17 Oktober 2017
Bulan paling terang adalah sehari setelah purnama. Selalu. Dan kita berdua tahu itu.
Misiku sepanjang seratus kaki dari mimpi; menjaga bulan runtuh di selantun tektonik, menghadangnya membentuk sabit dengan mengikatnya pada bayangan pohon tua, juga menolak gugurnya walaupun sudah tiba musimnya.
Bukan aku yang lebih tahu, asal usul konstelasi dan sejarah benda-benda bumi. Dan bukan dirimu, yang penuh omong kosong perihal awan dan bintang yang menari.
Pada masanya, manusia akan mulai bertanya, sejak kapan matahari mencelup cahaya, kemudian menampar bulan sekuat tenaga. Sampai terang. Sampai senang. Sampai kalimatku pecah menghantam gendang telinga siapa saja. Sampai senyummu beku. Cukup sampai di situ.
Ah ya, tentang bulan. Karena aku terlanjur menyebutnya lewat kedip mata.
Apa ia pernah pergi terlalu lama?
-A
08.10.2017
Search
Popular Posts
-
Hari kemarin, ia memperkarakan tentang bahagia. Bahkan debu jalanan pun tidak menjawabnya. Apakah memang tak bisa? * * * Di ...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup