Defect, anomali...and perspective

22 Juli 2016

On 01.16 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Throwback time to four years ago.
Bukan masa yang terlalu dirindukan, aku masih dengan setelan merah muda pada kebanyakan hari dalam satu minggunya, terkadang setelan hijau tua saat tugas ruang ok. Koas. Lab kedua, bedah.


Banyak hal yang entah penting atau tidak namun sangat membekas di otakku selama koas. Ini salah satu hal penting-tak-penting yang aku maksud. Aku ingat itu hari Senin, stase bedah toraks kardiovaskuler, tugas di instalasi bedah sentral ruang ok 1, di hadapan seorang pasien yang sedang menjalani AV shunt. 

Aku (A)
Oknum Residen Bedah Kala itu (ORBK)
ORBK: "Lab keberapa, Dik?"
A: "Kedua, Dok."
ORBK: "Oh, baru..."
[Senyap dengan latar suara monitor, kadang diselingi dengan basa-basi diantara dentingan perangkat baja stainless]
ORBK: "Kenapa jadi dokter? Ujung-ujungnya juga jadi ibu rumah tangga."
A: ...(diam, tidak siap dengan pernyataan yang seperti tendangan Si Madun, jatuhnya dari langit)
ORBK: "Dokter cewek paling banter kerja Puskesmas. Mentok lagi praktek di rumah. Atau sekolah kedokteran buat naikin pasaran? Buat nyari suami?"
Sesaat aku pikir jangan-jangan sebuah scalpel telah dengan tidak sengaja mampir ke badanku. Pernyataan (atau pertanyaan) dari sejawat yang lebih senior tersebut membuat luka. Entah dimana. Senyum pahit yang aku paksakan juga sia-sia, aku lupa kami semua di ruangan itu memakai masker. Aku sulit menerima bagaimana ia bisa dengan ringan mengatakan hal yang tidak berdasar sambil berkonsentrasi memilah pembuluh darah. Beberapa minggu setelahnya, melewati berbagai operasi sebagai observer ataupun asisten, aku simpulkan bahwa trepanasi dini hari saat stase bedah saraf pun rasanya tidak selama menyambungkan arteri dan vena di hari Senin itu. Walaupun sejawat adalah saudara, kadang ada saudara yang enggan kita temui beberapa waktu lamanya.

*   *   *
Tentu saja ini bukan tentang dendam, aku bahkan lupa nama beliau yang telah menyakitiku kala itu. Aku adalah orang yang mudah memaafkan. Ini justru tentang rasa terima kasih yang tertunda sekian lama.

PERTAMA.
Apa yang salah dengan menjadi seorang ibu rumah tangga? Apa sosok gempal, berminyak, kurang menyisir rambut, dalam balutan daster motif kembang...apa itu identifikasi ibu rumah tangga di kepala kita? Kemudian apa yang salah dengan sosok gempal, berminyak, kurang menyisir rambut, dalam balutan daster motif kembang, bila ternyata pada sosok semacam itu kita pernah menyusu sampai kenyang dan oleh sosok semacam itu kita pernah disuapi sampai gila? Kalaupun ada capaian yang sangat aku inginkan, sosok sempurna yang sekiranya bisa aku dambakan, adalah menjadi dokter yang ibu rumah tangga. 

KEDUA.
Menjadi dokter Puskesmas, praktek swasta di rumah...akankah kemana kita pergi nanti akan membedakan makna sumpah yang pernah kita lafalkan, Sejawat? Dulu aku mungkin sesederhana itu, aku suka anak-anak, aku ingin menjadi dokter anak. Sampai sekarang pun aku belum sepenuhnya menanggalkan cita-cita tersebut. Namun dalam tahun pendidikan yang aku jalani,belakangan aku sadar, aku jauh lebih suka melihat anak yang sehat ketimbang berhadapan dengan anak yang sakit. Aku masih sederhana, namun dalam konteks yang jauh berbeda, muncullah ketertarikan pada kedokteran preventif; aku ingin membuat mereka bertahan sehat. Ketika aku lebih jelas melihat sebuah puncak besar, maka aku harus lebih matang memilih batu landai mana yang aku pijak terlebih dahulu agar ketika tiba di atas sana, aku yakin tidak akan terlalu lelah dan masih bisa menikmati segala yang bisa dilihat dari ketinggian. (Esensi paragraf ini aku kutip saat menjawab pertanyaan interviewer pada seleksi wawancara LPDP tahun kemarin. Mungkin kenaifan tidak terduga macam ini yang dikombinasikan dengan muka kuyu akhirnya menyentuh hati interviewer.)

KETIGA.
Menjadi dokter=menaikkan derajat=memperlancar urusan mencari suami? oh, come on! Hanya pemikiran yang sempit yang mengembangkan ide demikian. Mungkin Sejawat, waktu itu Anda kurang makan lalapan lesehan dan main pasir di pantai. Pernah dengar cerita saat berjas putih orang kadang terlalu sungkan untuk mendekati kita? Melihat dari sudut pandang yang lain, mungkin dengan memutuskan menjadi dokter aku justru melewatkan banyak calon jodoh hanya karena sungkan. Jadi berbahagialah, apapun itu, harga kita tidak akan pernah ditentukan oleh profesi, melainkan oleh sesuatu di dalam sini *tunjuk dada*.

Ah, pada akhirnya aku lega telah menuliskannya. Akhir-akhir ini banyak yang mempertanyakan keputusanku melanjutkan studi master di luar negeri. Banyak yang mempertanyakan kekonkretan "barang" yang akan aku pelajari. Tentang Jerman dan studi, akan ada cerita tersendiri. Pada tulisan ini aku hanya ingin secara resmi berterimakasih pada Oknum Residen Bedah Kala Itu. Luka yang pernah terasa mencoreng harga diriku ternyata justru selalu mengingatkan bahwa aku jauh lebih baik dari itu.

Salam. Peace, love, begaul. [Sedikit merindukan seragam pink.]

13 Juli 2016

On 09.41 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Filmnya tentang cinta, tapi aku menulis tentang bantal. 
Aku tipe orang yang tidur tanpa bantal. Kalau pun aku punya bantal, keberadaannya hanya demi estetika semata. Kali ini sedikit perasaanku, tentang....bantal. Ya, tentang bantal.


Ada tapi tak makna
Di sana namun bukan utama.
Tidak semua bantal berdampingan dengan dipan
Kadang eksistensi patah, jauh dari harapan.

Pada suatu malam ia menyangga mimpi.
Hanya suatu, menyisakan lelap yang tak pernah kembali.
Di malam lain, ia hanyalah sarang di balik sarung,
Dalam sunyi yang tertahan meraung.
Pelukan getir saat sendiri saja,
amarah liar untuk tak jumpa yang terlalu lama

Ketika pun ia terakui di belahan hari yang tak sama.
Tak akan pernah ia menjadi apa yang dirinya.
Mengganjal lengan,
Mengganti teman,
Menyangga buku,
Menakuti kucing yang siluetnya lewat di balik pintu.

Bantal ada, kadang sekadar mengisi ruang agar tak hampa

Jangan menjadi bantal,
jangan menjadi kenangan.

*   *   *

Aku baru saja pulang setelah movie session with the genk. Koala Kumal, film komedi untuk yang patah hati, demikian katanya. Seharusnya aku bukan bagian dari pangsa pasarnya Raditya Dika, hanya saja entahlah, hati ini juga mulai mengalami retak rambut. 

Retak yang aku yakin tak tertutupi walaupun dipoles cat Dulax edisi palet warna Mediteranian sekalipun. Aku hanya ingin punya lebih banyak waktu bersama, sindroma wajib yang muncul setiap kali sadar waktu kita tak lama.

Berpisah bisa kapan saja,
yang melukai adalah setiap rasa ketika salah satu dari kita tidak disana. 
#baper#senengtapisyedih#prefarewell#earlyfarewell#yoknextmeetup