27 Oktober 2015
On 09.46 by anya-(aydwprdnya) No comments
Aku adalah orang dengan hati yang lapang. Tanpa keyakinan itu, aku tentu akan ragu menetapkan diri dengan profesiku saat ini. Namun, bila ternyata aku sampai menuliskan hal-hal yang menyusul di bawah ini, semata-mata hanya menegaskan sebuah kesadaran. Hati yang (aku rasa cukup) lapang ini, ternyata juga memiliki tepi.
* * *
Ini dipicu sebuah cerita berlatar ruang poliklinik di pagi Rabu yang cerah dan tenang. Seorang ibu paruh baya memasuki ruangan dimana aku duduk tegak dengan perut lapar (belum sarapan jam 10 pagi woii, manusiawi).
Ibu Paruh Baya (IPB) : Selamat pagi... (ramah bagai tanpa beban hidup)
Aku : "Selamat pagi ibu.." (ramah balik donk..)
IPB : "Saya mau periksa, ini saya pusing sekali sudah dari dua hari saya pusing nggak bisa bangun. Ini saya paksakan berobat, sampai saya nggak masuk kerja lho Dok sejak dua hari kemarin (wajah IPB berubah berkesan sakit skala berat. Perasaan mulai tidak enak, jangan-jangan mau nodong surat keterangan sakit.)
Scene selanjutnya adalah anamnesis rutin untuk menggali riwayat penyakit si ibu, sacred seven fundamental four lah. Hingga aku simpulkan di kolom diagnosis dengan vertigo perifer (BPPV) dan terapi yang sesuai. Dan detik-detik yang aku prediksi pun tiba. Benar saja,
IPB : "Dok, kasi saya surat sakit, dari dua hari kemarin sudah nggak kerja" (nadanya seperti mendikte yang harus aku lakukan.)
Aku : (Berusaha setenang mungkin) "Begini Bu, saya akan memberikan surat keterangan sakit berdasarkan hasil pemeriksaan hari ini. Karena itu tanggalnya paling mentok untuk hari ini, tidak bisa mundur ke belakang."
IPB : "Lho..kok gitu. Saya kan sudah sakit dari kemarin-kemarin, kenapa nggak bisa?"
Aku : "Iya Bu, mungkin sakitnya Ibu memang sudaj sejak kemarin-kemarin. Masalahnya saya tidak melihat dan memeriksa ibu di hari yang kemarin-kemarin itu. Saya tidak memiliki dasar untuk memberikan keterangan untuk hal yang tidak saya periksa."
IPB "Gimana sih maksudnya? Biasanya saya bisa minta DC nggak ribet begini." (Nada super nyolot, sepertinya lupa dengan keluhan pusingnya.)
Aku : (Mulai bikin gerakan virtual ngelus dada) "Bu, surat keterangan ini surat resmi. Harus dibuat berdasarkan penilaian yang didapat dari hasil pemeriksaan. Karena saya yang mengeluarkan, dengan nama dan tanda tangan saya, maka saya menggunakan penilaian saya."
IPB : "Iya, saya ngerti. Saya ini orang LSM lho Bu dok, kalau di kantor saya yang nerima surat sakit karyawan saya. Saya memang sakit dari kemarin-kemarin kok. Ini saya malu aja kalau saya sakit malah nggak nyerahin surat."
Aku : ""Saya bukan dukun Bu, saya tidak bisa menerawang hal yang tidak saya lihat. Nah, apalagi ibudi bagian kepegawaian, Ibu tentu tidak senang kalau karyawan Ibu minta-minta surat sakit ke dokter."
Adegan berikutnya adalah IPB memberiku tatapan mata penuh kebencian, semacam tatapan penuh dendam ala sinetron Indosiar. Dengan dramatis, melempar kartu berobat ke atas meja.
IPB : "Ya, sudah! Tidak usah!"
Aku : "Owh..begitu, ya sudah obatnya jadi Bu?"
IPB : "Saya masukin koran aja, pelayanan kok nggak bener. Minta surat sakit aja nggak bisa!"
Aku : *senyum semanis mungkin*
IPB : *jalan sambil buang muka*
Aku: "Silahkan Ibu..haknya ibu mengeluhkan bila dirasa pelayanan saya yang kurang. Siapa tahu saya jadi terkenal." *tetap senyum dimanis-manisin* (mungkin lebih seperti i-do-want-to-kill-you-smile)
IPB : *tanpa menoleh lagi, turun tangga, sambil non stop ngomel* "Dasar dokter baru, nggak tau aturan. Nggak punya kemampuan." (Sepertinya totally forgot her dizzines)
Aku : "Terimakasih Bu..semoga cepat sembuh nggih..."
AKU SEDIH. AKU KECEWA. AKU MARAH.
Sedih karena masih ada penduduk Indonesia yang mentalnya demikiam. Kecewa karena punya kewajiban melayani orang yang demikian tanpa kecuali. Marah karena dituduh dengan pernyataan yang menurutku tidak pantas dan aku sedih dan membuatku kecewa, dan marah yang lebih...demikian seterusnya.
* * *
Banyak teman dan kenalan yang melontarkan pertanyaan padaku, apa aku bisa marah? Jelas jawabannya, iya. Iya, aku bisa marah. Aku sering marah, dalam hati. Aku sering marah, marah yang lebih tentram disimpan sendiri. Maafkan karena tulisan ini tertuang diinisiasi oleh marah yang mungkin ingin dikawani, jadi ia mendesakku untuk membagi.
Aku marah karena banyak alasan. Tenang saja, alasannya masih berkisar hal-hal di muka bumi. Paling tidak...akhir-akhir ini hatiku jadi sedikit terasa manusiawi.
Oh ya, satu lagi. Siapapun, tolong jangan sekali-sekali mengajari, meminta, apalagi menyuruh aku berbohong lagi. Itu hal yang sulit untuk aku toleransi.
Sekian.
* * *
Ini dipicu sebuah cerita berlatar ruang poliklinik di pagi Rabu yang cerah dan tenang. Seorang ibu paruh baya memasuki ruangan dimana aku duduk tegak dengan perut lapar (belum sarapan jam 10 pagi woii, manusiawi).
Ibu Paruh Baya (IPB) : Selamat pagi... (ramah bagai tanpa beban hidup)
Aku : "Selamat pagi ibu.." (ramah balik donk..)
IPB : "Saya mau periksa, ini saya pusing sekali sudah dari dua hari saya pusing nggak bisa bangun. Ini saya paksakan berobat, sampai saya nggak masuk kerja lho Dok sejak dua hari kemarin (wajah IPB berubah berkesan sakit skala berat. Perasaan mulai tidak enak, jangan-jangan mau nodong surat keterangan sakit.)
Scene selanjutnya adalah anamnesis rutin untuk menggali riwayat penyakit si ibu, sacred seven fundamental four lah. Hingga aku simpulkan di kolom diagnosis dengan vertigo perifer (BPPV) dan terapi yang sesuai. Dan detik-detik yang aku prediksi pun tiba. Benar saja,
IPB : "Dok, kasi saya surat sakit, dari dua hari kemarin sudah nggak kerja" (nadanya seperti mendikte yang harus aku lakukan.)
Aku : (Berusaha setenang mungkin) "Begini Bu, saya akan memberikan surat keterangan sakit berdasarkan hasil pemeriksaan hari ini. Karena itu tanggalnya paling mentok untuk hari ini, tidak bisa mundur ke belakang."
IPB : "Lho..kok gitu. Saya kan sudah sakit dari kemarin-kemarin, kenapa nggak bisa?"
Aku : "Iya Bu, mungkin sakitnya Ibu memang sudaj sejak kemarin-kemarin. Masalahnya saya tidak melihat dan memeriksa ibu di hari yang kemarin-kemarin itu. Saya tidak memiliki dasar untuk memberikan keterangan untuk hal yang tidak saya periksa."
IPB "Gimana sih maksudnya? Biasanya saya bisa minta DC nggak ribet begini." (Nada super nyolot, sepertinya lupa dengan keluhan pusingnya.)
Aku : (Mulai bikin gerakan virtual ngelus dada) "Bu, surat keterangan ini surat resmi. Harus dibuat berdasarkan penilaian yang didapat dari hasil pemeriksaan. Karena saya yang mengeluarkan, dengan nama dan tanda tangan saya, maka saya menggunakan penilaian saya."
IPB : "Iya, saya ngerti. Saya ini orang LSM lho Bu dok, kalau di kantor saya yang nerima surat sakit karyawan saya. Saya memang sakit dari kemarin-kemarin kok. Ini saya malu aja kalau saya sakit malah nggak nyerahin surat."
Aku : ""Saya bukan dukun Bu, saya tidak bisa menerawang hal yang tidak saya lihat. Nah, apalagi ibudi bagian kepegawaian, Ibu tentu tidak senang kalau karyawan Ibu minta-minta surat sakit ke dokter."
Adegan berikutnya adalah IPB memberiku tatapan mata penuh kebencian, semacam tatapan penuh dendam ala sinetron Indosiar. Dengan dramatis, melempar kartu berobat ke atas meja.
IPB : "Ya, sudah! Tidak usah!"
Aku : "Owh..begitu, ya sudah obatnya jadi Bu?"
IPB : "Saya masukin koran aja, pelayanan kok nggak bener. Minta surat sakit aja nggak bisa!"
Aku : *senyum semanis mungkin*
IPB : *jalan sambil buang muka*
Aku: "Silahkan Ibu..haknya ibu mengeluhkan bila dirasa pelayanan saya yang kurang. Siapa tahu saya jadi terkenal." *tetap senyum dimanis-manisin* (mungkin lebih seperti i-do-want-to-kill-you-smile)
IPB : *tanpa menoleh lagi, turun tangga, sambil non stop ngomel* "Dasar dokter baru, nggak tau aturan. Nggak punya kemampuan." (Sepertinya totally forgot her dizzines)
Aku : "Terimakasih Bu..semoga cepat sembuh nggih..."
AKU SEDIH. AKU KECEWA. AKU MARAH.
Sedih karena masih ada penduduk Indonesia yang mentalnya demikiam. Kecewa karena punya kewajiban melayani orang yang demikian tanpa kecuali. Marah karena dituduh dengan pernyataan yang menurutku tidak pantas dan aku sedih dan membuatku kecewa, dan marah yang lebih...demikian seterusnya.
* * *
Banyak teman dan kenalan yang melontarkan pertanyaan padaku, apa aku bisa marah? Jelas jawabannya, iya. Iya, aku bisa marah. Aku sering marah, dalam hati. Aku sering marah, marah yang lebih tentram disimpan sendiri. Maafkan karena tulisan ini tertuang diinisiasi oleh marah yang mungkin ingin dikawani, jadi ia mendesakku untuk membagi.
Aku marah karena banyak alasan. Tenang saja, alasannya masih berkisar hal-hal di muka bumi. Paling tidak...akhir-akhir ini hatiku jadi sedikit terasa manusiawi.
Oh ya, satu lagi. Siapapun, tolong jangan sekali-sekali mengajari, meminta, apalagi menyuruh aku berbohong lagi. Itu hal yang sulit untuk aku toleransi.
Sekian.
25 Oktober 2015
On 05.35 by anya-(aydwprdnya) in Menulis Random No comments
Kamar mandi adalah tempat berkumpulnya segala ide di muka bumi. Aku memiliki keyakinan itu. Bahwa semua ide besar yang sudah maupun akan terjadi, memiliki kamar mandi sebagai salah satu latar perkembangannya. Satu, karena kamar mandi adalah satu-satunya tempat yang tidak dapat kita tolak untuk datangi. Dua, apapun itu, baik mimpi ataupun persepsi, hanya dapat dikatakan berarti bila masih mendominasi bahkan saat kita di kamar mandi.
Aku sudah katakan tadi, kamar mandi adalah satu-satunya tempat yang tidak akan pernah dapat kita tolak, fisik dan psikis. Orang dapat membenci kompor dan wajan panas kemudian menghindari dapur. Orang bisa tenggelam di sofa yang terlalu nyaman setelah tayangan TV berjam-jam, kemudian menolak pindah ke tempat tidur. Orang boleh enggan makan bersama di satu meja makan kemudian memilih bersantap di luar rumah. Kamu membenci buku? Aku tidak akan memaksamu berdiam di perpustakaan kecilku. Seperti itu. Namun tidak ada seorangpun yang bisa menolak dorongan (atau tarikan) dari kamar mandi. Entahlah, aku tidak yakin tentang pandanganku pada orang yang melakukan urusan 'dalam negeri'-nya di luar kamar mandi. Bila karena sakit, tentu termaklumi. Bila karena terpaksa (tidak ada pilihan, kebelet, di bawah tekanan) aku tidak memiliki hak mengomentari. Dan mengenai kamar mandi; bukan tentang ukuran, fasilitas, jenis ubin, pahatan di dinding, kotor atau bersih, toilet duduk atau jongkok, toilet umum atau kamar mandi di kamar kost, aroma pewangi, bath tub atau shower atau gayung plastik...itu semua hanya preferensi.
Aku punya keyakinan itu, bahwa segala ide di muka bumi berkumpul di kamar mandi. Seperti semacam reuni, mulai dari keinginan membeli sepatu tahun lalu, rencana skripsi yang tidak tergarap, dendam karena barang yang tidak dikembalikan oleh seorang teman, gubahan lirik dan puisi yang lewat sambil lalu, bahkan hal-hal seperti kreasi resep masakan atau warna botol minuman. Aku juga berasumsi, niat-niat bizzare seperti ide bunuh diri juga dimatangkan di kamar mandi. Begitulah, ide-ide tersebut memenuhi setiap ruang yang bisa kita pikirkan. Larut dalam percikan air yang mengalir dari keran, mengendap di sudut lantai membentuk kerak, melayang di udara bersama aroma apel (terkadang lemon), pada lelehan shampoo yang tidak tertutup rapat, menyaru dalam gulungan kertas tisu, bahkan aku yakin juga berdesakan dengan kecoak di saluran pembuangan limbah. Konkret dan penuh.
Aku sendiri senang membangun ide-ide di kamar mandi, tak peduli seberapa penuh ruang ide yang ada di bilik kecil kamar mandi itu. Mengguyur diri sekali, termenung berkali-kali. Melihat riak dan buih yang muncul saat kucelupkan satu jari, membandingkannya dengan riak dan buih dari tiga jari. Membiarkan kulit jemariku berubah keriput, mengacaukan gurat sidik jariku, sambil melihat rambut-rambut di lenganku berdiri. Kadang aku meniup busa lewat lubang yang kubentuk dengan ujung ibu jari dan telunjuk, menghasilkan gelembung, yang bila sangat beruntung, memiliki kesempatan menari di sekitar tubuh telanjangku selama sekian detik. Kadang aku berharap setiap pori di tubuhku bisa meniup sebaik mulutku, tentu sangat indah. Tapi tentu saja gelembung hanya terbentuk saat aku menggunakan sabun merk tertentu.
Bicara soal sabun, ide juga licin dan kurang bersahabat dengan tegangan air. Mengherankan, karena kenyataannya mereka berkumpul di kamar mandi, gudangnya air (aku tidak tahu kamar mandi di tempat yang sulit air atau mengalami musim kering). Bahkan ide tulisan ini juga aku dapatkan saat menghabiskan waktu sesorean tadi di kamar mandi. Kemudian aku buru-buru mengetikkan apapun yang masih menempel di kepala dan badanku tanpa mengeringkan badan dan rambutku dengan benar. Oh ya, aku beritahu, ide tidak bisa bertahan lama di luar kamar mandi. Berita buruknya lagi, ide sulit untuk ditemukan kembali walaupun kita berusaha mencari dan masuk ke kamar mandi yang sama berkali-kali.
Saat pertama kali ide ini dilontarkan, seorang kawan bertanya, "Bagaimana dengan orang yang tidak punya fasilitas MCK yang memadai, misalnya harus mandi di sungai?"
Secara pribadi, aku tidak yakin bisa memikirkan ide apapun saat membayangkan mandi di sungai. Mungkin aku yang terlalu pemalu, atau mungkin pikiranku akan lebih terpusat pada batu sungai, ikan, dan kewaspadaan benda-benda yang mungkin terbawa arus sungai. Ah, alasanku saja. Tapi definisi kamar mandi adalah personalisasi kebutuhan. Bila langit biru adalah atapmu, dan batu kali adalah tegelmu, maka aku rasa sah saja bila ingin menciptakan sendiri ruang idemu.
& & &
Aku harus mengeringkan diri dan berpakaian. Juga memakai lotion.
Oh ya, sepanjang sore tadi aku tidak berhasil membuat satu gelembung sabun pun.
Dan besok aku harus menggosok kamar mandi.
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup