Defect, anomali...and perspective

20 Oktober 2016

On 09.13 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Bila ada yang masih menyimpan tanya, tentang kabarku bagaimana, aku dimana, sedang apa, semalam berbuat apa, dan seterusnya... Maka aku harus menjawab bahwa segalanya baik-baik saja, aku kembali bekerja sambil mengantisipasi segala detail perubahan rencana. Aku bekerja. Seperti biasa, mengerjakan hal penting tak penting yang aku suka, sambil di selanya bekerja (menghasilkan uang) demi membiayai penting tak penting yang aku maksud tadi.

Menekan tombol reset, masuk ke mode kerja dengan situasiku bukan hal yang sulit, namun juga tak mudah. Setahun belakangan aku mengalami siklus kerja-resign berkali-kali di berbagai tempat yang berbeda. Menyenangkan karena akhirnya aku kembali menemukan tempat kerja baru untuk bernaung sementara waktu, namun bagaimanapun otak ini perlu beradaptasi dan perlu waktu. Karenanya, begitu Lia, teman lama dari masa SMA, mengajakku untuk bersenang-senang, aku merasa harus menyingkirkan beberapa jadwalku untuk itu. 

Clean Bali Series
Dari judul kegiatannya aku berasumsi bahwa ada rangkaian kegiatan lainnya, selain acara hari Minggu, 16 Oktober 2016 yang kebetulan bertempat di Oemah Apik, Pejeng, Gianyar. Aku mengorek sedikit, modus rangkaian kegiatan ini adalah sejalan dengan namanya, berbasis lingkungan, fokus pada pendidikan lingkungan bagi anak. (Pada titik ini aku merasakan kerinduan yang dalam sekali pada Pondok Buku Genitri, mengingat bagaimana konsep sederhana yang serupa juga kami pikirkan sepenuh hati.) Kelemahan dan kenaifanku yang tak pernah berubah, dimana ada anak-anak tertawa, di sana ada ceria, di sana awal cerita, dan di sana obat mujarab untuk segala sedih. Maka jangan pertanyakan bagaimana aku tiba di sana dengan semangat membara seakan aku tidak jaga malam di sabtu sebelumnya. Terima kasih Google Map yang menunjukkan jalan kebenaran hingga insan ini tidak terlunta di bumi Gianyar. 


Oemah Apik, selayak namanya, apik benar. Sebenarnya tempat ini berformat villa yang dikomersilkan. Hanya saja karena si pemilik memiliki kepedulian tinggi terhadap anak-anak, maka diselenggarakanlah kegiatan Clean Bali Series ini di Oemah Apik ini. Tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan hari minggu bila aku masih anak-anak (bahkan juga sebagai wanita 26 tahun). Juga tempat yang indah untuk bertemu dengan Pak Taro, bintangnya kegiatan minggu kemarin.

Pak Taro, Koran Minggu, dan Kisah-kisah Masa Lalu.
Ini kali pertama aku bertemu langsung dengan beliau. Kali sebelumnya, hanya lewat cerita yang aku catut dari koran pagi tanpa seizin beliau atau siaran TVRI. Tak banyak kesempatanku berinteraksi dengan beliau, jelas beliau harus fokus pada anak-anak. Secara sepintas beliau memancarkan aura mengayomi, setelah lewat sebuah dongeng dan beberapa gimmick dengan anak-anak, kesan tambahanku adalah beliau mesti adalah guru yang tegas. Jika aku anak-anak, aku akan berpikir bahwa Pak Taro adalah guru yang galak, haha, maafkan saya, Pak. Saya juga bukan murid yang baik. 


Mendengarkan Pak Taro, melihat fluktuasi emosi anak-anak, mengingatkanku pada masa lalu dimana aku pernah menjadi tanah liat yang dibentuk salah satunya lewat dongeng-dongeng dan cerita lisan maupun tulis. Indah, menyenangkan, masa dimana aku tidak wajib memikirkan masalah dunia.



Apa yang rela kita tukar dengan deretan kartun (yang kini nyaris punah) di hari Minggu pagi?
  • Bertemu teman baru?
  • Bermain di halaman berumput?
  • Tertawa hingga lupa waktu?
  • Melewatkan mandi, lalu bermain lagi?
  • Melupakan ada ulangan esok hari?
  • .....(isi sendiri)



Aku mendapatkan pelarianku di hari minggu pagi. Bersama anak-anak aku merasakan akrab yang tak asing. Aku boleh menjadi apa saja. Aku tidak harus dokter. Aku boleh menjadi teknisi pesawat. Aku bisa menjadi pengrajin kayu. Aku boleh menjadi kolektor batu akik. Aku tidak dilarang mengingkari beban yang menempel sejak awal bulan. Seperti berhenti di ruas jalan tol, keniscayaan yang bebas aku main-mainkan. 

Namun aku harus subyektif, karena bagaimanapun aku hanya merangkum kembali hari itu yang berkesan bagiku. Juga referensi untuk hari nanti bersama anak yang sama atau beda. Kadang beberapa anak bosan, kadang beberapa anak teralihkan perhatiannya. Di saat yang sama, tentu kita ingin segalanya berjalan sesuai rencana. Mengalah saja, biarkan anak-anak menikmati keriaannya. Aku adalah defender nomor wahid bila seseorang tega merampas senang milik minggu ketika kita terlibat dalam lingkungan yang mengamini setiap anak untuk bersekolah dari senin hingga sabtu. Beberapa kali aku merasa terganggu karena oknum kakak gemas melihat oknum anak yang nyleneh, sulit diatur, dan menolak diperintah. Karena dedikasi hari itu adalah suguhan untuk keceriaan mereka, biarkan mereka kenyang karena senang. Bilapun bosan, tanggungjawab kita semua untuk menyuguhkan menu yang berbeda.

Sisanya, hari minggu kemarin adalah short escape yang membuka pikiranku akan hal-hal besar lainnya. 

Sekali lagi, terima kasih atas perhatiannya. Aku baik-baik saja.

19 Oktober 2016

On 17.57 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Sedih yang paling sedih adalah sedih yang tidak boleh ditunjukkan. Sama halnya dengan rasa yang tidak mendapatkan pengakuan. Dan dilema yang ada karena kita izinkan. 

Sedih semacam itu sama seperti aroma aerosol pengharum ruangan, semakin kita hirup semakin cepat wanginya raib. Dan ketika aku berulang kali merasakan sedih yang sama, aku tahu, ini karena aku tak pernah berani menghirupnya terlalu lama, akibatnya ia selalu sisa.

Maka, aku bercerita. 

*   *   *
Gadis kecil tak akan pernah yakin harus memanggilnya apa. Kepala kecilnya kala itu terdoktrin bahwa lelaki itu bukan siapa-siapa, bukan keluarga, dan keberadaannya dalam lapang pandang gadis kecil tidak mengartikan apa-apa. Jikapun gadis kecil menemukan panggilan yang menurutnya pantas, lagi-lagi menurut otak kecil dalam kepala kecilnya, maka itu hanya demi norma dan sebagai bentuk formalitas. 

Gadis kecil tak tahu banyak cerita tentangnya. Selain tentang ia ada, mengenai asal muasal, gadis kecil (hingga ia tidak kecil lagi) hanya pelantun cerita dari bukan sumber pertama. Sebagian besarnya ia yakini sebagai rekaan belaka. Sejujurnya gadis kecil tidak peduli. Bagi anak berumur kurang dari lima, yang terpenting adalah ada hangat ketika tidak sendiri. Pada masa itu, banyak memori yang diracik bersama si lelaki.

Pernah suatu hari, sial menempeli angkot pagi, angkutan pulang taman kanak-kanak gadis kecil, dimana ia bersebelahan dengan ibu-ibu yang baru pulang dari pasar. Si angkot tua tiba-tiba mati. Di pinggiran desa yang terlalu jauh dengan satuan jangkauan kaki. Melihat rumah berkat motor tua yang dipinjam sopir yang bertanggungjawab tidak serta merta membuat segala takut menjadi sirna. Sekantung plastik ikan segar, yang akan menjadi santapan sekeluarga, terlupa. Tergeletak mengait pada salah satu besi lengkung di dalam angkot. Gadis kecil memutuskan kembali. Bersamaan dengan drama hujan menari untuk bumi. Kala itu hanya ada sedikit insan yang mengerti, salah  satunya adalah si lelaki. Payung yang berlubang bahkan kelelahan menahan hujan. Kaki kecil lelah menyerah dalam gendongan. Beratus kali gadis kecil berpikir, andai dalam hal berjalan dan menggendong itu mereka bisa bergantian.

Hari tidak beruntung lainnya. Gadis kecil bermain terlalu ceria di halaman sekolah, beberapa tahun sejak ia melupakan sekantung plastik ikan saat pulang menumpang angkot dari taman kanak-kanak. Ia terjatuh, tidak sengaja atau iya, ia lupa. Wajahnya berdarah penuh luka, salah satunya menganga. Entah masa itu ada apa dengan P3K, seorang petugas sekolah justru membawanya pulang ke rumah. Tidak ada siapa pun, kecuali lelaki yang bukan siapa-siapa. Diulangi, lelaki yang bukan siapa-siapa. Anehnya, ia yang paling marah. Lelaki mendatangi sekolah (aku lupa apa saat itu ia menggenggam sabit saat marah), menanyai setiap temanku sampai lelah. Hingga akhirnya ia menyadari wajah gadis kecil masih memiliki luka yang meskipun tidak parah, namun tak henti melelehkan darah. Hari itu, gadis kecil mendapat lima atau tujuh jaritan di pelipis dan dagu.

Tahun berganti, gadis kecil mungkin tidak kecil lagi. Ia melihat dunia, ia mengejar cinta, ia menjadi apa yang ia suka. Serangkum masa, dimana sedikit sekali memori yang terekam bersama si lelaki. Sementara gadis kecil beranjak dewasa, lelaki bertambah tua. Tentu saja. 

Lelaki yang beranjak tua, bukan karakter favorit manusia. Ia tidak ramah pada segala tetek bengek dunia. Ia marginal, pada beberapa momentum ia bahkan kriminal. Gadis kecil tidak pernah membencinya, gadis kecil tidak pernah punya nyali untuk membenci. Maka kuncuplah sekuntum dilema disana, baik pada lelaki akan menyulut iritasi pada orang lain di dekatnya. Keras ia berusaha menjadi bukan siapa-siapa, tak pernah bisa. Ia tetap memijati lelaki jika ada waktu luang (ketika usianya masih kecil ia memijat dengan kaki, berjalan di punggung lelaki dan berpura-pura gumpalan otot berbalut kulit gelap milik lelaki sebagai jalan di perbukitan yang menyenangkan). Ia mengantarkan lelaki membeli kebutuhan perut setiap waktunya luang. Ia kadang menyelundupkan makanan, dan bila masih punya, sebelum pergi gadis kecil yang kini sudah besar akan meninggalkan sejumlah uang. 

Bukan hanya pada si lelaki hidup berlaku keras. Gadis kecil juga memiliki prioritas. Gadis kecil mulai lelah menjadi satu-satunya yang tidak abai pada si lelaki. Apalagi ia mulai membicarakan hal yang tidak gadis kecil minati. Hal-hal seperti apa yang lelaki miliki dan bahwa lelaki akan mati. 

Tiga hari. Tiga hari atau lebih ia tidak menampakkan diri. Manusia hidup, seberapa sendiri, wajib berjumpa dengan matahari. Saat itulah gadis kecil bersama mereka lainnya yang bukan siapa-siapa menyadari akan ada hari yang berat. Lelaki, yang entah sejak kapan menjadi sangat tua, sekarat. 

Waktu menyimpan misteri mengenai kapan ia lalu, tapi apalah manusia yang tidak pernah tahu. Hari dimana gadis menemukan lelaki sekarat, ia tidak tahu harus apa. Ia menyiapkan air gula, menyuapinya dengan bubur dan telur, membersihkan kotoran di alas tidurnya, berpikir tapi tak bisa merangkum apapun. Lelaki tua berkata, "Apa kamu bisa meminta satu hari libur?". Tidak, lelaki tidak berkata, ia meminta. Gadis kecil menjawab sambil menyuapkan air gula dengan sendok logam yang gagangnya mengkonveksikan panas, "Tidak bisa, aku harus bekerja."

Hari berikutnya, gadis kecil dan lelaki bertemu, sudah tidak ada lagi kata. Lelaki sudah tidak ada di dunia. Sedih itu, ya, sedih yang sama persis dengan yang kadang muncul sewaktu-waktu. Seperti varicela yang dorman dan muncul bila imunitas terganggu. Lelaki, yang akan selalu bukan siapa-siapa, pergi. Gadis kecil bertanya, apa rasanya berkabung seorang diri. Selama beberapa hari, gadis kecil menjaga nyala lilin dari lintingan kapas terendam minyak agar tak mati. Selain dalam wujud jasad pucat pasi, setengah hatinya ingin si lelaki ada disini.

*   *   *

Aku terlalu memperkarakan apa,
Aku selalu memperhitungkan siapa,
Sementara aku sibuk mempertanyakan segalanya, aku lupa bahwa kami pernah sama-sama manusia.

Andai menuliskannya akan membuatku kembali lupa.

Belum setahun bersedih sendiri, 19 Oktober 2016