Defect, anomali...and perspective

4 April 2013

On 02.16 by anya-(aydwprdnya)   1 comment
Saya ini bukan salah satu manusia penggemar pedas. Agak aneh menurut kawan-kawan saya dari seberang lautan. Menurut mereka, orang Indonesia sudah semestinya adalah penikmat makanan pedas. "Bukan tipikal orang Bali", begitu kata tetangga saya. Yah, apalagi Bali yang identik dengan basa genep, sambel matah, sampai bumbu super pedas lainnya. Kata ibu saya lain lagi, beliau bilang, kalau tidak suka pedas tidak akan bisa masak enak. Saya tidak bisa menemukan logika dalam kalimat tersebut sampai sekarang. Jawabannya mungkin kembali lagi pada pernyataan tak terbantahkan di awal, Indonesia, juga Bali, identik dengan makanan pedas.

Tren masa kini yang membuat orang-orang macam saya semakin terpojok adalah makanan ringan dengan tagline pedas bergradasi yang membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi superkuereenn. Sebuat saja Maichi, kripik pedas asal Bandung yang punya 10 level kepedasan. Atau mie rawit yang pembelinya boleh memilih jumlah rawit yang diinginkan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya 20 cabe, 30, sampai 60 (Gila...bukan apa-apa, cabe mahal cuy..!). Di dekat kawasan tinggal saya juga ada rumah makan SS (Serba Sambal). Ahh, banyak lagi contoh lainnya. Salah satu teman saya pernah berkata jumawa, "Kemaren aku habis sebungkus Maichi level 9. Sendiri pula." Saya tak seharusnya ambil pusing, hanya saja ia berkata demikian sesaat setelah saya mengeluh, "Busheett, hampir mati ni makan Maichi level 3.." Percayalah, itu pertama dan terakhir kalinya saya mencoba sang kripik pedas asal Bandung.

Apa sih nikmatnya pedas? Katanya pedas bisa membangkitkan selera makan, meningkatkan produksi air liur. Saya setuju dengan yang kedua tapi menyangkal yang pertama. Ada juga yang bilang ini bukan hanya tentang sensasi pedas, melainkan juga aroma cabai yang gimana gitu. Saya abstain untuk pendapat tersebut. Namun saya sempat mencoba menambah paprika dalam green salad saya. Notabene paprika adalah saudara sekandungnya cabai (mungkin satu ibu beda ayah). Nyatanya...saya juga tidak suka paprika.

Bagaimanapun orang memaksa saya "belajar" makan makanan pedas, setelah hidup 22 tahun saya masih belum bisa menikmatinya. Pedas itu bukan budaya, tapi selera. Kalau budaya, saat lahir di dalamnya ia akan mengaliri lumen pembuluh nadi saya. Tapi karena ia adalah esensi dari selera, maka saya merasa berhak memilih untuk tidak suka. Tapi tentu saja, di bawah tekanan, saya terus berusaha mencoba.

Belakangan ini muncul produk mie instant yang menonjolkan ikon cabe ijo (dan warnanya, agak mengherankan, memang hijau). Siang tadi saya coba, aromanya memang sangat cabai. Saya makan, habis. Tidak sepedas warna hijaunya memang, saya kurang suka aromanya, tapi tetap heran karena secara ganjil saya merasa macho.

Ahh... Indonesia akhir-akhir ini lebih mementingkan selera sepertinya.

1 komentar:

  1. hehehhee... pedees itu emang selera dan pilihaan pradnya... hehehehe....

    BalasHapus