9 September 2015
Aku punya teman.. Teman sepermainan.. (Ah..ah..//plak!)
Oke, ulang.
Aku punya teman. Jamak. Kalau sebelumnya aku pernah bercerita tentang teman yang datang dan pergi, dan datang kembali, hilang, datang lagi...mereka juga tak terkecuali.
Aku punya teman. Jamak. Akhir-akhir ini, mereka adalah satelit-satelit terdekat yang mengorbit bahkan saat aku kehilangan gravitasi. Kami berteman, dan begitu saja, kami tidak memiliki kriteria inklusi.
Suatu hari kami merencanakan bertemu, tujuannya bisa menyusul kemudian. Tidak harus ada hari yang diperingati, tidak mesti ada momentum yang dirayakan. Kadang kami sendiri bingung mencari alasan; memanfaatkan freepass sisa karaoke sebelumnya, berselancar dengan tempat makan baru, curhat masalah kerja (dan cinta), memanfaatkan kupon bazzar yang dibeli dengan keterpaksaan atau memenuhi kebutuhan primer untuk menggosipkan apa saja. Plak! Plak!
Jadi kami bertemu. Entah hanya aku atau mereka juga, bertemu menjadi salah satu kebutuhan. Setingkat di atas keinginan. Aku butuh merasa normal di dalam segala ketidakwarasan kami. Aku butuh merasa lurus di tengah labirin cerita yang saling ditukarkan. Aku butuh didengarkan di atas segala bising yang kami dengungkan, sama halnya dengan aku butuh mendengarkan demi segala kesunyian yang kita redam. Plak!
Dan kami bertemu lagi. Salah satu absen pergi, di hari lain yang lain yang tak kembali, di pertemuan yang lain akulah yang tak disini. Kadang A malas, B masih kerja, C ada acara keluarga, D lelah dan malas keluar rumah...plak!plak! Dan kita tetap bertemu. Cerita, rahasia, marah, gembira...sesering apa kita menemukannya dalam piring yang sama?
Aku dan mereka berteman dalam ruang yang tidak terdefinisikan. Lebih tepatnya tidak pernah kami definisikan. Buat apa? Kejamakan ini bukan mie pedas yang dapat dibagi levelnya. Seperti halnya kebutuhan yang lain, ada yang terpenuhi ada yang tidak, bukankah yang seperti itu yang mengingatkan kita akan hidup? Plak! Plak!
Aku punya teman. Ketika aku menulis sambil membayangkan mereka aku malah berakhir menampari diri sendiri. Mungkin hal-hal paradoks ini yang membuatku nyaman memproklamirkan bahwa kami berteman. Ya, paradoks; jengah dalam nyaman, gerah saat cuaca berangin, segan sekaligus tidak tahu malu, mengejek, mengagumi, mencela, menyayangi...hmm apa lagi?
Aku masih menampari diri sendiri. Siapa tahu kita akan segera bertemu kembali. [Lanjut menata mimpi sambil menyanyi//fals//plak!plak!]
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup