30 April 2013
Judul kali ini mungkin sedikit serius ya..
Mungkin akibat pengaruh analisa data yang kejar target minggu ini (maklum ya, kan koas..)
Tapi memang benar dan tidak bisa dipungkiri lagi, kisah tentang subyek penderita atau orang teraniaya memang paling sering diangkat dan ajaibnya seringkali menuai lebih banyak perhatian. Termasuk juga kisah tentang koas-koas ini. Jadi apa kita (koas) adalah subyek penderita? Atau pihak yang teraniaya?
Berbeda dengan judul yang sok serius, isi tulisan ini tidak seserius itu.
Berawal dari hasil observasi mendalam saat sore tadi sempat jalan-jalan ke Gramedia (sempet-sempetnya ya...kan koas..), baru sadar ternyata banyak hal yang terlewatkan. Macam timeline yang lama tak terbaca, isi Gramedia sepertinya baru semua. Diantara banyak buku-buku dan penulis-penulis baru, ternyata banyak yang mengangkat tentang suka duka hidup sebagai koas. Bukan hal yang baru sekali sih, tema ini mungkin memang menarik diangkat lewat novel 200an halaman. Khas sekali, bahasanya ringan, lucu beraroma konyol, membacanya memberi kemampuan ekstra untuk menertawakan diri sendiri seperti menertawakan orang lain. Beberapa menampilkan orisinalitas, mungkin juga karena bisa dibilang pelopor penulisan bertema koas-koas-an, atau bisa juga karena sisi dan sudut pandang yang diangkat. Sebut saja Cado-cado atau Koas Racun.
Namun seiring dengan keberhasilan buku-buku pelopor, bermunculanlah buku-buku setema dan serupa. Setema, karena jelas yang diangkat ya pada dasarnya ya cerita koas itu tadi. Serupa, karena sebagian besar muncul dengan cover yang rada-rada mirip: figur berjas putih (ceritanya koas) yang dikelilingi benda-benda medis, dilatari oleh lingkungan yang biasanya komikal. Membludaknya buku-buku setema-serupa tersebut memunculkan pertanyaan penelitian, apakah cerita koas begitu banyaknya hingga seakan tiada habisnya? Mari mengumpulkan data dengan populasi seluruh koas di seluruh FK di Indonesia.
Bukannya ingin memunculkan nada skeptis mengenai buku bertema koas. Namun, tren kemunculannya tidak berbanding dengan variasi dan kualitas humor yang ingin ditampilkan. Cerita tentang koas, ketika diejawantahkan lewat tulisan bergenre humor, terbukti mengeksitasi dan memunculkan hiburan segar baik bagi para koas maupun golongan non-koas. Manfaat lainnya adalah (1)menciptakan ilusi keindahan duniawi melalui cerita yang di-twist disana-sini dan (2)membuka mata dunia lewat beberapa fakta yang diselipkan "Jadi begini lho prosesnya sebelum jadi dokter". Setelah tren terlihat dan mulai melewati nilai median, yang ada adalah humoritas hambar, terutama diduga akibat faktor kurangnya kreativitas dalam pembawaan cerita.
Sebagai koas, tentu akan sangat senang bila kisahnya diangkat (atau terangkat lewat tulisan koas lain) dan dapat menghibur khalayak banyak. Namun di titik ini, sepertinya cerita-cerita tersebut lebih banyak direpetisi demi royalti dan mulai mengesampingkan tujuan awal itu sendiri. Alhasil, post-keliling Gramedia sore tadi, ada tanya yang mudah namun menyakitkan untuk dijawab. Apa kita (koas) adalah subyek penderita? Atau pihak yang teraniaya? Belakangan kisah koas menjadi sumber empuk eksploitasi, terus dikembangkan, walaupun melewati batas esensi.
Saya agak kecewa.
[Saya tidak membeli satu pun buku sore tadi. Bukan karena kekecewaan saya di atas, melainkan lebih karena saya ada dalam mode hemat. Jadi kalau mode hemat kerjanya jalan ke toko buku buat baca di tempat? Yah, maklumlah...kan koas...]
4 April 2013
On 02.16 by anya-(aydwprdnya) 1 comment
Saya ini bukan salah satu manusia penggemar pedas. Agak aneh menurut kawan-kawan saya dari seberang lautan. Menurut mereka, orang Indonesia sudah semestinya adalah penikmat makanan pedas. "Bukan tipikal orang Bali", begitu kata tetangga saya. Yah, apalagi Bali yang identik dengan basa genep, sambel matah, sampai bumbu super pedas lainnya. Kata ibu saya lain lagi, beliau bilang, kalau tidak suka pedas tidak akan bisa masak enak. Saya tidak bisa menemukan logika dalam kalimat tersebut sampai sekarang. Jawabannya mungkin kembali lagi pada pernyataan tak terbantahkan di awal, Indonesia, juga Bali, identik dengan makanan pedas.
Tren masa kini yang membuat orang-orang macam saya semakin terpojok adalah makanan ringan dengan tagline pedas bergradasi yang membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi superkuereenn. Sebuat saja Maichi, kripik pedas asal Bandung yang punya 10 level kepedasan. Atau mie rawit yang pembelinya boleh memilih jumlah rawit yang diinginkan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya 20 cabe, 30, sampai 60 (Gila...bukan apa-apa, cabe mahal cuy..!). Di dekat kawasan tinggal saya juga ada rumah makan SS (Serba Sambal). Ahh, banyak lagi contoh lainnya. Salah satu teman saya pernah berkata jumawa, "Kemaren aku habis sebungkus Maichi level 9. Sendiri pula." Saya tak seharusnya ambil pusing, hanya saja ia berkata demikian sesaat setelah saya mengeluh, "Busheett, hampir mati ni makan Maichi level 3.." Percayalah, itu pertama dan terakhir kalinya saya mencoba sang kripik pedas asal Bandung.
Apa sih nikmatnya pedas? Katanya pedas bisa membangkitkan selera makan, meningkatkan produksi air liur. Saya setuju dengan yang kedua tapi menyangkal yang pertama. Ada juga yang bilang ini bukan hanya tentang sensasi pedas, melainkan juga aroma cabai yang gimana gitu. Saya abstain untuk pendapat tersebut. Namun saya sempat mencoba menambah paprika dalam green salad saya. Notabene paprika adalah saudara sekandungnya cabai (mungkin satu ibu beda ayah). Nyatanya...saya juga tidak suka paprika.
Bagaimanapun orang memaksa saya "belajar" makan makanan pedas, setelah hidup 22 tahun saya masih belum bisa menikmatinya. Pedas itu bukan budaya, tapi selera. Kalau budaya, saat lahir di dalamnya ia akan mengaliri lumen pembuluh nadi saya. Tapi karena ia adalah esensi dari selera, maka saya merasa berhak memilih untuk tidak suka. Tapi tentu saja, di bawah tekanan, saya terus berusaha mencoba.
Belakangan ini muncul produk mie instant yang menonjolkan ikon cabe ijo (dan warnanya, agak mengherankan, memang hijau). Siang tadi saya coba, aromanya memang sangat cabai. Saya makan, habis. Tidak sepedas warna hijaunya memang, saya kurang suka aromanya, tapi tetap heran karena secara ganjil saya merasa macho.
Ahh... Indonesia akhir-akhir ini lebih mementingkan selera sepertinya.
Tren masa kini yang membuat orang-orang macam saya semakin terpojok adalah makanan ringan dengan tagline pedas bergradasi yang membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi superkuereenn. Sebuat saja Maichi, kripik pedas asal Bandung yang punya 10 level kepedasan. Atau mie rawit yang pembelinya boleh memilih jumlah rawit yang diinginkan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya 20 cabe, 30, sampai 60 (Gila...bukan apa-apa, cabe mahal cuy..!). Di dekat kawasan tinggal saya juga ada rumah makan SS (Serba Sambal). Ahh, banyak lagi contoh lainnya. Salah satu teman saya pernah berkata jumawa, "Kemaren aku habis sebungkus Maichi level 9. Sendiri pula." Saya tak seharusnya ambil pusing, hanya saja ia berkata demikian sesaat setelah saya mengeluh, "Busheett, hampir mati ni makan Maichi level 3.." Percayalah, itu pertama dan terakhir kalinya saya mencoba sang kripik pedas asal Bandung.
Apa sih nikmatnya pedas? Katanya pedas bisa membangkitkan selera makan, meningkatkan produksi air liur. Saya setuju dengan yang kedua tapi menyangkal yang pertama. Ada juga yang bilang ini bukan hanya tentang sensasi pedas, melainkan juga aroma cabai yang gimana gitu. Saya abstain untuk pendapat tersebut. Namun saya sempat mencoba menambah paprika dalam green salad saya. Notabene paprika adalah saudara sekandungnya cabai (mungkin satu ibu beda ayah). Nyatanya...saya juga tidak suka paprika.
Bagaimanapun orang memaksa saya "belajar" makan makanan pedas, setelah hidup 22 tahun saya masih belum bisa menikmatinya. Pedas itu bukan budaya, tapi selera. Kalau budaya, saat lahir di dalamnya ia akan mengaliri lumen pembuluh nadi saya. Tapi karena ia adalah esensi dari selera, maka saya merasa berhak memilih untuk tidak suka. Tapi tentu saja, di bawah tekanan, saya terus berusaha mencoba.
Belakangan ini muncul produk mie instant yang menonjolkan ikon cabe ijo (dan warnanya, agak mengherankan, memang hijau). Siang tadi saya coba, aromanya memang sangat cabai. Saya makan, habis. Tidak sepedas warna hijaunya memang, saya kurang suka aromanya, tapi tetap heran karena secara ganjil saya merasa macho.
Ahh... Indonesia akhir-akhir ini lebih mementingkan selera sepertinya.
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup