Defect, anomali...and perspective

12 September 2017

On 15.13 by anya-(aydwprdnya) in , , , ,    No comments

Berapa banyak musim yang pergi?
Apakah lebih banyak dari musim yang berganti?

Ini bukan pertama, garis lintang sesak dilintasi rasa tanpa kata

Sebaliknya, huruf dan simbol saling menikahi, mengikrar janji berusaha hidup menolak mati
Kemudian, apa arti dingin yang gugur pada setapak yang tak habis dipunguti?

Penanda hari ini adalah musim yang berganti,
Ada terang dan benci bertabrakan di udara,
paralel di lintasan yang sama, gersang dan sepi menyapa sekadarnya.
Tak ada lupa, tak ada sisa
Tak lagi luka, tak pula jeda. 

Musim memang mengenali masanya, 
Demi kios-kios yang serentak membuka jendela. 
Juga demi harga yang ditawarkan pada warna. Juga rupa. Juga mata. Juga pelintas bumi yang menguap setelah titik koma.

Seharusnya dimulai sebuah cerita,
namun bunga-bunga habis sebelum senja. Bahkan kaktus-kaktus muda tandas bersama durinya. 
Panggung harus dilipat ulang.
Pencerita masih enggan pulang. 
Gelap menolak datang. 
Langit malam tak akan lekat dengan gaung parau kereta tua.
berjodoh dengan angin adalah tiupan-tiupan mesra (seharusnya dimaklumi oleh semua insan yang gemar berkeliaran)
Sungguh, ini perayaan kecil tanpa sampai jumpa.

Dan bagi satu merpati yang mencintai remah-remah roti,
Satu musim sepertinya tak akan kembali.

A.

9 September 2017

On 16.48 by anya-(aydwprdnya) in , , ,    No comments


Tentu judul akhir tulisan ini adalah hasil akhir dari dramatisasi tanpa batas, imajinasi dan kenaifan tiada tara, ditambah dengan kekonyolan (yang tak perlu didefinisikan lebih lanjut), dan kedamaian hati di akhir pekan. Mungkin di awal terdengar romantis, seakan aku ingin bernostalgia dengan cinta-cintaan monyet [selintas terdengar sound tract Meteor Garden], tapi sesungguhnya tidak. Sama sekali tidak. Aku akan membiarkan kesesatan ini bertahan hingga kita berhasil melintas ke paragraf selanjutnya.

[Berakhir]
Hingga menit-menit terakhir sebelum penerbangan Bali-Jakarta bulan kemarin, keluarga dan teman masih mempertanyakan hal-hal seperti, "Nanti di sana makan apa", "Ada yang jual beras, nggak?", "Kalau masak nanti beli bumbu dimana?", "Ada bawang nggak di Jerman" (ok, yang itu cukup konyol bagiku), "Nggak bawa Indomie yang banyak? Nanti kangen makan mie." Ya, tidak heran juga jika kekhawatiran tentang makanan adalah komponen dasar dalam hal memastikan kemampuan bertahan hidup. Hingga sebelum menginjak Berlin, aku sendiri pun tidak terlalu yakin jawaban atas pertanyaan sekelas itu. Kalaupun aku jawab, "Banyak kok yang jualan bahan makanan semacam toko-toko Asian...", itu semata untuk menyudahi kekhawatiran. Kekhawatiran si penanya sekaligus yang ditanya. Maka kemudian sedari awal aku agendakan, berburu Asia Markt adalah prioritas. 

Prioritas bergantian menempati urusan teratas, Asia Markt tergeser tetek bengek birokrasi kependudukan dan persiapan perkuliahan. Hingga pada satu titik, mitos itu menjadi nyata, aku kangen makan nasi. Masalahnya rasa kangen itu tidak terselesaikan dengan memasak beras dengan panci, yang entah kemampuanku menguap kemana, selalu gagal menghasilkan nasi. Pernah jadi bubur, pernah jadi nasi tim, pernah pula mendekati nasi aking. Entah ini ada kaitannya atau tidak dengan perasaan terintimidasi oleh salah satu anak penghuni rumah yang terlihat lebih menguasai dapur dan tahu bagaimana caranya memasak, tekadku pun bulat sempurna, aku perlu rice cooker. Segera. Dengan demikian, perjuangan mencari penanak nasi pun bermula.

Kalau di Indonesia, di Bali, di Denpasar, masalah penanak nasi ini akan terselesaikan dengan mudah dengan menyambangi toko perlengkapan rumah tangga dan elektronik. Favoritku selama ini adalah Dapur Prima, atau toko elektronik di seputaran Diponegoro. Dengan mengadaptasi pola yang sama, Media Markt (salah satu sentra toko elektronik) menjadi opsi utama. Masalah terselesaikan? Tidak. Rice cooker di tangan? Belum. Media Markt memang menjual rice cooker, entah aku yang masuk ke Media markt yang salah, yang ready stock adalah rice cooker ukuran 6 L, yang lebih kecil lagi 3 L. Yang lebih kecil lagi 2 L ditambah dengan fitur yang kurang aku mengerti dan sepertinya tidak aku butuhkan. Kecuali aku berencana untuk menghelat hajatan di dormitory, sepertinya aku harus mempertimbangkan rice cooker standar dengan kapasitas yang cukup kecil untuk mengisi satu perut. Satu lagi, harga di atas 50EUR sepertinya tidak mungkin untuk isi kantongku kala itu. Keluar dari pintu Media Markt, aku masih terkenang masa-masa bersama Miyako, sambil konsultasi dengan beberapa kawan tentang kemungkinan menemukan penanak nasi murah di Berlin. Tidak banyak pilihan yang aku miliki, hampir menyerah melanjutkan balada nasi-yang-bukan-nasi saja. Hingga terbersit niat untuk mapir ke toko Asia terdekat, kalau pun tidak ada nasi, setidaknya aku bisa makan lauk yang mirip-mirip masakan rumah, syukur-syukur bertemu tahu atau tempe. Google menjawab pertanyaanku lewat Hao Cai Lei.
 
Iya, serius, nama toko Asia-nya adalah Hao Cai Lei, berlokasi di Karl-Marx-strasse . Tokonya tidak terlalu besar, mudah ditemukan karena dengan dengan stasiun U-Bahn, begitu masuk pintu depan, langsung disamput oleh cici yang heboh berbicara lewat telepon dalam bahasa Mandarin. Screening seluruh isi toko, pelukanku sudah penuh dengan beras, saos, bumbu beraneka macam, tahu (sayang tidak ada tempe), ramyun instan (biarlah kekhawatiran tentang ini aku simpan sendiri), dan kimchi (berdasarkan review dari Google site). Saat itu lah aku melihat setumpuk barang yang bercahaya dan memancarkan harapan, rice cooker! Dan ukurannya mini. Ketika aku tanya harganya, 30EUR untuk ukuran 1,5 L dan 25 EUR untuk 0,6 L. Jauh lebih murah daripada penanak berfitur canggih yang dijual di Media Markt, tapi hatiku masih menyimpan keraguan, sambil terus memandangi (mungkin juga sambil mengelus) rice cooker tersebut. Mungkin wajahku terlalu mengenaskan hingga diberi potongan harga 4EUR, menjadi 21 EUR untuk rice cooker berukuran paling kecil. AKu tidak punya alasan untuk menolak. Dan entah apa lagi yang begitu memprihatinkan dari diriku, di kasir, harga rice cooker berubah lagi menjadi 19EUR! Akh, mungkinkan aku baru saja berhasil menawar dengan hati, aku tak terlalu ambil pusing.

Hingga saat ini, sudah sekitar 5 toko Asia yang aku temukan di sekitar Berlin, semuanya memiliki keunikan tersendiri. Yang pasti, tentang Hao Cai Lei ini, aku berikan satu tempat di hati. 

KUPU-KUPU
Tidak, aku belum bertemu satu kupu-kupu pun di Berlin, dan cukup bersyukur karena belum juga bertemu dengan kucing. 
Sebenarnya ini tentang minggu-minggu awal di kampus (lagi). Jadi bagaimana rasanya kuliah master? Cukup mengejutkan batin dengan jam kuliah 9-16 (paling cepat), kadang 9-18, atau lebih dengan penyesuaian. Pada dasarnya, kemampuan optimalku bertahan di kelas untuk kuliah berkisar antara 4-5 jam saja. Jam kuliah yang panjang, tumpukan buku yang harus dibaca, cuaca dan udara yang mulai dingin, semuanya mendukung menjadikanku mahasiswa kupu-kupu. KUPU-KUPU, kuliah pulang kuliah pulang? Atau kuliah pulang klub pulang? Aku sendiri tidak yakin juga. Hehe. Pada akhirnya, selalu ada alasan untuk makan bersama sepulang kuliah, atau sekadar duduk di Bier Garten. Hari pertama kuliah utama semester ini adalah ulang tahunku, besoknya malam dengan cuaca cerah, besoknya merayakan pindahan teman, besoknya ulang tahun teman yang lain....begitu terus. Selalu ada alasan untuk menikmati Berlin di malam hari, walaupun besoknya harus bangun pagi. 
Beberapa hal yang terjadi selama 'metamorfosis': aku mulai terbiasa lagi menyiapkan bekal makan siang yang bervariasi dan tidak melulu roti, pisang yang dulu di rumah selalu membosankan sekarang justru tiap hari aku rindukan, melihat ramalan cuaca PER JAM dan tahu apakah harus membawa payung, syal, atau sarung tangan ekstra, menjadi exBerliner sejati yang membaca buku di subway tanpa sensasi mabuk darat, tidur dan melewatkan stasiun karena terlalu mengantuk, memuja kopi sebagai penyelamat jiwa dan raga terutama di perkuliahan sesi kedua.

Sejauh ini, kuliah terasa amat sangat menyenangkan setalah sekian lama tidak menandatangani lembar absensi (entah setelah modul statistik bulan depan). Ya, banyak yang menganggap ini konyol, di Charite masih menerapkan absensi tanda tangan, bahkan untuk kuliah master sekalipun. Terlepas dari menjadi 'kupu-kupu' yang seperti apa, terlepas dari cerita ini ada atau tidak esensinya bagi umat manusia, terlepas dari ketidaksinambungan cerita dari awal hingga akhir...ini adalah kabar bahwa aku baik-baik saja.

Salam sayang.