11 Januari 2016
On 00.37 by anya-(aydwprdnya) in Refleksi No comments
Berlatar sore hari, cerita ini (lagi-lagi) berawal dari beberapa menit dari salah satu shift jaga sore di klinik.
Seorang kakek, mungkin sekitar 70an tahun. Sulit menebak usia seseorang, apalagi kondisi sakit seringkali menimbulkan kesan usia yang lebih tua. Seorang kakek, datang ke klinik seorang diri, bukan suatu hal yang istimewa. Kakek tersebut membeli obat batuk sirup dan satu obat lagi, tidak ada yang aneh. Kakek tersebut membayar seharga yang disebutkan oleh petugas apotek, wajar sewajar-wajarnya. Ia pun berlalu.
Perhatianku muncul setelah selang beberapa menit kemudian si kakek datang lagi.
"Ini obat batuk harganya 6000 kenapa jadi 11.000?", tanya si kakek
"Memang segitu harganya, Pak."
Kurang lebih begitu dialognya. Entah seseorang pernah menjual obat yang sama dengan harga yang salah, atau orang lain keliru memberi label harga pada obat batuk tersebut. Dari wastafel, sambil mencuci tangan aku tidak bisa fokus mendengar detail percakapan si kakek dan petugas apotek. Namun aku dengan jelas dapat melihat penampakan si kakek, merekam setiap detailnya karena percakapan tersebut berlangsung cukup lama.
Tua, kurus, keriputnya lebih kentara daripada lipatan tambahan bajuku yang tidak disetrika, bahkan dari jarak lebih dari lima meter tempatku berdiri. Yang membuatku tidak tahan adalah ekspresinya; bingung, kalut, semakin bingung, seperti kecewa. entahlah, aku hanya tidak nyaman melihatnya. Petugas apotek menutup pembicaraan dengan menyatakan bahwa memang sudah benar besaran harga obat tersebut, kakek beranjak dari kursi registrasi, namun kembali terduduk di kursi antrean. Iya, duduk lesu yang dramatis sambil memandangi obat sirup di tangannya.
Aku menyudahi acara cuci tangan yang panjang sudah sekitar 6 langkah dikali 4. Kakek tersebut masih mengisi pikiranku. Apa yang dipikirkan oleh kakek itu? Apa karena selisih uang 5000? Apa 5000 itu begitu berharga baginya? Apa 5000 itu bagian dari uang terakhir yang ia punya?
* * *
Seorang kenalan yang belum lama aku kenal mengatakan hal yang mengusik benakku dalam sebuah disskusi via sosial media. Kala itu topik diskusi adalah tentang pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat. Menurut beliau, pelayanan kesehatan gratis tidak mendidik masyarakat. Kepalaku mengangguk setuju, namun hatiku berontak. Kenyataannya kesehatan itu memang mahal, setiap orang seharusnya memahami hal tersebut dan tidak begitu saja sakit dengan harapan tanggungan akan dibayar oleh pihak ketiga (misalnya pemerintah lewat program layanan kesehatan, atau asuransi kesehatan). Masyarakat kita memang masih menganut budaya dependen, tergantung. Contoh nyatanya, alih-alih lebih berusaha menjaga kesehatan, masyarakat lebih fokus memilah pelayanan kesehatan kalau sakit. Misalnya lagi, ini dari pengalaman pribadiku, setiap ada pelayanan kesehatan gratis semua insan turun ke lokasi, sakit-tidak sakit tujuannya satu: minta obat. Nah, didikan yang bagaimana yang dapat kita lakukan untuk kondisi seperti itu?
Dari sudut pandang hatiku yang berontak, referensinya adalah kebahagiaan melihat orang bahagia mendapat pelayanan dari kita. Di luar masalah kesehatan mereka, aku percaya ketika mereka mendapat perhatian kita salah satunya lewat pelayanan kesehatan gratis, paling tidak beberapa saat mereka dapat lupa dengan tetek bengek hidup yang jauh lebih rumit daripada nenek sehat yang minta suntik vitamin. Haduh, pikiranku belum lepas dari kakek di klinik sore itu.
* * *
Aku bisa saja mengganti 5000 rupiah milik kakek itu, entah akan membuatnya senang atau tidak, tapi tidak aku lakukan. Aku sendiri, jujur saja bingung jika memaknai uang 5000 di masa sekarang ini. Sebungkus nasi, maka hanya nasi putih yang kita peroleh. Premium, maka hanya cukup untuk pulang dari Denpasar ke Tabanan kota, risiko bensin kandas jika dilanjut sampai Bajera. Aku malu mengakui bahwa satu menu makanan seharga 20.000 sangat bisa aku toleransi, entahlah dengan kakek itu.
Kita tidak bisa membantu menyelesaikan setiap kesulitan. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Di tengah popularitas video lucu mempertanyakan kadar greget yang viral di media sosial, mungkin boleh kita sisipi sebuah pertanyaan mengenai seberapa arti uang lima ribu bagimu.
[Dua hari setelah kakek itu, tetap tidak bisa lupa. Haduh, hati ini lemah sekali. Fetal position, try not to cry, cry alot T.T]
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup