Defect, anomali...and perspective

26 Januari 2017

On 01.00 by anya-(aydwprdnya) in    No comments
Perihal antar mengantar di bandara, jelas aku bukan penggemarnya. Aku tidak suka mengantarkan kepergian, sama tidak sukanya dengan diantar setiap akan pergi kemana-mana. Bukan. Ini bukan rasa tidak suka semacam afek antisosial atau kepribadian yang soliter. Bukan pula unjuk aksi bahwa aku mandiri dan melakukan segala hal sendiri. Keduanya, mengantar dan diantar, membangkitkan rasa tidak suka yang lebih masuk ke dalam kategori kecanggungan yang mengarah pada rasa tidak nyaman.
Apa yang harus diucapkan saat mengantarkan keberangkatan ke bandara? Selamat jalan? Semoga perjalanannya menyenangkan? Baik-baiklah disana? Jangan rindukan aku? Menggelikan bagiku karena aku sering mengucapkan itu padahal sesungguhnya aku sangat ingin dirindu. 

Apa yang harus diungkapkan saat diantar sebelum pergi? Sampai jumpa? Doakan aku? Baik-baik selama aku pergi? Dan hal-hal lain yang lebih sering membuatku malah merasa tidak baik-baik.
Dan...
Hari ini aku di sini lagi, di Bandara Ngurah Rai. Seorang teman (lagi) akan melanjutkan studi, dan aku akan mengantarkannya untuk bertemu sebelum pergi.
Dan...
Tiba-tiba aku sudah di sini, di Bandara Ngurah Rai. Sementara pikiranku masih mengusir rasa tidak nyaman menginjakkan kaki di sini sendiri, bagian lain otakku sudah lebih dulu menggerakkan badan lewat otot dan sendi.
Dan,
tempat ini, di hatiku, terlanjur menjadi satu titik sebelum lenyap, garis akhir sebelum senyap.
Ah, tempat ini ramai sekali.

15 Januari 2017

On 14.46 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments

Saya tidak punya pengalaman tentang kepemilikan uang yang banyak. Perihal hitung menghitung, jelas bukan bìdang saya, itu keahlian bapak saya yang akuntan, yang saya rasa tidak bersifat herediter, tidak ada sangkut paut genetisnya. Katakanlah saya sering 'main' bendahara-bendaharaan sedari SD untuk pembelian buku penunjang belajar, atau SMP saat entah mengapa dibebani jabatan bendahara OSIS, atau saat SMA memutar otak agar keuangan klub judo stabil. Tapi apa pun, saya tidak dibesarkan sehingga mengerti bagaimana rasanya uang di tangan yang boleh bebas digunakan, atau baunya lembar yang kalau dibelanjakan harus secara hitam di atas putih dipertanggungjawabkan. Pun karena lahir dalam keluarga yang cukup namun tak lebih, kemewahan seperti uang saku (nyaris) tanpa batas adalah kemustahilan yang sering saya dan rekan sepermainan impikan sambil berteduh di sela permainan galah kemudian kami hanyutkan bersama gemericik kali tempat kami menyau kecebong. Kalau kata bapak saya, uang...(nada dramatis), sebanyak apapun, jika bukan milikmu, maka bukan milikmu. Seperti halnya cinta... (saya agak ragu, untuk yang terakhir, apa bapak pernah berkata begitu).

Maka masa menghasilkan uang sendiri adalah bagai unicorn di mata Agnes, keindahan yang membuatnya mampu dewasa dengan cepat while everybody keep insist her not to grow up. Tapiiiiiii.......... (sepanjang satu napas penuh), saya mohon berhentilah beranggapan bahwa pekerjaan saya sebagai dokter mengizinkan kemewahan instan berlimang uang. Doa tulus saya merepetisi, mungkin belum. Saya dan banyak sejawat yang masa lulusnya sama-sama belum genap lima tahun pernah kerja dengan bayaran sepuluh ribu rupiah per jam. Pernah juga secara kalkulasi kasar dibayar seribu lima ratus perak untuk setiap pasien yang kami tangani. Saya sendiri pernah girang setengah mati setelah mendapat tip dalam mata uang US Dollar bergambar Eyang George Washington sebanyak dua lembar. Begitulah di beberapa waktu saya selalu menghitung dan berhitung. 

Paradigma saya tentang uang berubah total, justru ketika saya menghadapi persoalan keuangan dimana ada hasrat untuk menuntut ilmu sampai ke negeri China (not literal) yang tidak diiringi dengan kesanggupan finansial. Beasiswa adalah opsi terbaik yang bisa saya pertaruhkan. Kita akan lewatkan kisah haru biru tentang kegagalan demi kegagalan. Hingga beasiswa LPDP menjawab rencana besar saya dengan kepercayaan untuk membiayai studi master saya, yang 'hanya' perlu saya tukar dengan loyalitas absolut pada tanah air. Easy peasy, benak saya kala itu, saya tidak sama sekali meragukan rasa nasionalisme saya. Pergolakan batin muncul menyusul ketika penyakit lama saya kambuh, menghitung. Saya menghitung detail biaya kuliah, akomodasi, biaya bertahan hidup, dan segala penunjang kelancaran studi lainnya. Saya tidak akan menyebut nominalnya disini, yang jelas naluri ketimuran saya mendominasi: merasa berhutang. Kalkulasi yang segalanya bisa diuangkan, diberikan, saya gunakan, maka sisanya adalah harfiah sebagai hutang. Kegalauan saya bertanya, apakah nasionalisme sebagaimana yang saya pahami adalah nasionalisme yang sama dengan yang dibutuhkan LPDP? Apakah uang yang saya hitung dan akan saya habiskan setara dengan harga badan saya ketika paska studi nanti?

*BaSE, dedikasi cicilan pertama.*

Ternyata banyak kawan penerima beasiswa memiliki pandangan semakna, negara memberi kesempatan bagi kita untuk berhutang, kewajiban kita adalah membayar. Dengan uang? Barang? Menanamkan kaki ke dalam pertiwi? Orang-orang terkasih dalam keluarga penerima beasiswa menyadarkan saya, "Bisa lho, Nya, hutang ini kita bayar dengan komoditas lain, sistem kredit." Maka lahirlah ide BaSE (Bali Scholarship Expo) sebagai cicilan nyata kami yang pertama. Sungguh, berkat keluarga awardee, saya meyakini pandangan baru tentang ini. Segala yang kita hitung dapat kita ganti dengan yang tak terhitung. Poinnya adalah, kapan dan bagaimana kita akan mulai menghitung hal tersebut yang tak terhitung.

*The unaccountable: Keluar Dari Kenyamanan Hanya Memikirkan Diri Sendiri*

Pertemuan demi pertemuan, ide, perdebatan, tawa, sedih, kecewa. Syukurnya, berhenti adalah satu-satunya ekspektasi yang tidak terjadi.  Teman, karib, teman baru, kenalan yang jadi teman, kenalan yang tidak berujung kemna-mana, merupakan paket lain yang saya dapati selama BaSE, hampir setahun kemarin.  Lucunya, kami yang kuantitasnya tidak melebihi sejumlah jari dua tangan pada awalnya saling lupa usia kami berapa (syukurnya). Saling berbeda profesi dan kerja. Saling beda selera, namun menertawakan lelucon yang sama. Kala itu saya masih bekerja di beda kabupaten, di tiga tempat totalnya. Hingga kini saya masih bertanya-tanya, energi yang membawa saya kesana-kemari datangnya dari mana (walau harus saya akui makan saya satu setengah kali porsi biasa). 

Jangan tanyakan bagaimana, kami hanya sama-sama berhutang dan ingin membayarnya. 

Kami, kalau boleh saya bilang, saling menyadarkan bahwa alangkah piciknya bila pesan yang tertuang dalam "surat hutang" kami (baca: kontrak beasiswa kami) tidak kami teruskan ke kandidat lainnya. Negara beritikad mencerdaskan kami, tugas kami hanya menggaungkan iklan kepada yang belum maklum, bahwa kesempatan itu ada dan nyata. 

Tentang segala hal (yang menurut saya hebat) yang kami lakukan, saya bukan komponen sulkus girus, letak saya bukan kepala. Saya bukan sumber ide dan letupan kebrilianan lainnya. Saya, sekali lagi jika diizinkan memilih, kala itu hanya ibu jari. Menopang sedikit ketika tangan ingin menggenggam, dengan mudah mengacung bila siapapun layak pujian. Saya sama sekali tidak esensial, namun tetap ingin dinanti ketika satu waktu tidak berfungsi. Seperti itu, saya tidak paham sinergi acak ini membawa simpulan bahwa tentang beasiswa ini, saya merasa wajib mengurangi memikirkan diri sendiri. Akh, entah ini variasi ngelindur saya yang stadium lanjut. Ini semacam pengejawantahan rasa bangga dan jumawa tentang pencapaian bersama, yang saya ingin semua rekan penerima beasiswa juga merasakannya. Meraih dana beasiswa adalah hebat, namun bukan level tertinggi dari prestasi. Tingkat itu teramini ketika kita dengan sadar beritikad membayarnya kembali. 

Seratus BaSE mungkin belum cukup melunasi akumulasi habis guna dari masing-masing kami. Bagi saya pribadi, BaSE (dan aktualisasi lainnya) memberi saya kesempatan selangkah mendekati lunas. Lebih penting lagi, orang-orang di dalamnya mengajari saya bagaimana cara mulai menghitung hal-hal yang tak terhitung. 

Salam, di jeda hitungan yang masih amat panjang.