Defect, anomali...and perspective

29 Juli 2014

On 08.03 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Aku pernah bilang, ada tiga tempat yang palig tidak ingin aku kunjungi: kantor pemerintahan, kantor polisi, dan dokter gigi. Dengan kata lain, aku kurang nyaman bersentuhan dengan ribetnya birokrasi, enggan berurusan dengan polisi (harus kuakui beberapa oknum polisi juga bisa sangat menawan dalam seragam ketatnya), dan tidak suka mendengar suara bor gigi. Hari ini aku menyadari, ada satu keadaan lain yang juga sama tidak aku senangi. Funeral. Upacara kematian. Ngaben, untuk kita umat Hindu di Bali.

***

Setengah hari tadi aku menghadiri upacara ngaben seorang kakek dari sepupu, yang meninggal belum genap seminggu yang lalu. Ini bukan upacara pengabenan pertama yang pernah aku ikuti, namun sepertinya ngaben pertama dimana aku merasakan dan memikirkan berbagai hal yang sebelumnya tidak terpikirkan. Aku lebih suka menyebutnya sebagai tanda kedewasaan, walaupun pada akhirnya semua hanya refleksi dari kesedihan dengan sedikit bumbu ketakutan. Sedih. Perasaan yang terlalu lumrah untuk dirasakan. Terlalu lumrahnya hingga berbalik menjadi sulit untuk diejawantahkan per definisi. Ya, apa yang perlu diperjelas lagi?

Sedih, kesedihan. Nama yang juga sekenanya kita pasangkan dengan kehilangan, kekecewaan, hmmm..mungkin kegagalan. Bagaimanapun, seperti kata seorang kawan lama, kesedihan hanya ada untuk dirasakan, bukan diartikan. Karenanya, aku tidak paham dengan makna raut sedih dan airmata yang kutemui seharian ini. Lebih tidak paham lagi karena entah mengapa aku merasakan seperti ada semacam lubang yang muncul begitu saja di tempat yang biasa kita tunjuk sebagai “hati”. Semakin tidak paham saat menyadari, lubang hati ini menyakiti dan membuat raut wajahku serupa dengan raut wajah sedih lainnya. Kesedihan sepertinya memang menular.

Satu lagi, ketakutan. Nah, yang ini aku malah rancu, takut yang barusan lewat sebenarnya untuk apa. Untuk latar tempatnya yang memang di kuburan (setra) atau untuk pemandangan bakar jenazah yang menurutku selalu akan sesuatu. Jujur saja, lewat pengalaman ngoas (ngelayap sebagai koas), aku banyak melihat kematian dan sekuel paska kematian. Yah, paling tidak cukup banyak untuk remaja seumuranku (bilang aja iya). Kematian di depan mata, bahkan yang meninggal saat kedua tangan ini masih tersambung lewat seperangkat alat yang seharusnya bertugas menyelamatkan nyawa. Rasanya? Pertama, unexplainable. Kedua, unexplainable. Ketiga, keempat, seterusnya.. masih tidak bisa dijelaskan. Kalau yang sekuel paska kematian, aku bilang adalah beberapa minggu berkutat di forensik. Kalaupun aku bilang rasanya juga bukan untuk dijelaskan, itu karena lagi-lagi ada logika yang harus menyerah pada perasaan. Setelah kupikir-pikir. Ini lebih pada ketakutan akan kehilangan itu sendiri.

Pada titik ini, ditinggal pergi terasa amat menakutkan, jauh, jauh, jauh lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri.

***

Ah, ya. Layaknya acara keluarga besar yang melibatkan banjar dan adat, selalu ada anak-anak. Mungkin hari ini mereka (anak-anak) ini yang berperan membuat kesedihan dan ketakutan tadi sedikit teredam. Aku rindu kembali menjadi anak-anak. Mereka dapat melewati hari ini tanpa menguras pikiran atau menggali lubang menganga di hati. Sedih, pasti. (Aku bilang kesedihan itu menular). Namun bagi mereka tidak perlu esok hari untuk kembali ceria lagi.  

***

Dan...ya. Aku tetap tidak akan pernah menyukai upacara kematian, pemakaman, ngaben.
Memang ada hal yang pastinya tak bisa terhindarkan.
Kalaupun saatnya itu tiba, aku hanya ingin ada dengan format yang lebih siap.

[Rest in peace for every soul who goes back to Him the Almighty]

0 comments:

Posting Komentar