukul 10.16 WITA
Dari kejauhan Lea melihat siluet tiga pria berjalan beriringan. Senyumnya merekah, tangannya melambai girang. Ketika rombongan itu mendekat, Lea menyadari itu bukan mereka. Semangatnya pupus lagi. Anggota rombongan itu mengangguk ke arah Lea saat berjalan melewatinya. Mereka sempat berhenti sebentar, membenahi isi ransel masing-masing. Salah satu pria mengeluarkan kompor kecil dari tasnya, membenahi isi tas lainnya kemudian kembali menjejalkan kompor tersebut ke dalam tas. Pemandangan itu mengingatkan Lea pada saat mereka berempat memasak makanan dan makan bersama. Tentu saja tukang masaknya adalah Gat, sang koki. Gat, Gatot nama lengkapnya, adalah teman ketiga yang Lea temui di Rinjani. Bulan Mei 2012, cuaca cukup dingin dan berkabut. Saat itu, Lea, Ito, dan Dimas memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda di Plawangan Sembalun. Sendirian, seseorang terlihat termenung di depan sebuah tenda yang bentuknya tak sempurna. Seseorang itu Gat, termenung setelah tenda dan isinya diacak-acak oleh entah siapa. Kompor jinjingnya, hartanya yang mungkin paling berguna di Rinjani ini lenyap. Berbagi kompor dan makanan ternyata memang awal pertemanan yang sempurna. Terlebih lagi Gat adalah koki handal sebuah restoran terkenal di Jakarta.
Dalam sebuah percakapan, di tengah acara santap makanan buah karya Gat, pendakian Rinjani bulan Mei 2013. Tahun pertama mereka memulainya berempat.
"Bon appetite!" pekik Lea. Ia selalu takjub setiap kali Gat berhasil menyulap setumpuk 'rumput' menjadi masakan yang lezat.
"Oh, ya, Kawan-kawan. Pada kesempatan ini aku ingin mengucapkan terimakasih karena kita bertemu lagi di gunung ini. Terimakasih atas setiap langkah pendakian. Terimakasih atas napas yang tersengal." Gat menengahi kunyahan mereka.
Ito unjuk tangan, ingin segera bicara dengan mulut setengah penuh. Ito tersedak, mereka tertawa.
"Saya juga berterimakasih. Pada Mbak Lea, Mas Dimas, Mas Gatot. Terutama pada alam raya. Hanya oleh alam raya tukang parkir seperti saya bisa berjumpa dengan bankir galau macam Lea. Hanya berkat alam ini saya tidak jadi mati karena dipertemukan dengan Dimas. Dan juga, syukur karena kompor Gat hilang tahun lalu maka kita semua dapat menikmati hidangan seperti ini di antara pepohonan."
"Lea tidak boleh patah hati lagi. Dimas, selalu jadi super dokter. Itok, buktikan kalau seluruh Indonesia bisa kamu tapaki. Gat...dimanapun, selalu beri kami makanan gratis. Amin." ucap Lea, berlagak khusyuk berdoa, diikuti jitakan jari Gat di jidatnya.
"Pokoknya, walaupun bukan di atas gunung ini, kita adalah saudara. Bertemu di sudut manapun kita tetap saudara." ujar Dimas, menyodorkan gelas plastik, bersulang dengan air yang mereka ciduk dari danau Segara Anak.
* * *
Lea bersandar di batang salah satu pohon. Bibirnya mengembangkan senyum kala mengingat momentum pendakian bersama. Hari beranjak siang, sebuah tangan membayang terulur ke arah Lea. Gat, tersenyum. Di belakangnya Itok dan Dimas juga mengembangkan senyum yang sama.
"Bagaimana? Ke puncak?"
* * *
3726 meter di atas permukaan laut, puncak Rinjani hanya satu titik di muka bumi. Satu titik yang mempertemukan segala kemustahilan menjadi ada. Satu titik yang menggaransikan persahabatan di atas segalanya. Sementara titik-titik lain yang tak terbatas, selalu ada dan menunggu siapa saja.
[Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .]
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup