31 Desember 2014
Dan tidak ada sepasang tanganmu menadah air di atas kepalaku
Aku takut esok pasang,
Dan tidak ada tubuhmu kokoh tempat kusandarkan pilu
Aku takut esok angin bertiup kencang,
Dan tidak ada lengan hangat melingkar di bahuku
Ketakutanku adalah terik siang, ketika terbawa angin lalu hilang kata-katamu sejuk
Keenggananku sekali lagi semburat senja, bila aku mesti buta dan hanya hawa memanjamu yang meyakinkanku hidup.
Lihat, mengertikah?
Aku mimpi mengarung angin, walau kau ingin hanya duduk berdamping
Aku khayalkan beribu ingin, tepat di titik sederhana kau utus mengiring
Dengar, dan kata mencari
Lihat, dan kata menjawab
30 Desember 2014
29 Desember 2014
![]() |
*status: pinjaman. |
13 Oktober 2014
Bukankah sudah bertahun kita jalani? Seperti siklus terbentuknya awan yang dimulai dengan proses evaporasi. Karena seperti yang kita yakini, birunya laut tak kan habis dari muka bumi.
Seperti bulan-bulan sebelumnya, awal bulan selalu diisi dengan mimpi-mimpi baru, rencana baru (dan hutang rencana bulan lalu), dan tentunya membeli bacaan-bacaan edisi terbaru. Oktober ini pun begitu. Repetisi semacam ini bisa saja membosankan kita (tentu saja bosan itu jiwa dari karakterku), untung saja kita (hampir) selalu punya cara. Karena itu kita selalu punya cerita.
Edisi bulan Oktober ini adanya di halaman 149 salah satu majalah langganan kita, sebuah kotak 9x9 bertabur angka, sudoku. Sebagaimana harusnya, kita mampir di tempat penyedia layanan fotokopi, memperbanyak halaman tersebut sebanyak dua kali, dan pulang dengan pikiran masing-masing. Pikiranku, tentu "Aku akan menang kali ini.". Entah apa pikiranmu saat itu. Seperti Pandora yang tidak sabar untuk membuka kotak misterius hadiah pernikahannya, akulah yang biasanya terlalu bersemangat memulai 'perselisihan' kita. (Walau menganalogikan diri dengan Pandora, aku menolak dipersembahkan untuk Epimetheus).
Bulan Oktober 2014, aku kalah lagi. Lagi-lagi gagal melampaui catatan waktumu. Aku mengawali bulan dengan harapan untuk mengalahkanmu kali ini, yang segera dipatahkan dengan kekalahan kesekian kali. Aku belum bisa mengalahkanmu.
Ralat. Aku senang karena belum bisa mengalahkanmu.
* * *
Kita akan mencoba kesempatan lain lagi. Maksudku, aku akan lebih berusaha.
Tapi untuk urusan yang satu ini, aku peringatkan, biarkan aku memiliki harapan yang sama di setiap awalnya, namun jangan biarkan aku mengalahkanmu.
Karena bila itu, mungkin adalah tanda bagiku untuk menemukan hal lain yang akan mampu mengalahkanku.
Yours,
Partner in Crime
29 Juli 2014
Aku pernah bilang, ada tiga tempat yang palig tidak ingin aku kunjungi: kantor pemerintahan, kantor polisi, dan dokter gigi. Dengan kata lain, aku kurang nyaman bersentuhan dengan ribetnya birokrasi, enggan berurusan dengan polisi (harus kuakui beberapa oknum polisi juga bisa sangat menawan dalam seragam ketatnya), dan tidak suka mendengar suara bor gigi. Hari ini aku menyadari, ada satu keadaan lain yang juga sama tidak aku senangi. Funeral. Upacara kematian. Ngaben, untuk kita umat Hindu di Bali.
***
Setengah hari tadi aku menghadiri upacara ngaben seorang kakek dari sepupu, yang meninggal belum genap seminggu yang lalu. Ini bukan upacara pengabenan pertama yang pernah aku ikuti, namun sepertinya ngaben pertama dimana aku merasakan dan memikirkan berbagai hal yang sebelumnya tidak terpikirkan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai tanda kedewasaan, walaupun pada akhirnya semua hanya refleksi dari kesedihan dengan sedikit bumbu ketakutan. Sedih. Perasaan yang terlalu lumrah untuk dirasakan. Terlalu lumrahnya hingga berbalik menjadi sulit untuk diejawantahkan per definisi. Ya, apa yang perlu diperjelas lagi?
Sedih, kesedihan. Nama yang juga sekenanya kita pasangkan dengan kehilangan, kekecewaan, hmmm..mungkin kegagalan. Bagaimanapun, seperti kata seorang kawan lama, kesedihan hanya ada untuk dirasakan, bukan diartikan. Karenanya, aku tidak paham dengan makna raut sedih dan airmata yang kutemui seharian ini. Lebih tidak paham lagi karena entah mengapa aku merasakan seperti ada semacam lubang yang muncul begitu saja di tempat yang biasa kita tunjuk sebagai “hati”. Semakin tidak paham saat menyadari, lubang hati ini menyakiti dan membuat raut wajahku serupa dengan raut wajah sedih lainnya. Kesedihan sepertinya memang menular.
Satu lagi, ketakutan. Nah, yang ini aku malah rancu, takut yang barusan lewat sebenarnya untuk apa. Untuk latar tempatnya yang memang di kuburan (setra) atau untuk pemandangan bakar jenazah yang menurutku selalu akan sesuatu. Jujur saja, lewat pengalaman ngoas (ngelayap sebagai koas), aku banyak melihat kematian dan sekuel paska kematian. Yah, paling tidak cukup banyak untuk remaja seumuranku (bilang aja iya). Kematian di depan mata, bahkan yang meninggal saat kedua tangan ini masih tersambung lewat seperangkat alat yang seharusnya bertugas menyelamatkan nyawa. Rasanya? Pertama, unexplainable. Kedua, unexplainable. Ketiga, keempat, seterusnya.. masih tidak bisa dijelaskan. Kalau yang sekuel paska kematian, aku bilang adalah beberapa minggu berkutat di forensik. Kalaupun aku bilang rasanya juga bukan untuk dijelaskan, itu karena lagi-lagi ada logika yang harus menyerah pada perasaan. Setelah kupikir-pikir. Ini lebih pada ketakutan akan kehilangan itu sendiri.
Pada titik ini, ditinggal pergi terasa amat menakutkan, jauh, jauh, jauh lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.
***
Ah, ya. Layaknya acara keluarga besar yang melibatkan banjar dan adat, selalu ada anak-anak. Mungkin hari ini mereka (anak-anak) ini yang berperan membuat kesedihan dan ketakutan tadi sedikit teredam. Aku rindu kembali menjadi anak-anak. Mereka dapat melewati hari ini tanpa menguras pikiran atau menggali lubang menganga di hati. Sedih, pasti. (Aku bilang kesedihan itu menular). Namun bagi mereka tidak perlu esok hari untuk kembali ceria lagi.
***
Dan...ya. Aku tetap tidak akan pernah menyukai upacara kematian, pemakaman, ngaben.
Memang ada hal yang pastinya tak bisa terhindarkan.
Kalaupun saatnya itu tiba, aku hanya ingin ada dengan format yang lebih siap.
[Rest in peace for every soul who goes back to Him the Almighty]
26 Mei 2014
Terimakasih untuk jalan sesat dan membingungkan.
Terimakasih untuk belokan nan tajam.
Batuan terjal, jurang curam.
Simpangan yang memanjang.
Juga,
didih aspal yang makin lama makin tak hitam.
Apa kita memang diajarkan untuk tak menoleh ke belakang?
Entah memungut kembali jejak yang tertebar,
atau dedaunan kering terlalu pedih saat tertinggalkan.
Jangan lupakan debu-debu!
Dengan mengaburkan pandangan ia memaafkan.
Dengan menempel di sela jengkal ia mengingatkan.
Hai, empunya cerita!
bahkan salah satu dari kita masih belajar; meminta maaf dan mengukir ingat.
Petang dan petang.
Penanda siang yang kunjung kan datang.
Salam terakhir untuk jalan sesat dan membingungkan.
Kala aku melihatmu memetakan waktu.
Kala aku mengenalmu melenterakan rindu.
[Rumah tercinta, 26 Mei 2014]
18 Mei 2014
![]() |
*** |
2 Februari 2014
Sejak subuh tadi tiba-tiba notifikasi dari blog ini datang bertubi-tubi lewat email. Sebelumnya tidak seintens itu. Baru sadar juga halaman-halaman ini terlihat semakin lapuk. Sepertinya ini pertanda untuk mulai "melirik" kekosongan ini untuk ditulisi lagi.
Mungkin ini repetisi dari gaya lama, memulai dari sebuah pertanyaan.
Apa sih rasanya menang? Apa sih rasanya kalah? Apa kedua rasa itu harus selalu berbeda?
Ups, ternyata kita memulainya dengan tiga pertanyaan.
1. Memaknai kemenangan.
Mungkin ini bahasan menang dalam bahasan yang lebih luas dari sekadar peringkat pertama di sekolah, menang lotere, atau mengalahkan point semua teman dalam game online. Kemenangan juga adalah aliran darah yang bertambah deras saat kita terlalu bersemangat namun di saat yang sama berhasil mengendurkan tonus pembuluh darah sehingga semangat tidak terlalu merusak saat meledak. Atau kemenangan juga bisa kehangatan hati saat berhasil mencapai target harian. Macam-macam. Lalu rasanya? Manis. Selalu manis. Yang berbeda hanya kadar gula, kadang juga beda index glikemiknya.
2. Menerima Kekalahan.
Dibandingkan dengan hal yang pasti manis macam kemenangan, hal yang terkesan getir (apalagi yang dialami oleh orang lain) selalu lebih menarik. Kekalahan juga bukan sekadar kebalikan dari menang. Bukan sekadar nilai raport yang turun, kalah taruhan, atau pertarungan tidak imbang akibat koneksi internet lag.
Haha, untuk yang satu ini sebenarnya pengertian yang diperoleh dari pengalaman kalah yang justru datangnya dari salah satu jabaran di atas. Bisa dibilang itu adalah kekalahan pertamaku, sepele, turun peringkat sekolah. Lha, terus? Aku sedih, terluka, menyalahkan semua orang (instead of blaming myself, silly!), overreacted. Bertahan beberapa minggu dalam keadaan itu, dan akhirnya seperti luka pisau dapur, menutup dengan sendirinya walau tetap meninggalkan bekas. (Ilustrasi dibuat tanpa penggunaan produk regenerasi kulit).
Lalu apa rasanya kalah?
Manis.
Plot twisted. Kekalahan pertama yang pernah aku alami bukan akhir cerita. Selanjutnya, berkat naungan zodiak Virgo dan Shio Kuda, aku sering mengalami kekalahan-kekalahan berikutnya. Mungkin pengaruh fengsui juga, terkadang kekalahan datangnya bak kereta api. Kekalahan semakin banyak, momentum kemenangan aku akui tidak sesering kekalahan itu sendiri. Lucunya, dalam periode itulah aku merasakan kemenangan dalam status paling adiktif. Paling manis.
Aku bukan hanya pengejar kemenangan. Aku juga cinta kekalahan. Aku suka adrenalin tambahan yang aku dapat saat kalah. Aku suka endorfin yang keluar dari baret dan luka saat kalah. Semuanya menciptakan rasa yang lain, manis.
Tiga pertanyaan untuk hari ini sangat banyak ya..
Kemenangan akan kurang manisnya bila tak pernah merasakan kekalahan.
Begitupun kekalahan bisa-bisa menjemukan. Yah, siapa yang betah kalah terus-menerus.
Ini gara-gara seorang kawan mengungkit luka lama kekalahan yang hampir-hampir aku lupakan.
Sejujurnya aku belum puas menang. Di saat yang sama aku merindukan kekalahan.
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup